Bab 15 Masa Lalu Pilihan Mertua

Senja itu, rumah kak Dira kembali kedatangan tamu. Arman.

Langkahnya berat, wajahnya kusut. Kak Dira dan Reza membukakan pintu tanpa senyum. Mereka sudah menduga, kedatangan Arman kali ini bukan membawa kabar baik.

“Aku... mau ketemu Diva,” ujar Arman lirih.

“Dia di kamar. Tapi pikirkan baik-baik sebelum bicara,” ucap Kak Dira, memberi tatapan tajam sebelum membiarkannya masuk.

Arman membuka pintu kamar perlahan. Diva sedang duduk di meja kecil, menulis sesuatu. Saat mendengar pintu terbuka, ia tidak menoleh, hanya berkata pelan,

“Aku tahu kamu akan datang, Man.”

Arman mendekat, duduk di kursi seberang.

“Aku datang... untuk bilang, aku bakal nurut sama ibu. Bukan karena aku nggak sayang kamu, tapi... aku nggak mau ibu sakit hati. Aku... aku bingung, Div.”

Diva berhenti menulis. Lalu, tanpa emosi di wajahnya, ia melipat kertas yang baru ditulisnya, dan menyerahkannya kepada Arman.

“Baca ini nanti, setelah kamu pulang.”

“Div, aku”

Diva mengangkat tangan, menghentikan ucapannya. “Aku juga pernah bingung, Man. Tapi akhirnya aku sadar, cinta yang harus bersembunyi, cinta yang tak punya keberanian, bukan tempat untukku tinggal. Aku pamit dari pertarungan ini. Aku memilih pulang, bukan kalah, tapi karena aku menghargai diriku sendiri.”

Arman mematung, tak bisa menjawab.

Diva berdiri, melangkah keluar kamar. Reza dan Dira berdiri di ruang tamu, memandangi Arman yang keluar beberapa menit kemudian, menggenggam surat dari istrinya yang tak lagi meminta apa-apa.

Malam itu, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya.

Arman duduk sendiri di ruang tamu, lampu temaram, hanya suara detak jam dinding yang terdengar jelas. Tangannya gemetar saat membuka lipatan kertas dari Diva.

Harumnya masih tercium samar—harum yang selama ini menenangkan.

Surat itu tertulis tangan, rapi dan tegas.

*******

Untuk Arman,

Aku menulis ini dengan tenang, bukan karena aku tidak hancur, tapi karena aku sudah terlalu lama terluka dalam diam.

Aku tahu kamu bingung, dan aku tidak pernah meminta kamu melawan ibumu. Tapi aku juga tidak bisa bertahan dalam rumah yang tidak membelaku, bahkan untuk sekadar hakku sebagai istri.

Aku sadar, mungkin aku bukan perempuan yang diinginkan oleh keluargamu. Latar belakangku yang cuma lulusan SMA, tak bekerja seperti mereka harapkan. Tapi aku mencintaimu dengan tulus, Man. Aku mencoba jadi istri yang baik, sabar dengan semua, termasuk saat kamu mulai menjauh tanpa penjelasan.

Aku tidak bisa hidup dalam rumah tangga yang harus berbagi hati, waktu, dan perhatian.

Aku tidak sanggup dipaksa tersenyum saat kamu menggandeng masa lalu di depan mataku, lalu memintaku mengerti.

Kalau kamu memilih untuk menikah lagi, meski itu hanya “siri” seperti yang mereka usulkan, maka izinkan aku mundur sepenuhnya.

Aku tidak ingin jadi istri yang dipertahankan setengah hati.

Aku mohon, jangan cari aku kalau hanya ingin menenangkan rasa bersalahmu.

Kalau suatu hari kamu benar-benar ingin bicara bukan karena tekanan siapa-siapa, kamu tahu di mana mencariku.

Terima kasih karena pernah mencintaiku, walau hanya sementara.

—Diva

******

Surat itu terjatuh ke pangkuan Arman.

Matanya memerah, tangannya mengepal. Untuk pertama kalinya...

ia merasakan kehilangan yang nyata.

Dan semuanya terlambat, kecuali ia berani bertindak.

Pagi harinya,

ketika Arman masih menyimpan surat Diva di meja kamarnya, Ibu Susan masuk tanpa permisi.

Matanya menajam saat melihat secarik kertas terbuka. Ia membacanya cepat dari awal sampai akhir.

Dan setelah selesai, senyum tipis muncul di wajahnya.

Bukan senyum sedih atau marah. Tapi senyum puas.

“Akhirnya juga dia pergi,” gumamnya sambil menaruh surat itu kembali.

“Kesempatan ini nggak datang dua kali, Man. Sekarang kamu bisa nikah sama Raya tanpa gangguan.”

Arman yang mendengarnya hanya terdiam di sisi ranjang. Wajahnya kosong. Hatinya seperti dicekik.

“Bu…”

Suara Arman lirih. Tapi tak berlanjut.

“Apa lagi? Jangan bilang kamu masih mikirin dia. Dia yang pergi, bukan kamu yang usir.”

Ibu Susan melipat tangan di dada.

“Lagipula, kamu nggak akan sanggup lawan ibu, kan?”

Arman menunduk. Sekuat apapun hatinya ingin menolak, lidahnya kelu.

Ia takut. Takut jadi anak durhaka. Takut kehilangan ibunya.

Tapi… hatinya juga tahu, kalau ia terus diam, ia akan benar-benar kehilangan Diva.

Di luar kamar, Arini berdiri diam di balik pintu yang sedikit terbuka.

Matanya berkaca-kaca.

“Kak Diva nggak boleh kehilangan tanpa ada yang berjuang untuknya,” batinnya.

Mau dilanjut dari Arini yang mulai menyusun rencana diam-diam untuk bicara dengan Diva,

atau Arman yang kembali pergi diam-diam untuk menemuinya walau belum tahu harus bicara apa?

Malam itu, setelah semua orang di rumah tertidur, Arini duduk sendirian di kamarnya. Lampu meja menyala temaram, dan di tangannya sudah tergenggam ponsel yang ia buka-tutup berkali-kali. Hatinya gelisah.

“Kak Diva harus tahu semua. Harus tahu kalau bukan dia yang salah, dan masih ada orang yang berdiri buat dia…” lirihnya pelan.

Arini lalu membuka pesan, mulai mengetik:

"Kak Diva, aku minta maaf… besok aku pengen ketemu. Bisa kita bicara? Aku yang akan ke tempat Kakak. Tolong kasih aku kesempatan."

Sempat ragu, tapi ia tetap menekan tombol kirim. Ia tahu, Diva mungkin tak langsung membalas. Tapi Arini yakin, ini saatnya.

**

Pagi harinya, ia pura-pura hendak membeli sesuatu ke luar.

Ibu Susan tak curiga sama sekali.

"Bu, Arin mau ke pasar sebentar ya. Beli bahan buat cemilan sore."

"Yaudah, sekalian beli yang banyak. Nanti Raya ke sini lagi," jawab Ibu tanpa menoleh.

Di luar, Arini langsung naik travel yang sudah ia pesan tadi malam. Tujuannya jelas rumah Kak Dira.

Hatinya berdetak cepat.

Ini bukan cuma soal klarifikasi. Tapi keberanian.

Ia ingin menyampaikan yang tak bisa disampaikan oleh Arman. Dan ia tahu, meskipun bukan siapa-siapa, dia ingin berpihak kepada yang benar.

Pagi itu, Diva duduk di teras rumah Kak Dira, menggenggam ponsel dengan pesan dari Arini yang belum ia balas.

Matanya menatap kosong ke halaman, pikirannya penuh tanya.

Arini. Adik iparnya. Yang selama ini lebih sering diam. Kenapa sekarang ingin bicara?

“Apa dia mau bela ibunya?” gumam Diva lirih.

Atau mungkin sekedar merasa bersalah?

Diva menarik napas panjang. Ia tak tahu harus bagaimana. Tapi satu hal yang ia tahu pasti, ia lelah.

Lelah menghadapi semuanya sendirian.

Dari dalam rumah, Kak Dira keluar sambil membawa dua gelas teh.

“Masih mikirin pesan tadi?” tanyanya tajam, ikut duduk di samping adiknya.

Diva hanya mengangguk.

“Kalau aku jadi kamu, nggak usah ditemuin. Udah jelas, dia di pihak ibunya. Mau ngomong apa lagi?”

Diva tersenyum samar, “Aku nggak mau menyimpulkan dulu, Kak. Kalau dia memang datang, aku dengerin. Kalau enggak... ya, aku udah siap juga.”

Kak Dira menghela napas, lalu diam.

**

Sementara itu, Arini sudah turun dari travel, menatap rumah di pinggir jalan Kak Dira. Ia menepuk dadanya yang terasa sesak.

“Bismillah... demi kebenaran, aku harus berani.”

Langkah kakinya mantap menuju rumah itu.

Apa yang terjadi selanjutnya, ia tak peduli. Yang penting, Diva tahu ia tak sendiri.

Diva mendengar suara langkah kaki dari arah pagar. Ia menoleh dan benar saja, Arini sudah berdiri di sana, ragu-ragu, membawa sebuah tas kecil di tangan, seperti tamu yang tak yakin diterima.

Diva bangkit perlahan dari duduknya, berdiri di depan teras.

Tatapan mereka saling bertemu. Hening sejenak.

"Boleh Arin masuk kak?" suara Arini pelan, nyaris ragu.

Diva tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap adik iparnya itu lama, mencoba membaca niat di balik wajah yang tampak lelah namun tulus itu.

"Ngga usah basa-basi, Rin. Kalau kamu cuma mau nyampein pesan dari ibu atau Arman, pulang aja," ujar Diva datar.

Arini menggeleng cepat. "Bukan. Ini... dari aku. Aku datang bukan karena mereka."

Diva masih diam, tapi tak lagi menghalangi. Ia mempersilakan Arini duduk di kursi kayu teras.

"Kalau begitu, bicara. Tapi aku harap bukan buat bela siapa-siapa," kata Diva akhirnya, duduk kembali di seberangnya.

Arini menunduk sejenak, lalu menatap Diva penuh harap.

"Arin cuma mau minta maaf... karena selama ini Arin hanya diam. Arin lihat semuanya, kak. Arin tahu kak Diva udah banyak ngalah. Tapi ibu... ibu memang keras kepala. Dan Bang Arman... dia pengecut."

Diva menghela napas dalam. Suara itu, kalimat itu jujur. Terlalu jujur hingga nyaris menyakitkan.

"Lalu kamu datang ke sini, buat apa?" tanya Diva lirih.

"Buat bilang kalau Arin di pihak kak Diva. Selalu. Dan... kalau kak Diva mau, Arin juga siap ngomong semuanya ke Bang Reza. Aku tahu ini salah kak."

Diva terpaku sejenak. Lalu, untuk pertama kalinya pagi itu, air matanya jatuh bukan karena sakit, tapi karena merasa tak sepenuhnya sendiri.

"Terima kasih, Rin..."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!