Bab 20 Masa Lalu Pilihan Mertua

Malam itu, rumah terasa lebih tenang dari biasanya. Diva menyiapkan makan malam sederhana namun hangat sup ayam, sambal terasi, dan tumis sayur kesukaan Arman. Semuanya tampak seperti biasa, seolah rumah tangga mereka kembali utuh.

Arman duduk di meja makan, menyantap hidangan dengan lahap. Sesekali menatap Diva yang kini tampak lebih kalem, bahkan sesekali tersenyum tipis saat berbicara.

"Enak banget masakan kamu malam ini, sayang. Udah lama nggak makan enak kayak gini," ucap Arman sambil mengangkat gelas air putih.

Diva hanya menanggapi dengan anggukan kecil. "Ya… aku cuma berusaha jadi istri yang baik."

Suasana hening sejenak, lalu setelah makan dan membereskan meja, Arman mendekati Diva yang sedang menyisir rambutnya di depan cermin kamar. Ia memeluk dari belakang, aroma sabun lembut dari tubuh Diva menenangkan.

"Udah lama kita nggak deket… Aku kangen," bisik Arman dengan suara serak penuh rindu.

Namun Diva dengan pelan menyentuh tangan Arman, lalu melepaskannya. Ia berbalik, menatap suaminya dengan senyum halus yang sulit ditebak.

"Kita baru saja memperbaiki semuanya, Man. Jangan buru-buru. Aku masih butuh waktu untuk benar-benar percaya."

Arman terdiam. Ia mengangguk pelan, mencoba memahami.

"Iya… aku ngerti," ucapnya, walau hatinya mulai terusik. Bukankah semuanya sudah baik-baik saja?

Tapi Arman tak tahu, dalam hati Diva sedang menyusun langkah berikutnya. Ini bukan tentang menolak... tapi mengatur strategi. Ia tahu, permainan baru saja dimulai.

Pagi itu, rumah masih senyap. Arman sudah berangkat kerja lebih awal dari biasanya, dan Ibu Susan masih sibuk di kamar. Diva diam-diam membuka lemari kecil di kamar, lalu menarik sebuah kotak sepatu kosong dari rak paling bawah. Di dalamnya, terselip sebuah map cokelat yang sudah ia rapikan sejak beberapa hari lalu.

Isinya adalah bukti-bukti: tangkapan layar pesan-pesan rahasia Arman dengan Raya, foto pertemuan mereka di kafe, serta salinan surat lamaran dan pengakuan dari orang yang pernah dipekerjakan Ibu Susan untuk mengurus semuanya secara diam-diam.

Diva menarik napas panjang. Dengan hati-hati, ia menambahkan satu surat lagi tulisan tangan dari dirinya sendiri. Sebuah pernyataan tegas, jika sewaktu-waktu ia harus mengambil langkah hukum.

Ia menatap isi map itu beberapa detik. "Kalau kamu pikir aku tidak tahu apa-apa, kamu salah, Man," lirih Diva pada dirinya sendiri.

Tanpa suara, Diva menyelipkan map itu ke dalam tas kecil berwarna netral. Setelah memastikan semuanya aman, ia menyembunyikan tas itu di dalam bantal sofa ruang tengah, lalu mengambil ponselnya dan menghubungi agen travel langganan.

"Pagi, Mbak. Bisa kirim paket ke alamat yang biasa? Hari ini, ya. Penting."

Tak lama setelah itu, Diva keluar rumah dengan langkah ringan dan senyum tenang. Siap bertindak, tapi tetap tak terbaca.

Malam itu suasana rumah tampak tenang seperti biasa. Diva menyiapkan makan malam dengan tenang, menyajikan makanan yang sudah ia hangatkan dan teh manis seperti tak ada apa-apa. Senyumnya lembut, tutur katanya lembut, bahkan matanya terlihat teduh. Tapi bagi Arman, justru itulah yang terasa janggal.

Duduk di meja makan, Arman sesekali mencuri pandang ke arah istrinya. Diva tidak banyak bicara, hanya menjawab seperlunya, dan itu pun dengan suara yang terlalu tenang untuk ukuran seseorang yang baru saja kembali dari pertengkaran hebat dan nyaris kehilangan rumah tangga.

Arman melihat makanannya tanpa semangat.

“Div… kamu capek, ya?” tanyanya pelan, mencoba membuka percakapan.

Diva menoleh, tersenyum kecil. “Nggak kok. Cuma lagi pengen tenang aja. Lagipula, sekarang semua udah baik-baik aja, kan?”

Jawaban itu seharusnya melegakan, tapi entah kenapa justru membuat dada Arman terasa sesak. Ada sesuatu dalam nada suara Diva yang seolah menyimpan hal tersembunyi.

"Iya... baik-baik aja," gumam Arman, meski hatinya tak sepenuhnya percaya. Ia mencoba menepis pikirannya sendiri mungkin Diva hanya butuh waktu. Mungkin ini memang cara dia memulihkan semuanya.

Tapi saat malam makin larut dan Diva tak jua masuk kamar katanya masih ingin menonton TV sebentar Arman duduk termenung di tepi ranjang.

"Kenapa rasanya malah aku yang takut sekarang?" batinnya.

Ia tak tahu, keheningan itu bukanlah ketenangan… tapi badai yang menunggu waktu.

Pagi itu, Diva bangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya naik saat ia sudah duduk di ruang tamu, memeluk ponsel sambil sesekali melirik ke arah kamar, memastikan Arman masih tertidur. Tangannya cekatan membuka aplikasi whatsapp , lalu tersenyum tipis ketika melihat notifikasi dari agen travel

"Paket nya sudah diterima oleh Dira, 06:32 WIB."

Seketika ia menarik napas panjang, seolah satu beban di pundaknya baru saja terangkat. Tak butuh waktu lama, ia langsung membuka pesan, mengetik perlahan:

---

To: Ka Dira

Ka, paketnya udah nyampe ya. Tolong simpan baik-baik. Itu semua yang nanti aku perlukan. Jangan dikasih tahu siapa-siapa dulu, termasuk Reza. Aku masih jalani semuanya sampai waktunya tepat. Makasih udah selalu ada buat aku kak.

---

Dikirim. Diva menatap layar sebentar, lalu memeluk lututnya sendiri. Pagi ini tenang, tapi ia tahu dalam hitungan hari semuanya akan meledak. Dan saat itu datang, ia sudah siap.

Pagi itu, Bu Susan tampak mondar-mandir di ruang tengah dengan wajah gelisah. Biasanya ia tenang, tapi kali ini ada sesuatu yang membuatnya tak bisa duduk diam. Arman yang baru saja keluar dari kamar dengan baju kerja langsung memperhatikannya.

"Ada apa, Bu? Kok kelihatan panik?" tanya Arman sambil merapikan lengan bajunya.

Bu Susan berhenti, lalu menatap Arman tajam. "Kita harus percepat pernikahanmu dengan Raya. Minggu ini terlalu lama, Ibu punya firasat buruk. Diva bukan perempuan bodoh, Man. Dia bisa tahu semuanya kalau kita kelamaan."

Arman terlihat ragu. "Tapi Bu, Diva sekarang udah mulai tenang. Dia percaya kalau"

"Justru itu!" potong Bu Susan cepat. "Perempuan kalau udah terlalu tenang, itu artinya dia nyusun sesuatu. Kamu pikir dia gak curiga? Kamu pikir dia gak lihat perubahanmu? Kamu terlalu gampang dibaca, Man."

Arman menunduk, meremas jemarinya sendiri. Hatinya mulai gelisah, tapi ia tak punya pilihan.

"Kalau begitu... Ibu yang atur semua?" ucap Arman lirih.

"Iya. Kamu tinggal datang dan ijab. Semua sudah Ibu siapkan, tinggal selangkah lagi. Jangan sampai Diva menghancurkan rencana ini."

Arman mengangguk pelan, meski dalam hatinya ada suara yang mulai berteriak… bahwa semuanya akan segera runtuh.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!