Bab 9 Masa Lalu Pilihan Mertua

Saat malam semakin larut, Arini dan Arman meminta izin masuk ke kamar mereka. Bu Susan, yang sibuk menonton televisi, hanya melirik sekilas lalu membiarkan kedua anaknya masuk tanpa banyak bicara.

Setelah merebahkan diri di tempat tidur, Arman mengambil ponselnya dan mulai mengetik pesan untuk Diva.

"Div, kapan kamu pulang? Ibu kasihan, nggak ada yang bantuin."

Tanpa ragu, ia langsung mengirimkannya. Namun, sebelum menutup ponselnya, ia kembali membuka aplikasi pesan dan mengetik sesuatu untuk Raya.

"Ray, kamu sudah tidur? Besok makan siang bareng, yuk."

Tak butuh waktu lama, ponselnya bergetar, menandakan ada balasan masuk. Arman berpikir itu dari Diva, tetapi saat melihat layar, ternyata dari Raya.

"Belum, Man. Oke, aku tunggu besok, ya!"

Arman tak lagi membalas. Namun, pikirannya mulai dipenuhi bayangan tentang Raya. Kenangan masa lalu kembali muncul.

"Andai saja kita menikah dulu, pasti hidup kita akan bahagia, Ray…" batinnya lirih, sebelum akhirnya matanya perlahan terpejam.

Setelah masuk ke kamar, Diva merebahkan diri di tempat tidur dan membuka ponselnya. Matanya langsung tertuju pada pesan dari suaminya.

"Div, kapan kamu pulang? Ibu kasihan, nggak ada yang bantuin."

Diva menghela napas. "Aku kira kamu menanyakan kabarku atau merindukanku, Bang. Rupanya hanya karena ibumu…" batinnya pahit.

Ia menutup ponsel tanpa membalas. "Besok saja aku balas, sekarang aku terlalu malas menanggapi."

Lagi pula, besok ia sudah punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Rasanya seperti kembali ke masa sebelum menikah ketika hidupnya penuh kesibukan dan tidak hanya berputar di sekitar suaminya.

Bukan berarti Diva tidak bersyukur, hanya saja ia mudah merasa bosan, terutama ketika ibu mertua terus-menerus menanyakan kapan ia akan memiliki anak sesuatu yang bahkan dirinya sendiri belum tahu jawabannya.

Diva menghela napas panjang, mencoba mengabaikan pikirannya yang berkecamuk. Perlahan, rasa kantuk mulai menyelimutinya, membuat matanya terasa semakin berat. Tak butuh waktu lama, ia pun terlelap dalam keheningan malam.

Saat azan subuh berkumandang, Diva terbangun dan segera mengambil wudhu. Setelah menunaikan salat, ia membuka ponselnya untuk membalas pesan dari suaminya.

"Sabar ya, Bang. Aku masih rindu bersama Kak Dira," tulisnya sebelum mengirim pesan tersebut.

Diva kemudian berpikir untuk jogging sejenak. Setelah berganti pakaian, ia keluar rumah dan mulai berlari kecil, menikmati udara pagi yang segar sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan.

Sekitar pukul 06.30, Diva selesai jogging dan segera mandi. Sebelum berangkat ke minimarket, ia menyempatkan diri untuk sarapan terlebih dahulu.

Saat tiba di minimarket, Bang Reza menyapanya, "Gimana, Div? Mengelola langsung lebih enak, kan?"

"Iya, Bang, enak. Jadi ada kegiatan," jawab Diva dengan semangat.

"Baguslah, tapi kamu juga jangan terlalu lama meninggalkan suamimu," ujar Bang Reza, disusul anggukan setuju dari Kak Dira yang turut menasihatinya.

Keesokan harinya, Diva berencana untuk kembali ke rumah tanpa memberi kabar terlebih dahulu kepada suami maupun mertuanya.

Siang itu, ia sibuk melayani pelanggan yang berbelanja di minimarket, menggantikan karyawan yang sedang istirahat makan siang. Ponselnya terus berbunyi sejak tadi, namun ia memilih untuk tetap fokus bekerja dan mengabaikannya sementara.

Sementara itu, Arman dan Raya tengah menikmati makan siang bersama. Entah mengapa, Arman semakin terpesona dengan kehadiran Raya. Kedekatan yang terjalin kembali ini terasa begitu hangat, dan ia tak ingin melewatkan kesempatan tersebut. Tanpa mereka sadari, sejak tadi ada seseorang yang memperhatikan mereka dari kejauhan.

Sore harinya, ketika Diva telah kembali ke rumah, ia dibuat terkejut saat melihat deretan foto suaminya tengah bersama Raya.

"Pantas saja kamu makin dingin padaku, Bang... rupanya hatimu sedang hangat bersama dia," ucap Diva lirih.

Dengan hati yang mulai dipenuhi keraguan, ia menguatkan diri. "Aku harus siap menghadapi kemungkinan terburuk. Mungkin memang sudah waktunya aku pulang."

Setelah itu, Diva segera membersihkan diri, lalu beristirahat dengan hati yang sedikit sesak.

Arman telah berjanji pada Raya untuk menjemputnya sore ini. Sepanjang hari di kantor, hatinya begitu berbunga-bunga, seolah sedang merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Ia larut dalam perasaannya hingga lupa bahwa ia memiliki istri—bahkan tak terpikir untuk sekadar mengirim kabar atau bertanya bagaimana keadaan Diva.

Sementara itu, di rumah Bu Susan bisa bersantai karena Arini yang mengerjakan pekerjaan rumah dan memasak. Wajahnya tampak sumringah setelah mendapat kabar dari Raya bahwa hubungannya dengan Arman semakin dekat. Inilah momen yang selama ini ia nantikan.

"Diva mau pulang atau tidak, terserah… yang penting Arman dan Raya makin akrab," batinnya puas.

Namun, Arini yang mendengar hal itu hanya bisa menghela napas panjang. Dalam hati, ia bertekad tak akan membiarkan semua rencana ibunya merusak rumah tangga kakak iparnya. Diva telah begitu baik padanya, begitu sabar bahkan terhadap ibu mereka sendiri.

Di rumah Kak Dira…

"Kamu udah siap-siap, Div?" tanya Dira sambil melihat adiknya merapikan barang.

"Iya, Kak… aku harus pulang dulu," jawab Diva pelan, nyaris berbisik.

Dira menatap wajah adiknya yang murung.

"Kenapa kamu gak cerita sama Kakak? Ada yang kamu pendam, ya?" tanyanya dengan lembut, mencoba membuka ruang agar Diva mau berbagi.

"Aku harus kuat... tak boleh terus-terusan lemah. Air mata ini cukup sampai di sini," batin Diva, berusaha meneguhkan hati yang mulai rapuh.

******

Sementara itu, Arman tengah menunggu Raya di depan kantor. Setelah Raya tiba, mereka pulang bersama dalam suasana yang terasa semakin dekat. Tanpa diduga, Raya menggenggam tangan Arman. Arman hanya terdiam, tak menarik tangannya, seolah memberi isyarat bahwa ia mengizinkan. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, perasaannya campur aduk.

"Besok malam kita makan di rumahku, ya," ucap Arman dengan nada lembut.

Raya hanya tersenyum manis dan mengangguk, menyimpan harapan yang kian tumbuh di dalam hati.

Setibanya di rumah, Ibu Susan tampak heran melihat Arman baru pulang.

"Lho, kok pulangnya telat, Man?" tanya ibunya dengan dahi berkerut.

"Tadi sempat antar Raya pulang dulu, Bu," jawab Arman dengan nada datar.

Mendengar itu, wajah Ibu langsung berbinar. "Ibu nggak salah dengar, kan? Kamu bilang Raya?" ucapnya penuh semangat.

"Iya, Bu." Arman mengangguk singkat. "Aku masuk dulu, ya."

"Iya, iya… masuk sana," jawab ibunya, tak bisa menyembunyikan senyum bahagia yang menghiasi wajahnya.

Malam hari setelah makan malam, Ibu Susan lebih dulu masuk ke kamar. Melihat situasi aman, Arini merasa ini saat yang tepat.

"Bang, kamu masih ada hubungan sama Kak Raya?" tanya Arini tiba-tiba.

Arman terkejut, tak menyangka pertanyaan itu datang dari adiknya.

“Nggak lah, kami cuma berteman," jawabnya cepat.

Arini menggeleng pelan, nada suaranya serius.

"Bang, mana ada laki-laki dan perempuan bisa benar-benar berteman, apalagi mantan. Bang, ingat, kamu itu udah punya Kak Diva. Jangan sampai kamu nyakitin dia… apalagi sampai mengkhianati."

Ucapan Arini membuat Arman terdiam. Hatinya mendadak dihantam rasa bersalah. Ia teringat pada Diva, pada senyum dan pengorbanannya.

Tanpa pikir panjang, ia mengambil ponsel dan mencoba menghubungi istrinya. Namun, beberapa kali panggilannya tak diangkat.

"Mungkin Diva udah tidur," batinnya, diselimuti kegelisahan.

Diva yang melihat panggilan dari suaminya berulang kali hanya menatap layar ponselnya tanpa niat untuk mengangkat. Hatinya masih terlalu sesak, bayangan foto-foto Arman bersama Raya masih begitu jelas di benaknya.

"Kalau ini memang cara agar ibumu bahagia, aku rela mundur, Bang… dari hidupmu," bisiknya lirih, menahan gejolak di dadanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!