NovelToon NovelToon

Mochaccino

Episode 1

Mochaccino.

Aneh? Pastinya.

Okay jadi, panggil saja aku Mocha, semua orang memanggilku seperti itu. Namaku lebih aneh dari kedua saudaraku memang. Tapi itu tidak penting. Aku tidak akan membahas tentang namaku. Aku akan menuliskan tentang kehidupan cintaku.

Jadi, rencananya aku akan mengirimkan cerita ini pada penerbit. Ini baru rencana. Aku akan menuliskan bagaimana cerita tentang aku. Tapi, aku juga tidak yakin apakah ceritaku akan seru atau tidak. Karena aku bukan menulis setelah semuanya sudah sampai ending. Aku menulis seiring berjalannya waktu.

Ohiya, namaku Mochaccino tapi bukan berarti aku suka Mochaccino. Aku sangat menyukai Hot bread pudding chocolate. Apalagi yang ada di cafe tempat dimana aku suka menulis. Tempatnya asyik dan nyaman sekali, siapapun yang kesana pasti ingin berlama-lama di dalamnya.

 

 

Back to topic.

Well then, kalian mau membaca kisahku?  Tapi tenang saja, aku tidak akan memaksa karena jika seandainya jawabannya tidak, kisah ini akan kupendam selamanya dalam draft microsoft word ku. Tanpa boleh ada satu orang pun yang tahu. Hanya Tuhan dan aku saja yang tahu.

Tapi kalau kalian mau, aku tidak bisa menjajikan apa-apa dengan alur cerita ini. Karena ini murni di tulis saat aku sedang mengalaminya atau baru mengalaminya.

--

Bab 1

"Tadi malem Dito nembak gueeee!" suara Lyla membuat suasana kelas yang tadinya sepi seketika menjadi berisik. Jelas sekali raut wajah Lyla menunjukkan aura kebahagiaan. Raut itu ditunjukkan tepat ketika langkahnya memasuki kelas.

Aku tidak terlalu mendengarkannya karena sibuk menyalin PR yang tidak sempat kukerjakan karena begadang marathon menonton Gossip Girl hingga subuh. Namun, aku cukup jelas mendengar suara Lyra. Dari nada suaranya yang seperti tengah melakukan sebuah orasi, ia dengan semangat menceritakan secara jelas saat pertama kali Dito memiliki gelagat aneh dan sempat membuatnya kesal hingga pada akhirnya ia mengutarakan isi hatinya dengan membuat kejutan yang sudah sangat ia persiapkan.

Tanpa perlu repot mendengar dengan seksamapun sejujurnya aku sudah tahu detil ceritanya. Yah, ini mungkin untuk kesekian kalinya aku mendengar teman-temanku bercerita tentang kisah cintanya. Tentang bagaimana awal mereka dekat kemudian jadian. Sampai aku bosan dan selalu bertaruh dalam hati bahwa pasti dua atau tiga bulan lagi mereka akan datang di pagi hari dengan wajah babak belur serta mata yang sebesar telur dinosaurus.

Putus atau patah hati.

Dari sekian banyak teman-teman perempuanku bisa dengan mudah kuhitung yang menyandang status jomblo, termasuk aku. Sudah berkali-kali pula Lyla atau Vee menyuruhku untuk mencari pacar. Dan berkali-kali pula aku mengabaikannya.

I mean, i'm not a geek, i'm not a cheers, i'm not a bad-***, and seriously i'm not a popular girl even i've got many friends in the school.

I'm just me.

Aku bukan teman-temanku yang rajin pergi ke perawatan wajah agar memperhalus kulit mereka. Juga tidak pandai dalam menghias diri. Aku tidak cantik meskipun aku juga sebenarnya tidak jelek. Hanya saja.. apa ya? Yang jelas, aku tidak seperti mereka. Kupikir, selama aku menjalani masa remajaku belum ada laki-laki yang mencoba mendekatiku kecuali hanya sekedar meminjam penghapus atau mungkin saat sedang rapat organisasi untuk bertukar pikiran. Mereka tidak mengajakku berbicara jika tidak ada hal yang perlu dibicarakan.

Entahlah, mungkin aku yang terlalu kaku untuk sekedar memulai pembicaraan dengan mereka. Atau mungkin seperti kata Vee yang selalu mengatakan bahwa aku saja yang tidak mau membuka diri pada laki-laki, katanya juga aku terlalu keras hati untuk menyadari ada beberapa laki-laki yang mencoba mendekatiku. Yah, mungkin aku hanya ingin menjaga diriku sendiri dari perasaan sakit karena cinta. Mungkin.

Aku harus selalu berlapang dada jika teman-temanku tiba-tiba membatalkan janji untuk menonton film atau jalan karena cowoknya tiba-tiba mengajak mereka jalan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, aku sudah tidak peduli lagi kalau menyangkut urusan dia dengan cowoknya. Maksudku, kalau menyangkut urusan mereka berdua. Aku hanya dengan temanku, bukan cowok mereka. Mereka membatalkan janji, dengan senang hati aku akan pergi sendiri dan jalan-jalan sendiri. Di tatap orang-orang jika sedang makan sendirian? Well, peduli apa?

***

Aku tidak pernah punya pacar dan kelihatan tidak peduli dengan laki-laki itu bukan berarti aku tidak menyukai salah satu di antara mereka. Sejujurnya aku sudah lama menyukai seseorang. Psstt, sebenarnya ini rahasia. Hanya aku, Caramel, dan Vanilla saja yang tahu. Ah, juga Tuhan tentu saja.

Namanya Alfaraga Gelar Batara, aku menyukainya sejak pertama kali aku menginjakkan kakiku di bangku Sekolah Mnengah Pertama. Pada saat itu dia menolongku saat aku hampir terpeleset. Mungkin baginya itu tidak penting, malah mungkin ia sudah melupakannya. Tapi bagiku, itu penting sekali. Semenjak saat itu aku mulai sering diam-diam memerhatikannya.

Bahkan, betapa lucunya aku ketika rela masuk ke SMA yang sama dengannya, alasannya klise dan sedikit berlebihan, biar aku dapat memerhatikannya terus. Tapi, seperti cerita-cerita kebanyakan orang. Banyak orang yang sering memperhatikan seseorang tapi seseorang itu tidak pernah memerhatikannya. Sederhananya sih cinta dalam hati pada satu hati.

Aku cukup tahu diri dengan perasaanku, jelas aku tidak bisa di sejajari oleh Alfa. Bagi kaum perempuan, Alfa terlalu sempurna. Tampangnya sudah tak bisa dipungkuri lagi oleh kaum perempuan, ditambah lagi, citra dia sebagai kapten tim futsal dari sekolahku juga menambah deretan nilai plus pada dirinya. Kebanyakan laki-laki bertampang oke itu selalu genit, bukan? Benar tidak? Tapi Alfa sama sekali tidak. Yang kutahu dari hasil memerhatikannya diam-diam, Alfa hanya mempunya dua mantan. Dan yang terakhir kudengar Alfa masih belum bisa move on dari mantannya yang terakhir.

Karena itu juga aku jadi semakin menenggelamkan diriku.

***

"Cha, buruan dong mandinya!" suara Davo diluar terdengar sampai ke telingaku, tak lupa ia menggedor pintu kamar mandi. "Ntar gue telat masuk kampus!"

"Pake kamar mandi sendiri kenapa sih!" balasku dari dalam. Aku masih menyikat gigiku sehingga suaraku masih sedikit kumur-kumur.

"Kamar mandi gue belom di bersihin, ogah gue mandi disana."

Davo, kakak laki-laki satu-satunya yang kupunya itu memang tipe laki-laki yang bersih sekali. Bersihnya sudah ditingkat over. Kamar berantakan sedikit saja langsung minta di bersihin sama Bibi. Bersih sih bersih, tapi dia selalu menyuruh orang untuk membersihkannya.

Aku membuka pintu kamar mandi dan di depanku sudah berdiri Davo sambil berkacak pinggang, "Lama banget." gerutunya, langsung berjalan masuk ke dalam kamar mandi.

"Yee, udah punya kamar mandi sendiri masih numpang kamar mandi orang," balasku sambil berjalan ke depan lemari. "Kak, itu kaya ada suara Mama sama Papa?"

Davo yang baru mau menutup pintu kamar mandi langsung membukanya mandi, "Baru balik kan mereka dari Singapore."

Aku hanya mengangguk-ngangguk, tapi dalam hati senang. Sudah dua hari ini aku tidak bertemu kedua orangtuaku. Mereka memang workaholic, tapi setidaknya aku masih bersyukur setiap pengambilan rapot mereka masih sempat mengambilnya.

Aku turun dengan sedikit semangat di dalam hatiku mengingat ada orang tuaku disana. Papa sedang membaca koran paginya sambil sesekali menghisap teh hijau kesukaannya. Sementara Mama sibuk mengoleskan selai kacang ke roti tawarnya.

"Cha, tumben jam segini udah turun?" tanya Mama yang melihatku turun dari tangga. "Sarapan dulu, Cha. Kakak kamu mana?"

Aku menjatuhkan bokongku di kursi makan dan mengambil sebuah roti tawar, "Kak Davo masih mandi, di kamar Mocha."

Papa sedikit mengebawahkan korannya, "Kok di kamar kamu, Cha?"

"Kamar mandinya kotor katanya." jawabku sambil mengoles selai.

"Ya ampun Davo, kebiasaan deh sukanya." gerutu Mama.

Saat sedang mengoleskan selai ke atas rotiku, Davo turun dari tangga. Rambutnya masih sedikit basah akibat sehabis sampoan. Seperti biasa, dia selalu memakai kaos dan celana jeans selutut untuk pergi ke kampus. Terlalu santai memang, padahal sudah beberapa dosen yang menegurnya karena menurut mereka sedikit tidak sopan. Tapi Davo seperti tidak peduli.

"Oleh-olehnya mana nih?" todong Dika langsung tanpa basa-basi. Memang sudah kebiasaannya menodong oleh-oleh dari Mama Papa kalau sehabis pulang dari luar negri. Jadi, kedua orangtuaku juga sudah biasa.

Jika aku dapat mendeskripsikan Davo, tentu saja dia tampan. Jelas darah blasteran Turkey milik Papa mengalir pada dirinya. Dulu, sewaktu SMP aku satu sekolah dengan Davo dan itu benar-benar membuatku pusing bukan main. Bagaimana tidak pusing? Setiap hari banyak kakak kelas bahkan teman kelasku sendiri yang mencoba mendekatiku agar bisa dekat dengan Davo. Bahkan sampai ada yang menerorku dengan mengirimkan banyak pesan dan meneleponku hanya untuk mendapatkan nomer dirinya.

Aku tidak suka cara seperti itu, lama-lama aku gerah di buatnya. Untunglah SMA aku tidak satu sekolah dengan Davo.

"Ma, Pa, kita liburan gak kemana-mana?" tanyaku.

"Emangnya kamu mau kemana, Cha?" tanya Papa.

"Ke...," belum sempat aku menjawab, ponsel Papa berbunyi memecah suasana. Papa berdiri dari kursinya dan berjalan ke depan. Pagi-pagi aja udah sibuk nerima telpon, yaelah, Pa, gerutuku dalam hati.

Aku dan Davo saling lirik melihat aksi Papa, kalau sudah seperti ini aku dan Davo hanya bisa mengangkat bahu sambil menggigit jari. Ucapkan saja selamat tinggal kepada liburan. Sebenarnya, bisa saja aku berlibur tanpa Mama dan Papa, mereka juga sudah sering mengatakannya. Tapi rasanya seperti ada yang kurang tanpa mereka.

***

Setiap sore aku selalu ke cafe ini, namanya Groovey Cafe. Tempatnya sangat asyik dan nyaman. Aku selalu betah berada disini sambil menulis apapun yang sedang menjadi moodku. Juga bisa duduk disini sampai malam dan setelah itu baru aku akan meminta Pak Danar menjemputku.

Pelayan disini pun sudah sangat kenal denganku, salah satunya yang paling dekat adalah Mbak Naya. Karena shiftnya memang dari sore sampai malam karena pagi sampai siangnya dia kuliah. Jadi aku lebih sering bertemu dengannya ketimbang pelayan yang lain. Pesananku pun dia selalu tahu apa, hot bread pudding chocolate.

"Boleh duduk disini?" sebuah suara membuyarkan konsentrasiku. Aku mendongakkan kepala untuk melihat siapa gerangan yang telah membuyarkan konsentrasiku.

"Emang ada yang nge...," Suaraku terhenti tepat ketika pertama kali aku menatapnya. Matanya bagaikan magnet yang sanggup menarik besi-besi tanpa ampun. Sayangnya, akulah salah satu besi-besi itu. Aku terlalu terbius dengan matanya. Seolah tak cukup dengan memandangnya, matanya memiliki sebuah karisma untuk menjelajah masuk ke dalamnya. Menebak-nebak, ada apa di balik mata itu.

Tubuhnya tinggi tegap menjulang. Rahangnya keras menyiratkan sikap kewibawaan pada dirinya. Kalau aku mengatakan dia tidak tampan apalagi jelek, itu sama saja aku berdusta besar. Kenyataannya dia tampan. Yah, tampan, oke, tampan sekali. Namun, tampan saja tak cukup untuk membuatku tertarik. Laki-laki ini mempunyai ketampanan seperti laki-laki tampan lainnya, tapi tidak dengan matanya. Matanya berbeda dari yang lain.

Berwarna hitam pekat dengan pupil mata yang tajam, membius mataku untuk tetap melihat ke dalamnya. Tajam seperti pisau. Elang. Matanya seperti mata elang. Sialan, aku tidak boleh kelihatan terlalu terpukau.

Aku membetulkan letak dudukku yang sedikit tidak nyaman, "..la-rang." Tanpa sadar aku melanjutkan kalimatku sebelum aku buru-buru memalingkan wajah, menolak kembali menatap ke dalam matanya.

Aku sudah memperbolehkannya duduk lantas ia menarik kursi di depanku dan duduk di atasnya. Kopinya yang masih panas ia taruh di atas meja. Sejujurnya aku bingung juga kenapa dia memilih tempat di depanku. Padahal masih banyak meja-meja kosong yang lain. Apa mungkin dia menyukai tempat di pojok, dekat kaca yang menghadap jalanan sepertiku? Entahlah.

Kembali aku memfokuskan diriku terhadap tulisan yang tengah kubuat. Tanpa memikirkan lebih jauh alasan mengapa dia duduk di depanku yang sebenarnya tidak terlalu penting. Menit-menit berlalu dengan sangat tidak nyaman. Aku merasa terintimidasi dengan tatapannya yang tertuju ke arahku. Aku bisa merasakan tatapannya yang melihatku menulis.

Kuputuskan untuk berhenti dan menatapnya kembali. Meski sadar aku tengah menatapnya dan menghentikan atvitasku, ia masih menatap.

"Kenapa?" tanyaku memberanikan diri.

Dia mengernyitkan keningnya beberapa saat, "Apanya yang kenapa?" tanyanya balik.

"Lo ngeliatin gue terus. Risih tau." jawabku.

"Emang?" mendengar kalimatnya barusan membuatku sedikit terkejut. Bisa-bisanya masih bertanya.

Aku memutar kedua bola mataku, "Iya."

"Sorry deh kalo gue bikin lo risih."

Aku mengabaikan permintaan maafnya dan melanjutkan aktivitasku. Selama beberapa menit dia memang tidak memandangiku lagi. Aku lega di buatnya dan lebih santai untuk menulis. Sampai aku mendengar bunyi ponselnya, kulihat dari sudut mataku ia membaca pesan yang datang di ponselnya. Aku tidak melihatnya lagi dan melanjutkan menulis.

Sampai aku merasakan dia bangkit berdiri dan meninggalkan cafe. Aku refleks menoleh ke pintu keluar dan melihatnya berjalan menjauh lalu masuk ke dalam mobil. Setelah mobilnya menghilang dari pandanganku aku kembali hendak fokus pada laptopku sampai aku menemukan selembar tisu yang di lipat di depanku.

Penasaran, aku membukanya.

Gue suka ngeliat ekspresi lo

-Elang-

***

 

 

 

 

 

 

Episode 2

Bab 2

Elang. Elang. Elang.

Nama itu memenuhi pikiranku saat ini. Mata setajam elang milik Elang. Masih sangat jelas tatapannya seolah mengajakku menelusuri ke dalamnya. Kerap kali aku mencoba untuk menghapusnya dan memikirkan hal lain. Namun, rasanya sulit sekali untuk tidak memikirkannya. Mata itu. Mata elangnya. Mata elang milik Elang.

Kutengadahkan kepalaku keatas, menghirup napas dalam-dalam. Rasanya seperti di sebuah fiksi-fiksi. Ada dimana saat-saat kebetulan itu terjadi. Aku tidak tahu apakah ini adalah suatu kebetulan, yang jelas, entah kenapa hal ini cukup mengganggu konsentrasiku. Aku teringat dengan lembaran tisu yang ia berikan padaku.

Tisu yang di tinggalkannya di atas meja saat ini masih kusimpan dalam dompet. Dengan gerakan cepat aku mengambil dompet tersebut dan mengeluarkan lembaran tisu itu. Kubaca dengan seksama tulisan yang berada diatasnya. Meski rasanya sudah berulang kali aku membaca tulisan ini. Aku masih mengernyit tidak habis pikir.

Gue suka ngeliat ekspresi lo

-Elang-

Orang ini blak-blakan sekali. Aku dan dia bahkan baru bertemu sekali. Bagaimana mungkin dia sudah terang-terangan mengatakan hal itu? Apa jangan-jangan dia seorang perayu perempuan yang akan di jual ke luar negri seperti yang di film-film? Membayangkannya saja membuat bulu kudukku meremang. Aku bahkan harus mengusap lenganku beberapa kali untuk menetralisir perasaan meremang yang menyerang. Kugelengkan kepala kuat-kuat. Tidak, tidak, jangan berpikiran yang aneh.

Aku menjernihkan kembali pikiranku. Kembali fokus pada tulisannya. Dia bilang menyukai ekspresiku. Apanya yang dia suka dari ekspresiku? Aku bahkan tidak tahu bagaimana ekspresiku saat menulis. Mungkin kapan-kapan aku akan berkaca. Eh? Sepertinya itu tidak mungkin, itu sudah pasti tidak akan terlihat. Tapi... sudahlah, untuk apa sih aku harus capek-capek memikirkan hal tidak penting seperti ini?

Lagipula, untuk apa aku harus menulis selembar penuh dalam microsoft wordku dan hanya membahas tentang Elang? Toh, dia hanya kebetulan sekali bertemu denganku dan kuyakin tak akan bertemu lagi.

Tapi, takdir siapa yang bisa melawan?

***

Di genggaman tangan kananku sudah terisi oleh es jeruk yang tadi lupa kupesan. Aku berbalik untuk berjalan ke arah meja tempat dimana teman-temanku duduk. Kantin sungguh ramai sekali. Jelas ini adalah jam makan siang dan sudah pasti perut-perut keroncongan butuh asupan makanan.

Langkah yang kuambil tidak cepat namun juga tidak lambat. Sebisa mungkin aku menghindari untuk bersenggolan dengan orang-orang yang berlalu lalang di kantin. Namun kehati-hatian itulah yang bisa saja menimbulkan bencana.

Splash!

Seperempat es jeruk yang tengah ku pegang sukses tumpah ke permukaan seragam seseorang di depanku sekarang. Aku mendongak hendak meminta maaf tapi baru sedetik melihat siapa di depanku, bibirku terasa kelu.

Di depanku kini ada Alfa.

Ya, Alfa.

Laki-laki yang tidak bisa membuatku berpaling darinya bahkan sudah lima tahun lamanya. Yang bahkan aku tidak tahu dia tahu namaku atau tidak.

"So-sorry," kataku terbata-bata. Aku mengambil tisu dalam saku seragamku yang kebetulan pas sekali ada satu buah.

Aku hendak membersihkan seragamnya ketika tanganku di tahan olehnya, "So-sorry, gue gak sengaja," aku hanya bisa tertunduk menahan rasa bersalah sekaligus malu. Bagaimana mungkin aku bisa sedekat ini dengan Alfa dalam keadaan aku yang menumpahkan segelas es jeruk ke seragamnya? Mungkin dia akan segera membenciku.

Namun tak kusangka, kurasakan bibirnya malah berkedut keatas. Dia tersenyum kepadaku?

"Gapapa," katanya.

"Sorry ya gue...,"

"Lo udah tiga kali bilang sorry dan gue rasa itu udah lebih dari cukup," setiap ucapan yang keluar dari bibirnya sungguh rileks tanpa beban. Berbeda sekali denganku yang sudah dag dig dug seperti menahan sesuatu.

Aku hanya bisa meringis ke arahnya.

"Biar gue aja yang bersihin, thanks ya buat tisunya." Alfa kemudian berlalu dari hadapanku, meninggalkanku yang masih setengah kaget dengan reaksinya.

Aku melambatkan jalan kearah meja yang tadi kutempati. Teman-temanku disana sudah tertawa-tawa entah sedang nmenertawakan apa. Yah, pikiranku sekarang masih terpaut pada Alfa yang kini sudah berada di lapangan.

***

Saat aku masuk ke dalam rumah setelah pulang sekolah. Kulihat Mama dan Papa sedang duduk di ruang keluarga, sementara Papa seperti biasa sibuk dengan ponselnya. Sementara Mama sibuk dengan laptop nya.

"Tumben di rumah," kataku sekalian menyapa.

Mama dan Papa langsung menoleh, Papa buru-buru mengakhiri sambungan telponnya.

"Cha, besok malem ikut ya ke acara temen relasi Papa, beliau baru buka cabang baru di Jakarta." kata Mama.

"Ga mau, isinya orang kantoran semua. Ntar cuma Mocha lagi yang masih ABG." Aku menghempaskan tubuhku di atas sofa.

"Ini semacam acara keluarga gitu kok, Cha. Jadi gak terlalu formal-formal banget. Davo juga udah Mama bilangin biar ikut."

"Terus kak Davo mau?"

Pintu utama terbuka menampilkan sosok tinggi Davo, "I'm home." itu sapaan setiap Davo masuk ke dalam rumah. Dia memang sedikit sok kebarat-baratan.

"Davo, kamu pokoknya besok ikut ya." kata Mama.

"Ikut?" Davo mengernyit bingung, entah beneran bingung atau pura-pura bingung.

"Ke acara temen relasi Papa, Davo."

"Besok malem ya? Ga bisa, Ma, Pa, Davo udah ada janji sama temen."

"Emang gak bisa di batalin?"

"Nggak, Ma." jawabnya santai. "Davo keatas dulu ya. Eh iya Cha, kemarin gue minjem dvd di kamar lo."

"Pantes tiba-tiba ilang." gerutuku diiringi dengan Davo yang berlarian naik ke tangga sambil bersiul-siul.

"Ikut ya, Cha." kata Papa.

"Tapi..."

"Harus ikut, sekalian ngenalin kamu ke temen-temen relasi Papa siapa tau ada yang naksir kamu." Aku mengernyitkan kening tak mengerti.

Naksir apaan.

***

Besok malamnya aku baru akan beralasan pada Mama untuk tidak ikut ke acara mereka dengan alasan tidak ada satu pun gaun atau baju yang cocok untuk pergi ke acara formal selain kebaya bekas pernikahan saudara-saudara dan wisuda SMP.

Tapi sepertinya hal itu sudah ia antisipasi mengingat tiba-tiba setelah aku mandi Mama masuk ke dalam kamar dengan membawa sebuah gaun. Gaunnya bagus, tapi aku tidak tahu apa akan bagus juga jika di pakai olehku?

"Lima menit." sahutnya di ambang pintu. Aku hanya bisa melongo dengan reaksi antisipasi Mama.

Pada akhirnya aku memakai juga gaun tersebut walau dengan setengah hati. Kupandangi diriku di kaca. Gaunnya memang bagus tapi sayangnya orang yang memakainya tidak. Yah, maaf ya gaun telah mengecewakanmu.

Bersamaan dengan aku keluar dari kamar, pintu kamar Davo juga terbuka. Davo sudah siap pergi rupanya.

"Hey, ugly." sapanya riang.

Aku mendengus kesal kearahnya, "Nggak jelas." Kesal jika ia memanggilku dengan sebutan itu dan benci setengah mati dengan Davo, bisa-bisanya bilang pergi dengan teman dan sudah janjian? Kalau sampai aku tahu ternyata dia jalan dengan perempuan aku akan mengadukannya ke Mama dan Papa.

"Have fun, babe." Davo mencubit pipiku. Hal yang paling aku tidak sukai dari kelakuannya. Aku baru akan membalas tapi Davo lebih cepat dariku untuk turun ke bawah. Ditambah dengan gaun yang kupakai menambah beban pada diriku.

"Kalo udah cantik pake gaun jangan lari-larian gitu dong, sayang." tegur Papa yang sudah siap di bawah dan melihat aksi kejar-kejaranku dengan Davo.

"Bye, ugly." teriak Davo di ambang pintu utama lalu secepat kilat keluar rumah dan masuk ke dalam mobilnya.

"Bodo!"

***

Demi Tuhan pencipta alam semesta, aku paling tidak suka dengan keramaian. Rasanya risih sekali, seakan semua orang sedang menatap kepadaku. Padahal aku tahu kalau itu hanya paranoidku saja. Tapi, perasaan tidak nyaman memang selalu hinggap pada diri ini ketika banyak orang-orang di sekitarku. Mungkin ini bawaan lama. Mungkin juga itu sebabnya aku di ciptakan untuk menyukai dunia tulis menulis. Bawaan menulis itu selalu tenang dan hangat. Lagipula butuh tempat sepi untuk bisa menulis, bagiku.

Perlahan aku menyingkir dari keramaian. Mama dan Papa sudah sibuk berbincang-bincang dengan teman-teman bisnisnya. Memang sih lumayan banyak anak seumuranku yang berada disini, mungkin mereka anak-anak yang di paksa ikut juga oleh orangtuanya. Sama sepertiku. Tapi, aku hanya merasa kurang cocok dengan mereka semua. Baru dua orang yang mengajakku berbicara tapi pembicaraan langsung menjerumus ke arah.

"Itu yang disana cakep ya."

"Ih itu keren."

"Siapa ya namanya?"

Jangan menyebutku kuno atau semacamnya. Aku juga perempuan, tentu saja pernah berperilaku seperti itu. Mengatakan ini tampan itu oke dan sebagainya. Namun, rasanya aneh saja ketika kita baru berkenalan dengn seseorang sudah membicarakan hal yang sifatnya sensitive menurutku. Aku mengambil segelas minum yang tidak kuketahui apa namanya. Sialnya, akhir-akhir ini kenapa aku selalu tidak fokus dengan pikiranku? Dan ini lumayan fatal akibatnya mengingat tiba-tiba saja aku sudah menumpahkan -lagi- isi dalam gelasku.

"Eh, sorr ..,"

Setelah mengetahui siapa yang baru saja kena sial akibat ulahku, rasanya aku ingin tiba-tiba tenggelam saja ke dalam tanah. Atau mungkin bisa tiba-tiba aku bisa berubah menjadi tidak terlihat.

"Kayanya numpahin minuman itu udah jadi hobi lo ya?" Dari nada suaranya aku tahu dia tidak marah, malah memendam sedikit rasa geli dalam nadanya. Ah, tetap saja. Yang namanya malu ya malu.

Aku menggigit bibir bawah serta memberikan cengiran terbaikku, "Ini udah dua kali gue numpahin minuman ke lo. Sor ..,"

"Ga usah minta maaf, Mocha." bibirnya terangkat keatas membentuk sebuah senyuman.

Apa tadi katanya? Mocha? Mocha? Mocha? Jadi dia tahu namaku? Jadi Alfa tahu namaku? Ya Tuhan, kalau ini bukan dalam keramaian rasanya aku ingin mengeruk tanah sampai habis dan lompat sampai bumi berguncang.

Terserah ini berlebihan atau tidak, aku senang. Sangat senang. Senang. Senang.

Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak tersenyum.

"Senyum-senyum sendiri gitu." Aku baru sadar bahwa di depanku masih ada Alfa. A-l-f-a. Buru-buru aku melenyapkan senyuman di wajahku dan menatapnya dengan perasaan campur aduk.

"Eh?" ucapku refleks. "Hehehe."

"Bokap nyokap lo disini juga?" tanyanya.

"Eh, i..ya." jawabku.

Suara orang memanggil namanya membuat ia harus pamit terhadapku.

"Gue kesana dulu ya." dan aku hanya bisa mengangguk.

Acara baru sampai pada acara pertengahan, itu artinya para tamu yang di undang akan menerima ucapan selamat datang dan segala macamnya dari yang mengundang. Lalu setelah itu baru di persilahkan untuk makan malam.

Seorang bapak-bapak yang kutaksir umurnya sekitar 45-an naik ke atas podium bersama perempuan yang sekiranya umurnya sama.

"Terima kasih para tamu yang sudah datang..."

Initinya aku tidak mendengar kalimat selanjutnya karena aku sibuk dengan ponselku. Sampai kalimat yang sempat kudengar terdengar di telingaku yang entah mengapa membuatku refleks menoleh.

"Juga saya ingin memperkenalkan anak-anak saya yang nantinya akan meneruskan bisnis keluarga Gelar Wijaya.."

Yang di persilahkan untuk naik ke podium naik juga. Aku tercengang beberapa saat menyaksikan apa yang baru saja kulihat di depanku.

Tidak mungkin, ini pasti tidak mungkin.

Tapi, bagaimana bisa?

--

 

 

Episode 3

BAB 3

"Anak pertama kami Elang Gelar Angkasa dan anak kedua kami Alfaraga Gelar Batara."

Aku hanya bisa tercenung mendengar setiap kata yang keluar dari bibir Om Gelar Wijaya. Selesai mengucapkannya dua anak adam yang dua-duanya kuketahui hanya tersenyum menyambut tepuk tangan yang di berikan oleh para tamu. Bisa kudengar suara bisik-bisik remaja seusiaku yang mengomentari tentang Elang dan Alfa.

Ini sungguh sebuah kebetulan.

Dari awal aku selalu memerhatikan Alfa, belum pernah ada kabar sedikitpun mengenai bahwa Alfa mempunyai seorang kakak laki-laki. Yang kutahu Alfa anak tunggal, tapi ternyata?

Ternyata dia memiliki seorang saudara kandung. Laki-laki-dan-itu-Elang. Seorang laki-laki yang tiga hari lalu memberikanku sebuah tisu yang berisikan sebuah tulisan. Yang bahkan tulisan itu mengandung makna terang-terangan.

Selesai acara penyambutan, tamu di persilahkan untuk mencicipi hidangan yang sudah tersedia. Aku memilih pergi hendak mencari toilet. Sekalian aku keluar dari keramaian dan bisa tenang dalam kesunyian. Aku membasuh tanganku dengan air di wastafel lalu memandangi diriku di depan cermin.

"Elang.. Alfa.. kenapa bisa kebetulan?"

Aku menggumamkan kalimat itu lebih untuk ke diriku sendiri. Sekitar lima belas menit aku berada di dalam toilet dan setelah itu kuputuskan untuk keluar. Aku membuka pintu toilet ketika pandanganku menangkap sosok laki-laki yang tengah bersender pada tembok, tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya dan pandangannya lurus ke depan.

Aku mengerjapkan mataku untuk memastikan bahwa itu benar dia yang sekarang berada di hadapanku. Insting otakku mengatakan untuk menghiraukan saja dia dan berjalan cepat ke dalam sana lalu meminta orangtuaku untuk segera pulang. Tapi terlambat, dia lebih dahulu merasakan kehadiranku bahkan sebelum aku berbalik untuk pergi.

"Hai," sapanya. Ia membetulkan posisi berdirinya agar tidak menyender pada tembok lagi dan sepenuhnya menghadap ke arahku.

"H-hai?" ucapku ragu.

Jawabanku malah mengundang secercah senyuman di bibirnya walau sedikit tidak kentara.

"Lo lama banget di dalem," katanya.

Aku mengernyitkan kening, "Lo.. nungguin gue?"

Ia mengangkat bahunya acuh dan menghela nafas sebentar sembari kepalanya ia tundukkan sebentar ke bawah. Kemudian pandangannya kembali menatapku. Mata elangnya menatapku.

"Bisa di bilang gitu, kalo lo mikirnya gitu," jawabnya membuatku bingung. "Gue ngeliat cewek kayanya bete banget di dalem sana terus cewek itu milih kabur buat ke toilet. Dan, gue ngikutin cewek itu."

"Cewek itu...,"

"Yep, lo." belum sempat aku menjawab ia lebih dahulu memotong kalimatku. "Biasa sendirian. Cuma di temenin laptop jadi di keramaian lo kaya takut gitu."

Sejak kapan dia tau aku biasa bersama laptopku?

"Bukan takut, tapi risih." koreksiku.

"Yah, apalah itu. Tadi gue juga liat lo numpahin minuman ke baju Alfa, saudara gue." katanya. "Lo canggung, gue tebak lo suka dia."

Aku setengah terkejut mendengar pernyataannya. Sejelas itukah perasaanku terhadap Alfa sehingga orang lain bisa menebaknya? Tidak, pasti dia hanya asal tebak.

"Jangan ngaco," balasku datar.

Dia menaikkan sebelah alisnya, "Gue cuma memberikan pernyataan dengan apa yang gue liat. Kalo salah gak masalah," katanya. "Ngomong-ngomong, kita belum kenalan secara resmi. Tapi, lo udah tau nama gue, kan? Dari tisu yang gue kasih ke lo sama tadi bokap gue ngenalin gue sama Alfa."

Dia banyak omong.

"Elang," ia mengulurkan tangannya.

"Mocha, Mochaccino." aku menyambut uluran tangannya.

"Sejujurnya, gue udah tau." dia menaikkan sudut bibirnya keatas, memberi kesan abu-abu pada dirinya. Mata elangnya berkilatan seperti memendam sesuatu. "Kalo lo mau nanya gue tau darimana, itu gak penting."

Memang itu yang ingin kutanyakan, bagaimana dia bisa lebih dulu tau? Tapi jawabannya membuatku sekali lagi hanya diam. Apa dia bisa membaca pikiran? Entahlah.

"Gue pernah denger mitos kalo lama-lama di dalem toilet atau di luar toilet, kita bisa diikutin sama penunggunya," tiba-tiba dia menyatakan tentang mitos tersebut. Refleks bulu kudukku meremang. Pada dasarnya aku memang takut hantu.

"Se-rius?" tanyaku was-was sambil melirik sekeliling. Dia mengangguk tanda iya, refleks kakiku bergerak maju hendak pergi jauh-jauh dari toilet sebelum aku menyadari ada sebuah tubuh berada tepat di depanku.

"Mau kemana?" suaranya terdengar tepat di samping telingaku. Membuatku mundur selangkah agar tidak timbul perasaan aneh pada diriku.

"Jauh-jauh dari toilet," kataku pelan menahan takut yang kini sudah menjalar. Ditambah tadi suaranya yang tepat di samping telingaku.

Kulihat ia tersenyum geli mendengar jawabanku, "Lo takut?"

"Siapa sih yang gak takut kalo tiba-tiba di depannya ada pocong atau kuntilanak."

"Gue nggak," sahutnya.

"Iya, gue gak nanya."

Jawabanku sukses membuatnya terkekeh. Aku hanya mengernyitkan keningku sambil berpikir dimana letak lucunya.

"Ayo masuk ke dalem, sebelum ada pocong atau kuntilanak yang...," Elang belum menyelesaikan kalimatnya tapi aku sudah lebih dahulu berjalan cepat mendahuluinya. Antara takut melihat hantu juga sedikit aneh berada dekat dirinya.

"Terserah," gumamku.

***

Aku terbangun mendengar alarm yang berbunyi di dalam kamarku. Mataku terbelalak melihat jarum jam di angka 06.20 WIB. Aku lari terbirit-birit ke dalam kamar mandi. Hanya butuh waktu sebentar untk mandi aku segera bersiap-siap. Setelah selesai aku langsung turun, melewati dua anak tangga sekaligus agar lekas sampai ke bawah.

Di meja makan tidak ada orang, Davo juga tidak ada. Sepertinya sudah pada berangkat ke tujuan masing-masing. Cepat aku menyambar sehelai roti tanpa perlu mengolesi selainya dan meneguk seperempat susu.

"Pak Danar, buruan ya nyetirnya."

Jantungku sudah berdebar akibat capek juga lari-larian juga karena takut kalau terlambat. Di sekolahku menerapkan sistem "terlambat=pulang". Seumur-umur aku belum pernah terlambat ke sekolah dan ini untuk yang pertama kalinya aku terburu-buru mencapai ke sekolah.

Aku sampai di sekolah tepat pada pukul 06.58, itu artinya dua menit lagi gerbang akan di tutup. Buru-buru aku turun dari mobil dan berlari-lari menuju pintu utama yang jaraknya cukup jauh dari lapangan parkiran.

Harapanku kian lama kian terkikis melihat jam sudah menunjukkan pukul 06.59, itu artinya lagi aku hanya punya waktu satu menit untuk sampai ke pintu utama. Sampai akhirnya aku merasakan tanganku di tarik oleh seseorang agar mengikuti langkahnya. Ternyata yang sedang menarikku sekarang adalah Alfa.

"Ikutin langkah kaki gue," perintahnya.

Tidak sempat untuk memikirkan lebih lanjut tentang Alfa yang menarikku. Aku mengikuti langkah-langkahnya untuk berlari dan pada akhirnya tepat guru BK akan menutup pintu kami berdua sudah sukses masuk ke dalam.

Nafasku tidak beraturan saat ini, keringat juga sudah mulai membasahi dahiku. Kulihat di sampingku Alfa terlihat biasa-biasa saja. Mungkin karena ia rajin olahraga dan ditambah ia ikut futsal jadi sudah terlatih.

"Thanks," kataku di sela-sela nafasku.

Alfa mengangguk sambil menyunggingkan senyum, "Anggep aja balesan dari tisu yang waktu di kantin."

"Itu kan.. gue yang salah."

"Gue juga salah kok, harusnya gue liat ada lo di depan gue biar gue bisa minggir."

"Tapi.."

"Oke, kita berdua sama-sama salah, gimana?" katanya.

Mau tidak mau aku tersenyum seraya mengangguk, "Oke." Nafasku masih tak kunjung teratur saat ini. Melihat hal itu Alfa hanya menarik sudut bibirnya ke atas.

"Jarang olahraga ya?" tanyanya.

Aku menoleh kearahnya, "Eh..iya."

"Kalo bisa sih tiap sabtu minggu aja lo lari pagi, pasti kalo hampir telat gak kejadian kaya tadi lagi."

Aku hanya bisa meringis kearahnya.

Alfa melirik jam tangannya, "Gue ke kelas duluan ya." Aku mengangguk mengiyakan.

***

"Hari ini nonton yuk, ada film bagus tuh." ajak Vee.

"Ayo! Besok sabtu ini, lagian gue sama Dito gak ada rencana pergi sih hari ini." Lyla yang baru selesai mencatat langsung menghadap ke belakang. "Lo ikut gak, Ta?" Lyla menoleh ke arah Tita yang masih mencatat.

"Iya, iya, ikut." katanya di sela-sela mencatat.

"Lo, Cha?" tanya Lyla.

Aku berpikir-pikir sejenak, sebenarnya aku sedang malas untuk nonton. Lagipula hari ini aku ingin ke Groovey cafe dan menulis sepuas-puasnya.

"Kayanya nggak deh," kataku.

"Yah, kenapa nggak?" tanya Vee.

"Males aja, ntar deh kalo nonton lagi gue ikut."

Pada akhirnya aku berpisah saat pulang sekolah dengan ketiga temanku. Mereka bersama-sama naik mobil Vee menuju ke mall. Sementara aku menunggu taksi untuk ke Groovey cafe.

"Kaya biasa, Cha?" baru aku menjatuhkan bokongku di tempat favoritku, mbak Naya sudah menghampiriku.

Aku tersenyum kearahnya sambil mengangguk, "Iya mbak."

Mbak Naya berbalik untuk memesankan pesananku. Segera aku mengeluarkan laptop milikku. Setelah menyala sepenuhnya aku kembali fokus pada tulisanku.

Karena terlalu sibuk dengan aktivitasku aku tidak menyadari bahwa sudah sedari tadi ada yang duduk di depanku. Aku menoleh ketika suara Mbak Naya terdengar memasuki rongga dalam telingaku.

"Hot bread pudding chocolate seperti biasa," kata Mbak Naya.

"Makasih mbak," kataku.

"Mau pesen apa, Lang?" pertanyaan Mbak Naya refleks membuatku menoleh ke arah pandangan Mbak Naya. Kalau aku tidak waras pasti aku akan membuka mulutku lebar-lebar akibat terkejut setengah mati mengetahui Elang sekarang sudah berada di depanku. Tapi tunggu dulu, kenapa Mbak Naya kenal Elang?

"E-lo?" ucapku.

"Coffee mocha smoothie," jawab Elang mantap. Mbak Naya tersenyum seraya berbalik pergi untuk membawa pesanan Elang. Mendengar ia memesan coffee mocha smoothie membuat darahku sedikit berdesir. Karena di dalam coffee mocha smoothie itu ada namaku, Mocha.

"Kita ketemu lagi," kata Elang.

"Ngapain disini?" tanyaku.

"Emang kenapa?" tanyanya balik.

Aku ingin sekali mengatakan tentang pikiranku sekarang. Jangan-jangan dia sengaja mengikutiku. Tapi, mengikutiku rasanya tidak mungkin.

"Gapapa." kataku akhirnya.

"Lo kalo di depan laptop serius banget, lagi apa?" tanyanya.

Aku tidak ingin bilang padanya bahwa aku sedang menulis novel, ditambah novel ini ada nama dirinya. Atau mungkin kalau dia terus-terusan ada di depanku, bisa-bisa isi novel ini semuanya tentang dirinya.

Tapi tidak apa-apa sih, dia menguntungkan juga karena isi novel ini menjadi tidak flat.

"Main game," jawabku.

Dia mengangkat sebelah alisnya, "Main game tapi kok tangan lo ngetik terus?"

"Lagian ngapain si lo ngeliatin? Kan gue udah bilang kalo gue risih di liatin," kataku.

"Ya gimana? Susah kan kalo udah suka?"

Jawabannya membuatku terdiam. Aku tidak berani lagi menjawab dan alih-alih menjawab aku malah meneruskan untuk tanganku menari-nari di atas keyboard. Walaupun aku tidak bisa berpikir apa yang akan aku tulis.

Jadi, aku memutuskan untuk menutup laptopku dan menyambar hot bread pudding chocolate kesukaanku.

"Kenapa di tutup?" tanya Elang.

"Gapapa."

"Lo suka kesini?"

"Suka."

"Tapi dua hari yang lalu kenapa gak kesini?" dia bertanya lagi. Pertanyaannya membuatku mengernyitkan kening untuk kesekian kalinya.

"Kok tau?"

"Soalnya gue kesini, tapi lo gak ada," sebagai jawaban aku hanya membulatkan bibirku. "Biasanya lo kesini hari apa aja?"

"Emang kenapa?"

"Biar kalo gue kesini ada lo," dan Elang adalah orang paling jujur yang pernah aku kenal. Padahal seharusnya dia bersikap tidak terlalu jujur di depan orang yang baru ia kenal. Apalagi lawan jenis.

"Gue gak mau ngasih tau."

"Kenapa?"

"Kalo ada lo gue risih."

Elang mengangkat sebelah sudut bibirnya, "Risih?"

"I..ya."

"Tapi gue suka ngeliat lo risih."

***

Hari Kamis, itu artinya jadwal Alfa untuk latihan futsal. Biasanya aku akan ke kantin dan memesan semangkuk mie ayam atau somay lalu pura-pura sedang memakannya padahal ujung mataku melirik ke lapangan. Biasanya juga selang lima belas menit kemudian setelah makananku habis aku akan beranjak pergi dari kantin dan menuju ke parkiran.

Tak lupa untuk melirik untuk terakhir kalinya ke lapangan. Rasanya senang saja melihat Alfa yang bermain futsal, walau hanya sebentar aku melihatnya. Tapi aku merasa puas. Dan kegiatan itu rutin kulakukan sejak menginjakkan kaki di kelas sebelas.

Untuk hari ini aku tidak melihat Alfa di lapangan sana padahal teman-temannya sudah berkumpul. Mataku berkeliaran untuk mencari sosoknya, hingga somay yang kupesan tinggal setengah, Alfa tak kunjung kulihat. Jadi, kuputuskan untuk menyudahinya dan mengangkat tubuhku dari kursi kantin. Kali ini perasaanku tidak puas mengingat tidak ada Alfa disana.

Pak Danar sudah menungguku di samping mobil dan seketika langsung membukakan pintu ketika aku datang menghampirinya. Aku naik ke dalam mobil lalu menghadapkan wajahku ke jendela seperti biasa. Beberapa detik mataku menjelajah melihat keluar jendela, rasa untuk tersenyum tidak dapat kutahan ketika kulihat sosok Alfa sedang berdiri di samping mobilnya. Ternyata Alfa masih di sekolah. Tapi kenapa dia tidak masuk ke dalam dan latihan bersama teman-temannya? Tahu kalau dia berada di dekat mobil, seharusnya aku disini saja.

Jawabannya kudapatkan setelah melihat perempuan yang mendatanginya sambil membawa sebotol minuman. Ia tidak memakai seragam sekolah sepertiku, ia hanya memakai sebuah dress vintage berwarna coklat susu.

Sepertinya aku pernah melihat perempuan itu. Semakin lama mobilku sudah menjauh dari area sekolah sehingga aku tidak bisa melihat sosok Alfa dengan perempuan tadi. Tapi wajah perempuan itu masih tergambar jelas di benakku. Untuk kesekian kalinya aku mencoba meningat-ngingat lagi.

Siapa sih?

Kemudian ingatanku langsung terbang mengawang pada saat kelas sembilan. Sewaktu aku menonton pertandingan final futsal antar sekolah. Tim sekolahku masuk ke final dan Alfa sebagai kaptennya. Itu juga pertandingan terakhir baginya juga timnya karena tidak diperbolehkan lagi ikut lomba mengingat mereka sudah akan menempuh ujian akhir.

Disana kentara sekali raut wajah Alfa yang seperti sedang menunggu seseorang. Bahkan dalam permainannya dia menjadi tidak semangat. Sampai babak pertama usai, score dimenangkan oleh tim lawan. Kemudian mendekati detik-detik akhir timnya mulai mengejar kekalahan, dan tepat pada saat Alfa sudah hampir di jegat oleh lawan, pandangan Alfa menemukan sosok perempuan diantara kerumunan penonton, aku mengikuti pandangan Alfa dan melihat seorang perempuan cantik terlihat canggung berdiri diantara sekian banyak penonton. Sekilas Alfa tersenyum padanya.

Alfa berhasil keluar dari cegatan lawan dan memasukkan bola ke dalam gawang. Tim sekolahku sukses menang dengan score 2-1.

Sekarang aku ingat perempuan itu.

Namanya Carissa dan dia cinta pertama Alfa.

Dari desas-desus yang kudengar. Alfa sangat menyukai gadis ini. Tetapi, aku tidak pernah mendengar kalau Alfa masih berhubungan dengan Carissa. Kukira mereka tidak pernah lagi berhubungan. Apa Alfa masih menyukainya? Sial. Kenapa hal itu masih aku pertanyakan? Bodoh. Seharusnya aku sadar bahwa tipikal orang seperti Alfa tidak akan mudah pindah pada orang lain. Terbukti dari Carissa yang hari ini bahkan sampai berkunjung ke sekolahnya.

Apa .. Apa mereka berdua sudah kembali bersama?

***

Perasaan aneh langsung berkecamuk pada malam hari. Aku masih memikirkan soal Carissa yang berada di sekolah bersama Alfa. Padahal sudah berkali-kali aku memindahkan posisi tubuh, mencari posisi nyaman. Namun, tetap saja, pikiran itu masih membayangiku dan membuat tidak bisa tidur. Kesal karena sepertinya tubuh, pikiran, serta mata tidak ingin di ajak kompromi malam ini. Aku bangun dari posisi miring dan sebagai pelampiasannya aku mengambil laptop yang terletak di atas meja belajar dan membawanya ke atas kasur..

"50.000 years before the sky was introduced to the sea, God wrote down your name next to me.."

Entah kenapa aku menulis sebuah quote yang ditulis beberapa tahun lalu oleh salah satu sahabatku semasa SMP. Sepertinya pikiran kacau malam ini membuat aku menuliskannya. Aku merasa bahwa kalimat itu seperti menohokku. Aku terlalu menerka-nerka soal perasaan-perasaan orang yang aku sukai. Aku juga terlalu peduli soal hubungan yang terjalin diantara dirinya dengan orang lain. Padahal sudah jelas bahwa Tuhan sudah merancang takdir untuk kita. Menetapkan siapa yang akan mendampingi kita hingga maut memisahkan. Manusia seperti akulah yang membuat segalanya menjadi jauh lebih rumit. Terlalu memikirkan segalanya. Meratapi ketidakadilannya dan menangisi rancangannya.

Padahal tugas kita hanya berdoa yang terbaik dan dengan sendirinya hal baik akan datang pada kita. Like the stupid girl in the whole world. Aku menghela napas panjang. Memijat pelipis yang terasa cenat-cenut sedari tadi.

Mengenai hal itu aku juga ingat kata salah seorang motivator di salah satu stasiun televisi yang sering kutonton,

"Putus cinta itu nggak sakit, yang sakit itu udah putus tapi masih cinta..".

Yah, aku memang tidak memiliki hubungan apa-apa sih dengan Alfa saat ini. Namun, kenyataan bahwa Alfa masih bersama Carissa, perasaan yag menyerangku saat ini sama seperti putus cinta. Rasanya ingin sekali menertawai diriku sendiri.

Kenapa ya aku begini banget malam ini?

Kenapa juga pikiranku ngelantur kemana-mana?

***

"Minggu depan kamu sama Davo ke Anyer sana, ada festival kembang api, bagus banget. Sekalian check cottage keluarga kita yang ada disana," kebetulan makan malam kali ini ada Mama sama Papa dan tba-tiba mereka menyuruhku ke Anyer.

"Berdua doang?" tanyaku.

"Ya nggak dong, itu kan festival yang ngadain dari perusahaan Papa sama relasi-relasi bisnisnya. Nanti juga banyak lagi acara disana. Jadi, ya, rame."

"Banyak cewek nya nggak, Ma?" tanya Davo. "Aww! Apaan sih, Cha nyubit-nyubit." Davo meringis akibat menerima cubitan dariku.

"Lagian gatel banget sih nanyain cewek mulu. Urusin tuh kak Mila yang kemarin nangis-nangis di depan rumah."

"Nangis-nangis?" Papa mengernyit bingung.

"Itu tuh kak Mila, pacarnya kak Davo yang baru diputusin. Dia nangis-nangis di depan rumah gara-gara gak terima, kata Bibi sih."

"Davo, kamu tuh harusnya jangan seenaknya gitu dong mutusin cewek. Gak inget apa kamu punya adek cewek juga? Ntar kalo suatu saat adek kamu yang d gituin gimana?" tegur Mama.

"Mocha juga belum punya pacar kali, Ma."

"Ya emang harus sekarang? Gimana kalo nanti?"

"Tau tuh kak Davo sok kecakepan banget lagian jadi cowok. Ntar liat aja sekalinya cinta banget sama cewek terus di tinggalin gitu aja baru tau rasa."

"Nggak bakal lah."

"Dih apaan dah pede abis." cibirku.

"Sewot amat sih? Gampang sih kalo ada yang macem-macem sama lo bilang gue aja." Aku mengabaikan ucapan Davo dan melanjutkan makan malam.

"Terserah. Pokoknya kamu gak boleh sembarangan nembak terus mutusin cewek," sahut Mama. "Oh iya kan jadi lupa, ntar Pak Danar yang nganterin kalian berdua ke Anyer."

***

Kurasakan pipiku di tepuk-tepuk oleh seseorang. Aku menggumam pelan dan mengerjap-ngerjapkan mata. Sambil menguap aku menengok ke sekitar.

"Udah sampe, Cha." ternyata tidurku nyenyak sekali sampai benar-benar tidur sepanjang perjalanan. Aku mengangguk dan mengikuti Davo yang sudah lebih turun dari mobil. Pak Danar membuka pintu belakang mobil dan mengambil koper milik kami berdua. Rencananya kami akan menetap selama 4 hari 3 malam di Anyer.

"Ini nih cottage kita?" tanyaku sambil menyeret koperku.

"Gak tau juga sih, gue kan juga belum pernah kesini." jawab Davo. "Pak, ini cottagenya Papa sama Mama?"

"Oh iya den, masuk saja ke dalam disana ada Mbok Ijah yang suka beres-beres cottage," kata Pak Danar. "Kalo gitu saya permisi dulu ya non, den."

Davo lebih dulu masuk ke dalam cottage, sementara aku lebih memilih untuk menikmati pemandangan yang di suguhkan.

"Disini juga ternyata," sebuah suara membuyarkanku. Aku menoleh ke sumber suara dan mendapati sepasang mata tajam tengah menatapku.

"Lo.. lagi?"

Aku tidak habis pikir kenapa selalu bertemu dengan Elang. Tapi mungkin pertemuan ini sebenarnya bukan suatu kebetulan mengingat orang tuanya adalah relasi bisnis orangtuaku juga. Jadi, mungkin saja dia kesini atas perintah orang tuanya juga.

"Sebenernya gue gak minat ikut kesini, tapi katanya anaknya Om Wibowo ikut. Jadi, gue ikut."

Aku memutar kedua bola mataku, Om Wibowo itu Papaku. Anak yang ia maksud aku atau Davo?

"Anaknya Om Wibowo yang man..."

"Yang cewek, lo." katanya sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku. Kenapa sih dia selalu memotong apa yang sedang ingin kukatakan?

"Isi dari tas yang lo gendong pasti ada laptop," tebaknya. Dia memang benar, di dalam tas ini hanya ada laptop, kamera, juga dompet.

"Gimana kalo ternyata nggak ada?" tantangku.

"Taruhan?" tantangnya balik.

Aku mencengkram lebih erat penggeret koperku, "Apa?"

Dia tersenyum misterius sementara matanya berkilat menambah efek dramatis kedalam matanya dan membuatnya seakan semakin dalam dan tajam. Dan sialnya kenapa juga aku harus terpukau sih?

"Kalo sampe ada laptop di dalem..."

"Nggak jadi, iya emang ada laptop," potongku cepat. Aku tidak ingin mendengar taruhan apa yang keluar dari bibirnya. Mengingat di awal ia sudah tersenyum misterius dan matanya yang berkilat membuatku jantungku tidak karuan. Aku tidak berani. Aku tidak berani menantang mata elang milik Elang.

Bibirnya berkedut keatas mengukirkan sebuah senyum simpul, "Takut?"

Iya takut, gimana kalo dia minta yang macem-macem?

"Taruhan itu kan.. nggak baik," oke, itu alasan paling masuk akal yang pernah kulontarkan pada seseorang. Mendengar alasan itu Elang hanya terkekeh.

"Oke jadi, ini cottage lo?" tanyanya, aku hanya mengangguk. "Cottage gue disitu," tunjuknya tepat pada cottage yang berada di depan cottageku.

"Terus kenapa?" tanyaku.

"Barangkali lo butuh temen buat di ajak jalan-jalan."

"Nggak makasih, ada kakak gu..."

Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, Davo keluar dari cottage. Pakaiannya sudah ia ganti menjadi lebih santai.

"Cha, gue mau nemuin Arik dulu, temen SMA gue ternyata juga disini. Lo sen..." arah mata Davo menemukan sosok Elang. "Eh, lo Elang kan anaknya Om Gelar? Kenal sama adek gue?"

"Hampir," jawab Elang. Jawaban Elang membuatku mengernyitkan dahi, apa maksudnya coba hampir? Aku hanya mengedikkan bahu dan mengabaikannya.

"Oh ya udah, lo jalan-jalan gih sana Cha sama Elang, bye." Davo meninggalkan aku berdua dengan Elang. Pandangan Elang mengarah padaku lagi, alisnya naik satu keatas.

"Jadi, masih nggak butuh temen buat jalan-jalan?" tawarnya sambil menahan geli dalam nada suaranya.

Perasaan kikuk langsung menyerang, bingung mau menjawab apa.

"Non, kok masih di luar? Sini kopernya mbok bawain," tiba-tiba perempuan setengah baya keluar dari cottage dan langsung menyambar koperku. Mungkin itu yang bernama Mbok Ijah.

"Makasih mbok."

Belum sempat aku melakukan sesuatu, kurasakan sebuah tangan menarik tubuhku. Terkesiap aku menatap gamang pada tangan yang menarikku barusan dan beralih pada pemiliknya. Elang telah mencuri start dengan memaksaku untuk mengikuti setiap langkahnya. Beberapa detik selanjutnya aku hanya terdiam dan mengikuti setiap geraknya. Namun, yang kutahu, darahku sedikit berdesir ketika menerima sentuhan tangannya.

"

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!