Raline hampir merasa jantungnya berhenti berdetak saat melihat Harry semakin mendekat. Namun, keterkejutannya semakin menjadi saat melihat reaksi Calvin. Mata pria 47 tahun itu melebar, wajahnya menunjukkan keterkejutan yang begitu kentara.
"Harry?" gumam Calvin, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Sementara itu, Harry juga terlihat sama kagetnya. Ia menghentikan langkahnya, matanya bergantian menatap Raline dan Calvin. "Papa?" tanyanya heran. "Kenapa Papa bisa ada di sini?"
Calvin berusaha mengendalikan ekspresinya, meskipun kepanikannya hampir tak bisa ditutupi. Namun, yang membuatnya semakin terkejut adalah Raline yang tampak membeku di tempatnya, seolah baru saja disambar petir.
Harry melirik tunangannya dengan tatapan penuh kebingungan. "Raline, kamu kenal sama Papa aku?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih menuntut.
Raline tak tahu harus berkata apa. Otaknya berpacu mencari jawaban yang masuk akal, tetapi lidahnya terasa kelu. Bagaimana mungkin ia baru tahu sekarang bahwa pria yang selama ini ia panggil Daddy—pria yang sudah begitu akrab dengan tubuhnya—adalah ayah kandung tunangannya sendiri?
Sementara itu, Calvin sudah lebih dulu menyusun strategi. Ia tidak bisa membiarkan Harry tahu hubungan gelapnya dengan Raline. Dengan cepat, ia memasang wajah tenang dan tersenyum tipis.
"Tentu saja Papa mengenalnya," ujar Calvin, berusaha terdengar santai. "Raline adalah salah satu mahasiswi Papa di kampus."
Harry mengernyit, masih berusaha memahami situasi. "Mahasiswi Papa?"
Calvin mengangguk. "Ya. Kami sering berdiskusi tentang tugas-tugasnya. Kebetulan, tadi Papa ada urusan di sekitar sini dan mampir untuk membahas sesuatu dengannya. Bukankah begitu, Raline?"
Calvin melirik ke arah Raline dengan tatapan penuh peringatan.
Raline masih dalam keadaan syok, tetapi otaknya akhirnya memproses apa yang sedang terjadi. Calvin sedang mencoba menyelamatkan keadaan. Jika ia sampai jujur, maka hidupnya akan berakhir.
Dengan susah payah, Raline menelan ludah dan mengangguk kaku. "I-Iya, benar," ucapnya, suaranya sedikit gemetar.
Harry menghela napas lega. "Oh… Aku kira ada sesuatu yang lain." Ia tertawa kecil. "Sebenarnya aku baru ingin mengenalkan kalian. Aku tak menyangka kalian sudah saling mengenal lebih dulu."
Calvin tertawa kecil, meskipun dalam hatinya ia masih merasa gelisah. "Ya, dunia ini memang sempit."
Harry mengangguk. "Baiklah kalau begitu. Kalau sudah selesai dengan urusan tugas, aku akan membawa Raline kembali ke dalam. Kami ada rencana makan malam bersama."
Calvin tersenyum tipis. "Tentu, tentu. Papa juga harus pergi sekarang."
Raline menatap Calvin penuh kecemasan, tetapi pria itu hanya mengangguk kecil ke arahnya sebelum akhirnya melangkah pergi.
Begitu Calvin menghilang di balik koridor, Raline merasakan kakinya hampir tak mampu menopang tubuhnya. Namun, sebelum ia sempat menunjukkan kegugupannya lebih jauh, Harry menggandeng tangannya dan membawanya masuk kembali ke dalam apartemen.
Raline tahu, ini baru permulaan dari kekacauan besar yang akan terjadi.
÷÷÷
Raline berusaha mempertahankan senyumnya, meskipun hatinya masih berdebar kencang. Tatapan Harry yang penuh kecurigaan benar-benar membuatnya tertekan.
"Aku nggak ngerti kenapa kamu harus begitu curiga, Sayang," ucap Raline, mencoba terdengar meyakinkan. "Papamu hanya dosenku, itu saja. Lagipula, kenapa aku harus menyembunyikan sesuatu darimu?"
Harry masih belum menjawab. Mata tajamnya menatap lurus ke dalam mata Raline, seolah mencoba mencari kebohongan yang mungkin terselip dalam kata-katanya.
Raline menelan ludah, mencoba tetap tenang. "Aku tahu ini mungkin mengejutkan, karena aku nggak pernah cerita sebelumnya. Tapi, sungguh, aku nggak ada alasan untuk menyembunyikan apapun. Aku cuma nggak kepikiran untuk memberitahumu, karena menurutku ini bukan hal yang penting."
Harry terdiam sejenak, lalu akhirnya menghela napas panjang. "Aku cuma merasa aneh saja," gumamnya. "Kenapa Papa tiba-tiba datang ke apartemenmu tanpa memberitahuku? Dan kenapa kamu terlihat begitu tegang saat melihatnya tadi?"
Raline tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana. Ia melangkah lebih dekat, meraih tangan Harry dan menggenggamnya erat. "Sayang, kamu ini lucu sekali," ujarnya manja. "Tadi aku kaget karena aku nggak menyangka bakal ketemu dengan ayah dari tunanganku di apartemenku sendiri. Itu saja."
Harry mengamati wajah Raline untuk beberapa detik lagi, lalu akhirnya tersenyum kecil. Ia mengangguk, merasa dirinya mungkin memang terlalu berpikir berlebihan.
"Aku terlalu curigaan, ya?" tanyanya, sedikit malu.
Raline menggeleng dan tersenyum manis. "Aku tahu kamu hanya khawatir, dan itu berarti kamu sangat mencintaiku."
Mendengar itu, Harry akhirnya tertawa kecil dan menarik tubuh Raline ke dalam pelukannya. "Tentu saja aku mencintaimu."
Raline merasakan ketegangan dalam dirinya sedikit berkurang. Tapi ia tahu, ini belum selesai. Ia harus benar-benar memastikan Harry tidak lagi mencurigainya.
Untuk mengalihkan perhatian tunangannya, Raline mengusap dada bidang Harry dengan jemarinya yang lentik. "Ngomong-ngomong… sepertinya kita tadi sempat menunda sesuatu, ya?" bisiknya dengan suara menggoda.
Harry menatapnya, lalu tersenyum nakal. "Kamu benar. Aku bahkan hampir lupa karena semua kejadian barusan."
Raline terkekeh dan menarik Harry lebih dekat. "Bagaimana kalau kita melanjutkannya sekarang?" bisiknya, lalu mengecup pelan bibir tunangannya.
Harry yang sudah sejak tadi menahan gairahnya pun langsung membalas ciuman itu dengan lebih dalam dan menggebu. Tangannya bergerak turun ke pinggang Raline, menariknya semakin erat.
Dalam pikirannya, Raline tahu ia harus terus memainkan perannya dengan sempurna. Karena sekali saja Harry menyadari kebenaran, semuanya akan hancur.
÷÷÷
Cahaya matahari pagi masuk melalui celah-celah tirai jendela, menyinari kamar apartemen yang masih terasa hangat setelah malam penuh gairah yang mereka lewati. Raline sudah bangun sejak beberapa menit lalu, berdiri di depan cermin sambil merapikan penampilannya. Rambutnya telah ia sisir rapi, kemeja putih yang ia kenakan terselip sempurna di dalam rok pensil hitam yang membentuk tubuhnya dengan elegan.
Ia menoleh ke belakang, menatap sosok pria yang masih terlelap di atas ranjang. Harry terlihat begitu tenang dalam tidurnya, napasnya teratur, wajahnya tampak lebih lembut dibanding saat ia terjaga dengan tatapan tajamnya yang penuh kewibawaan. Raline tersenyum kecil. Sungguh, siapa yang akan menyangka bahwa pria yang begitu mendominasi semalam, kini tertidur tanpa beban seperti ini?
Dengan langkah pelan, Raline mendekati ranjang dan duduk di tepinya. Tangannya terulur, menyentuh pipi Harry dengan lembut.
"Sayang…" bisiknya, mencoba membangunkan pria itu.
Harry hanya bergumam kecil, tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera bangun. Raline terkikik pelan. Ia kemudian menunduk, mengecup pipi Harry dengan lembut.
"Ayo bangun! Aku harus pergi ke kampus," ujarnya lagi.
Kali ini, kelopak mata Harry mulai bergerak. Ia mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya membuka matanya sepenuhnya. Tatapan mata coklat gelapnya langsung mengarah pada sosok tunangannya yang masih duduk di tepi ranjang.
Melihat Raline sudah berpakaian rapi, Harry mengerutkan kening. "Kamu udah siap berangkat?" suaranya masih serak karena baru bangun.
Raline tersenyum dan mengangguk. "Ya, aku ada kelas pagi ini."
Harry menghela napas panjang sebelum tiba-tiba tangannya melingkar di pinggang Raline dan menariknya hingga tubuh wanita itu jatuh ke atas ranjang.
"Hei!" Raline terkekeh, mencoba memberontak. "Aku udah siap, jangan mulai lagi."
Namun, Harry hanya tersenyum malas sambil menatapnya dalam. "Kamu wangi sekali," gumamnya sebelum mulai menciumi leher Raline.
Raline tertawa kecil dan mencoba menghindar. "Tentu saja aku wangi, aku sudah mandi! Aku nggak bisa terlambat ke kampus, Harry."
Namun, Harry tidak melepaskannya begitu saja. "Jangan pergi dulu…" katanya dengan suara dalam, sambil menarik tubuh Raline lebih dekat ke dadanya yang masih telanjang. "Lagi pula, kamu nggak bisa ninggalin tunanganmu begitu saja setelah malam luar biasa yang kita lewati."
Raline tertawa sambil mencoba mendorong dada Harry. "Aku harus pergi! Kamu masih bisa tidur lagi kalau mau."
Harry menghela napas pelan dan akhirnya melepaskan cengkeramannya. "Baiklah, tapi nanti malam kamu harus menebus ini."
Raline menggulung matanya sambil tersenyum. "Kita lihat nanti."
Ia pun bangkit dan merapikan pakaiannya lagi sebelum akhirnya mencium pipi Harry cepat-cepat. "Aku pergi dulu, jangan lupa sarapan!" pesannya sebelum mengambil tasnya dan berjalan keluar dari apartemen.
Harry hanya tersenyum kecil sambil mengacak rambutnya yang berantakan. "Dasar wanita menyebalkan!" gumamnya dengan nada penuh kasih sayang sebelum kembali merebahkan tubuhnya di ranjang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments