Utari sudah jauh lebih tenang. Nisa ada di pangkuannya dan terlihat mengkhawatirkannya. Wajahnya terlihat sembab. Mama Sukma dan yang lainnya menatap Utari dengan iba.
"Kamu selalu mimpi buruk seperti ini, Tari?" tanya papa Tama.
"Ya, pah. Tari sering memimpikan kejadian waktu itu. Kalau saja saat itu aku sedikit lebih keras kepala mungkin aku ga akan ditinggal sendirian."
"Tari, semua itu adalah takdir Tuhan. Kamu tidak bisa mengontrolnya. Sebenarnya papa tidak ingin membahas ini sekarang, papa ingin perlahan lahan memberitahu kamu sesuatu, tapi melihat kondisimu saat ini, papa mungkin harus berbicara jujur sama kamu."
Utari menatap papa Tama dengan wajah bingung. "Maksud papa?"
" Ada kemungkinan mobil orang tua kamu disabotase."
"Disabotase, siapa, Pah?"
"Kamu tahu siapa orangnya. Menurutmu siapa yang mungkin mencelakai orangtuamu? Orang yang sekarang merebut perusahaan orang tuamu dan bahkan mendapatkan harta mereka."
"Bu_bukannya harta ayah disita Bank. Kata om Wisnu, ayah .... "
Utari terdiam setelah mengatakan sesuatu. Dia bisa menebaknya.
"Jadi om Wisnu yang sudah merencanakan semua ini?"
"Ya, itu benar. Setelah papa tahu orang tuamu meninggal, papa mencari tahu semuanya. Papa meminta bantuan beberapa kenalan untuk membantu mengusut masalah ini. Bahkan papa mencari pengacara keluargamu waktu itu.
Tidak mudah, tapi papa berhasil. Pengacara papa kamu sekarang sudah di penjara dan begitu juga dengan om kamu, Wisnu."
"Tari ga tahu."
"Bagaimana bisa kamu tahu? Sementara kamu ada di kota yang jaraknya bermil-mil jauhnya. Selama ini papa yang jaga perusahaan orangtua kamu. Papa berusaha nyari kamu ditengah kesibukan papa."
Utari menegakkan tubuhnya. "Jadi papa?"
"Ya, papa sudah merebut semua yang seharusnya menjadi hak kamu, Tari. Awalnya papa ingin pelan-pelan memberitahu kamu. Bagaimana pun juga masalah ini bukan masalah yang simpel. Kejahatan om kamu benar-benar berat Tari," kata Papa Tama.
Tari tertegun untuk waktu yang cukup lama. Mama Sukma mengusap usap bahu Utari. Dia tahu ini tidak mudah. Mama Sukma sangat tahu betul bagaimana Utari tumbuh, karena dia bersahabat dengan bundanya Utari. Utari yang sejak kecil bergelimangan harta, dimanjakan oleh ayah bundanya, tiba-tiba kehilangan semuanya dalam sekejap mata.
"Tapi kenapa? Ayah sudah baik selama ini sama keluarga om Wisnu."
"Justru kebaikan yang sering ayahmu tunjukkan membuat Wisnu gelap mata. Dia begitu serakah menginginkan harta keluarga kamu, Tari. Ga semua orang bisa diperlakukan baik."
Utari membayangkan wajah ayah dan bundanya, hatinya tiba-tiba terasa sakit.
"Ibu jangan nangis." Nisa mengusap air mata Utari yang kembali menetes. Utari menunduk dan tersenyum, dia mengusap air matanya sendiri.
"Ibu tadi kelilipan. Sekarang udah ga lagi."
"Terus sekarang Tari harus apa, Pah? Tari ga mungkin bergantung sama kalian terus. Tari malu."
"Kita ini keluarga, apa salahnya saling bergantung. Yang terpenting sekarang mencari sekolah untuk Nisa, yang terbaik kembali ke kota kelahiran kamu. Di sana berdiri perusahaan papa kamu dan perusahaan kita."
Utari berpikir. Mungkin satu-satunya cara agar melupakan kenangan buruk di sini adalah dengan menata hidup baru di kota kelahirannya.
"Saya dan Sukma akan kembali ke sana lusa. Kami tidak bisa meninggalkan bisnis kami terlalu lama. Bagaimana kalau kamu dan Nisa ikut dengan kami?"
"Aku mau mengurus perceraian ini dulu, Pah. Aku ga mau menyisakan masalah yang tidak perlu kedepannya. Aku ingin Nisa hanya merasakan kebahagiaan selepas ini."
Melihat tekad kuat dalam diri Utari, Tama merasa puas. Dia tidak khawatir lagi. Sepertinya Utari hanya rapuh saat membicarakan soal masalah orang tuanya saja.
Dewa sejak tadi sibuk dengan ponselnya. Dia tersenyum tanpa sadar. Mama Sukma penasaran dia pun bertanya, "Kamu kok kelihatan seneng banget, Dew?"
Dewa meletakkan ponselnya dan menatap Mama Sukma. "Iya, Mah, ada tontonan bagus tadi. Kiriman orang kita."
Mama Sukma langsung mengerti maksud Dewa, begitu juga dengan Bian dan papa Tama. Utari tidak ambil pusing dengan satu keluarga itu yang saling melempar kode.
Tak lama ponsel mama Sukma, Bian dan papa Tama bergetar. Mereka tidak langsung mengambil ponsel mereka demi menjaga perasaan Utari.
"Tari, kamu malam nanti mau makan apa?"
"Apa aja, Mah. Aku ga pilih-pilih."
Nisa asyik bermain dengan bonekanya, gadis itu seakan lupa dengan masalah beberapa waktu lalu. Utari cukup bersyukur dengan kondisi Nisa itu.
Utari membawa Nisa ke kamarnya. Nisa berbaring di kasur Utari. Dia terlihat senang dan nyaman berada di rumah ini.
"Kasurnya bagus, ya, Bu?"
"Iya, kasurnya bagus banget."
Bian, mama Sukma dan papa Tama langsung mengambil ponsel mereka masing-masing. Mereka penasaran dengan video yang dikirimkan Dewa.
Ketiga orang itu sibuk melihat ponsel, mereka semua tersenyum setelah melihat video Akmal dihajar oleh orang-orang mereka.
"Bagus, Dewa. Orang kaya dia emang pantas dipukuli. Ini masih ga seberapa dibanding penderitaan Tari. Apa lagi kemarin dia mencekik Utari. Mama rasanya pengen cekik dia balik," ucap mama Sukma, kesal.
"Sabar, Mah."
"Bian, kamu harus jagain Tari di sini. Biar urusan kamu di sana dihandel Dewa dulu. Pastikan Tari dan Nisa aman. Besok papa akan carikan sekolah yang bagus buat Nisa di sana."
"Ya, Pah."
Sementara itu, di rumahnya, Akmal sedang diobati oleh Hana. Wajahnya babak belur dan tak berbentuk. Gigi depannya lepas satu. Hana mengobati Akmal sambil menggerutu.
"Kamu itu, Mas, bisa-bisanya dipukuli begini. Kamu bikin masalah sama siapa lagi, sih?"
"Aku juga ga tahu, Hana. Tiba-tiba ada tiga orang ngehadang aku tadi. Mereka ga ada ngomong apa-apa langsung mukulin aku gitu aja."
"Apes banget, sih, kamu, Mas. Kemarin dilaporin ke kantor polisi, terus dipecat, sekarang dipukulin. Ini pasti gara-gara Utari kamu ketiban sial begini."
"Udah, jangan sebut sebut dia lagi. Nanti yang ada kamu marah marah sendiri," kata Akmal. Dia memegangi pipinya yang terasa ngilu. Hana mendengus, dia mengoleskan salep ke pipi Akmal dengan kasar.
"Aduh, pelan dikit, Na, sakit ini."
"Ayah kenapa?" tanya Iqbal putra Akmal dan Hana.
"Ga apa-apa, Sayang. Tadi ayah jatuh."
"Pasti sakit, ya, Yah. Biar Iqbal tiup ya?" Iqbal naik ke ranjang dan meniup pipi Akmal. Akmal hampir tertawa, tapi dia merasakan sakit saat otot pipinya tertarik.
Akmal begitu senang memiliki Iqbal dalam hidupnya. Pria itu bahkan tidak ingat memiliki seorang putri yang lucu seperti Nisa. Bagi keluarga Akmal, anak laki-laki memiliki kedudukan yang mulia, tidak seperti wanita yang dia anggap hina. Padahal dia sendiri lahir dari rahim seorang wanita. Akmal sepertinya melupakan hal itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments