BAB 3
"Anak pertama kami Elang Gelar Angkasa dan anak kedua kami Alfaraga Gelar Batara."
Aku hanya bisa tercenung mendengar setiap kata yang keluar dari bibir Om Gelar Wijaya. Selesai mengucapkannya dua anak adam yang dua-duanya kuketahui hanya tersenyum menyambut tepuk tangan yang di berikan oleh para tamu. Bisa kudengar suara bisik-bisik remaja seusiaku yang mengomentari tentang Elang dan Alfa.
Ini sungguh sebuah kebetulan.
Dari awal aku selalu memerhatikan Alfa, belum pernah ada kabar sedikitpun mengenai bahwa Alfa mempunyai seorang kakak laki-laki. Yang kutahu Alfa anak tunggal, tapi ternyata?
Ternyata dia memiliki seorang saudara kandung. Laki-laki-dan-itu-Elang. Seorang laki-laki yang tiga hari lalu memberikanku sebuah tisu yang berisikan sebuah tulisan. Yang bahkan tulisan itu mengandung makna terang-terangan.
Selesai acara penyambutan, tamu di persilahkan untuk mencicipi hidangan yang sudah tersedia. Aku memilih pergi hendak mencari toilet. Sekalian aku keluar dari keramaian dan bisa tenang dalam kesunyian. Aku membasuh tanganku dengan air di wastafel lalu memandangi diriku di depan cermin.
"Elang.. Alfa.. kenapa bisa kebetulan?"
Aku menggumamkan kalimat itu lebih untuk ke diriku sendiri. Sekitar lima belas menit aku berada di dalam toilet dan setelah itu kuputuskan untuk keluar. Aku membuka pintu toilet ketika pandanganku menangkap sosok laki-laki yang tengah bersender pada tembok, tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya dan pandangannya lurus ke depan.
Aku mengerjapkan mataku untuk memastikan bahwa itu benar dia yang sekarang berada di hadapanku. Insting otakku mengatakan untuk menghiraukan saja dia dan berjalan cepat ke dalam sana lalu meminta orangtuaku untuk segera pulang. Tapi terlambat, dia lebih dahulu merasakan kehadiranku bahkan sebelum aku berbalik untuk pergi.
"Hai," sapanya. Ia membetulkan posisi berdirinya agar tidak menyender pada tembok lagi dan sepenuhnya menghadap ke arahku.
"H-hai?" ucapku ragu.
Jawabanku malah mengundang secercah senyuman di bibirnya walau sedikit tidak kentara.
"Lo lama banget di dalem," katanya.
Aku mengernyitkan kening, "Lo.. nungguin gue?"
Ia mengangkat bahunya acuh dan menghela nafas sebentar sembari kepalanya ia tundukkan sebentar ke bawah. Kemudian pandangannya kembali menatapku. Mata elangnya menatapku.
"Bisa di bilang gitu, kalo lo mikirnya gitu," jawabnya membuatku bingung. "Gue ngeliat cewek kayanya bete banget di dalem sana terus cewek itu milih kabur buat ke toilet. Dan, gue ngikutin cewek itu."
"Cewek itu...,"
"Yep, lo." belum sempat aku menjawab ia lebih dahulu memotong kalimatku. "Biasa sendirian. Cuma di temenin laptop jadi di keramaian lo kaya takut gitu."
Sejak kapan dia tau aku biasa bersama laptopku?
"Bukan takut, tapi risih." koreksiku.
"Yah, apalah itu. Tadi gue juga liat lo numpahin minuman ke baju Alfa, saudara gue." katanya. "Lo canggung, gue tebak lo suka dia."
Aku setengah terkejut mendengar pernyataannya. Sejelas itukah perasaanku terhadap Alfa sehingga orang lain bisa menebaknya? Tidak, pasti dia hanya asal tebak.
"Jangan ngaco," balasku datar.
Dia menaikkan sebelah alisnya, "Gue cuma memberikan pernyataan dengan apa yang gue liat. Kalo salah gak masalah," katanya. "Ngomong-ngomong, kita belum kenalan secara resmi. Tapi, lo udah tau nama gue, kan? Dari tisu yang gue kasih ke lo sama tadi bokap gue ngenalin gue sama Alfa."
Dia banyak omong.
"Elang," ia mengulurkan tangannya.
"Mocha, Mochaccino." aku menyambut uluran tangannya.
"Sejujurnya, gue udah tau." dia menaikkan sudut bibirnya keatas, memberi kesan abu-abu pada dirinya. Mata elangnya berkilatan seperti memendam sesuatu. "Kalo lo mau nanya gue tau darimana, itu gak penting."
Memang itu yang ingin kutanyakan, bagaimana dia bisa lebih dulu tau? Tapi jawabannya membuatku sekali lagi hanya diam. Apa dia bisa membaca pikiran? Entahlah.
"Gue pernah denger mitos kalo lama-lama di dalem toilet atau di luar toilet, kita bisa diikutin sama penunggunya," tiba-tiba dia menyatakan tentang mitos tersebut. Refleks bulu kudukku meremang. Pada dasarnya aku memang takut hantu.
"Se-rius?" tanyaku was-was sambil melirik sekeliling. Dia mengangguk tanda iya, refleks kakiku bergerak maju hendak pergi jauh-jauh dari toilet sebelum aku menyadari ada sebuah tubuh berada tepat di depanku.
"Mau kemana?" suaranya terdengar tepat di samping telingaku. Membuatku mundur selangkah agar tidak timbul perasaan aneh pada diriku.
"Jauh-jauh dari toilet," kataku pelan menahan takut yang kini sudah menjalar. Ditambah tadi suaranya yang tepat di samping telingaku.
Kulihat ia tersenyum geli mendengar jawabanku, "Lo takut?"
"Siapa sih yang gak takut kalo tiba-tiba di depannya ada pocong atau kuntilanak."
"Gue nggak," sahutnya.
"Iya, gue gak nanya."
Jawabanku sukses membuatnya terkekeh. Aku hanya mengernyitkan keningku sambil berpikir dimana letak lucunya.
"Ayo masuk ke dalem, sebelum ada pocong atau kuntilanak yang...," Elang belum menyelesaikan kalimatnya tapi aku sudah lebih dahulu berjalan cepat mendahuluinya. Antara takut melihat hantu juga sedikit aneh berada dekat dirinya.
"Terserah," gumamku.
***
Aku terbangun mendengar alarm yang berbunyi di dalam kamarku. Mataku terbelalak melihat jarum jam di angka 06.20 WIB. Aku lari terbirit-birit ke dalam kamar mandi. Hanya butuh waktu sebentar untk mandi aku segera bersiap-siap. Setelah selesai aku langsung turun, melewati dua anak tangga sekaligus agar lekas sampai ke bawah.
Di meja makan tidak ada orang, Davo juga tidak ada. Sepertinya sudah pada berangkat ke tujuan masing-masing. Cepat aku menyambar sehelai roti tanpa perlu mengolesi selainya dan meneguk seperempat susu.
"Pak Danar, buruan ya nyetirnya."
Jantungku sudah berdebar akibat capek juga lari-larian juga karena takut kalau terlambat. Di sekolahku menerapkan sistem "terlambat=pulang". Seumur-umur aku belum pernah terlambat ke sekolah dan ini untuk yang pertama kalinya aku terburu-buru mencapai ke sekolah.
Aku sampai di sekolah tepat pada pukul 06.58, itu artinya dua menit lagi gerbang akan di tutup. Buru-buru aku turun dari mobil dan berlari-lari menuju pintu utama yang jaraknya cukup jauh dari lapangan parkiran.
Harapanku kian lama kian terkikis melihat jam sudah menunjukkan pukul 06.59, itu artinya lagi aku hanya punya waktu satu menit untuk sampai ke pintu utama. Sampai akhirnya aku merasakan tanganku di tarik oleh seseorang agar mengikuti langkahnya. Ternyata yang sedang menarikku sekarang adalah Alfa.
"Ikutin langkah kaki gue," perintahnya.
Tidak sempat untuk memikirkan lebih lanjut tentang Alfa yang menarikku. Aku mengikuti langkah-langkahnya untuk berlari dan pada akhirnya tepat guru BK akan menutup pintu kami berdua sudah sukses masuk ke dalam.
Nafasku tidak beraturan saat ini, keringat juga sudah mulai membasahi dahiku. Kulihat di sampingku Alfa terlihat biasa-biasa saja. Mungkin karena ia rajin olahraga dan ditambah ia ikut futsal jadi sudah terlatih.
"Thanks," kataku di sela-sela nafasku.
Alfa mengangguk sambil menyunggingkan senyum, "Anggep aja balesan dari tisu yang waktu di kantin."
"Itu kan.. gue yang salah."
"Gue juga salah kok, harusnya gue liat ada lo di depan gue biar gue bisa minggir."
"Tapi.."
"Oke, kita berdua sama-sama salah, gimana?" katanya.
Mau tidak mau aku tersenyum seraya mengangguk, "Oke." Nafasku masih tak kunjung teratur saat ini. Melihat hal itu Alfa hanya menarik sudut bibirnya ke atas.
"Jarang olahraga ya?" tanyanya.
Aku menoleh kearahnya, "Eh..iya."
"Kalo bisa sih tiap sabtu minggu aja lo lari pagi, pasti kalo hampir telat gak kejadian kaya tadi lagi."
Aku hanya bisa meringis kearahnya.
Alfa melirik jam tangannya, "Gue ke kelas duluan ya." Aku mengangguk mengiyakan.
***
"Hari ini nonton yuk, ada film bagus tuh." ajak Vee.
"Ayo! Besok sabtu ini, lagian gue sama Dito gak ada rencana pergi sih hari ini." Lyla yang baru selesai mencatat langsung menghadap ke belakang. "Lo ikut gak, Ta?" Lyla menoleh ke arah Tita yang masih mencatat.
"Iya, iya, ikut." katanya di sela-sela mencatat.
"Lo, Cha?" tanya Lyla.
Aku berpikir-pikir sejenak, sebenarnya aku sedang malas untuk nonton. Lagipula hari ini aku ingin ke Groovey cafe dan menulis sepuas-puasnya.
"Kayanya nggak deh," kataku.
"Yah, kenapa nggak?" tanya Vee.
"Males aja, ntar deh kalo nonton lagi gue ikut."
Pada akhirnya aku berpisah saat pulang sekolah dengan ketiga temanku. Mereka bersama-sama naik mobil Vee menuju ke mall. Sementara aku menunggu taksi untuk ke Groovey cafe.
"Kaya biasa, Cha?" baru aku menjatuhkan bokongku di tempat favoritku, mbak Naya sudah menghampiriku.
Aku tersenyum kearahnya sambil mengangguk, "Iya mbak."
Mbak Naya berbalik untuk memesankan pesananku. Segera aku mengeluarkan laptop milikku. Setelah menyala sepenuhnya aku kembali fokus pada tulisanku.
Karena terlalu sibuk dengan aktivitasku aku tidak menyadari bahwa sudah sedari tadi ada yang duduk di depanku. Aku menoleh ketika suara Mbak Naya terdengar memasuki rongga dalam telingaku.
"Hot bread pudding chocolate seperti biasa," kata Mbak Naya.
"Makasih mbak," kataku.
"Mau pesen apa, Lang?" pertanyaan Mbak Naya refleks membuatku menoleh ke arah pandangan Mbak Naya. Kalau aku tidak waras pasti aku akan membuka mulutku lebar-lebar akibat terkejut setengah mati mengetahui Elang sekarang sudah berada di depanku. Tapi tunggu dulu, kenapa Mbak Naya kenal Elang?
"E-lo?" ucapku.
"Coffee mocha smoothie," jawab Elang mantap. Mbak Naya tersenyum seraya berbalik pergi untuk membawa pesanan Elang. Mendengar ia memesan coffee mocha smoothie membuat darahku sedikit berdesir. Karena di dalam coffee mocha smoothie itu ada namaku, Mocha.
"Kita ketemu lagi," kata Elang.
"Ngapain disini?" tanyaku.
"Emang kenapa?" tanyanya balik.
Aku ingin sekali mengatakan tentang pikiranku sekarang. Jangan-jangan dia sengaja mengikutiku. Tapi, mengikutiku rasanya tidak mungkin.
"Gapapa." kataku akhirnya.
"Lo kalo di depan laptop serius banget, lagi apa?" tanyanya.
Aku tidak ingin bilang padanya bahwa aku sedang menulis novel, ditambah novel ini ada nama dirinya. Atau mungkin kalau dia terus-terusan ada di depanku, bisa-bisa isi novel ini semuanya tentang dirinya.
Tapi tidak apa-apa sih, dia menguntungkan juga karena isi novel ini menjadi tidak flat.
"Main game," jawabku.
Dia mengangkat sebelah alisnya, "Main game tapi kok tangan lo ngetik terus?"
"Lagian ngapain si lo ngeliatin? Kan gue udah bilang kalo gue risih di liatin," kataku.
"Ya gimana? Susah kan kalo udah suka?"
Jawabannya membuatku terdiam. Aku tidak berani lagi menjawab dan alih-alih menjawab aku malah meneruskan untuk tanganku menari-nari di atas keyboard. Walaupun aku tidak bisa berpikir apa yang akan aku tulis.
Jadi, aku memutuskan untuk menutup laptopku dan menyambar hot bread pudding chocolate kesukaanku.
"Kenapa di tutup?" tanya Elang.
"Gapapa."
"Lo suka kesini?"
"Suka."
"Tapi dua hari yang lalu kenapa gak kesini?" dia bertanya lagi. Pertanyaannya membuatku mengernyitkan kening untuk kesekian kalinya.
"Kok tau?"
"Soalnya gue kesini, tapi lo gak ada," sebagai jawaban aku hanya membulatkan bibirku. "Biasanya lo kesini hari apa aja?"
"Emang kenapa?"
"Biar kalo gue kesini ada lo," dan Elang adalah orang paling jujur yang pernah aku kenal. Padahal seharusnya dia bersikap tidak terlalu jujur di depan orang yang baru ia kenal. Apalagi lawan jenis.
"Gue gak mau ngasih tau."
"Kenapa?"
"Kalo ada lo gue risih."
Elang mengangkat sebelah sudut bibirnya, "Risih?"
"I..ya."
"Tapi gue suka ngeliat lo risih."
***
Hari Kamis, itu artinya jadwal Alfa untuk latihan futsal. Biasanya aku akan ke kantin dan memesan semangkuk mie ayam atau somay lalu pura-pura sedang memakannya padahal ujung mataku melirik ke lapangan. Biasanya juga selang lima belas menit kemudian setelah makananku habis aku akan beranjak pergi dari kantin dan menuju ke parkiran.
Tak lupa untuk melirik untuk terakhir kalinya ke lapangan. Rasanya senang saja melihat Alfa yang bermain futsal, walau hanya sebentar aku melihatnya. Tapi aku merasa puas. Dan kegiatan itu rutin kulakukan sejak menginjakkan kaki di kelas sebelas.
Untuk hari ini aku tidak melihat Alfa di lapangan sana padahal teman-temannya sudah berkumpul. Mataku berkeliaran untuk mencari sosoknya, hingga somay yang kupesan tinggal setengah, Alfa tak kunjung kulihat. Jadi, kuputuskan untuk menyudahinya dan mengangkat tubuhku dari kursi kantin. Kali ini perasaanku tidak puas mengingat tidak ada Alfa disana.
Pak Danar sudah menungguku di samping mobil dan seketika langsung membukakan pintu ketika aku datang menghampirinya. Aku naik ke dalam mobil lalu menghadapkan wajahku ke jendela seperti biasa. Beberapa detik mataku menjelajah melihat keluar jendela, rasa untuk tersenyum tidak dapat kutahan ketika kulihat sosok Alfa sedang berdiri di samping mobilnya. Ternyata Alfa masih di sekolah. Tapi kenapa dia tidak masuk ke dalam dan latihan bersama teman-temannya? Tahu kalau dia berada di dekat mobil, seharusnya aku disini saja.
Jawabannya kudapatkan setelah melihat perempuan yang mendatanginya sambil membawa sebotol minuman. Ia tidak memakai seragam sekolah sepertiku, ia hanya memakai sebuah dress vintage berwarna coklat susu.
Sepertinya aku pernah melihat perempuan itu. Semakin lama mobilku sudah menjauh dari area sekolah sehingga aku tidak bisa melihat sosok Alfa dengan perempuan tadi. Tapi wajah perempuan itu masih tergambar jelas di benakku. Untuk kesekian kalinya aku mencoba meningat-ngingat lagi.
Siapa sih?
Kemudian ingatanku langsung terbang mengawang pada saat kelas sembilan. Sewaktu aku menonton pertandingan final futsal antar sekolah. Tim sekolahku masuk ke final dan Alfa sebagai kaptennya. Itu juga pertandingan terakhir baginya juga timnya karena tidak diperbolehkan lagi ikut lomba mengingat mereka sudah akan menempuh ujian akhir.
Disana kentara sekali raut wajah Alfa yang seperti sedang menunggu seseorang. Bahkan dalam permainannya dia menjadi tidak semangat. Sampai babak pertama usai, score dimenangkan oleh tim lawan. Kemudian mendekati detik-detik akhir timnya mulai mengejar kekalahan, dan tepat pada saat Alfa sudah hampir di jegat oleh lawan, pandangan Alfa menemukan sosok perempuan diantara kerumunan penonton, aku mengikuti pandangan Alfa dan melihat seorang perempuan cantik terlihat canggung berdiri diantara sekian banyak penonton. Sekilas Alfa tersenyum padanya.
Alfa berhasil keluar dari cegatan lawan dan memasukkan bola ke dalam gawang. Tim sekolahku sukses menang dengan score 2-1.
Sekarang aku ingat perempuan itu.
Namanya Carissa dan dia cinta pertama Alfa.
Dari desas-desus yang kudengar. Alfa sangat menyukai gadis ini. Tetapi, aku tidak pernah mendengar kalau Alfa masih berhubungan dengan Carissa. Kukira mereka tidak pernah lagi berhubungan. Apa Alfa masih menyukainya? Sial. Kenapa hal itu masih aku pertanyakan? Bodoh. Seharusnya aku sadar bahwa tipikal orang seperti Alfa tidak akan mudah pindah pada orang lain. Terbukti dari Carissa yang hari ini bahkan sampai berkunjung ke sekolahnya.
Apa .. Apa mereka berdua sudah kembali bersama?
***
Perasaan aneh langsung berkecamuk pada malam hari. Aku masih memikirkan soal Carissa yang berada di sekolah bersama Alfa. Padahal sudah berkali-kali aku memindahkan posisi tubuh, mencari posisi nyaman. Namun, tetap saja, pikiran itu masih membayangiku dan membuat tidak bisa tidur. Kesal karena sepertinya tubuh, pikiran, serta mata tidak ingin di ajak kompromi malam ini. Aku bangun dari posisi miring dan sebagai pelampiasannya aku mengambil laptop yang terletak di atas meja belajar dan membawanya ke atas kasur..
"50.000 years before the sky was introduced to the sea, God wrote down your name next to me.."
Entah kenapa aku menulis sebuah quote yang ditulis beberapa tahun lalu oleh salah satu sahabatku semasa SMP. Sepertinya pikiran kacau malam ini membuat aku menuliskannya. Aku merasa bahwa kalimat itu seperti menohokku. Aku terlalu menerka-nerka soal perasaan-perasaan orang yang aku sukai. Aku juga terlalu peduli soal hubungan yang terjalin diantara dirinya dengan orang lain. Padahal sudah jelas bahwa Tuhan sudah merancang takdir untuk kita. Menetapkan siapa yang akan mendampingi kita hingga maut memisahkan. Manusia seperti akulah yang membuat segalanya menjadi jauh lebih rumit. Terlalu memikirkan segalanya. Meratapi ketidakadilannya dan menangisi rancangannya.
Padahal tugas kita hanya berdoa yang terbaik dan dengan sendirinya hal baik akan datang pada kita. Like the stupid girl in the whole world. Aku menghela napas panjang. Memijat pelipis yang terasa cenat-cenut sedari tadi.
Mengenai hal itu aku juga ingat kata salah seorang motivator di salah satu stasiun televisi yang sering kutonton,
"Putus cinta itu nggak sakit, yang sakit itu udah putus tapi masih cinta..".
Yah, aku memang tidak memiliki hubungan apa-apa sih dengan Alfa saat ini. Namun, kenyataan bahwa Alfa masih bersama Carissa, perasaan yag menyerangku saat ini sama seperti putus cinta. Rasanya ingin sekali menertawai diriku sendiri.
Kenapa ya aku begini banget malam ini?
Kenapa juga pikiranku ngelantur kemana-mana?
***
"Minggu depan kamu sama Davo ke Anyer sana, ada festival kembang api, bagus banget. Sekalian check cottage keluarga kita yang ada disana," kebetulan makan malam kali ini ada Mama sama Papa dan tba-tiba mereka menyuruhku ke Anyer.
"Berdua doang?" tanyaku.
"Ya nggak dong, itu kan festival yang ngadain dari perusahaan Papa sama relasi-relasi bisnisnya. Nanti juga banyak lagi acara disana. Jadi, ya, rame."
"Banyak cewek nya nggak, Ma?" tanya Davo. "Aww! Apaan sih, Cha nyubit-nyubit." Davo meringis akibat menerima cubitan dariku.
"Lagian gatel banget sih nanyain cewek mulu. Urusin tuh kak Mila yang kemarin nangis-nangis di depan rumah."
"Nangis-nangis?" Papa mengernyit bingung.
"Itu tuh kak Mila, pacarnya kak Davo yang baru diputusin. Dia nangis-nangis di depan rumah gara-gara gak terima, kata Bibi sih."
"Davo, kamu tuh harusnya jangan seenaknya gitu dong mutusin cewek. Gak inget apa kamu punya adek cewek juga? Ntar kalo suatu saat adek kamu yang d gituin gimana?" tegur Mama.
"Mocha juga belum punya pacar kali, Ma."
"Ya emang harus sekarang? Gimana kalo nanti?"
"Tau tuh kak Davo sok kecakepan banget lagian jadi cowok. Ntar liat aja sekalinya cinta banget sama cewek terus di tinggalin gitu aja baru tau rasa."
"Nggak bakal lah."
"Dih apaan dah pede abis." cibirku.
"Sewot amat sih? Gampang sih kalo ada yang macem-macem sama lo bilang gue aja." Aku mengabaikan ucapan Davo dan melanjutkan makan malam.
"Terserah. Pokoknya kamu gak boleh sembarangan nembak terus mutusin cewek," sahut Mama. "Oh iya kan jadi lupa, ntar Pak Danar yang nganterin kalian berdua ke Anyer."
***
Kurasakan pipiku di tepuk-tepuk oleh seseorang. Aku menggumam pelan dan mengerjap-ngerjapkan mata. Sambil menguap aku menengok ke sekitar.
"Udah sampe, Cha." ternyata tidurku nyenyak sekali sampai benar-benar tidur sepanjang perjalanan. Aku mengangguk dan mengikuti Davo yang sudah lebih turun dari mobil. Pak Danar membuka pintu belakang mobil dan mengambil koper milik kami berdua. Rencananya kami akan menetap selama 4 hari 3 malam di Anyer.
"Ini nih cottage kita?" tanyaku sambil menyeret koperku.
"Gak tau juga sih, gue kan juga belum pernah kesini." jawab Davo. "Pak, ini cottagenya Papa sama Mama?"
"Oh iya den, masuk saja ke dalam disana ada Mbok Ijah yang suka beres-beres cottage," kata Pak Danar. "Kalo gitu saya permisi dulu ya non, den."
Davo lebih dulu masuk ke dalam cottage, sementara aku lebih memilih untuk menikmati pemandangan yang di suguhkan.
"Disini juga ternyata," sebuah suara membuyarkanku. Aku menoleh ke sumber suara dan mendapati sepasang mata tajam tengah menatapku.
"Lo.. lagi?"
Aku tidak habis pikir kenapa selalu bertemu dengan Elang. Tapi mungkin pertemuan ini sebenarnya bukan suatu kebetulan mengingat orang tuanya adalah relasi bisnis orangtuaku juga. Jadi, mungkin saja dia kesini atas perintah orang tuanya juga.
"Sebenernya gue gak minat ikut kesini, tapi katanya anaknya Om Wibowo ikut. Jadi, gue ikut."
Aku memutar kedua bola mataku, Om Wibowo itu Papaku. Anak yang ia maksud aku atau Davo?
"Anaknya Om Wibowo yang man..."
"Yang cewek, lo." katanya sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku. Kenapa sih dia selalu memotong apa yang sedang ingin kukatakan?
"Isi dari tas yang lo gendong pasti ada laptop," tebaknya. Dia memang benar, di dalam tas ini hanya ada laptop, kamera, juga dompet.
"Gimana kalo ternyata nggak ada?" tantangku.
"Taruhan?" tantangnya balik.
Aku mencengkram lebih erat penggeret koperku, "Apa?"
Dia tersenyum misterius sementara matanya berkilat menambah efek dramatis kedalam matanya dan membuatnya seakan semakin dalam dan tajam. Dan sialnya kenapa juga aku harus terpukau sih?
"Kalo sampe ada laptop di dalem..."
"Nggak jadi, iya emang ada laptop," potongku cepat. Aku tidak ingin mendengar taruhan apa yang keluar dari bibirnya. Mengingat di awal ia sudah tersenyum misterius dan matanya yang berkilat membuatku jantungku tidak karuan. Aku tidak berani. Aku tidak berani menantang mata elang milik Elang.
Bibirnya berkedut keatas mengukirkan sebuah senyum simpul, "Takut?"
Iya takut, gimana kalo dia minta yang macem-macem?
"Taruhan itu kan.. nggak baik," oke, itu alasan paling masuk akal yang pernah kulontarkan pada seseorang. Mendengar alasan itu Elang hanya terkekeh.
"Oke jadi, ini cottage lo?" tanyanya, aku hanya mengangguk. "Cottage gue disitu," tunjuknya tepat pada cottage yang berada di depan cottageku.
"Terus kenapa?" tanyaku.
"Barangkali lo butuh temen buat di ajak jalan-jalan."
"Nggak makasih, ada kakak gu..."
Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, Davo keluar dari cottage. Pakaiannya sudah ia ganti menjadi lebih santai.
"Cha, gue mau nemuin Arik dulu, temen SMA gue ternyata juga disini. Lo sen..." arah mata Davo menemukan sosok Elang. "Eh, lo Elang kan anaknya Om Gelar? Kenal sama adek gue?"
"Hampir," jawab Elang. Jawaban Elang membuatku mengernyitkan dahi, apa maksudnya coba hampir? Aku hanya mengedikkan bahu dan mengabaikannya.
"Oh ya udah, lo jalan-jalan gih sana Cha sama Elang, bye." Davo meninggalkan aku berdua dengan Elang. Pandangan Elang mengarah padaku lagi, alisnya naik satu keatas.
"Jadi, masih nggak butuh temen buat jalan-jalan?" tawarnya sambil menahan geli dalam nada suaranya.
Perasaan kikuk langsung menyerang, bingung mau menjawab apa.
"Non, kok masih di luar? Sini kopernya mbok bawain," tiba-tiba perempuan setengah baya keluar dari cottage dan langsung menyambar koperku. Mungkin itu yang bernama Mbok Ijah.
"Makasih mbok."
Belum sempat aku melakukan sesuatu, kurasakan sebuah tangan menarik tubuhku. Terkesiap aku menatap gamang pada tangan yang menarikku barusan dan beralih pada pemiliknya. Elang telah mencuri start dengan memaksaku untuk mengikuti setiap langkahnya. Beberapa detik selanjutnya aku hanya terdiam dan mengikuti setiap geraknya. Namun, yang kutahu, darahku sedikit berdesir ketika menerima sentuhan tangannya.
"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Ayax Houd Van Jou
aisha
2023-02-05
0
Byun Baek
seru si
2021-07-13
1
Candies
hai kak,, aku dulu udah selesai baca cerita ini tp masih ketagihan baca nya .. lanjut terus ya kak..
2020-04-03
3