Bab 10. Permainan berbahaya

Saat Harry melangkah memasuki lobi kantor, matanya langsung menangkap sosok Sandrina yang berdiri di dekat meja resepsionis. Wanita itu tersenyum lembut sambil sedikit membungkuk memberi hormat, seperti kebiasaannya setiap kali menyambut atasan.

"Selamat pagi, Pak Harry!" sapanya dengan suara lembut.

Harry membalas senyuman itu. Namun, kali ini ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Rambut Sandrina yang biasanya hanya dikuncir sederhana, kini dihiasi dengan sebuah pita kecil berwarna pastel yang terikat rapi di kepalanya. Sentuhan kecil itu memberi kesan manis dan imut pada wanita itu, membuat Harry tak bisa menahan diri untuk berkomentar.

"Kamu kelihatan lebih cantik hari ini," katanya sambil memperhatikan pita itu dengan saksama.

Sandrina langsung tersipu. "Terima kasih, Pak," balasnya dengan malu-malu.

Harry tersenyum, lalu—tanpa berpikir panjang—mengangkat tangannya dan menyentuh pita yang menghiasi rambut Sandrina. Ia memainkan ujung pita itu dengan ujung jarinya, lalu berbisik, "Pita ini cocok sekali denganmu."

Seketika, wajah Sandrina merona. Pujian dari atasannya itu membuat jantungnya berdebar lebih kencang. Apalagi, ia masih mengingat jelas momen beberapa hari lalu saat Harry mengantarnya pulang. Kedekatan mereka semakin terasa, dan entah kenapa, Sandrina mulai menyukai perhatian yang diberikan pria itu kepadanya.

Namun, kehangatan kecil antara mereka langsung terusik ketika suara langkah sepatu hak tinggi terdengar mendekat dengan cepat.

"Ada apa ini?"

Harry dan Sandrina menoleh hampir bersamaan. Malinda, salah satu rekan kerja mereka, berdiri tidak jauh dari sana dengan ekspresi yang jelas-jelas tidak suka. Tatapannya tajam, terutama ke arah Sandrina yang masih berdiri canggung di hadapan Harry.

"Oh, Malinda," ujar Harry dengan nada santai, seolah tidak menyadari perubahan ekspresi wanita itu.

Malinda menyilangkan tangan di depan dada dan menatap Sandrina dengan sinis. "Kamu lagi sibuk menggoda bos kita, ya?" tanyanya dengan nada menyindir.

Sandrina terkejut. "Bukan begitu, Bu Malinda. Saya hanya menyambut Pak Harry seperti biasa," jawabnya cepat.

Harry mengerutkan kening, merasa tidak suka dengan cara Malinda berbicara. "Aku yang memuji Sandrina karena dia terlihat lebih cantik hari ini. Apa ada yang salah dengan itu?" tanyanya, kini nadanya terdengar lebih dingin.

Malinda menatap Harry sejenak, lalu tersenyum kecil meskipun matanya tetap menunjukkan ketidaksenangan. "Tentu saja tidak ada yang salah, Pak. Hanya saja, sebaiknya Anda lebih berhati-hati dalam bersikap dengan bawahan. Takutnya nanti ada yang salah paham."

Harry mendengus, lalu melirik Sandrina yang masih berdiri dengan kepala tertunduk. Ia tahu kalau Sandrina pasti merasa tidak nyaman dengan situasi ini.

"Aku tidak peduli apa yang orang lain pikirkan," balas Harry, suaranya terdengar tegas. "Aku tahu batasannya."

Malinda tampak ingin membalas, tetapi ia hanya tersenyum tipis dan mengangguk. "Tentu, Pak. Saya hanya mengingatkan."

Setelah mengatakan itu, ia melangkah pergi dengan anggun, meninggalkan Harry dan Sandrina dalam suasana canggung.

Sandrina akhirnya mendongak dan menatap Harry dengan ragu. "Pak, saya—"

Harry langsung memotongnya dengan senyuman hangat. "Jangan pedulikan dia!"

Sandrina mengangguk pelan, meski dalam hati ia merasa ada sesuatu yang aneh dengan Malinda.

÷÷÷

Sandrina berjalan di belakang Harry dengan langkah sedikit ragu. Setelah insiden kecil dengan Malinda tadi, ia tidak ingin menimbulkan gosip lain di kantor. Namun, begitu mereka sampai di depan lift, Harry malah menekan tombol lift khusus yang hanya digunakan oleh para petinggi perusahaan.

"Pak, saya bisa pakai lift pegawai saja seperti biasa," ujar Sandrina, mencoba menghindar.

Harry meliriknya sekilas, lalu tersenyum kecil. "Kenapa harus repot-repot? Aku yang mengajakmu, jadi kamu naik lift ini saja sama aku."

"Tapi—"

"Tidak ada tapi. Ayo masuk!"

Tanpa bisa berbuat apa-apa, Sandrina akhirnya melangkah masuk mengikuti Harry. Pintu lift tertutup, dan hanya ada mereka berdua di dalam ruangan sempit itu. Sandrina menggigit bibirnya, merasa sedikit canggung. Ia bisa merasakan keheningan yang menggantung di udara, sementara Harry terlihat santai, bersandar di sisi lift dengan kedua tangan di saku celana.

Namun, tiba-tiba lift itu bergetar sedikit, lalu berhenti dengan suara ‘klik’ yang cukup nyaring. Lampu sempat berkedip beberapa kali sebelum akhirnya kembali normal.

Sandrina menoleh panik. "Pak, apa yang terjadi?"

Harry mengernyit, lalu menekan tombol lantai yang dituju. Tidak ada reaksi.

"Sepertinya liftnya macet," gumamnya, lalu segera menekan tombol emergency.

Sandrina semakin tegang. "Bagaimana ini, Pak? Apa kita akan terjebak lama?"

Harry menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil. "Tenang saja. Bantuan pasti segera datang."

Namun, Sandrina masih tampak cemas. Ia menggenggam ujung blazernya dengan erat, merasa tidak nyaman berada di dalam lift sempit ini dalam kondisi seperti ini.

Melihat itu, Harry mendekat dan tiba-tiba menarik Sandrina ke dalam pelukannya.

Sandrina terkejut. "P-Pak?"

"Santai saja," ujar Harry dengan suara rendah, sementara tangannya mengusap punggung gadis itu dengan lembut. "Kamu tidak perlu takut."

Sandrina sebenarnya tidak terlalu panik, tapi ia juga tidak menolak pelukan itu. Tubuhnya tetap diam dalam dekapan Harry, merasakan kehangatan dari pria itu yang entah kenapa terasa nyaman.

Detik-detik berlalu dengan perlahan. Sandrina bisa mendengar suara detak jantung Harry yang stabil, membuatnya merasa tenang tanpa sadar.

"Kamu wangi sekali," gumam Harry tiba-tiba.

Sandrina mengangkat wajahnya sedikit, menatap Harry dengan ekspresi kaget. "Apa, Pak?"

Harry terkekeh pelan. "Aku bilang kamu wangi. Sama seperti tadi pagi."

Wajah Sandrina memanas. Ia buru-buru menunduk, tidak tahu harus berkata apa.

Namun sebelum suasana menjadi lebih aneh, suara dari interkom terdengar. "Pak Harry, kami sudah mengirim tim teknisi. Mohon tunggu sebentar."

Harry menekan tombol interkom. "Baik. Jangan lama-lama, ada orang di dalam yang ketakutan."

Sandrina langsung menatapnya dengan protes. "Saya tidak ketakutan!"

Harry hanya tersenyum usil, lalu menariknya lebih erat. "Tapi kamu tetap diam di pelukanku, kan?"

Sandrina tidak bisa membantah, membuat Harry semakin senang.

÷÷÷

Raline berjalan tergesa-gesa menuju ruangan Calvin, berusaha menyelinap agar tidak terlihat oleh mahasiswa lain. Ia tahu jika mereka melihatnya bersama Calvin, gosip tak akan bisa dihindari. Selama ini, ia memang selalu berusaha menjaga jarak antara kehidupan kampusnya dan hubungannya dengan pria itu. Namun, kali ini Raline tahu ia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa hubungannya dengan Calvin semakin rumit.

Begitu ia sampai di depan pintu ruangan Calvin, ia melirik ke kiri dan kanan, memastikan tak ada yang mengawasi. Setelah itu, ia dengan cepat membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan.

Di dalam, Calvin sudah duduk di kursi kerjanya dengan santai. Senyuman menggoda langsung muncul di wajahnya begitu melihat Raline masuk. Namun, senyuman itu lebih dari sekedar ramah—ada kesan berbahaya dan penuh misteri yang tergambar di matanya. Raline merasa sedikit cemas, tapi ia berusaha tetap tenang.

"Kenapa kamu datang terlambat?" tanya Calvin dengan suara yang lembut namun tegas. Ia menggerakkan tangannya yang sudah terlipat di atas meja, menunjukkan bahwa ia sedang menunggunya.

Raline menghela napas, mencoba tidak panik. "Aku mencoba menghindari gosip. Lagipula, kenapa daddy memanggil aku kemari? Apa ada yang penting?" tanyanya, dengan harapan Calvin akan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

Namun, sebelum Raline sempat mendengar jawaban dari Calvin, pria itu berdiri dan mendekatinya dengan langkah penuh keyakinan. Tanpa banyak bicara, Calvin dengan cepat menutup mata Raline dengan seutas tali hitam yang lembut. Raline terkejut dan ingin bertanya, tetapi sebelum ia sempat mengatakan apapun, Calvin sudah mengunci pintu ruangan tersebut dengan kunci yang terpasang di meja.

"Dad, apa yang kamu lakukan?" Raline hampir berteriak, namun suara yang keluar dari mulutnya terdengar lebih tenang dari yang ia bayangkan. Jantungnya berdegup kencang, merasakan ketegangan yang ada di udara.

"Ini hanya permainan baru," jawab Calvin dengan nada menggoda yang disertai tawa pelan. "Aku ingin kamu bermain denganku, Raline."

Raline merasa kecemasan menyelinap masuk ke dalam dirinya. "Apa maksudmu? Kenapa harus ada permainan seperti ini?"

Calvin berjalan mendekatkan diri padanya, membuat Raline merasakan kehadirannya semakin kuat. Suasana di ruangan itu terasa lebih berat dan gelap, seolah-olah permainan yang dimaksud Calvin bukanlah hal yang bisa dianggap enteng.

"Karena aku ingin kamu merasakannya, Raline," jawab Calvin dengan suara rendah, menambahkan kesan misterius pada setiap kata yang keluar. "Aku ingin kamu merasakan apa yang aku rasakan setiap kali kita bersama."

Raline merasa bingung dan sedikit takut dengan kata-kata Calvin. Sejak awal, ia tahu hubungan mereka penuh dengan dinamika yang aneh. Namun, kali ini, ada sesuatu yang membuatnya merasa cemas, seperti ada sisi gelap yang belum sepenuhnya ia ketahui tentang pria itu.

"Daddy, aku tidak tahu apakah aku siap untuk ini," ujar Raline, dengan suara gemetar.

Calvin berhenti sejenak dan menatapnya dalam-dalam. "Aku tahu kamu ragu. Tapi, ini adalah permainan yang harus kita mainkan, Raline. Kita tidak bisa mundur sekarang."

Raline menggigit bibir bawahnya, berusaha berpikir dengan jernih. Ia tidak tahu bagaimana cara keluar dari situasi ini, tetapi yang ia tahu adalah bahwa ia harus tetap waspada. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah semuanya sudah terlambat, atau jika ada cara untuk mengubah jalan yang mereka ambil ini.

"Apakah ini benar-benar yang kamu inginkan, daddy?" tanya Raline, suaranya sedikit lebih keras, mencoba mencari jawaban.

Calvin tersenyum tipis, mengelus rambutnya yang terurai di depan wajahnya. "Raline, aku hanya ingin kita bermain bersama. Tidak ada yang salah dengan itu."

Namun, dalam hati Raline, sesuatu berteriak keras bahwa permainan ini mungkin lebih berbahaya dari yang Calvin kira.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!