Langkah kaki Harry terasa berat saat memasuki rumah. Setiap detiknya dipenuhi rasa sesak yang tak kunjung reda. Ia masih tak bisa melupakan isi pesan dari kontak bernama "Daddy" yang muncul di ponsel Raline. Hatinya bergolak. Perasaan cinta, amarah, dan kecewa bercampur menjadi satu, membuatnya nyaris kehilangan arah.
Dengan lesu, ia menjatuhkan tubuh ke atas sofa di ruang tamu. Kepalanya menengadah ke atas, sementara tangannya mengusap wajahnya kasar. Napasnya ditarik dalam, mencoba mengurai benang kusut di dalam pikirannya.
Tak lama, terdengar langkah ringan dari arah dapur. Ziva—sang ibu, muncul dengan secangkir teh hangat di tangan. Wajah wanita paruh baya itu menunjukkan kekhawatiran yang tak tersembunyi.
"Kamu kenapa, Nak? Kamu ada masalah, ya?" tanyanya lembut, meletakkan cangkir teh di atas meja kaca.
Harry menoleh pelan, lalu menatap ibunya beberapa detik sebelum kembali mengalihkan pandangan. Ia enggan menjawab, ia tak ingin menumpahkan segalanya sekarang. Terlalu rumit. Terlalu menyakitkan.
Alih-alih menjawab, ia malah bertanya balik, "Papa di rumah?"
Pertanyaan itu membuat Ziva terdiam sejenak. Senyumnya perlahan memudar, digantikan ekspresi muram yang tak bisa ia sembunyikan.
"Papamu... sudah dua hari ini nggak pulang," ucapnya pelan.
Harry menoleh cepat. "Kenapa? Ke mana dia pergi?"
Ziva menggeleng pelan. "Mama juga nggak tahu. Waktu terakhir kami bicara, dia terlihat gelisah. Seperti menyembunyikan sesuatu. Tapi saat mama tanya, dia hanya bilang ‘urusan kerjaan’ dan langsung pergi."
Perasaan Harry makin kacau. Ia mencoba menghubungkan segalanya. Ketidakhadiran papanya, pesan dari 'daddy', dan rahasia Raline. Apakah semua ini berkaitan? Ataukah hanya kebetulan?
Namun lamunannya buyar ketika ponselnya berdering. Di layar, muncul nama Sandrina.
Sekretarisnya.
Harry menghela napas dan langsung menjawab panggilan itu. "Ya, San?"
"Maaf mengganggu, Pak!" suara Sandrina terdengar hati-hati. "Saya hanya ingin menanyakan, apa Bapak hari ini tidak ke kantor?"
Harry terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku belum tahu, San. Mungkin aku akan ambil cuti hari ini."
Sandrina tampak ragu, lalu berkata pelan, "Kalau boleh tahu, apa Bapak baik-baik saja? Suara Bapak barusan... terdengar seperti orang yang sedang ada masalah."
Harry menutup matanya sesaat. Suara lembut Sandrina, meski formal, entah kenapa terasa menenangkan. Tapi Harry tidak ingin melibatkan siapa pun dalam pusaran masalah ini, terlebih sekretarisnya sendiri.
"Aku baik-baik saja. Terima kasih, Sandrina!" ujarnya singkat, lalu memutuskan sambungan tanpa memberi kesempatan untuk Sandrina bicara lebih lanjut.
Setelah panggilan terputus, Harry kembali bersandar. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran tentang papanya masih menghantuinya. Ketika ia membuka mata lagi, satu hal tiba-tiba terlintas di benaknya: Apa mungkin... papanya adalah 'Daddy' yang mengirim pesan ke Raline?
Harry mematung.
Tidak. Itu tidak mungkin, kan?
Tapi mengapa... hatinya tiba-tiba terasa jauh lebih sakit dari sebelumnya?
÷÷÷
Setelah selesai mandi, Raline melangkah keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit tubuhnya. Uap panas masih mengepul dari kulitnya yang basah, dan rambut panjangnya meneteskan air hingga mengenai lantai kayu apartemen. Meski tubuhnya sudah segar, langkahnya tetap terasa berat. Otot-ototnya terasa lemas, nyeri yang menusuk-nusuk di beberapa bagian membuatnya mengerang pelan. Permainan Harry semalam memang terlalu liar, pikirnya.
Ia melirik ke arah jam dinding. Sudah pukul 09.27. Perutnya keroncongan, belum sempat sarapan sejak pagi. Tapi yang lebih mengganggunya adalah ekspresi Harry tadi sebelum pergi. Ada sesuatu yang berbeda di matanya. Jauh... kosong... seperti sedang memendam sesuatu.
Raline menghela napas panjang. "Apa dia tahu sesuatu…?" gumamnya lirih, tapi buru-buru menggeleng. Tidak mungkin. Ia sangat hati-hati selama ini.
Ia berjalan pelan ke dapur, bermaksud membuat sarapan sederhana. Namun, langkahnya terhenti ketika bel pintu berbunyi. Degup jantungnya langsung naik. Ia pikir Harry kembali.
Dengan semangat yang ia kumpulkan dari sisa tenaganya, Raline melangkah ke arah pintu sambil menyeru, "Harry? Kamu balik lagi, ya?"
Namun, saat pintu terbuka…
Wajah pria paruh baya dengan tatapan tajam menyambutnya. Calvin.
Raline membeku sejenak. Tatapannya beralih dari wajah Calvin ke balik bahunya, berharap sosok yang ia sebut barusan tidak ikut muncul. Tapi tidak. Calvin sendirian, dan ekspresinya dingin.
"Harry?" ulang Calvin, cemberut. "Kamu memanggilku dengan nama anakku sendiri?"
Raline terkejut. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara keluar. Dalam panik, ia langsung menyambut Calvin dengan senyum manis dan menggandeng lengan pria itu dengan manja.
"Maaf, Daddy... aku mengira yang datang itu Harry," ucapnya manja, mencoba meredakan suasana. "Kamu masuk dulu, ya?"
Calvin menatapnya dalam. Wajahnya tetap kaku, tapi ia membiarkan Raline menggandengnya masuk. Saat gadis itu berbalik, Calvin memperhatikan dengan jeli—cara jalannya yang pincang, bekas merah samar di belakang lehernya, bahkan aroma tubuhnya yang... tidak asing.
Ia mencibir pelan.
"Sepertinya kamu... sangat sibuk semalam," gumamnya sambil menutup pintu.
Raline menoleh dan memasang ekspresi polos. "Maksud Daddy?"
Calvin mendekat, menelusuri bekas merah di leher Raline dengan jarinya. "Kamu tahu aku tidak bodoh, Raline. Bekas seperti ini... tidak muncul dari pelukan biasa."
Raline menahan napas. Tangannya gemetar, tapi ia tetap memainkan perannya.
"Daddy cemburu, ya?" ujarnya genit, lalu mengalungkan tangannya ke leher Calvin. "Aku memang sayang sama Harry, tapi kamu juga tahu... tempatmu di hatiku itu beda."
Namun Calvin tidak luluh. Ia menatap tajam, lalu mencengkeram pinggang Raline dengan kuat, membuat gadis itu meringis.
"Kamu pikir aku tidak tahu? Kamu pikir aku tidak melihat bahwa kamu mulai jatuh cinta betulan pada Harry?" ujar Calvin.
Raline membeku. Bibirnya terbuka, namun tak sanggup mengeluarkan bantahan.
Calvin mendekat, berbisik pelan tapi tajam, "Kalau kamu mulai bermain perasaan dengan putraku, maka aku tidak akan segan untuk... membongkar semuanya."
Suasana di apartemen itu mendadak membeku.
Raline tahu, ancaman Calvin bukan omong kosong. Namun, untuk pertama kalinya... ia merasa terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri.
Dan kini, semua bisa hancur dalam sekejap.
÷÷÷
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments