Suasana kantor mulai lengang saat jam pulang tiba. Beberapa karyawan sudah mulai meninggalkan meja mereka, beberapa lagi masih terlihat menyelesaikan pekerjaan terakhir hari itu. Sandrina duduk di balik mejanya, berusaha tenang sembari perlahan merapikan dokumen dan peralatan kerjanya. Namun pikirannya tidak setenang tangannya yang sibuk.
Pandangannya terpaku ke depan ketika pintu ruangan Harry terbuka. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat. Dan saat sosok pria itu muncul bersama seorang wanita cantik di sisinya, seolah waktu berhenti untuk sesaat.
Raline berjalan keluar bersama Harry, tangannya menggenggam lengan pria itu dengan manja. Senyuman keduanya begitu jelas terlihat. Saling memandang, saling tertawa kecil. Aura bahagia itu menyebar ke sekitar mereka, dan entah mengapa membuat perut Sandrina terasa seperti diremas.
"Tentu saja, mereka memang pasangan," batinnya mencoba merasionalisasi rasa tak nyaman yang mengendap. "Aku hanya sekretaris. Apa hakku merasa seperti ini?"
Namun, penolakan dalam logika tak cukup untuk menenangkan hatinya. Ada rasa sesak yang mengendap ketika melihat cara Harry menatap Raline, penuh kasih dan kelembutan. Tatapan yang sempat ia kira hanya ditujukan padanya… saat mereka terjebak di dalam lift… saat Harry memeluknya, memujinya, bahkan hampir menciumnya.
Sandrina buru-buru menunduk dan mulai sibuk dengan dokumennya. Tangannya meraih folder, pensil, bahkan beberapa kertas kosong hanya demi menyibukkan diri. Tapi itu tidak cukup cepat—karena tatapan mata Harry sempat bertemu dengan matanya sebelum ia berpaling.
Dan itu membuatnya semakin gugup.
Harry tersenyum kecil saat melihat reaksi gadis itu, namun tak berkata apa-apa. Ia kembali memusatkan perhatian pada Raline, menanggapi cerita yang sedang disampaikan gadisnya sambil berjalan perlahan menuju pintu keluar kantor.
Langkah kaki mereka semakin menjauh.
Suara tawa Raline semakin memudar.
Dan Sandrina masih terpaku di tempatnya, menatap layar laptop yang sudah tidak lagi ia pahami isinya.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan, lalu ia menghela napas berat. Perlahan, ia menutup laptopnya dan berdiri. Tapi tubuhnya terasa lebih berat dari biasanya. Bukan karena lelah bekerja—melainkan karena isi pikirannya yang terus membayangkan apa yang terjadi di antara mereka berdua.
Apakah Harry sungguh mencintai Raline?
Ataukah semua sikap lembutnya selama ini… hanya bentuk sopan santun seorang atasan?
Sandrina menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan emosi yang tak tahu harus ia arahkan ke mana. Ia merasa bodoh karena berharap lebih… merasa bodoh karena menganggap pelukan dan tatapan Harry di dalam lift itu berarti sesuatu.
Saat berjalan ke arah pintu keluar kantor, ia sempat menoleh ke arah ruang kerja Harry yang kini kosong dan gelap. Ruangan itu mendadak terasa begitu jauh.
"Kamu terlalu berharap, Sandrina…" gumamnya lirih.
Tepat di saat itu, suara langkah kaki terdengar dari belakang. Sandrina menoleh dengan cepat, berharap—entah kenapa—kalau mungkin itu Harry yang kembali.
Namun ternyata hanya rekan kerjanya yang lewat, memberi senyum sopan dan melangkah pergi.
Sandrina tersenyum kaku, lalu melangkah keluar dari kantor. Di luar sana, malam mulai turun. Lampu-lampu kota menyala satu per satu, seolah menemani langkah pulang yang terasa begitu sepi… dan begitu dingin.
Tapi satu hal yang pasti—perasaan itu belum padam.
Dan mungkin… tak akan pernah.
÷÷÷
Mobil mewah berwarna hitam itu melaju pelan menyusuri jalanan ibu kota yang mulai dipadati kendaraan sore hari. Di dalamnya, suasana terasa hangat. Harry duduk di kursi kemudi, namun matanya sesekali melirik ke arah wanita cantik yang duduk di sampingnya.
Tangan Raline berada dalam genggamannya, jari-jemari mereka saling bertaut seolah tak ingin dilepas. Bahkan, Harry beberapa kali membungkuk sedikit untuk mengecup punggung tangan gadis itu dengan penuh kasih sayang.
"Aku masih ingat waktu kita jalan-jalan ke Bandung, kamu sempat nyasar gara-gara ngikutin GPS dari ponsel yang baterainya hampir habis," ujar Raline sambil terkekeh pelan.
Harry ikut tertawa kecil, "Tapi akhirnya kita malah nemu tempat makan bakso enak di pinggir jalan itu, kan?"
"Iya! Dan kamu sempat bilang, ‘ini salah satu perjalanan terbaik dalam hidupku’," sahut Raline dengan tatapan berbinar.
Harry mengangguk pelan, sorot matanya lembut. "Karena memang itu momen yang paling membekas buatku, Line. Kamu selalu bisa bikin aku ngerasa hidup lebih ringan."
Ucapan itu membuat pipi Raline merona. Ia membalas genggaman tangan Harry, kali ini dengan lebih erat. "Kita belum liburan lagi sejak itu. Aku rindu."
"Aku juga," balas Harry pelan. "Gimana kalau akhir pekan ini kita ke Bali? Hanya berdua. Kita bisa mengulang kenangan, atau bikin kenangan baru."
Mata Raline langsung membesar bahagia. "Are you serious?"
"Of course," jawab Harry mantap. "Aku butuh waktu berdua sama kamu, tanpa gangguan pekerjaan atau urusan kantor."
Raline begitu gembira hingga tak bisa menyembunyikan senyumnya. Ia bersandar di bahu Harry, merasa dunia milik mereka berdua.
Namun kebahagiaan itu terusik seketika saat nada notifikasi terdengar dari ponsel Raline. Ia buru-buru melepas genggaman tangan Harry dan mengambil ponselnya dari tas kecil yang ada di pangkuannya.
"Maaf, sayang, sebentar ya," ucapnya pelan.
Harry mengangguk tenang, meskipun dalam hati sedikit penasaran.
Raline menatap layar ponselnya. Wajah bahagianya seketika berubah jadi canggung saat membaca isi pesan.
> Sudah di apartemen? Jangan terlalu lama sama Harry. Aku tidak suka.
— Calvin
Napasnya sedikit tercekat. Ia tahu Calvin bisa menjadi sangat posesif jika sudah mulai merasa Raline terlalu dekat dengan Harry. Padahal Raline sudah menjelaskan bahwa ia dan Harry telah resmi bertunangan, dan hubungan mereka bukan hal yang salah.
Tapi... tetap saja. Calvin selalu punya cara membuatnya merasa bersalah.
Harry yang memperhatikan perubahan ekspresi wajah Raline, akhirnya bertanya pelan, "Siapa yang kirim pesan?"
Raline mengerjapkan mata, cepat-cepat menyembunyikan ponselnya ke dalam tas. Ia menoleh dan memaksakan senyuman, "Teman kampus. Dia nanya soal tugas."
Harry mengangguk kecil, meskipun dari sorot matanya terlihat bahwa ia tidak sepenuhnya percaya.
"Teman kampus?" gumamnya ulang pelan, namun tidak mendesak.
Raline hanya menjawab dengan anggukan dan senyum tipis.
Harry pun memilih tak memperpanjang pembicaraan. Ia kembali fokus menyetir, meski dalam benaknya muncul sedikit rasa curiga. Ia tahu Raline menyembunyikan sesuatu… dan firasatnya mengatakan, itu ada kaitannya dengan Calvin.
Sementara itu, Raline menatap keluar jendela mobil. Dalam hatinya muncul gejolak perasaan tak nyaman. Ia tidak ingin Harry tahu bahwa Calvin masih mencoba mengatur hidupnya, bahkan setelah ia memilih putra pria itu sebagai pendamping hidupnya.
Namun, seberapa lama lagi ia bisa menyembunyikannya?
÷÷÷
Senja mulai turun ketika Raline dan Harry akhirnya tiba di apartemen mewah milik gadis itu. Langit di luar mulai menguning, dan udara hangat dari kota masih terasa meski mereka telah memasuki gedung. Setelah melewati lobi dan naik ke lantai delapan, mereka akhirnya tiba di depan pintu unit Raline.
"Masuk dulu, ya! Jangan langsung pulang," pinta Raline sambil membuka pintu dan mempersilakan Harry masuk.
Harry hanya mengangguk pelan. "Aku memang berencana istirahat sebentar di sini. Hari ini benar-benar melelahkan."
Raline tersenyum manis dan menutup pintu. Ia tahu betul betapa sibuknya Harry sebagai CEO muda di perusahaan milik keluarganya. Banyak tekanan yang harus pria itu hadapi setiap hari, dan Raline bisa mengerti kalau kekasihnya itu sesekali ingin melepaskan penat.
Setelah menaruh tas dan kunci di meja dekat pintu, Harry melepaskan jas kerjanya dan menjatuhkan tubuhnya di sofa empuk di ruang tengah. Kepalanya disandarkan, mata terpejam, dan hembusan napas beratnya menandakan betapa letihnya ia.
Sementara itu, Raline berjalan ke dapur kecil untuk menyiapkan minuman. Ia membuka kulkas dan mengambil sebotol air dingin. Tapi, pikiran gadis itu tak benar-benar tenang. Pesan dari Calvin siang tadi masih berputar di kepalanya. Ancaman terselubung dari pria yang telah membesarkannya itu membuatnya merasa tertekan.
"Aku nggak salah, kan? Aku berhak bahagia dengan Harry," bisiknya pada diri sendiri sambil menuang air ke dalam dua gelas bening.
Namun, pikirannya yang sedang berkecamuk itu teralihkan oleh sentuhan tiba-tiba di tubuhnya.
Sepasang tangan melingkar pelan di pinggangnya dari belakang, membuat Raline tersentak kecil. Sebelum ia sempat berkata apa pun, bibir hangat Harry sudah mengecup pelan sisi lehernya.
"Sayang... kamu wangi sekali," bisik Harry di telinganya, suaranya serak dan menggoda.
Raline terdiam, jantungnya berdegup kencang. Ia merasakan dada Harry yang hangat menempel di punggungnya, juga ciuman kecil yang turun perlahan ke tengkuknya. Tangan Harry naik ke lehernya, membelai dengan lembut, lalu menelusuri kulitnya yang halus tanpa noda.
"Tubuh kamu selalu bisa bikin aku tenang, Sayang. Rasa capekku langsung hilang rasanya," lanjut Harry dengan napas yang mulai berat.
Raline menahan napas. Wajahnya memerah, bukan hanya karena malu, tapi karena ia belum mandi dan masih merasa berkeringat setelah seharian di luar.
"Sayang…," ucapnya pelan, sedikit kikuk. "Aku... aku belum mandi. Aku masih keringetan... jangan sekarang, ya?" katanya dengan senyum canggung, mencoba menahan desiran aneh dalam tubuhnya.
Harry tertawa pelan, suaranya dalam dan menggoda. "Kenapa harus nunggu nanti? Kamu tetap cantik, wangi, dan... sangat menggoda."
"Tapi aku nggak nyaman. Kasihan kamu nanti malah nyium keringat aku," elak Raline sembari berbalik menghadapnya dan meletakkan kedua telapak tangannya di dada Harry, mendorong pelan.
Harry menatapnya lama, lalu mengecup kening Raline dengan penuh sayang. "Oke, aku tunggu. Tapi jangan terlalu lama mandinya. Karena setelah ini, aku pengen peluk kamu lebih lama."
Raline tersipu, lalu mengangguk dan segera melangkah pergi ke kamar mandi. Sementara itu, Harry kembali duduk di sofa sambil memandangi sekeliling apartemen Raline—tempat yang kini terasa begitu nyaman dan hangat baginya.
Namun, ia masih merasa ada yang janggal. Tatapan Raline tadi... seperti ada sesuatu yang disembunyikannya. Harry mendesah pelan. Ia mencintai gadis itu, dan ia tahu, jika ada hal yang mengganggu pikirannya, ia pasti akan mencari tahu. Tidak hari ini. Tapi segera.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments