Pagi itu, Wulan mengajak Prita ke rumahnya. Mereka berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang berada di belakang bangunan Gubul Manah. Rumah Wulan tidak berada jauh dari Gubuk Manah, hanya sekitar lima ratus meter dari sana. Rumah itu terlihat sederhana, dindingnya terbuat dari kayu, sedangkan atapnya berupa anyaman daun-daun berwarna cokelat kering. Di sekelilingnya tumbuh beberapa pohon meditrana, dan ini adalah ciri khas dari rumah-rumah yang ada di kampung Londata, karena daun pohon ini dimanfaatkan sebagai penerangan pada malam hari.
Setelah beberapa saat mereka berjalan, akhirnya tibalah keduanya di rumah itu, rumah itu nampak sepi, pintunya terkunci rapat.
“Kamu sendirian tinggal di rumah ini, Wulan?” tanya Prita saat Wulan mengambil kunci pintu rumah itu dan kemudian membukanya.
“Ayo, silakan masuk.” Jawab Wulan. Prita melangkah masuk mengikuti langkah Prita, setelah memasuki ruangan itu, mata Prita tak berkedip melihat sekeliling ruangan itu, rumah itu memang sederhana, namun semua tertata dengan rapi, dalam hati Prita mengagumi kepribadian Wulan, ternyata disamping kebaikan dan selera humornya yang renyah, ia juga seorang yang mempunyai jiwa disiplin dan tanggung jawab yang tinggi, setidaknya itulah yang dapat Prita rasakan saat pertama kali masuk ke dalam rumah itu.
Wulan membiarkan mata temannya itu terus saja memandangi ruangan itu, sepertinya ia tidak ingin mengganggu momen itu, setelah beberapa saat kemudian, Prita mulai nampak puas dengan apa yang dilihatnya, mungkin dia sudah merasa cukup dengan apa yang dilihatnya.
“Mana, batu-batu Zato itu Wulan?” tanya Prita
“Ah, kamu ini tidak sabaran ya?” goda Wulan, melihat Prita langsung saja ingin melihat kebearadaan batu-batu itu.
“Eh, enggak juga kok, “ sergah Prita, “tapi kan tujuan kita ke sini untuk melihat batu-batu itu?” jawab Prita.
“Iya, kamu tidak salah, tapi itu bisa nanti kan?” kata Wulan, “kamu kan baru sampai di rumahku, sekarang kita minum dulu ya?, kamu pasti haus.” Jawab Wulan. Prita hanya tersenyum mengiyakan ajakan Wulan.
Setelah mereka minum satu dua teguk, Wulan beranjak dari tempat duduknya.
“Batu-batu Zato itu aku simpan di kamarku.” Kata Wulan. “Ayo, kita masuk!” kata Wulan mengajak Prita memasuki kamarnya, Prita nampak canggung untuk masuk kamar Wulan, namun Wulan memaksanya.
“Tak perlu risih, aku sendirian kok di rumah ini, tidak ada orang lain,” kata Wulan.
“Eh, iya” jawab Prita.
Prita kemudian memasuki kamar Wulan, dilihatnya temannya itu langsung menuju sebuah lemari yang ada di sana, membukanya kemudian mengambil sebuah bungkusan kain yang bercorak dari dalam laci.
“Ini, batu-batu itu aku simpan di sini.” Wulan memperlihatkan bungkusan itu kepada Prita. Prita Nampak gugup melihat bungkuan itu, dadanya berdebar entah mengapa.
“Aku, aku jadi takut, wulan... “ kata Prita.
“Tenang aja, ini hanya batu Zato biasa kok,” jawab Wulan, “Nyi Lirah yang memberikannya kepadaku, sebagai kenang-kengangan.” Katanya menenangkan Prita. Mendengar jawaban Wulan, Prita terlihat agak mulai merasa tenang.
“Terimakasih Wulan.” Jawab Prita singkat.
“Hmm, kayaknya kita bisa mencobanya di sini,” kata Wulan sambil memandang sekeliling kamarnya, memastikan bahwa tempat itu bisa digunakan untuk melatih Prita dalam mengendalikan energi yang ada di dalam tubuhnya.
“Emm, bagaimana caranya, Wulan?” tanya Prita belum mengerti.
“Tenang saja, nanti aku ajari caranya.” Jawab Wulan singkat.
Kemudian Wulan mengeluarkan satu buah batu Zato yang berwarna biru, batu itu tidak telalu besar, hanya seukuran setengah dari bola pingpong. “Kita coba yang ini dulu!” kata Wulan sambil memperlihatkan batu itu kepada Prita.
Prita memandani batu itu, warnanya biru dan seperti memancarkan sedikit cahaya. Sekilas batu itu nampak seperti batu biasa.
“Coba kamu pegang, Prita!” kata Wulan sambil memberikan batu itu kepada Prita, gadis itu menerimanya dan sebelum Wulan memberikan aba-aba atau instruksi apapun kepada Prita, dilihatnya batu itu sudah bereaksi dengan sendirinya. Begitu batu itu sampai di tangan prita, cahayanya yang redup seketika berubah mencari terang berkilauan, cahaya itu tidak hanya berkilauan namun seperti berputar dan menerangi sesisi ruang kamar itu. Prita nampak terkejut melihat kejadian itu, segera dikembalikannya batu itu kepada Wulan.
“Wulan!” kata Prita agak ketakutan, “aku takut, aku tidak tahu apa yang seharusnya aku lakukan.!” Lanjutnya.
Wulan yang melihat kejadian itu, tidak kalah terkejutnya dengan Prita, sebab selama ini, untuk dapat membuat batu Zato bereaksi tidaklah mudah, perlu latihan dan konsentrasi khusus dalam melakukannya, namun di tangan Prita, seolah batu itu mempunyai nyawanya sendiri, tanpa perlu dikomando ia bereaksi sendiri.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Wulan memutuskan untuk melakukan latihan itu di belakang rumahnya, ia berpikir bahwa tempat itu cocok, dan apabila terjadi sesuatu di luar prediksinya, minimal dampak kerusakan yang ditimbulkannya tidak akan menyebabkan kehancuran yang parah.
“Prita, “ kata Wulan, “Hmm,.. aku rasa sebaiknya kita lanjutkan latihan ini di luar saja ya?” kata Wulan selanjutnya.
“Oh, baik,.. “ jawab Prita.
Mereka berdua kemudian bergegas keluar dari ruang kamar itu, dengan masih membawa bungkusan batu-batu Zato itu, Wulan berjalan di iringi Prita menuju pekarangan belakang rumah itu. Memang, halaman belakang rumah Wulan itu lumayan luas, di sekelilingnya ditumbuhi berbagai tanaman sebagai pagarnya, ada juga beberapa pohon yang besar dan seperti umumnya penduduk klan Lontara, pohon Meditrana nampaknya menjadi sebuah pohon yang wajib untuk dipunyai.
“Nah, .. di sini saja.” Kata Wulan setelah mereka sampai di halaman belakang, “aku rasa di sini cocok.” Pungkas Wulan.
“Iya.” Jawab Prita sambil matanya melihat sekeliling, rasa takjubnya dengan tempat itu tak dapat ditutupinya. “Hmm tempat ini indah ya Wulan.” Kata Prita mengungkapkan kekagumannya pada tempat itu.
“Iya,... udaranya juga segar, aku serinng menghabiskan waktuku di sini,” kata Wulan seperti mengenang kembali saat-saat ia menyendiri di tempat itu.
“Kita mulai ya?” kata Wulan memecah keheningan sesaat.
“Ba..Baik.., tapi aku belum mau menyentuh batu itu Wulan.” Kata Prita agak ragu, ia masih ingat kejadian di dalam kamar Wulan, dan nampaknya ia butuh sesuatu untuk memulainya.
“Hmmm, iya” jawab Wulan seperti berpikir bagaimana caranya memulai latihan itu.
“Prita, “ Kata Wulan kepada Prita.
“Iya,” jawab Prita sambil menatap Wulan penuh tanda tanya.
“Tadi, “ kata Wulan berhentai sejenak, “saat kamu memegang batu itu, apa yang kamu rasakan?” tanya Wulan penuh selidik.
Prita nampak agak ragu, namun akhirnya ia menjawab.
“Ehmm, seingatku...” kata Prita mencoba mengingat kembali kejadian tadi. “Saat batu itu aku pegang, aku merasakan getaran yang hebat di telapak tanganku, “ Prita terhenti sejenak. “Aku merasa batu itu mengeluarkan hawa yang agak panas, dan seperti yang kamu lihat, batu itu tiba-tiba mengeluarkan cahaya seperti itu.” Jawab Prita.
“Hmm, seperti itu ya?” kata Wulan, “selain rasa panas itu, apa saja yang kamu rasakan?” tanya Wulan selanjutnya.
“Aku merasakan batu itu bergetar seperti ingin lepas, Wulan.” Jawab Prita.
“Lalu?” tanya Wulan.
“Iya, karena takut terlepas, ..” jawab Prita ragu, “Aku mengeratkan peganganku pada batu itu, “ Prita terdiam sejenak, “saat itulah aku berpikir untuk melepaskan batu itu, dan menyerahkannya kepadamu, Wulan.” Kata Prita mengakhiri ucapannya.
“Hmm, sepertinya benar kata Nyi Lirah,..” guman Wulan seperti kepada dirinya sendiri, namun suara itu terlalu jelas untuk tidak terdengar oleh Prita.
“Lalu, bagaimana Wulan?” tanya Prita ragu-ragu.
Wulan berpikir sejenak, kemudian dengan tersenyum ramah kepada Prita, ia kembali menyemangati Prita untuk meneruskan latihannya.
“Prita, “ kata Wulan. “Kita lanjutkan lagi ya?” lanjutnya.
“Iya, tapi tolong kasih tahu caranya dulu ya?” pinta Prita kepada Wulan.
“Iya, jangan khawatir, aku akan memandumu kok.” Jawab Wulan dengan senyum manisnya itu.
Setelah melihat Prita sudah siap untuk melanjutkan latihannya, Wulan membuka kembali bungkusan batu Zato yang dibawanya itu. Dan seperti tadi, pertama ia mengeluarkan batu Zato seukuran setengan bola pingpong yang berwarna biru redup, ia tidak langsung memberikannya kepada Prita.
“Ini, kamu coba pegang kembali batu ini, tapi tunggu dulu,..” kata Wulan berhenti sejenak, matanya memperhatikan gelagat wulan yang masih nampak ragu dan takut. Prita sendiri merasakan jantungnya berdegub kencang, ada perasaan takut dan khawatir di dalam hatinya, ia tak tahu apa yang akan terjadi jika ia memegang batu Zato itu lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments