Bannaruma

Pagi itu, dengan mengendarai Lesung Orembai, Fonda Ono bergegas menuju Bannaruma, sebuah bangunan istana pusat pemerintahan bagi klan Gendhing. Butuh waktu sekitar setengah jam perjalanan yang ditempuh dari kediaman Fonda ono ke tempat itu.

Setelah turun dari kendaraannya, Fonda Ono langsung berjalan menuju balairung istana Bannaruma, nampak beberapa pejabat setingkat menteri sudah berkumpul di sana. Sedangkan tetua klan Gendhing – Sikara Lewa, belum terlihat duduk  di singgasananya.

Fonda Ono segera mengambil tempat duduknya yang berada di barisan depan, berhadapan dengan kursi tahta Tetua Klan, di samping kanannya sudah ada Lima Bakumbai – panglima perang klan Gendhing. Sedangkan di sebelah kirinya adalah seorang pejabat kepala bidang penelitian dan pengembangan teknologi bagi klan Gendhing, namanya Panalung Tikan.

Melihat Fonda Ono yang datang agak terlambat, Lima Bakumbai menyeringai meliriknya, “Wah, wah, tidurmu nyenyak sekali Fonda,” ucapnya.

Fonda Ono nampak tidak senang mendengar sindiran itu, ia segera menukas, “hmm,..iya, semalam aku tidur terlalu larut malam, banyak sekali tugas yang harus kuselesaikan.”

Sementara itu, Panalung Tikan yang mendengar basa basi itu hanya melirik ke arah mereka berdua. Dan tak lama kemudian, muncullah Sikara Lewa, semua yang hadir berdiri untuk memberikan penghormatan. Ia segera menduduki singgasananya dan mempersilakan semua yang hadir untuk kembali ke tempat duduknya masing-masing.

Setelah memberikan satu dua kata pembukaan, Sikara Lewa langsung menunjukkan sikap seriusnya, matanya menyapu keseluruh pejabat yang hadir, nampak sekali raut muka itu sedang menegang, kemudian ia mengarahkan pandangannya kepada Fonda Ono.

“Fonda Ono, pengiriman bahan baku dari kampung Londata sudah tersendat selama dua bulan ini,” kata Sikara Lewa meninggikan suaranya. “Aku minta hari ini kau punya jawaban yang memuaskan.”

Fonda Ono terkesiap mendengar ucapan Sikara Lewa, ia mencoba menenangkan dirinya, mencari kalimat yang tepat untuk diberikan kepada Sikara Lewa.

“Maafkan saya Tetua,” jawab Fonda Ono dengan sikap hormat, “namun saya pastikan dalam sebulan ke depan semuanya akan kembali normal.” Jawabnya.

“Normal katamu!” mata Siakara Lewa melotot mendengar jawaban klise dari Fonda Ono, “normal bagaimana?, apa kita harus selalu mengikuti permintaan mereka?” Ia terdiam sejenak, dengan tatapan yang masih tajam kepada Fonda Ono, “sudah berapa kali mereka meminta kenaikan harga? Ini tidak bisa kita biarkan terus menerus.”

“Sa.. saya sudah berbicara dengan Luh Gandaru, Tetua.” Jawab Fonda Ono, “dan dia sudah meyakinkan saya bahwa masalah ini akan segera diatasi.

“Hmmm,... Luh Gandaru?” tanya Sikara Lewa dengan nada kecewa, “dan kau masih percaya dengan alasannya?, kau percaya hal ini karena produksi mereka sedang turun? Kau percaya?” bentak Sikara Lewa.

“Em.maaf Tetua,” Fonda Ono semakin gugup karena Sikara Lewa semakin menyudutkannya. “Tapi... memang begitu yang saya lihat, ta...tanaman Meditrana mereka mengalami kekeringan tahun ini,” suara Fonda Ono terbata-bata ketakutan.

“Fonda Ono.... “ Sikara Lewa semakin menunjukkan rasa kecewanya mendengar jawaban Fonda Ono yang tidak memberikan penjelasan memuaskan itu. Ia bangkit dari kursinya, berjalan mendekati Fonda Ono yang menunduk ketakukan.

“Dengar Fonda Ono,” gertak Sikara Lewa mengancam, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Fonda Ono. “Jika bulan ini mereka masih terlambat mengirimkan pasokan bahan baku itu,” ia terdiam sejenak, matanya melirik kepada panglima perangnya – Lima Bakumbai, “barangkali aku tidak akan memberikanmu kesempatan lagi mengurusi masalah ini.

Dada Fonda Ono berguncang hebat, ia tahu makna perkataan Sikara Lewa, itu artinya adalah pemecatan dirinya dari posisi pemegang keuangan negara. Dan jika hal ini terjadi entah apa yang akan dialaminya kemudia, pikirannya semakin kacau.

Sikara Lewa kembali menuju kursi kebesarannya, menghembaskan badannya di sana. Matanya masih tetap mengawasi Fonda Ono yang tertunduk ketakutan.

“Klan Lontara sudah kita beri banyak kelonggaran, nampaknya mereka semakin congkak.” Sikara Lewa mengepalkan tangannya, ia menahan amarahnya.

“Dan seperti yang sudah kalian ketahui, setiap bulan kita harus menaikkan bayaran untuk barang-barang itu,” nada bicaranya semakin meninggi. “Apa kalian menerima begitu saja kita diperlakukan seperti ini?” kata Sikara Lewa, memberikan pertanyaan yang membuat semua yang hadir di situ saling pandang sama lain. Fonda Ono hanya bisa terdiam membisu, ia tak berani menatap Sikara Lewa, sedangkan sebagian yang lain nampak berbisik, entah apa yang mereka bicarakan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!