Batu Kedua

Wulan menatapku, aku masih ragu untuk melanjutkan latihan ini. “Prita,” kata Wulan lembut.

“Iya,” jawabku sambil memandangi batu Zato berwarna biru itu.

“Sebelum batu ini aku berikan kepadamu,” kata Wulan berhenti sejenak, “aku minta kamu harus menenangkan dirimu dulu ya, coba ambil napas pelan, rileks saja, dan tolong ulangi beberapa kali.” Aku mengikuti instruksinya.

Aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, mencoba berkonsentrasi dan menenangkan diri. Kulakukan beberapa kali seperti yang Wulan arahkan.

Setelah melihatku tekun melakukan semua instruksinya, Wulan perlahan menepuk pundakku.

“Sekarang, aku akan memberikan batu ini kepadamu, dan…” Wulan berhenti sejenak,

“…jika nanti kamu merasakan hawa panas yang dikeluarkan oleh batu ini, tolong jangan panik, panasnya tidak akan membakar tangan kamu kok,” canda Wulan, mencoba meyakinkanku.

Aku mengangguk tanda mengerti.

“Dan, jika setelahnya kamu merasakan getaran yang ditimbulkan dari reaksi batu ini,” kata Wulan,

“kamu harus tenang, cobalah untuk menahannya agar tidak terlepas, iya?”

Kemudian dengan mantap ia memberikan batu itu padaku.

Dengan segenap semangat yang Wulan berikan, aku memberanikan diri memegang batu itu. Aku mencoba menenangkan diri.

Sesaat kemudian, reaksi batu itu mulai terlihat. Perlahan, warna biru di batu itu memancar menjadi cahaya yang berkilauan. Wulan terus menatapku dengan seksama, memperhatikan setiap gerak-gerikku.

Batu itu terus memancarkan cahaya birunya, dan benar kata Wulan, batu di tanganku mulai bergetar.

Aku mencoba mempertahankan posisiku agar batu itu tidak terlepas dari genggamanku. Setelah beberapa saat, getaran itu mulai mereda, dan cahaya biru itu perlahan berubah menjadi citra gambar seperti hologram.

Melihat perkembangan itu, Wulan tampak lega, namun tatapannya masih waspada memastikan semuanya berjalan sesuai harapan.

Citra gambar hologram yang kupegang semakin jelas terlihat.

Mataku terbelalak melihat pemandangan yang ajaib menurutku, sebuah tayangan yang memperlihatkan peristiwa di masa lalu.

Kulihat di depan Gubuk Manah, beberapa orang tampak terkejut dengan bungkusan besar yang diletakkan begitu saja di depan pendopo Gubuk Manah.

Citra gambar itu berlanjut. Sesaat kemudian, muncullah Nyi Lirah di sana. Diambilnya bungkusan besar itu dan dibukanya.

Dadaku berdebar kencang manakala dalam tayangan itu diperlihatkan bahwa bungkusan besar itu berisi seorang bayi manusia, begitu mungil dan lucu. Nyi Lirah mengangkat bayi itu, kemudian dengan penuh kelembutan, dipeluk dan diciumnya bayi mungil itu, lalu membawanya masuk ke dalam Gubuk Manah. Citra gambar dalam cahaya itu kemudian perlahan memudar.

Batu yang kupegang bergetar sebentar lalu kembali tenang, cahaya biru itu pun perlahan menghilang, dan kembali diam seperti semula.

Setelah batu itu benar-benar diam, aku menghela napas dalam-dalam. Kugenggam erat batu itu dan menatap Wulan penuh tanya, sambil mengembalikannya.

Wulan yang menyaksikan peristiwa itu tak dapat membendung air matanya. Kedua matanya berkaca-kaca, ia menangis.

“Ada apa, Wulan? Siapa bayi mungil yang baru saja kulihat tadi?” tanyaku penuh rasa ingin tahu.

Wulan belum menjawab pertanyaanku.

Tampaknya gambaran yang dipancarkan batu Zato itu sangat membekas dalam ingatannya. Setelah merasa tenang, Wulan mencoba menjawab pertanyaanku, memaksakan bibirnya untuk tersenyum, meskipun aku melihat senyum itu agak tidak biasa.

“Itu peristiwa yang terjadi dua puluh lima tahun silam, Prita,” jawab Wulan.

Aku memberinya waktu untuk melanjutkan ceritanya.

“Dan bayi yang kamu lihat tadi adalah aku,” kata Wulan.

Aku tersentak mendengar jawabannya, mataku terbelalak seakan tak percaya. Seakan takut salah dengar, kuulangi lagi pertanyaanku.

“Hah… bayi itu… bayi itu, adalah kamu? Wulan?” tanyaku lagi.

“Iya, itu aku…” jawab Wulan sambil menundukkan kepala.

Tampaknya ia masih terngiang jelas peristiwa itu, dan membuat dadanya terasa sesak.

“Aku yatim piatu, Prita,” kata Wulan dengan nada lirih.

“Nyi Lirahlah yang telah begitu baik merawat dan membesarkanku. Aku sudah menganggapnya sebagai orang tua kandungku sendiri,” ucap Wulan sambil menyeka air mata yang tanpa sadar menetes di pipinya.

Aku memeluk Wulan dengan pelukan hangat.

Aku sangat mengerti perasaannya, karena sekarang pun perasaan itu tengah kualami. Aku tidak tahu siapa diriku, orang tuaku, dari mana asalku… dan itu sangat menyesakkan dadaku.

Tapi Wulan berusaha menutupi perasaannya. Ia kembali teringat tujuannya mengajakku ke tempat itu. Dibasuhnya air mata dari pipinya dengan jari-jarinya.

“Hmm… maafkan aku, Prita,” kata Wulan, “aku terbawa suasana.” Dengan tersenyum, Wulan memasukkan batu zato itu kembali ke dalam bungkusan.

“Sekarang, mari kita coba dengan batu Zato yang satunya lagi,” kata Wulan sambil mengeluarkan batu Zato berwarna kuning kemerahan.

“Coba yang ini, Prita,” kata Wulan. Tapi ia kembali mengingatkanku untuk menenangkan pikiranku dulu, sama seperti sebelumnya.

“Iya, iya aku ingat pesan kamu,” jawabku singkat. Sejurus kemudian, aku tampak berkonsentrasi dan menarik napas dalam-dalam, berusaha bersikap tenang.

Batu kedua yang kupegang kembali menunjukkan reaksi yang sama dengan batu pertama.

Hawa panas dan getaran kembali kurasakan. Aku tetap tenang menunggu reaksi selanjutnya yang akan muncul dari batu itu. Sesaat kemudian, muncullah hologram yang membentuk sebuah peristiwa terpancar dari batu itu.

Kulihat sebuah halaman yang luas, tampaknya itu di pekarangan samping Gubuk Manah. Beberapa anak perempuan dan laki-laki sedang berlari dan bermain riang, suasananya begitu ramai. Beberapa orang dewasa juga terlihat di situ. Tampaknya ada acara penting yang sedang terjadi. Tak lama kemudian, kulihat anak-anak itu berlarian di sekitar objek yang besar, yang lama kelamaan terlihat jelas bahwa objek itu adalah sebuah kapal besar. Peristiwa itu mengalir dengan jelas di hadapanku.

Aku tertegun melihat kejadian itu, hingga bayangan itu kembali pudar dan menghilang.

Wulan tersenyum melihat perkembanganku. Kemampuanku mengolah energi sudah lumayan bagus, dan gambar yang dihasilkan dari batu zato itu terlihat jelas. Ini menunjukkan penguasaan energiku sudah baik. Setelah gambaran itu hilang, aku kembali menyerahkan batu itu kepada Wulan.

“Tadi itu apa, Wulan?” tanyaku.

“Hmm, tadi itu acara pembuatan Lesung Agung, kendaraan besar kami,” jawab Wulan.

“Lesung Agung?” tanyaku penasaran.

“Iya, kendaraan besar itu Lesung Agung, kapal besar yang bisa terbang,” jawab Wulan, “dan anak-anak yang kamu lihat berlarian itu adalah kami, Prita,” kata Wulan.

“Kami? Maksudmu kamu dan teman-temanmu?” tanyaku.

“Iya, gadis kecil itu kami, aku, Carla, dan Vyn, sedangkan anak laki-laki itu adalah Arka, Banu, dan Bani,” jawab Wulan.

“Oh… jadi kalian sudah berteman sejak kecil ya?” tanyaku.

“Iya,” jawab Wulan, “Carla adalah putri dari Bei Tantra, sedangkan Arka adalah anak dari Bei Rangga, sementara Banu dan Bani adalah anak kembar dari Bei Tama.”

“Hmmm… kalau Vyn?” tanyaku kembali, sebab Wulan belum menyebutnya.

“Vyn…” Wulan terhenti sejenak,

“Vyn yatim piatu, sama seperti aku, Prita,” jawab Wulan.

Aku tidak ingin melanjutkan pertanyaanku lebih jauh.

Aku khawatir akan menyakiti perasaan Wulan dan menambah kesedihannya jika terus dipaksa mengingat masa kecilnya itu. Dan tampaknya Wulan juga sudah menangkap hal itu.

Ia mencoba tersenyum kembali, dan dengan pelan ia kembali memasukkan batu zato berwarna kuning kemerahan itu ke dalam bungkusan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!