Bab 18. Bertemu Himawan

Hari ini Utari mengajak Lisa pergi ke Mall. Dia ingin membeli beberapa baju dan boneka untuk Nisa. Mereka berdua berjalan bersama dan melihat lihat, saat Utari hendak mengambil sebuah gaun berwarna pink, tiba-tiba seorang anak perempuan menabrak Utari. Beruntung Utari memiliki reflek yang baik sehingga dia bisa menahan bocah itu agar tidak terjatuh.

"Kamu ga apa-apa, sayang?" tanya Utari sambil berjongkok. Dia berusaha menyamakan tingginya dengan gadis di depannya ini. Gadis itu menatap Utari dengan malu-malu.

"Maaf, onty, Keisha tidak sengaja," ucap gadis kecil itu. Utari tersenyum dan mengusap kepala gadis itu, Utari merapikan poni gadis kecil itu.

"Keisha, kenapa kamu lari, Nak? Nenek sampai capek ngejar kamu."

Keisha tertawa melihat kedatangan neneknya. Utari berdiri dan menatap wanita paruh baya di depannya.

"Ini cucu anda, Bu?"

"Iya, ini cucu saya. Tadi saya baru membayar, tapi dia tiba lari ke dalam."

Utari menunduk dan menatap Keisha. Mungkin gadis kecil ini seusia dengan Nisa putrinya.

"Keisha, lain kali tidak boleh seperti itu, ya. Kasihan nenek kalau harus kejar kejar Keisha."

"Bu, ada apa?" Seorang pria tiba-tiba menghampiri wanita paruh baya itu.

"Pak Himawan." Utari tiba-tiba menyapa pria itu. Alis pria itu berkerut, dia tidak mengenal wanita ini.

Melihat raut bingung pria itu, Utari tersenyum sembari mengulurkan tangannya. "Saya Utari, salah satu mantan karyawan bapak di pabrik."

"Utari?" Alis Himawan semakin berkerut, ia seperti pernah mendengar nama ini, tapi dia lupa kapan. Ibu Himawan berdiri sambil memegangi Keisha dan menatap Utari dengan ramah.

Lisa yang tadi mendapat tugas mencari boneka untuk Nisa datang dengan satu paperbag besar dan dibelakangnya ada dua penjaga toko yang membawa banyak mainan juga boneka. Melihat Utari sedang bersama orang yang tidak dia kenali, Lisa kembali ke mode kerja.

"Bu Utari, apakah ini cukup?" Utari menoleh melihat Lisa dan dua orang dibelakangnya.

"Cukup, mbak Lisa. Kamu bisa bawa ke mobil dulu, nanti saya nyusul," kata Utari. Lisa pun mengangguk. Akan tetapi belum sempat dia melangkah, Keisha yang melihat tumpukan mainan dan boneka, matanya tiba-tiba berseru kagum.

"Wah, mainannya banyak sekali."

Utari melihat tatapan berbinar itu dan segera mengambil satu boneka yang dipegang salah satu penjaga toko.

"Ini untuk Keisha." Utari mengulurkan sebuah boneka kelinci berwarna putih.

"Serius, Onty?"

"Iya, ini untuk salam perkenalan kita."

Keisha tidak serta merta mengambil boneka itu, dia mendongak menatap ayah dan juga neneknya. Saat keduanya mengangguk, Keisha buru-buru mengambil boneka itu dan mendekapnya.

"Pak Himawan, ibu, saya permisi ya." Utari langsung pamit sambil membawa beberapa potong gaun untuk Nisa. Setelah Utari berlalu dari hadapan ketiga orang itu, Bu Nana, ibunda Himawan tersenyum menatap siluet Utari.

"Dia cantik sekali, orangnya juga sangat lembut. Kamu beneran baru sekarang lihat dia?" tanya Bu Nana memastikan.

Himawan melihat wajah ibunya yang tersenyum, tak bisa mende*ah berat. "Bu, aku punya tiga pabrik dan semuanya memiliki setidaknya ribuan karyawan, bagaimana aku bisa menghapal wajah mereka satu per satu."

"Oh, benar juga," kata bu Nana. Dia menunduk dan menatap cucunya. Himawan juga menatap Keisha yang sedang memeluk boneka dari Utari, tanpa sadar sudut bibirnya melengkung.

Utari menyimpan barang barang yang dia belikan tadi di kamar. Dia memutuskan untuk mandi sebelum beristirahat. Ponsel di dalam tasnya bergetar, sebelum Utari masuk ke kamar mandi dia mengambil ponselnya dan melihat nama pemanggil. Seulas senyum tipis di bibir merahnya terbit. Utari segera mengangkat panggilannya.

("Tari, bagaimana kabarmu, Nak. Kata Bian kemarin kamu ga enak badan. Sekarang bagaimana?")

"Sudah jauh lebih baik, Ma. Nisa gimana, Ma? Apa dia merepotkan?"

Mama Sukma di sana tertawa dengan pertanyaan Utari. ("Nisa sangat pintar dan dia tidak pernah merepotkan. Tadi Nisa melakukan uji coba di sekolah selama sehari. Beruntung teman-temannya sangat baik, sehingga Nisa merasa senang. Dia langsung memutuskan ingin bersekolah di sana.")

"Syukur kalau begitu, Mah."

("Ini Nisa mau bicara sama kamu.") mama Sukma memberikan ponselnya pada Nisa.

("Ibu ... Nisa kangen.")

"Ibu juga kangen, Nisa. Kata oma, Nisa sudah masuk sekolah hari ini, ya?"

Nisa mengangguk dengan semangat, tak lama mengalirlah cerita dari bibir gadis kecil itu. Semuanya diceritakan olehnya. Utari merasa sangat berhutang budi pada keluarga Bian.

Setelah lelah bercerita, Nisa memberikan ponsel mama Sukma kembali pada yang punya. Mama Sukma menggelengkan kepalanya dengan gemas.

("Bian di sana sama kamu baik 'kan?")

"Baik, Mah. Dia lagi ke luar kota sekarang."

("Tari, kapan surat ceraimu turun?")

"Mungkin dua minggu lagi, Mah."

("Pokoknya setelah itu, kamu langsung ke sini aja. Mama ga mau kamu kenapa kenapa lagi.")

Utari tersenyum dan mengangguk, "Ya, mah."

Setelah panggilan dari mama Sukma terputus, Utari menghela napas lega. Dia senang Nisa bisa beradaptasi di tempat baru, bahkan mungkin anak itu lupa kenangan buruknya di sini.

Usai membersihkan diri, Utari naik ke ranjangnya. Dia berniat tidur sebentar sebelum nanti turun untuk makan. Utari merasa malas makan sendiri di bawah.

Saat tidur, entah mengapa Utari tiba-tiba memimpikan kedua orangtuanya. Dia melihat kedua orang tuanya melambaikan tangan menaiki mobil dan tak lama berselang, saat dia berbalik, dia melihat mobil yang ditumpangi oleh kedua orangtuanya meledak.

Alis Utari berkerut. Keringat sebesar biji jagung membasahi keningnya. Utari tiba-tiba tersentak dan memanggi ayah dan ibunya.

Saat Utari membuka matanya, dia melihat Dewa menatapnya dengan cemas, bahkan kepala pembantu juga berdiri, menatapnya cemas.

"Abang." Suara Utari serak, karena dalam tidurnya dia berteriak dengan keras. Dewa memberikan segelas air pada Utari.

"Kamu mimpi buruk lagi? Untung bibi dengar kamu teriak tadi. Dia langsung panggil aku."

"Kok bang Dewa di sini?"

"Iya, abang baru sampai. Tadinya mau ngurus kerjaan di sana, tapi papa mama khawatir sama kamu, mereka takut kamu kenapa napa."

"Maaf, Bang, aku jadi ngrepotin abang."

"Ga masalah."

Dewa menatap wajah pucat Utari dengan rasa iba. Pasti berat hidup di bawah bayang bayang trauma.

Setelah Utari cukup tenang, Dewa mengajak Utari untuk makan malam. Keduanya turun ke ruang makan bersama.

Dewa duduk di kursi utama, sedangkan Utari duduk di kursi sebelah kanannya. Dewa sesekali mencuri pandang ke arah Utari. Namun, dia terlihat begitu tenang dan natural. Gerakannya teratur, tapi matanya sama sekali tidak fokus pada makanan.

"Bang, kenapa dari tadi lihatin aku terus?" Utari yang merasakan tatapan Dewa, menjadi tidak nyaman.

Terpopuler

Comments

jiannafeeza 2201

jiannafeeza 2201

jangan bilang dewa suka sm utari
utari pokoknya untuk Bian gak boleh sm yang lain 😁

2025-04-08

1

jaran goyang

jaran goyang

𝚙𝚜𝚝 𝚍𝚊 𝚢𝚐 𝚖𝚗𝚌𝚕𝚔𝚊𝚒.... 𝚖𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚖𝚒𝚜𝚝𝚎𝚛𝚒𝚞𝚜

2025-04-08

0

jaran goyang

jaran goyang

𝚍𝚎𝚠𝚊 𝚗𝚘 𝚢𝚊 𝚗𝚘

2025-04-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!