Papa Tama dan Mama Sukma tiba di kota tempat mereka menetap. Kota yang dulunya memiliki kenangan buruk, sekaligus kenangan baik. Di kota itu susah senang telah mereka rasakan, dari pahitnya di tipu sampai manisnya dipertemukan dengan keluarga Utari yang begitu baik dan dermawan. Papa Tama mengenang itu semua dengan senyuman.
"Pah, aku ada beberapa daftar sekolah yang bagus buat, Nisa. Gimana kalau besok kita cek ke sekolahnya langsung?"
"Besok aku ada meeting, Mah. Kamu urus aja gimana bagusnya. Cucu kita harus dapat pendidikan yang paling bagus."
"Ya udah, mama akan pilihkan sekolah yang paling bagus buat Nisa," ujar mama Sukma sambil terus menggulir layar tabletnya.
"Nisa sekarang dimana, Mah?"
"Nisa lagi sama Dewa, ada Nana juga. Dewa mau Nana jadi pengasuh Nisa untuk sementara ini. Sampai dia dapatin pengasuh dari yayasan, Pah."
"Kalau Nana bisa handle Nisa, kita naikin gajinya, Mah."
"Ya, nanti mama bicara sama Nana dulu, Pah. Dia mau apa engga. Meski mereka bekerja sama kita, bukan berarti kita bisa seenaknya mengganti pekerjaannya."
Papa Tama mengangguk. Tak lama Dewa turun, Nisa berada dalam gendongannya dan melingkarkan tangannya dengan nyaman di leher Dewa. Meski tidak memiliki hubungan darah dengan Nisa, tapi seluruh keluarga Adiatama sangat menyayangi Nisa.
"Nisa sayang, besok Nisa ikut oma lihat sekolah, mau?"
Nisa menatap dua tetua itu dengan matanya yang hitam bulat besar. Dia tersenyum dan mengangguk, "Mau."
"Nisa kangen ibu, ga?" kini giliran Dewa bertanya.
"Iya, kangen," jawab Nisa dengan suaranya yang kecil.
Tanpa bicara mama Sukma menekan nomor Utari dan mencoba menghubungi perempuan itu. Namun, beberapa kali mencoba, nomornya sama sekali tidak bisa terhubung.
"Kok, ga bisa, ya?" gumam mama Sukma.
"Coba kamu hubungi Bian. Mungkin Utari masih di rumah sakit."
Mama Sukma memukul keningnya, kenapa dia bisa melupakan Bian. Mama Sukma segera mencari nomor Bian dan menghubunginya. Namun, lagi lagi panggilannya tidak tersambung.
"Mereka lagi kenapa, sih? Susah banget dihubungi." Mama Sukma lagi lagi menggerutu.
"Maaf, ya, Nisa, oma belum bisa menghubungi Ibu kamu."
"Ga apa apa, Oma. Nanti saja."
"Duh, cucu oma ini, pinter banget, sih."
Keesokan harinya Nisa dan mama Sukma pergi untuk mengunjungi sekolah untuk Nisa. Mama Sukma sudah memilih tiga sekolah terbaik untuk cucunya itu. Dengan diantar supir, mama Sukma duduk dan Nisa berada di atas pangkuannya.
Nisa tampak takjub melihat jalanan kota yang dilewatinya. Gadis itu bertanya ini dan itu pada mama Sukma, beruntung mama Sukma memiliki kesabaran untuk meladeni pertanyaan Nisa.
Mereka tiba di sekolah pertama, mama Sukma menyukai lingkungannya yang teduh dan tenang. Seorang guru menghampiri mama Sukma dan mengajak mama Sukma melakukan tour di lingkungan sekolahan.
Nisa berjalan digandeng mama Sukma. Gadis itu begitu bersemangat sehingga sesekali dia tampak berlari ke sana ke mari untuk melihat apapun yang menarik perhatiannya. Mama Sukma tersenyum melihat antusiasme Nisa.
"Bagaimana jika cucu anda merasakan pengalaman bersekolah di sekolah ini selama satu hari? Kami jamin dia akan senang belajar di sekolah kami."
"Nisa, sayang, Nisa mau coba belajar di sini satu hari ini?"
"Memang boleh, Oma?"
"Boleh, Sayang. Ini bu guru yang bilang."
"Asyik."
Nisa dengan semangat dibawa ke kelas. Di sana ada sekitar 29 murid. Saat Bu guru Venny membawa Nisa masuk, semua atensi murid teralihkan.
"Permisi, Bu Eva, ini ada anak yang ingin uji coba kelas. Tolong bimbingannya."
"Oh, baik, Bu Venny." Nisa ditinggalkan oleh mama Sukma dan Bu Venny kemudian.
Bu Eva mendekati Nisa dan bertanya. "Bisa tolong perkenalkan nama kamu, Sayang?"
"Hai teman-teman, namaku Nisa, nama panjangku Anisa Rahma Azzahra, umurku sekarang enam tahun." Nisa memperkenalkan dirinya dengan suaranya yang imut dan menggemaskan. Semua teman-teman Nisa membalas sapaan Nisa.
Hari ini Nisa benar-benar merasa senang karena bisa bersekolah. Dia tidak akan pernah melupakan pengalamannya hari ini.
***
Di kediaman Bian, saat ini Utari duduk bersandar di kepala ranjang. Bian duduk di samping Utari tanpa berniat meninggalkannya barang sejengkal pun. Utari memijat pelipisnya yang masih berdenyut.
Namun, Bian hanya menatapnya dengan dingin. Dia marah pada Utari. Wanita itu menolak untuk ke dokter dan tidak mau jika dia memanggil dokter.
"Bian, jangan marah. Aku beneran baik-baik aja."
Bian tidak menjawab, tapi dia sama sekali tidak mengalihkan matanya dari Utari. Dia takut ketika berpaling, dia akan melihat Utari kembali pingsan.
Utari menghela napas. Dia baru kali ini menghadapi Bian yang agak kolokan. Dulu sewaktu mereka bersekolah, Bian bahkan lebih pendiam dan penurut.
"Bii ..." Utari memanggil Bian dengan suara manja. Dia tanpa sadar perlahan kembali ke sifatnya yang dulu, sebelum kedua orangtuanya meninggal.
"Tari, kamu ga tahu betapa cemasnya aku tadi. Kamu dari rumah sakit, tapi pulang pulang malah pingsan."
Utari terkekeh, "Aku juga ga tahu, Bi. Mungkin karena tadi aku ketemu dengan orang-orang itu, sehingga membuat emosiku ga stabil."
Bian menatap wajah Utari yang sedang tertawa. Bukannya seharusnya dia bersedih. "Kenapa kamu tertawa Tari?"
"Lalu aku harus apa? Menangis? Bukankah itu menyianyiakan air mataku?"
"Baiklah, kamu sebaiknya istirahat dulu, nanti aku akan membawakan makan malammu ke kamar."
Bian berdiri. Dia tahu Utari hanya bersikap pura-pura tegar di depannya. Sekarang dia ingin memberi waktu pada wanita itu untuk sendiri dulu. Siapa tahu, dengan kesendiriannya dia bisa meluapkan emosi yang tertahan di hatinya.
Begitu Bian menutup pintu, Utari menghela napas. Wajahnya yang berbinar memudar. Kini hanya ada raut kesedihan, Utari sama sekali tidak menangis. Baginya kesedihan yang sesungguhnya adalah saat Akmal mengabaikan putri kandungnya demi membahagiakan putra dari selingkuhannya.
Dia tidak akan menangisi perpisahan ini. Dalam benaknya, dia tidak rugi apapun selain waktu. Tujuh tahun adalah waktu yang lama untuk dihabiskan dengan orang yang salah.
Utari beranjak dari ranjangnya. Dia memutuskan untuk mandi dan lalu turun. Dia tidak ingin sendirian dan justru memikirkan hal hal yang tidak layak dia pikirkan.
Akmal masuk ke ruang perawatan Iqbal. Iqbal harus menjalani rawat inap dan sekarang di sinilah dia berada. Ruang rawat kelas tiga dimana ada enam bed dalam satu ruangan. Akmal merasa sesak, apalagi di sana ada ibunya dan juga Hana.
"Kamu kenapa bengong begitu, Mas?" Hana menyentuh lengan Akmal dan bertanya.
Akmal sedikit tersentak. Dia menatap Hana dan lalu membandingkannya dengan penampilan Utari tadi. Dia merasa penampilan keduanya jauh berbeda. Utari lebih cantik, sekarang.
Dulu dia dan Hana selalu bertemu saat Hana menjadi supervisor, sehingga penampilannya tampak istimewa karena riasan, tapi setelah diPHK, Hana sama sekali tidak mempedulikan penampilannya, sehingga Akmal merasa bahwa dia telah salah memilih.
"Aku tadi ketemu Tari."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
jaran goyang
𝒓𝒔𝒌𝒏..𝒏𝒆𝒙𝒕
2025-04-06
0
kaila
lanjut kak
2025-04-05
0