Mochaccino

Mochaccino

Episode 1

Mochaccino.

Aneh? Pastinya.

Okay jadi, panggil saja aku Mocha, semua orang memanggilku seperti itu. Namaku lebih aneh dari kedua saudaraku memang. Tapi itu tidak penting. Aku tidak akan membahas tentang namaku. Aku akan menuliskan tentang kehidupan cintaku.

Jadi, rencananya aku akan mengirimkan cerita ini pada penerbit. Ini baru rencana. Aku akan menuliskan bagaimana cerita tentang aku. Tapi, aku juga tidak yakin apakah ceritaku akan seru atau tidak. Karena aku bukan menulis setelah semuanya sudah sampai ending. Aku menulis seiring berjalannya waktu.

Ohiya, namaku Mochaccino tapi bukan berarti aku suka Mochaccino. Aku sangat menyukai Hot bread pudding chocolate. Apalagi yang ada di cafe tempat dimana aku suka menulis. Tempatnya asyik dan nyaman sekali, siapapun yang kesana pasti ingin berlama-lama di dalamnya.

 

 

Back to topic.

Well then, kalian mau membaca kisahku?  Tapi tenang saja, aku tidak akan memaksa karena jika seandainya jawabannya tidak, kisah ini akan kupendam selamanya dalam draft microsoft word ku. Tanpa boleh ada satu orang pun yang tahu. Hanya Tuhan dan aku saja yang tahu.

Tapi kalau kalian mau, aku tidak bisa menjajikan apa-apa dengan alur cerita ini. Karena ini murni di tulis saat aku sedang mengalaminya atau baru mengalaminya.

--

Bab 1

"Tadi malem Dito nembak gueeee!" suara Lyla membuat suasana kelas yang tadinya sepi seketika menjadi berisik. Jelas sekali raut wajah Lyla menunjukkan aura kebahagiaan. Raut itu ditunjukkan tepat ketika langkahnya memasuki kelas.

Aku tidak terlalu mendengarkannya karena sibuk menyalin PR yang tidak sempat kukerjakan karena begadang marathon menonton Gossip Girl hingga subuh. Namun, aku cukup jelas mendengar suara Lyra. Dari nada suaranya yang seperti tengah melakukan sebuah orasi, ia dengan semangat menceritakan secara jelas saat pertama kali Dito memiliki gelagat aneh dan sempat membuatnya kesal hingga pada akhirnya ia mengutarakan isi hatinya dengan membuat kejutan yang sudah sangat ia persiapkan.

Tanpa perlu repot mendengar dengan seksamapun sejujurnya aku sudah tahu detil ceritanya. Yah, ini mungkin untuk kesekian kalinya aku mendengar teman-temanku bercerita tentang kisah cintanya. Tentang bagaimana awal mereka dekat kemudian jadian. Sampai aku bosan dan selalu bertaruh dalam hati bahwa pasti dua atau tiga bulan lagi mereka akan datang di pagi hari dengan wajah babak belur serta mata yang sebesar telur dinosaurus.

Putus atau patah hati.

Dari sekian banyak teman-teman perempuanku bisa dengan mudah kuhitung yang menyandang status jomblo, termasuk aku. Sudah berkali-kali pula Lyla atau Vee menyuruhku untuk mencari pacar. Dan berkali-kali pula aku mengabaikannya.

I mean, i'm not a geek, i'm not a cheers, i'm not a bad-***, and seriously i'm not a popular girl even i've got many friends in the school.

I'm just me.

Aku bukan teman-temanku yang rajin pergi ke perawatan wajah agar memperhalus kulit mereka. Juga tidak pandai dalam menghias diri. Aku tidak cantik meskipun aku juga sebenarnya tidak jelek. Hanya saja.. apa ya? Yang jelas, aku tidak seperti mereka. Kupikir, selama aku menjalani masa remajaku belum ada laki-laki yang mencoba mendekatiku kecuali hanya sekedar meminjam penghapus atau mungkin saat sedang rapat organisasi untuk bertukar pikiran. Mereka tidak mengajakku berbicara jika tidak ada hal yang perlu dibicarakan.

Entahlah, mungkin aku yang terlalu kaku untuk sekedar memulai pembicaraan dengan mereka. Atau mungkin seperti kata Vee yang selalu mengatakan bahwa aku saja yang tidak mau membuka diri pada laki-laki, katanya juga aku terlalu keras hati untuk menyadari ada beberapa laki-laki yang mencoba mendekatiku. Yah, mungkin aku hanya ingin menjaga diriku sendiri dari perasaan sakit karena cinta. Mungkin.

Aku harus selalu berlapang dada jika teman-temanku tiba-tiba membatalkan janji untuk menonton film atau jalan karena cowoknya tiba-tiba mengajak mereka jalan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, aku sudah tidak peduli lagi kalau menyangkut urusan dia dengan cowoknya. Maksudku, kalau menyangkut urusan mereka berdua. Aku hanya dengan temanku, bukan cowok mereka. Mereka membatalkan janji, dengan senang hati aku akan pergi sendiri dan jalan-jalan sendiri. Di tatap orang-orang jika sedang makan sendirian? Well, peduli apa?

***

Aku tidak pernah punya pacar dan kelihatan tidak peduli dengan laki-laki itu bukan berarti aku tidak menyukai salah satu di antara mereka. Sejujurnya aku sudah lama menyukai seseorang. Psstt, sebenarnya ini rahasia. Hanya aku, Caramel, dan Vanilla saja yang tahu. Ah, juga Tuhan tentu saja.

Namanya Alfaraga Gelar Batara, aku menyukainya sejak pertama kali aku menginjakkan kakiku di bangku Sekolah Mnengah Pertama. Pada saat itu dia menolongku saat aku hampir terpeleset. Mungkin baginya itu tidak penting, malah mungkin ia sudah melupakannya. Tapi bagiku, itu penting sekali. Semenjak saat itu aku mulai sering diam-diam memerhatikannya.

Bahkan, betapa lucunya aku ketika rela masuk ke SMA yang sama dengannya, alasannya klise dan sedikit berlebihan, biar aku dapat memerhatikannya terus. Tapi, seperti cerita-cerita kebanyakan orang. Banyak orang yang sering memperhatikan seseorang tapi seseorang itu tidak pernah memerhatikannya. Sederhananya sih cinta dalam hati pada satu hati.

Aku cukup tahu diri dengan perasaanku, jelas aku tidak bisa di sejajari oleh Alfa. Bagi kaum perempuan, Alfa terlalu sempurna. Tampangnya sudah tak bisa dipungkuri lagi oleh kaum perempuan, ditambah lagi, citra dia sebagai kapten tim futsal dari sekolahku juga menambah deretan nilai plus pada dirinya. Kebanyakan laki-laki bertampang oke itu selalu genit, bukan? Benar tidak? Tapi Alfa sama sekali tidak. Yang kutahu dari hasil memerhatikannya diam-diam, Alfa hanya mempunya dua mantan. Dan yang terakhir kudengar Alfa masih belum bisa move on dari mantannya yang terakhir.

Karena itu juga aku jadi semakin menenggelamkan diriku.

***

"Cha, buruan dong mandinya!" suara Davo diluar terdengar sampai ke telingaku, tak lupa ia menggedor pintu kamar mandi. "Ntar gue telat masuk kampus!"

"Pake kamar mandi sendiri kenapa sih!" balasku dari dalam. Aku masih menyikat gigiku sehingga suaraku masih sedikit kumur-kumur.

"Kamar mandi gue belom di bersihin, ogah gue mandi disana."

Davo, kakak laki-laki satu-satunya yang kupunya itu memang tipe laki-laki yang bersih sekali. Bersihnya sudah ditingkat over. Kamar berantakan sedikit saja langsung minta di bersihin sama Bibi. Bersih sih bersih, tapi dia selalu menyuruh orang untuk membersihkannya.

Aku membuka pintu kamar mandi dan di depanku sudah berdiri Davo sambil berkacak pinggang, "Lama banget." gerutunya, langsung berjalan masuk ke dalam kamar mandi.

"Yee, udah punya kamar mandi sendiri masih numpang kamar mandi orang," balasku sambil berjalan ke depan lemari. "Kak, itu kaya ada suara Mama sama Papa?"

Davo yang baru mau menutup pintu kamar mandi langsung membukanya mandi, "Baru balik kan mereka dari Singapore."

Aku hanya mengangguk-ngangguk, tapi dalam hati senang. Sudah dua hari ini aku tidak bertemu kedua orangtuaku. Mereka memang workaholic, tapi setidaknya aku masih bersyukur setiap pengambilan rapot mereka masih sempat mengambilnya.

Aku turun dengan sedikit semangat di dalam hatiku mengingat ada orang tuaku disana. Papa sedang membaca koran paginya sambil sesekali menghisap teh hijau kesukaannya. Sementara Mama sibuk mengoleskan selai kacang ke roti tawarnya.

"Cha, tumben jam segini udah turun?" tanya Mama yang melihatku turun dari tangga. "Sarapan dulu, Cha. Kakak kamu mana?"

Aku menjatuhkan bokongku di kursi makan dan mengambil sebuah roti tawar, "Kak Davo masih mandi, di kamar Mocha."

Papa sedikit mengebawahkan korannya, "Kok di kamar kamu, Cha?"

"Kamar mandinya kotor katanya." jawabku sambil mengoles selai.

"Ya ampun Davo, kebiasaan deh sukanya." gerutu Mama.

Saat sedang mengoleskan selai ke atas rotiku, Davo turun dari tangga. Rambutnya masih sedikit basah akibat sehabis sampoan. Seperti biasa, dia selalu memakai kaos dan celana jeans selutut untuk pergi ke kampus. Terlalu santai memang, padahal sudah beberapa dosen yang menegurnya karena menurut mereka sedikit tidak sopan. Tapi Davo seperti tidak peduli.

"Oleh-olehnya mana nih?" todong Dika langsung tanpa basa-basi. Memang sudah kebiasaannya menodong oleh-oleh dari Mama Papa kalau sehabis pulang dari luar negri. Jadi, kedua orangtuaku juga sudah biasa.

Jika aku dapat mendeskripsikan Davo, tentu saja dia tampan. Jelas darah blasteran Turkey milik Papa mengalir pada dirinya. Dulu, sewaktu SMP aku satu sekolah dengan Davo dan itu benar-benar membuatku pusing bukan main. Bagaimana tidak pusing? Setiap hari banyak kakak kelas bahkan teman kelasku sendiri yang mencoba mendekatiku agar bisa dekat dengan Davo. Bahkan sampai ada yang menerorku dengan mengirimkan banyak pesan dan meneleponku hanya untuk mendapatkan nomer dirinya.

Aku tidak suka cara seperti itu, lama-lama aku gerah di buatnya. Untunglah SMA aku tidak satu sekolah dengan Davo.

"Ma, Pa, kita liburan gak kemana-mana?" tanyaku.

"Emangnya kamu mau kemana, Cha?" tanya Papa.

"Ke...," belum sempat aku menjawab, ponsel Papa berbunyi memecah suasana. Papa berdiri dari kursinya dan berjalan ke depan. Pagi-pagi aja udah sibuk nerima telpon, yaelah, Pa, gerutuku dalam hati.

Aku dan Davo saling lirik melihat aksi Papa, kalau sudah seperti ini aku dan Davo hanya bisa mengangkat bahu sambil menggigit jari. Ucapkan saja selamat tinggal kepada liburan. Sebenarnya, bisa saja aku berlibur tanpa Mama dan Papa, mereka juga sudah sering mengatakannya. Tapi rasanya seperti ada yang kurang tanpa mereka.

***

Setiap sore aku selalu ke cafe ini, namanya Groovey Cafe. Tempatnya sangat asyik dan nyaman. Aku selalu betah berada disini sambil menulis apapun yang sedang menjadi moodku. Juga bisa duduk disini sampai malam dan setelah itu baru aku akan meminta Pak Danar menjemputku.

Pelayan disini pun sudah sangat kenal denganku, salah satunya yang paling dekat adalah Mbak Naya. Karena shiftnya memang dari sore sampai malam karena pagi sampai siangnya dia kuliah. Jadi aku lebih sering bertemu dengannya ketimbang pelayan yang lain. Pesananku pun dia selalu tahu apa, hot bread pudding chocolate.

"Boleh duduk disini?" sebuah suara membuyarkan konsentrasiku. Aku mendongakkan kepala untuk melihat siapa gerangan yang telah membuyarkan konsentrasiku.

"Emang ada yang nge...," Suaraku terhenti tepat ketika pertama kali aku menatapnya. Matanya bagaikan magnet yang sanggup menarik besi-besi tanpa ampun. Sayangnya, akulah salah satu besi-besi itu. Aku terlalu terbius dengan matanya. Seolah tak cukup dengan memandangnya, matanya memiliki sebuah karisma untuk menjelajah masuk ke dalamnya. Menebak-nebak, ada apa di balik mata itu.

Tubuhnya tinggi tegap menjulang. Rahangnya keras menyiratkan sikap kewibawaan pada dirinya. Kalau aku mengatakan dia tidak tampan apalagi jelek, itu sama saja aku berdusta besar. Kenyataannya dia tampan. Yah, tampan, oke, tampan sekali. Namun, tampan saja tak cukup untuk membuatku tertarik. Laki-laki ini mempunyai ketampanan seperti laki-laki tampan lainnya, tapi tidak dengan matanya. Matanya berbeda dari yang lain.

Berwarna hitam pekat dengan pupil mata yang tajam, membius mataku untuk tetap melihat ke dalamnya. Tajam seperti pisau. Elang. Matanya seperti mata elang. Sialan, aku tidak boleh kelihatan terlalu terpukau.

Aku membetulkan letak dudukku yang sedikit tidak nyaman, "..la-rang." Tanpa sadar aku melanjutkan kalimatku sebelum aku buru-buru memalingkan wajah, menolak kembali menatap ke dalam matanya.

Aku sudah memperbolehkannya duduk lantas ia menarik kursi di depanku dan duduk di atasnya. Kopinya yang masih panas ia taruh di atas meja. Sejujurnya aku bingung juga kenapa dia memilih tempat di depanku. Padahal masih banyak meja-meja kosong yang lain. Apa mungkin dia menyukai tempat di pojok, dekat kaca yang menghadap jalanan sepertiku? Entahlah.

Kembali aku memfokuskan diriku terhadap tulisan yang tengah kubuat. Tanpa memikirkan lebih jauh alasan mengapa dia duduk di depanku yang sebenarnya tidak terlalu penting. Menit-menit berlalu dengan sangat tidak nyaman. Aku merasa terintimidasi dengan tatapannya yang tertuju ke arahku. Aku bisa merasakan tatapannya yang melihatku menulis.

Kuputuskan untuk berhenti dan menatapnya kembali. Meski sadar aku tengah menatapnya dan menghentikan atvitasku, ia masih menatap.

"Kenapa?" tanyaku memberanikan diri.

Dia mengernyitkan keningnya beberapa saat, "Apanya yang kenapa?" tanyanya balik.

"Lo ngeliatin gue terus. Risih tau." jawabku.

"Emang?" mendengar kalimatnya barusan membuatku sedikit terkejut. Bisa-bisanya masih bertanya.

Aku memutar kedua bola mataku, "Iya."

"Sorry deh kalo gue bikin lo risih."

Aku mengabaikan permintaan maafnya dan melanjutkan aktivitasku. Selama beberapa menit dia memang tidak memandangiku lagi. Aku lega di buatnya dan lebih santai untuk menulis. Sampai aku mendengar bunyi ponselnya, kulihat dari sudut mataku ia membaca pesan yang datang di ponselnya. Aku tidak melihatnya lagi dan melanjutkan menulis.

Sampai aku merasakan dia bangkit berdiri dan meninggalkan cafe. Aku refleks menoleh ke pintu keluar dan melihatnya berjalan menjauh lalu masuk ke dalam mobil. Setelah mobilnya menghilang dari pandanganku aku kembali hendak fokus pada laptopku sampai aku menemukan selembar tisu yang di lipat di depanku.

Penasaran, aku membukanya.

Gue suka ngeliat ekspresi lo

-Elang-

***

 

 

 

 

 

 

Terpopuler

Comments

SUNKIZZ

SUNKIZZ

akhirnya lanjut cerita ini... sth vanila.
samangat thor.... 💪💪😘😘

2021-10-25

0

Shafira Aleyaa

Shafira Aleyaa

dgn sgt amat penasaran akhirnya aku download manga huhu

2020-10-23

2

Candies

Candies

akhirnya aku bisa baca lagi kak ,,

2020-05-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!