Bab 7. Siapa dia?

Suasana di dalam apartemen terasa semakin panas saat Harry terus menciumi leher Raline dengan penuh gairah. Tangannya dengan lembut membelai pinggang gadis itu, sementara Raline memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan tunangannya.

Namun, di saat yang bersamaan, suara dering ponsel mengganggu keintiman mereka. Suara itu berulang kali berbunyi, semakin lama semakin mengusik suasana. Raline yang awalnya berusaha mengabaikannya akhirnya berniat untuk mengambil ponselnya, tetapi Harry dengan cepat menahan tangannya.

"Jangan diangkat!" bisik Harry dengan suara berat, matanya menatap dalam ke arah Raline.

"Tapi, aku takut ini penting," ujar Raline dengan sedikit gugup.

Harry tersenyum dan menggeleng pelan. "Siapa pun itu, dia bisa menunggu. Sekarang, aku hanya ingin bersamamu."

Raline akhirnya menyerah dan membiarkan Harry kembali menciuminya. Namun, rasa cemas masih menggelayut di benaknya. Ia takut kalau yang menelepon itu adalah Calvin. Pikirannya melayang ke pria tua itu, tetapi ia berusaha mengabaikan perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba muncul.

Sementara itu, di luar gedung apartemen, Calvin berdiri dengan wajah kesal. Ponselnya masih berada di tangannya, dan ia terus mencoba menelepon Raline yang tak kunjung menjawab.

"Brengsek! Gadis itu kenapa tidak mengangkat teleponku?" gerutunya dengan wajah memerah menahan amarah.

Calvin mengenakan setelan mahal berwarna hitam, kancing atas kemejanya terbuka, memperlihatkan sebagian dadanya. Ia tampak seperti pria yang ingin segera mendapatkan sesuatu yang menjadi haknya.

Tak lama kemudian, ia memutuskan untuk masuk ke dalam gedung. Dengan langkah lebar dan penuh amarah, ia menuju meja resepsionis.

"Apartemen nomor 1203, Raline," katanya dengan nada tegas.

Resepsionis yang bertugas terlihat ragu. "Maaf, Pak. Kami tidak bisa memberikan akses begitu saja tanpa persetujuan penghuni unit."

Calvin menggeram pelan. Ia tahu bahwa Raline pasti ada di dalam, dan sekarang ia semakin curiga. Tangannya mengepal kuat, ia merasa seperti sedang dikhianati.

Kembali ke dalam apartemen, Harry masih belum sadar bahwa ada seseorang yang sedang mencari Raline di luar sana. Ia sibuk menikmati kebersamaan mereka, sementara Raline akhirnya berhasil melepaskan diri sejenak untuk melihat ponselnya yang tergeletak di meja.

Matanya membulat saat melihat belasan panggilan tak terjawab dari Calvin.

Sial!

Detik berikutnya, sebuah pesan masuk.

"Aku ada di bawah. Aku akan naik ke atas sekarang."

Jantung Raline berdegup kencang. Ia langsung panik dan berdiri dari sofa, membuat Harry menatapnya dengan bingung.

"Kenapa?" tanya pria itu.

"Aku... aku butuh waktu sebentar. Aku harus ke kamar mandi," ucap Raline dengan gugup.

Harry memperhatikan wajah Raline yang tiba-tiba berubah. "Kamu baik-baik saja?"

Raline mengangguk cepat. "Iya, aku hanya butuh waktu sebentar saja," ujarnya, lalu bergegas ke kamar mandi sambil membawa ponselnya.

Di dalam kamar mandi, Raline membuka chat Calvin dengan tangan gemetar dan segera mengetik pesan.

"Jangan naik! Aku tidak bisa bertemu denganmu sekarang."

Namun, pesannya hanya berstatus terkirim tanpa dibaca.

Calvin sudah dalam perjalanan menuju apartemennya.

÷÷÷

Di dalam kamar mandi, Raline meremas ponselnya dengan tangan gemetar. Pikirannya kalut. Ia telah mengirim pesan agar Calvin tidak naik, tetapi hingga kini belum ada balasan. Itu hanya berarti satu hal: Calvin tetap datang.

"Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya panik. Ia menggigit bibirnya, mencoba mencari alasan atau cara untuk menghindari situasi buruk yang mungkin terjadi. Jika Calvin melihat Harry di apartemennya, bisa dipastikan pria itu akan murka.

Sementara itu, di luar, Harry semakin tidak sabar. Ia masih duduk di sofa dengan sisa gairah yang tertahan.

"Raline? Kamu masih lama?" tanyanya sambil mengetuk pintu kamar mandi.

Raline tersentak kaget. "E-eh, sebentar lagi!" sahutnya dengan suara yang dibuat setenang mungkin.

Harry mendesah pelan. Ia sudah menunggu cukup lama. "Aku ingin kamu cepat keluar," ucapnya lagi, suaranya terdengar sedikit lebih dalam, penuh gairah.

Namun, sebelum Raline bisa menjawab, suara bel apartemen tiba-tiba berbunyi.

Harry menoleh ke arah pintu dengan kening berkerut. "Sepertinya ada tamu," gumamnya. Ia berdiri dari sofa, berniat untuk membuka pintu.

Di dalam kamar mandi, Raline membeku. Matanya melebar, tubuhnya gemetar. Itu pasti Calvin!

"Sial!" Raline langsung menekan gagang pintu dan membukanya dengan cepat. Ia keluar dengan wajah pucat dan langsung menahan Harry yang hendak berjalan ke pintu.

"Tunggu! Biar aku saja yang buka," ucapnya buru-buru.

Harry menatapnya dengan bingung. "Kenapa? Memangnya siapa yang datang?" tanyanya curiga.

Raline menggeleng cepat, mencoba tetap tenang. "Mungkin hanya tetangga atau petugas apartemen. Aku akan mengeceknya dulu," jawabnya dengan senyum dipaksakan.

Harry masih menatapnya ragu, tapi akhirnya mengalah. "Baiklah. Tapi jangan lama."

Dengan jantung berdebar keras, Raline berjalan menuju pintu. Tangannya berkeringat saat menggenggam gagang pintu. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan ekspresinya sebelum akhirnya membuka pintu.

Begitu pintu terbuka, napasnya hampir tersangkut di tenggorokan.

Calvin berdiri di hadapannya dengan ekspresi gelap. Mata tajamnya menatap Raline penuh amarah.

"Kamu tidak menjawab teleponku," kata Calvin dingin.

Raline berusaha keras menampilkan senyum tenang. "Maaf, tadi aku ada di kamar mandi," jawabnya cepat, berharap itu cukup untuk meredam kecurigaan Calvin.

Calvin mengangkat alis, jelas tidak puas dengan jawaban itu. Matanya menyipit, seolah berusaha membaca kebohongan Raline. "Aku sudah meneleponmu berkali-kali. Kamu sengaja menghindar dariku, ya?"

"Ti-tidak, tentu saja tidak," Raline mencoba tertawa kecil. "Ayo, kita bicara di tempat lain! Aku tidak mau mengganggu tetangga."

Ia melangkah keluar, menutup pintu dengan cepat di belakangnya sebelum Calvin bisa mengintip ke dalam apartemen. Jika Calvin sampai melihat Harry, maka semuanya akan berantakan.

Calvin mengamati Raline dengan mata penuh kecurigaan. "Kenapa harus bicara di luar? Kenapa tidak di dalam saja?"

Raline tertawa gugup, lalu meraih lengan Calvin dan menariknya menjauh dari pintunya. "Sudahlah, jangan banyak bertanya. Aku akan menjelaskan, tapi kita bicara di tempat lain, oke?"

Calvin masih terlihat tidak puas, tetapi ia membiarkan dirinya ditarik menjauh oleh Raline. Namun, dalam benaknya, ia yakin ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh gadis itu.

÷÷÷

Harry duduk di sofa dengan tangan terlipat di dada, menunggu Raline kembali setelah membuka pintu untuk tamunya. Namun, sudah lebih dari lima menit berlalu, dan wanita itu belum juga kembali.

Keningnya berkerut. "Siapa tamunya, ya?" gumamnya dalam hati.

Rasa penasaran membuatnya berdiri. Ia melangkah menuju pintu dan membukanya perlahan. Namun, begitu matanya menyapu area depan apartemen, ia tidak menemukan siapa pun di sana.

Harry menghela napas. "Dia ke mana sih?" tanyanya heran.

Harry mulai mencoba menghubungi nomor telpon wanita itu, namun sayangnya suara yang terdengar ternyata berasal dari dalam unit apartemen itu. Ternyata, Raline tidak membawa ponselnya.

Matanya beralih ke meja di dekat sofa, di mana ponsel Raline tergeletak begitu saja. Ia mengambilnya dan melihat layar yang masih menyala. Beberapa panggilan tak terjawab terlihat di sana—semuanya dari kontak bernama Daddy Calvin.

Mata Harry menyipit. Ia bukan orang bodoh. Nama itu jelas menunjukkan sesuatu yang lebih dari sekadar panggilan biasa.

"Apa maksudnya ini?" pikirnya.

Kecurigaan mulai menjalar di pikirannya. Ia segera memasukkan ponsel itu ke saku dan keluar dari apartemen, berniat mencari Raline.

Sementara itu, di sudut koridor apartemen yang agak sepi, Raline berdiri dengan wajah cemas di hadapan Calvin. Pria itu menatapnya dengan dingin, lengannya terlipat di dada.

"Apa yang sebenarnya sedang kamu sembunyikan dariku, Raline?" tanya Calvin dengan nada tajam.

Raline menelan ludah, mencoba mencari alasan yang masuk akal. "Aku tidak menyembunyikan apa pun. Aku hanya tidak ingin kita berbicara di depan apartemen karena bisa saja ada orang yang mendengar," ucapnya dengan nada manja, berharap itu cukup untuk menenangkan Calvin.

Namun, pria itu tidak mudah dibodohi. "Benarkah? Atau kamu takut seseorang di dalam apartemenmu mendengar percakapan kita?" tuduhnya.

Darah Raline berdesir. "Aku..."

"Aku meneleponmu berkali-kali, tapi kamu tidak mengangkatnya. Kamu pikir aku tidak curiga?" Calvin mendekat, menatap matanya dalam-dalam. "Apa ada pria lain di dalam?"

Raline membelalakkan mata. "Tidak! Tentu saja tidak! Jangan berpikir yang aneh-aneh, Daddy!" ujarnya cepat.

Calvin masih menatapnya penuh kecurigaan. "Kalau begitu, buktikan. Bawa aku masuk ke dalam apartemenmu sekarang juga."

Jantung Raline berdegup kencang. Jika Calvin masuk dan melihat Harry, semuanya akan berakhir.

"Daddy..." Raline berusaha tetap tenang, tangannya mengelus dada Calvin dengan lembut. "Aku sedang tidak ingin menerima tamu di dalam. Aku baru saja selesai mandi dan ingin bersantai sejenak. Bisakah kita bicara di tempat lain saja?"

Calvin masih menatapnya, lalu menghela napas panjang. "Baiklah," katanya akhirnya. "Tapi setelah ini, kamu harus menebus kesalahanmu karena membuatku menunggu."

Raline tersenyum tipis, meskipun di dalam kepalanya, ia sedang panik. "Tentu saja, Daddy," ucapnya manis.

Namun, sebelum mereka sempat bergerak dari tempat itu, suara langkah kaki terdengar dari arah koridor.

Raline menoleh, dan matanya membelalak saat melihat Harry berjalan ke arah mereka dengan ekspresi penuh tanda tanya.

Calvin mengikuti arah pandang Raline dan melihat pria asing yang mendekat. Matanya menyipit tajam.

"Siapa dia?" tanya Calvin dengan nada berbahaya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!