"Papa... ada apa? Tadi Ara dengar Papa berteriak" Maura masuk ruangan diikuti Sally menatap wajah suaminya yang sedang tidak baik-baik saja.
"Papa tadi kaget karena ada kecoa sayang..." Widodo pura-pura melihat kolong meja dan sekitarnya.
"Mama... Ara takut kecoa... " Ara berlari merangkul Sally.
"Sekarang Ara istirahat di kamar saja sayang..." Sally mengatakan jika di kamar aman dari kecoa.
"Iya Ma" Ara berlari ke kamar.
Sementara Sally duduk di hadapan Widodo, Ara bisa saja percaya dengan penuturan papanya tetapi tidak untuk Sally.
"Sejak kemarin aku perhatikan Mas Wid uring-uringan terus, ada apa sebenarnya Mas?" Sally akhirnya bertanya juga, karena sejak kemarin menyimpan keanehan-keanehan yang ditunjukkan Widodo.
"Tidak ada apa-apa" Widodo mengatakan jika akhir-akhir ini memang badanya terasa lelah.
"Kalau gitu hari sabtu kita harus meluangkan waktu untuk kita jalan-jalan Mas" Sally percaya karena Widodo jarang sekali istirahat, maka dengan jalan-jalan mungkin saja bisa mengembalikan mood sang suami.
"Terserah kamu saja Sally" Widodo lebih baik menurut daripada istrinya terus curiga. Setelah berunding dengan matang hari sabtu mereka akan pergi ke Bali.
"Sri kita ajak saja Sally" Widodo beralasan, jika di sana nanti akan membutuhkan tenaga Sri, walaupun sebenarnya bukan itu tujuan Widodo. Ia tentu ingin anak dan istri pertamanya itu merasakan jalan-jalan juga.
"Tentu saja Mas" Sally memang ingin mengajak asistennya ikut.
"Ara nggak mau kalau mereka ikut" Ara tiba-tiba protes.
"Kamu tidak boleh begitu Ara" Widodo dibuat kesal dengan Ara.
"Ara, jika bibi ikut akan memudahkan kita di sana nanti" Sally mendekati putrinya yang sedang ngambek.
"Ya sudah, kalau gitu bibi saja yang ikut" Ara tidak mau dekat dengan Laras.
"Mana mungkin begitu Ara, terus Laras sama siapa di rumah? Ngawur kamu" Widodo nampak kecewa. Setelah perdebatan panjang Ara yang menang, akhirnya mereka tidak jadi mengajak Sri.
"Selama saya tidak ada, kamu tetap masak untuk kalian berdua Sri" pesan Sally sebelum berangkat.
"Terima kasih Nyonya" Sri masih bersikap sopan kepada Sally walaupun wanita itu telah merampas kebahagiaan keluarga kecilnya.
Sri mendorong koper milik Sally ke samping mobil, kemudian kembali lagi karena masih ada dua koper yang belum dia bawa. Namun langkahnya berhenti karena Widodo tiba-tiba berdiri di depanya.
"Maaf Sri, kali ini aku tidak bisa mengajak kamu bersama Laras ikut jalan-jalan. Tetapi percayalah jika kalian mau, lain kali kita akan jalan-jalan sendiri kemanapun yang kamu mau tinggal tentukan tempat" Widodo rupanya masih berharap Sri denganya akan bersatu.
"Tidak usah banyak janji, karena jika tidak bisa menepati, Anda akan mendapatkan laknat Allah, Malaikat, dan juga manusia" Sri melengos sambil menarik dua koper. Bagi Sri, sudah tidak percaya lagi dengan kata-kata Widodo.
"Sri, tunggu sebentar" Widodo mengeluarkan kartu atm dari saku memberikan kepada Sri.
"Saya tidak butuh uang dari istri pertamamu yang kaya itu, saya hanya ingin surat cerai" Sri tidak ada lagi ampun.
"Saya tidak akan menceraikan kamu sampai kapanpun Sri" lirih Widodo. Dadanya sesak mendengar kata cerai.
"Sri... Kamu benar-benar sudah berubah" batin Widodo membuntuti Sri. Widodo rupanya belum begitu sadar bahwa perbuatannya lah yang telah merubah Sri.
Tiba di teras, Widodo menatap Laras yang hanya memandangi Ara yang kegirangan karena ingin jalan-jalan. Widodo ingin rasanya membawa Laras serta, tetapi tidak mungkin.
"Laras... Om berangkat" ujarnya sembari mengeluarkan uang merah memberikan kepada Laras.
"Uang apa ini Om?" Laras tidak mau menerima uang tersebut hanya memandangi Widodo.
"Buat kamu jajan"
"Terima kasih Om, sebaiknya uangnya untuk Ara saja" tolak Laras. Karena ia tahu jika menerima uang tersebut, bundanya akan marah.
"Papa... ayo..." seru Ara dari dalam mobil.
Dengan rasa kecewa karena uang pemberiannya ditolak Laras, ia segera berangkat. Mobil yang dikendarai Waluyo pun menuju bandara.
Sri kemudian menutup pagar, begitu kembali melihat putrinya tengah duduk di teras rumah sembari menopang dagu.
"Anak bunda kenapa?" Sri duduk di sebelahnya.
"Kalau punya Ayah itu enak ya Bun. Bisa jalan-jalan seperti Non Ara" ucap Laras menatap Sri sendu. "Seandainya Ayah tidak pergi apa mungkin Ayah juga sayang sama Laras Bun" Lanjutnya dengan mata basah.
"Sayang, dengar Bunda" Sri merangkul pundak putrinya hangat.
"Kita ini wanita-wanita yang kuat, tidak boleh sedih hanya karena Ayah kamu tidak ingat pulang. Toh, selama ini kita bisa kok hidup tanpa Ayah. Jika kita ingin jalan-jalan, bisa kok kita jalan-jalan berdua tanpa harus menunggu Ayah kamu. Jadi... kalau bunda sudah punya uang nanti, kita akan minta izin Nyonya untuk jalan-jalan" Sri sebenarnya sedih karena belum mau cerita jika Widodo adalah ayahnya.
"Bunda benar, maaf Bun, karena Laras sudah tidak menghargai kerja keras Bunda" Laras menyesal seharusnya tidak boleh banyak menuntut, baginya bunda bukan hanya sekedar ibu tapi sekaligus ayah.
"Anak pintar" Sri merangkul putrinya
Hari demi hari Sri tetap bertahan di rumah itu walaupun pertengkaran dengan Widodo sering terjadi, hingga 2 bulan Sri bekerja di rumah itu.
"Sayang... Bunda kan sudah punya tabungan, bagaimana kalau besok kita izin Nyonya jalan-jalan" Sri ingin membuktikan ucapanya 2 bulan yang lalu.
"Tidak usah Bunda, sekarang Laras nggak kepengen jalan-jalan kok" jawabnya ketika mereka sudah berada di tempat tidur.
"Kamu yakin?" Sri mengerutkan kening.
"Beneran" Laras merangkul perut Sri. "Laras itu tidak usah jalan-jalan asal bisa selalu bersama Bunda seperti ini sudah senang Bun" Laras menyusupkan kepala ke bawah ketiak Sri.
"Duuh... Anak manja" Sri mengusap rambut putrinya hingga keduanya ketiduran. Sri pun sampai lupa mengunci pintu kamar.
Malam semakin larut, anak dan ibu itu tidur sedang pulasnya, bahkan mereka tidur dalam posisi berbeda. Laras tidur menghadap tembok, sementara Sri terlentang sambil melihat tangan di dada. Mereka tidak tahu jika seseorang masuk kamar itu dan memandangi wajah Sri.
"Sri, kamu kenapa semakin cantik saja?" Tanya pria itu dalam hati. Selama dua bulan tinggal 1 rumah bersama istri pertama, tapi pria itu hanya bisa menahan rindu. Tidak bisa menyentuh sama sekali.
Namun, entah mengapa malam ini rindu Widodo tidak bisa dia bendung lagi, hingga nekat masuk ke kamar dan memberikan ciuman hangat di dahi Sri.
Karena dahinya terasa gatal, Sri menggaruk-garuk lalu membuka mata. Betigu melihat wajah Widodo terlalu dekat dengan wajahnya, Sri bangun cepat mendorong tubuh Widodo hingga terjengkang.
"Mas Wid... Mas di mana?" Tanya Sally di luar sana.
...~Bersambung~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Eka ELissa
ntar Laras ksih ayh yg baru ya...sama emak author yg syng ma ibu dan Laras....TPI nanti ya ...sbar dulu....kita ksih pljrn dulu ma dodol... garok itu...ya...🤣🤣🤣
2025-04-13
2
Eka ELissa
kan saly GK tau lok wktu itu dodol py bini sari.....wong dodol GK bilng dia py bini ko....
2025-04-13
2
Eka ELissa
coba kmu jujur dodol....Sely mau Nerima kmu GK....psti di tendang ke neraka kmu....
2025-04-13
2