Episode 2

Bab 2

Elang. Elang. Elang.

Nama itu memenuhi pikiranku saat ini. Mata setajam elang milik Elang. Masih sangat jelas tatapannya seolah mengajakku menelusuri ke dalamnya. Kerap kali aku mencoba untuk menghapusnya dan memikirkan hal lain. Namun, rasanya sulit sekali untuk tidak memikirkannya. Mata itu. Mata elangnya. Mata elang milik Elang.

Kutengadahkan kepalaku keatas, menghirup napas dalam-dalam. Rasanya seperti di sebuah fiksi-fiksi. Ada dimana saat-saat kebetulan itu terjadi. Aku tidak tahu apakah ini adalah suatu kebetulan, yang jelas, entah kenapa hal ini cukup mengganggu konsentrasiku. Aku teringat dengan lembaran tisu yang ia berikan padaku.

Tisu yang di tinggalkannya di atas meja saat ini masih kusimpan dalam dompet. Dengan gerakan cepat aku mengambil dompet tersebut dan mengeluarkan lembaran tisu itu. Kubaca dengan seksama tulisan yang berada diatasnya. Meski rasanya sudah berulang kali aku membaca tulisan ini. Aku masih mengernyit tidak habis pikir.

Gue suka ngeliat ekspresi lo

-Elang-

Orang ini blak-blakan sekali. Aku dan dia bahkan baru bertemu sekali. Bagaimana mungkin dia sudah terang-terangan mengatakan hal itu? Apa jangan-jangan dia seorang perayu perempuan yang akan di jual ke luar negri seperti yang di film-film? Membayangkannya saja membuat bulu kudukku meremang. Aku bahkan harus mengusap lenganku beberapa kali untuk menetralisir perasaan meremang yang menyerang. Kugelengkan kepala kuat-kuat. Tidak, tidak, jangan berpikiran yang aneh.

Aku menjernihkan kembali pikiranku. Kembali fokus pada tulisannya. Dia bilang menyukai ekspresiku. Apanya yang dia suka dari ekspresiku? Aku bahkan tidak tahu bagaimana ekspresiku saat menulis. Mungkin kapan-kapan aku akan berkaca. Eh? Sepertinya itu tidak mungkin, itu sudah pasti tidak akan terlihat. Tapi... sudahlah, untuk apa sih aku harus capek-capek memikirkan hal tidak penting seperti ini?

Lagipula, untuk apa aku harus menulis selembar penuh dalam microsoft wordku dan hanya membahas tentang Elang? Toh, dia hanya kebetulan sekali bertemu denganku dan kuyakin tak akan bertemu lagi.

Tapi, takdir siapa yang bisa melawan?

***

Di genggaman tangan kananku sudah terisi oleh es jeruk yang tadi lupa kupesan. Aku berbalik untuk berjalan ke arah meja tempat dimana teman-temanku duduk. Kantin sungguh ramai sekali. Jelas ini adalah jam makan siang dan sudah pasti perut-perut keroncongan butuh asupan makanan.

Langkah yang kuambil tidak cepat namun juga tidak lambat. Sebisa mungkin aku menghindari untuk bersenggolan dengan orang-orang yang berlalu lalang di kantin. Namun kehati-hatian itulah yang bisa saja menimbulkan bencana.

Splash!

Seperempat es jeruk yang tengah ku pegang sukses tumpah ke permukaan seragam seseorang di depanku sekarang. Aku mendongak hendak meminta maaf tapi baru sedetik melihat siapa di depanku, bibirku terasa kelu.

Di depanku kini ada Alfa.

Ya, Alfa.

Laki-laki yang tidak bisa membuatku berpaling darinya bahkan sudah lima tahun lamanya. Yang bahkan aku tidak tahu dia tahu namaku atau tidak.

"So-sorry," kataku terbata-bata. Aku mengambil tisu dalam saku seragamku yang kebetulan pas sekali ada satu buah.

Aku hendak membersihkan seragamnya ketika tanganku di tahan olehnya, "So-sorry, gue gak sengaja," aku hanya bisa tertunduk menahan rasa bersalah sekaligus malu. Bagaimana mungkin aku bisa sedekat ini dengan Alfa dalam keadaan aku yang menumpahkan segelas es jeruk ke seragamnya? Mungkin dia akan segera membenciku.

Namun tak kusangka, kurasakan bibirnya malah berkedut keatas. Dia tersenyum kepadaku?

"Gapapa," katanya.

"Sorry ya gue...,"

"Lo udah tiga kali bilang sorry dan gue rasa itu udah lebih dari cukup," setiap ucapan yang keluar dari bibirnya sungguh rileks tanpa beban. Berbeda sekali denganku yang sudah dag dig dug seperti menahan sesuatu.

Aku hanya bisa meringis ke arahnya.

"Biar gue aja yang bersihin, thanks ya buat tisunya." Alfa kemudian berlalu dari hadapanku, meninggalkanku yang masih setengah kaget dengan reaksinya.

Aku melambatkan jalan kearah meja yang tadi kutempati. Teman-temanku disana sudah tertawa-tawa entah sedang nmenertawakan apa. Yah, pikiranku sekarang masih terpaut pada Alfa yang kini sudah berada di lapangan.

***

Saat aku masuk ke dalam rumah setelah pulang sekolah. Kulihat Mama dan Papa sedang duduk di ruang keluarga, sementara Papa seperti biasa sibuk dengan ponselnya. Sementara Mama sibuk dengan laptop nya.

"Tumben di rumah," kataku sekalian menyapa.

Mama dan Papa langsung menoleh, Papa buru-buru mengakhiri sambungan telponnya.

"Cha, besok malem ikut ya ke acara temen relasi Papa, beliau baru buka cabang baru di Jakarta." kata Mama.

"Ga mau, isinya orang kantoran semua. Ntar cuma Mocha lagi yang masih ABG." Aku menghempaskan tubuhku di atas sofa.

"Ini semacam acara keluarga gitu kok, Cha. Jadi gak terlalu formal-formal banget. Davo juga udah Mama bilangin biar ikut."

"Terus kak Davo mau?"

Pintu utama terbuka menampilkan sosok tinggi Davo, "I'm home." itu sapaan setiap Davo masuk ke dalam rumah. Dia memang sedikit sok kebarat-baratan.

"Davo, kamu pokoknya besok ikut ya." kata Mama.

"Ikut?" Davo mengernyit bingung, entah beneran bingung atau pura-pura bingung.

"Ke acara temen relasi Papa, Davo."

"Besok malem ya? Ga bisa, Ma, Pa, Davo udah ada janji sama temen."

"Emang gak bisa di batalin?"

"Nggak, Ma." jawabnya santai. "Davo keatas dulu ya. Eh iya Cha, kemarin gue minjem dvd di kamar lo."

"Pantes tiba-tiba ilang." gerutuku diiringi dengan Davo yang berlarian naik ke tangga sambil bersiul-siul.

"Ikut ya, Cha." kata Papa.

"Tapi..."

"Harus ikut, sekalian ngenalin kamu ke temen-temen relasi Papa siapa tau ada yang naksir kamu." Aku mengernyitkan kening tak mengerti.

Naksir apaan.

***

Besok malamnya aku baru akan beralasan pada Mama untuk tidak ikut ke acara mereka dengan alasan tidak ada satu pun gaun atau baju yang cocok untuk pergi ke acara formal selain kebaya bekas pernikahan saudara-saudara dan wisuda SMP.

Tapi sepertinya hal itu sudah ia antisipasi mengingat tiba-tiba setelah aku mandi Mama masuk ke dalam kamar dengan membawa sebuah gaun. Gaunnya bagus, tapi aku tidak tahu apa akan bagus juga jika di pakai olehku?

"Lima menit." sahutnya di ambang pintu. Aku hanya bisa melongo dengan reaksi antisipasi Mama.

Pada akhirnya aku memakai juga gaun tersebut walau dengan setengah hati. Kupandangi diriku di kaca. Gaunnya memang bagus tapi sayangnya orang yang memakainya tidak. Yah, maaf ya gaun telah mengecewakanmu.

Bersamaan dengan aku keluar dari kamar, pintu kamar Davo juga terbuka. Davo sudah siap pergi rupanya.

"Hey, ugly." sapanya riang.

Aku mendengus kesal kearahnya, "Nggak jelas." Kesal jika ia memanggilku dengan sebutan itu dan benci setengah mati dengan Davo, bisa-bisanya bilang pergi dengan teman dan sudah janjian? Kalau sampai aku tahu ternyata dia jalan dengan perempuan aku akan mengadukannya ke Mama dan Papa.

"Have fun, babe." Davo mencubit pipiku. Hal yang paling aku tidak sukai dari kelakuannya. Aku baru akan membalas tapi Davo lebih cepat dariku untuk turun ke bawah. Ditambah dengan gaun yang kupakai menambah beban pada diriku.

"Kalo udah cantik pake gaun jangan lari-larian gitu dong, sayang." tegur Papa yang sudah siap di bawah dan melihat aksi kejar-kejaranku dengan Davo.

"Bye, ugly." teriak Davo di ambang pintu utama lalu secepat kilat keluar rumah dan masuk ke dalam mobilnya.

"Bodo!"

***

Demi Tuhan pencipta alam semesta, aku paling tidak suka dengan keramaian. Rasanya risih sekali, seakan semua orang sedang menatap kepadaku. Padahal aku tahu kalau itu hanya paranoidku saja. Tapi, perasaan tidak nyaman memang selalu hinggap pada diri ini ketika banyak orang-orang di sekitarku. Mungkin ini bawaan lama. Mungkin juga itu sebabnya aku di ciptakan untuk menyukai dunia tulis menulis. Bawaan menulis itu selalu tenang dan hangat. Lagipula butuh tempat sepi untuk bisa menulis, bagiku.

Perlahan aku menyingkir dari keramaian. Mama dan Papa sudah sibuk berbincang-bincang dengan teman-teman bisnisnya. Memang sih lumayan banyak anak seumuranku yang berada disini, mungkin mereka anak-anak yang di paksa ikut juga oleh orangtuanya. Sama sepertiku. Tapi, aku hanya merasa kurang cocok dengan mereka semua. Baru dua orang yang mengajakku berbicara tapi pembicaraan langsung menjerumus ke arah.

"Itu yang disana cakep ya."

"Ih itu keren."

"Siapa ya namanya?"

Jangan menyebutku kuno atau semacamnya. Aku juga perempuan, tentu saja pernah berperilaku seperti itu. Mengatakan ini tampan itu oke dan sebagainya. Namun, rasanya aneh saja ketika kita baru berkenalan dengn seseorang sudah membicarakan hal yang sifatnya sensitive menurutku. Aku mengambil segelas minum yang tidak kuketahui apa namanya. Sialnya, akhir-akhir ini kenapa aku selalu tidak fokus dengan pikiranku? Dan ini lumayan fatal akibatnya mengingat tiba-tiba saja aku sudah menumpahkan -lagi- isi dalam gelasku.

"Eh, sorr ..,"

Setelah mengetahui siapa yang baru saja kena sial akibat ulahku, rasanya aku ingin tiba-tiba tenggelam saja ke dalam tanah. Atau mungkin bisa tiba-tiba aku bisa berubah menjadi tidak terlihat.

"Kayanya numpahin minuman itu udah jadi hobi lo ya?" Dari nada suaranya aku tahu dia tidak marah, malah memendam sedikit rasa geli dalam nadanya. Ah, tetap saja. Yang namanya malu ya malu.

Aku menggigit bibir bawah serta memberikan cengiran terbaikku, "Ini udah dua kali gue numpahin minuman ke lo. Sor ..,"

"Ga usah minta maaf, Mocha." bibirnya terangkat keatas membentuk sebuah senyuman.

Apa tadi katanya? Mocha? Mocha? Mocha? Jadi dia tahu namaku? Jadi Alfa tahu namaku? Ya Tuhan, kalau ini bukan dalam keramaian rasanya aku ingin mengeruk tanah sampai habis dan lompat sampai bumi berguncang.

Terserah ini berlebihan atau tidak, aku senang. Sangat senang. Senang. Senang.

Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak tersenyum.

"Senyum-senyum sendiri gitu." Aku baru sadar bahwa di depanku masih ada Alfa. A-l-f-a. Buru-buru aku melenyapkan senyuman di wajahku dan menatapnya dengan perasaan campur aduk.

"Eh?" ucapku refleks. "Hehehe."

"Bokap nyokap lo disini juga?" tanyanya.

"Eh, i..ya." jawabku.

Suara orang memanggil namanya membuat ia harus pamit terhadapku.

"Gue kesana dulu ya." dan aku hanya bisa mengangguk.

Acara baru sampai pada acara pertengahan, itu artinya para tamu yang di undang akan menerima ucapan selamat datang dan segala macamnya dari yang mengundang. Lalu setelah itu baru di persilahkan untuk makan malam.

Seorang bapak-bapak yang kutaksir umurnya sekitar 45-an naik ke atas podium bersama perempuan yang sekiranya umurnya sama.

"Terima kasih para tamu yang sudah datang..."

Initinya aku tidak mendengar kalimat selanjutnya karena aku sibuk dengan ponselku. Sampai kalimat yang sempat kudengar terdengar di telingaku yang entah mengapa membuatku refleks menoleh.

"Juga saya ingin memperkenalkan anak-anak saya yang nantinya akan meneruskan bisnis keluarga Gelar Wijaya.."

Yang di persilahkan untuk naik ke podium naik juga. Aku tercengang beberapa saat menyaksikan apa yang baru saja kulihat di depanku.

Tidak mungkin, ini pasti tidak mungkin.

Tapi, bagaimana bisa?

--

 

 

Terpopuler

Comments

iamrainyshah

iamrainyshah

Elang , Alfa.

2020-03-19

0

Janui

Janui

seru thor

2019-12-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!