Bab 18 Masa Lalu Pilihan Mertua

Malam Hari – Di Depan Rumah Kak Dira

Mobil Arman berhenti perlahan. Ia menarik napas panjang sebelum keluar. Dengan jaket gelap dan wajah pura-pura penuh penyesalan, ia menekan bel.

Tak lama, pintu dibuka oleh Reza.

"Za Diva ada?" tanya Arman, suara dibuat setenang mungkin.

"Tunggu di teras. Biar aku panggilin," ujar Reza dingin. Ia masuk, tak lama Diva keluar. Ia mengenakan dress sederhana, raut wajahnya tenang, tapi ada jarak jelas dalam sorot matanya.

"Ada apa datang malam-malam?" tanya Diva singkat.

Arman menatapnya dalam.

"Aku mau jemput kamu pulang, Div. Aku mau bilang… aku udah akhiri semuanya dengan Raya. Nggak akan ada pernikahan. Cuma kamu di hidupku."

Diva diam. Matanya menatap tak percaya.

"Kenapa mendadak begini? Baru kemarin aku tahu kamu melamar dia."

Arman tersenyum kecil, menahan gelisah.

"Itu sebelum aku sadar… aku bisa kehilangan kamu. Aku nggak mau itu terjadi."

Diva menatapnya lama. Tak langsung menjawab. Dalam hatinya ada tanda tanya besar, tapi ada bagian kecil yang ingin percaya.

Di Rumah Arman Malam yang Sama

Bu Susan berjalan mondar-mandir di ruang tengah, gelisah.

“Disuruh cepet nikahin Raya malah main ke rumah Diva! Terlalu percaya diri tuh Diva, sok-sokannya ninggalin malah balik! Bikin naik darah.”

"Pokoknya besok! Besok atau lusa paling lambat, Arman harus nikah sama Raya. Biar Diva tahu, dia nggak penting-penting amat!"

Tapi Bu Susan tak peduli. Ia sudah menyiapkan semuanya. Bahkan seserahan pun tinggal dikemas. Ia sudah bayangkan punya cucu dari perempuan pilihannya.

---

Kembali ke Teras Rumah Kak Dira

"Kamu yakin ini bukan karena tekanan atau panik?" tanya Diva tenang.

"Aku yakin," jawab Arman, matanya tak berkedip. Ia tidak tahu, seberapa besar kebohongan ini bisa ia pertahankan.

Diva mengangguk pelan. "Baik. Aku akan pulang. Tapi kali ini… jangan main-main dengan kata ‘cinta’."

Arman tersenyum menang. Tapi hatinya tetap gemetar. Karena ia tahu, satu langkah saja salah… semuanya bisa berantakan.

---

Kepulangan Diva – Rumah Arman

Siang itu, Diva berdiri di depan pagar rumah Arman. Arman menjemputnya seperti janji semalam. Di dalam hati, Diva masih menyimpan ragu, tapi ia mencoba percaya, untuk terakhir kali.

Pintu terbuka. Bu Susan berdiri di sana. Wajahnya sumringah berlebihan.

"Diva, ya ampun... kamu akhirnya pulang juga. Ibu senang sekali," ucapnya, memeluk Diva yang kaku.

Diva hanya tersenyum tipis. Ia tahu pelukan itu bukan hangatnya penerimaan, tapi strategi.

"Kamu kelihatan lebih kurusan, pasti di rumah kakakmu banyak pikiran. Di sini kamu tenang aja ya, Nak."

"Iya, Bu," jawab Diva singkat. Di belakang mereka, Arman menunduk, merasa bersalah, tapi tetap diam demi rencana.

Diva telah kembali ke tempat yang tak sepenuhnya menerima, hanya demi mempertahankan sesuatu yang ia cintai. Tapi sampai kapan

---

Sementara Itu – Rumah Raya

Raya duduk di meja riasnya, memegang ponsel yang layarnya kosong. Tak ada pesan masuk. Terakhir Arman membalas pesannya… dua hari lalu. Bahkan sejak malam lamaran, tak ada kabar.

Ia mengingat, tak ada panggilan video, tidak juga ajakan makan siang, tak ada kabar soal seserahan lanjutan.

"Kenapa jadi begini..." gumamnya pelan. Ia mencoba menelpon Arman lagi. Tapi tetap dialihkan.

Ia bangkit, mengenakan jaket, dan mengambil kunci mobil.

"Kalau kamu pikir aku akan diam, kamu salah, Man. Aku nggak bodoh."

Raya tahu, ada sesuatu yang sedang disembunyikan. Dan ia akan mencari tahu, langsung ke rumah Arman.

Bagus, kita lanjut ke adegan yang cukup menegangkan: kedatangan Raya secara tiba-tiba ke rumah Arman, saat Diva masih berada di dalam rumah dan semuanya bisa hancur jika tidak ditangani cepat.

---

Di depan rumah Arman – siang hari

Mobil yang di pesan Raya berhenti di depan rumah. Ia turun dengan langkah cepat, wajahnya tak lagi ramah. Ponsel digenggam erat, dan jantungnya berdetak cepat antara marah dan takut kecurigaannya benar.

Namun dari dalam rumah, Arman melihat dari jendela kamar, wajahnya langsung pucat.

“Ya Allah... Raya?!”

Ia segera berlari ke luar sebelum Raya sempat menekan bel.

“Raya! Kamu ngapain ke sini?” suara Arman tertahan panik.

“Ngapain? Aku ini tunangan kamu, Man. Aku berhak tahu kenapa kamu menghindar akhir-akhir ini!”

Raya mencoba menepis tangan Arman yang menghalanginya, tapi Arman buru-buru menahan bahunya.

“Raya, tolong… jangan sekarang. Kita nggak bisa bicara di sini,” bisiknya tegas.

“Kenapa? Ada Diva? Dia udah balik, kan? Kamu bohong selama ini, ya?”

Arman menarik napas dalam, menatap Raya dengan wajah penuh tekanan.

“Iya, Diva udah balik. Tapi ini semua belum selesai, Ray. Aku butuh waktu aku cuma lagi coba menyelesaikan semuanya dengan baik.”

“Kamu bohong. Kamu janji akan nikah sama aku. Keluarga kita udah tahu, Man,” kata Raya dengan mata memerah.

“Aku tahu... tapi semuanya jadi rumit. Aku gak bisa nyakitin Diva dengan cara seperti ini. Kita harus tenang, Ray. Ini cuma sementara. Aku janji semua tetap berjalan.”

“Kamu masih sayang dia, ya?” tanya Raya lirih.

Arman tak menjawab. Diamnya adalah jawaban.

Raya mundur selangkah, menatap Arman dalam-dalam.

“Jangan salahkan aku kalau aku mulai buka suara, Man. Aku bukan bayangan.”

Ia masuk kembali ke mobil yang dari tadi menunggunya dan pergi tanpa menoleh lagi.

---

Diva mulai merasakan ada sesuatu yang ganjil dari sikap Arman akhir-akhir ini.

“Jika ini hanya permainan, aku tak akan tinggal diam,” batinnya, sembari memandangi jam dinding yang terus berdetak.

Sore itu, sambil menunggu Arman pulang dari kantor, Diva memutuskan untuk memasak. Untungnya, stok bahan makanan di dapur masih cukup. Tangannya sibuk di dapur, namun pikirannya terus bertanya-tanya.

Dari kejauhan, Bu Susan memperhatikan gerak-gerik menantunya.

“Tak sia-sia Arman membawanya kembali… meski hatiku belum bisa sepenuhnya menerima,” lirihnya pelan, hampir seperti bicara pada diri sendiri.

Diva mulai bergerak diam-diam. Ada yang tak bisa ia abaikan dari perubahan sikap Arman belakangan ini. Hari ini memang tak ada yang mencurigakan, namun hatinya tetap gelisah.

“Untuk sekarang aman,” gumamnya setelah memastikan tak ada gerak-gerik aneh dari suaminya. Tapi firasatnya berkata lain, dan ia tak ingin kecolongan.

Tanpa banyak bicara, Diva meminta seseorang yang ia percaya untuk mengawasi gerak-gerik Arman dan Raya secara diam-diam. Ia tahu ini mungkin terdengar keterlaluan, tapi lebih baik berjaga daripada kembali terluka.

“Jika memang masih ada rahasia yang disembunyikan… aku akan tahu,” lirihnya sambil menatap senja dari jendela kamar.

Arman merasa ada sesuatu yang tak biasa. Beberapa hari terakhir, langkahnya seperti dibayangi. Entah mengapa, setiap kali keluar kantor atau sekadar singgah ke tempat makan, ia merasa ada mata yang mengikuti.

Ia sempat menoleh cepat beberapa kali, namun tak menemukan apapun. “Aneh… kayak diawasi,” batinnya.

Pikiran Diva sempat melintas. “Apa mungkin Diva? Tapi… nggak mungkin. Dia nggak akan sanggup menyewa orang buat begitu. Lagipula, dia kan nggak bekerja.”

Arman menggelengkan kepala pelan, mencoba menepis kecurigaan yang terasa semakin mengganggu. “Mungkin cuma perasaan aja,” gumamnya, tapi langkahnya semakin hati-hati sejak saat itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!