Akmal menunggu jawaban bu Dewi dengan sabar. Ia melihat kerutan di dahi ibunya dan mau tak mau semakin penasaran.
Bu Dewi memandang Akmal dan lalu menghela napas panjang. "Mal, sebenarnya kamu tahu ga kalau Utari itu anak orang kaya?"
"Dari mana ibu bisa menyimpulkan seperti itu? Ibu juga tahu bagaimana kondisi Utari saat dia menikah denganku 'kan?"
Bu Dewi mengalihkan pandangannya dari Akmal, lagi-lagi dia menghela napas. "Ibu awalnya juga mikir gitu, Mal, tapi pas ibu lihat dia terakhir kali, ibu sangat yakin jika dia sebenarnya keturunan orang kaya.
Ibu dan dia sempat bertemu di kafe. Ibu mulanya ingin bujuk dia supaya rujuk sama kamu dan kita bisa sama-sama menikmati uangnya tanpa harus bekerja keras, tapi dia keras kepala menolak."
Akmal seketika menoleh, menengok ke arah ibunya? "Kapan ibu ketemu Utari?"
"Ada beberapa hari yang lalu. Ibu ngajak dia ketemuan di kafe. Dia bawa teman perempuan. Saat sudah mau pergi, temannya bayar semua tagihan untuk Tari. Feeling ibu dia memang kaya, Mal. Tasnya yang dia pakai harganya mahal."
"Tahu dari mana?" Akmal lagi-lagi dibuat penasaran.
"Setelah ketemuan, ibu cari di internet. Harga tas yang dipake Utari itu ga cuma ratusan ribu, tapi jutaan."
Akmal terdiam, dia tampaknya berpikir sejenak, wajahnya dipenuhi kejutan yang tidak bisa dia sembunyikan. Jika Utari benar-benar kaya, kenapa dia harus mau bercerai. Ga, dia ga akan biarkan Utari lepas. Dia akan buat Utari kembali dalam genggamannya.
Akmal mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Utari. Namun, sebanyak apapun dia mencoba, panggilannya tidak pernah tersambung.
"Br*ngsek!"
"Ada apa, Akmal?" Bu Dewi yang menatap penuh harap pada Akmal tiba-tiba terkejut mendengar umpatan putranya itu.
"Nomorku diblokir sama dia, Bu."
"Coba kamu pakai HP ibu."
Akmal kembali mencoba, tapi tetap saja tidak terhubung. Akmal menggenggam ponsel Bu Dewi erat, seolah ingin meremukkannya.
"Sialan, dia juga blokir nomor ibu."
"Bagaimana kalau pinjam ponsel Hana?" usul Bu Dewi.
Akmal segera bangkit dari duduknya dan masuk ke ruang perawatan Iqbal. Iqbal sedang tidur, sedangkan Hana sibuk bermain ponsel.
Hana hanya melirik kedatangan Akmal, lalu kembali sibuk men scrool layar ponselnya.
"Aku pinjam HP."
"Buat apa?" tanya Hana acuh.
"Ck, udah pinjemin aja, sih. Banyak tanya banget," ucap Akmal kesal.
Hana mendongak dan menatap Akmal, tajam. "Ini HPku, Mas. Aku beli sendiri pakai uangku, jadi aku ada hak buat tahu, kamu mau pinjam hpku buat apa?"
"Aku mau telepon Utari. Nomorku dan nomor ibu diblokir dia."
Hana tiba-tiba tertawa. Dia menatap Akmal dengan pandangan semakin sengit.
"Berarti dia udah ga sudi lagi berurusan sama kamu, harusnya kamu paham, Mas. Kok malah jadi ga tahu malu mau pake Hpku buat telepon dia."
PLAK!
Sebuah tamparan tiba-tiba melayang di wajah Hana. Hana tertegun, dia menatap wajah orang yang menamparnya.
"Kenapa ibu menamparku?" tanya Hana dengan marah.
"Kamu itu yang sopan sama anak saya. Akmal itu suami kamu, setidaknya hormati dia."
Melihat Hana yang ditindas ibunya, Akmal hanya diam. Dia merasa Hana memang pantas di tampar.
Hana menatap Bu Dewi dengan tatapan menusuk. Dia berdiri dan membalas tamparan Bu Dewi.
"Ibu pikir saya takut sama ibu?"
"Hana!" Akmal berteriak.
"Mas, tolong jangan berisik." Beberapa orang yang menjaga pasien di ruangan itu langsung bersuara. Mereka benar-benar merasa terganggu dengan pertengkaran keluarga yang tidak tahu tempat itu.
Hana duduk kembali dan menyalakan ponselnya. Dia mengabaikan keberadaan keduanya. Akmal membawa keluar ibunya karena khawatir mengganggu tidur Iqbal.
Setelah Akmal dan ibunya pergi, Hana menitikkan air mata dan mengusap pipinya yang ditampar oleh mertuanya.
***
"Oma, opa, terima kasih." Nisa yang diantar sampai gerbang sekolahnya, memeluk papa Tama dan mama Sukma. Keduanya tersenyum mendapat pelukan hangat dari Nisa.
"Nisa sekolah yang pinter, ya, nanti siang, oma yang akan jemput Nisa."
Nisa mengangguk. Dia menyalami mama Sukma dan papa Tama sebelum akhirnya masuk ke sekolahnya. Bu Venny menyambut Nisa dan langsung membawa Nisa ke kelas.
"Aku senang Nisa sudah ceria, Pah."
"Ya, papa juga senang, Ma. Semoga cucu kita selalu bahagia."
"Ya, Pah. Oh, ya, Pah, besok kita ajak Nisa ke makan Keenan dan Putri, gimana?"
"Ya, ga apa-apa, Mah, tapi mama sebaiknya memberitahu Utari soal ini, bagaimana pun juga Nisa kan anaknya."
"Ya, Pah. Nanti aku telepon Utari."
Di sekolah, Nisa sudah memiliki beberapa teman. Mereka berkumpul melingkar sebelum pelajaran di mulai. Beberapa anak itu penasaran dengan asal usul Nisa.
"Nisa, kamu berangkat diantar siapa?"
"Diantar oma dan opa," jawab Nisa.
"Oh, kenapa tidak diantar orang tuamu?"
"Ibuku tidak tinggal bersamaku."
"Bagaimana dengan ayahmu?"
"Ayah?" alis Nisa berkerut. Dia lantas menggeleng.
"Ayahmu sudah meninggal?" tanya salah satu anak perempuan bertubuh gempal.
Nisa menggeleng dan menunduk. Dahinya sudah berkeringat. Beberapa anak menatapnya dengan rasa semakin penasaran, tapi bunyi bel panjang membuat anak-anak itu kembali ke bangkunya masing-masing. Nisa tetap menunduk dan terdiam.
Sampai waktunya pulang, Nisa menjadi lebih pendiam. Saat mama Sukma menjemputnya, dia keheranan melihat wajah pucat Nisa. Mama Sukma segera menarik Nisa.
"Nisa, kamu kenapa, Sayang?" tanya mama Sukma cemas.
Nisa menggeleng lemah, saat memasuki mobil, Nisa hanya diam saja. Mama Sukma benar-benar mencemaskan Nisa. Tadi saat berangkat dia tampak ceria, tapi kenapa setelah bersekolah dia jadi seperti ini. Apakah ada yang mem-bully nya di sekolah?
Sesampainya di rumah, Nana yang ditugaskan untuk mengasuh Nisa langsung menyambut gadis itu, Nisa tidak banyak bicara, tapi mbak Nana tahu ada yang tidak beres pada Nisa.
"Nisa, Sayang, kamu kenapa?"
Nisa tiba-tiba memeluk mbak Nana dan menangis. Mbak Nana dengan sabar mengusap punggung Nisa. Dia membiarkan Nisa menangis sampai puas. Sampai tangisannya berhenti.
"Nisa kenapa menangis? Ada yang jahatin Nisa?"
Nisa menggeleng di pelukan Mbak Nana. "Terus kenapa, dong?" tanya Mbak Nana.
Nisa hanya diam menyembunyikan wajah sembabnya hingga tertidur tak berapa lama.
Mbak Nana menghela napas. Dia awalnya ingin mengusap keringat di dahi Nisa. Namun, ia terkejut setelah mendapati suhu di kening Nisa lebih panas.
Mbak Nana menggendong Nisa dan menidurkannya di kasur. Setelahnya, pengasuh Nisa itu segera melaporkan hal ini pada mama Sukma.
"Nyonya, itu Nisa panas."
"Aduh." Mama Sukma segera berdiri dan bergegas ke kamar Nisa. Dia menyentuh kening Nisa, alisnya berkerut merasakan suhu tak biasa itu.
"Cepat kamu panggil dokter," kata mama Sukma. Mbak Nana pun mengambil ponselnya dan menghubungi dokter keluarga. Mama Sukma mengirim pesan pada papa Tama, Bian dan Dewa. Ia memberitahukan kondisi Nisa sekarang dan memilih untuk tidak memberitahu Utari untuk sementara waktu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
kaila
lanjut
2025-04-10
0