Episode 4

Sekarang aku benar-benar merasa canggung. Seumur-umur aku belum pernah jalan bersisian bersama seorang laki-laki kecuali dengan Davo atau Papa. Aku juga tidak tahu harus memulai bicara darimana untuk menghapus atau setidaknya mengurangi rasa kecanggunganku.

Kulirik Elang yang berada disampingku, sepertinya dia terlihat biasa saja. Tidak sepertiku yang sudah hampir panas dingin. Tidak ada raut canggung di wajahnya saat ini. Malah yang kulihat terlihat biasa saja.

Oke, buat gue ini emang pertama kalinya jalan sama cowok, mungkin kalo buat Elang, tipe-tipe cowok kaya dia kayanya sering jalan sama cewek. Itu wajar.. itu wajar.. itu wajar, Mocha! Bisa nggak sih nggak usah jadi deg deg an gini?

"Mo," suaranya langsung menghempaskanku ke alam bawah sadar.

Aku menoleh, "Mo?"

"Kayanya kita lebih bagus buat duduk dulu, lagian bentar lagi ada sunset." katanya.

Aku bergerak canggung, Elang sudah duduk di pasir pantai yang menghadap langsung ke pantai.

"Ayo duduk disini, lady Mo." ia menepuk tempat di sebelahnya.

"Lady Mo?"

"Panggilan dari gue buat lo," jawabnya enteng.

"Lo kira gue sapi di panggil Mo," gumamku datar dan menempatkan tubuhku di sebelahnya.

"Ngerasa aneh gak sih? Nama lo tuh Mocha, yang harusnya di baca Moka, tapi kenapa di panggil Cha? Jadi menurut gue Mo lebih oke."

"Udah panggilan dari sana. Pokoknya kalo lo manggil Mo gue gak akan nengok," kataku.

Bibir Elang berkedut menahan senyum, "Really, Mo?"

"Ya."

Refleks tawa Elang pecah seketika itu juga, "Katanya gak akan nengok kalo di panggil Mo? Tuh tadi jawab pas gue bilang Mo?"

Eh? Iya ya?

"Terserah lo, El."

Elang mengangkat satu alisnya, "Jadi gantian nih?"

"Apa?"

"Oke, karna tadi lo udah terlanjur manggil gue El, lo boleh manggil gue El, tapi gue manggil lo Mo." katanya, belum sempat aku mengutarakan isi hatiku tapi Elang lebih dahulu menduluiku. "Thats a deal."

"Kenapa Cuma soal nama ribet banget sih?" protesku.

"Kalo nggak ribet, urusan gue sama lo bakalan cepet kelarnya."

***

Elang mengantarku sampai ke depan cottage. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Itu tandanya aku sudah empat jam bersama dirinya. Empat jam ini membuat efek berbeda pada diriku, aneh.

"Bangun pagi ya besok," katanya.

"Kenapa?"

"Berenang di pantai. Kalo pagi enak banget."

"Nggak bisa berenang."

"Kan ada gue."

"Nggak mau," aku kekeuh tidak mau. Pikiranku melayang pada saat dulu ketika aku hampir tenggelam di kolam renang rumahku sendiri. Bulu kudukku langsung meremang. Kejadian itu hanya boleh terjadi sekali. Tidak boleh ada lagi.

Lagipula di kolam renang saja aku hampir tenggelam. Bagaimana di laut?

"Plis?"

"Gue ngeliatin aja."

Elang berpikir sebentar, "Yah gapapa deh."

Aku baru akan melangkahkan kakiku ke dalam sebelum suara Elang membuat langkahku terhenti. Aku menoleh lagi ke arahnya.

"Jangan lupa gosok gigi ya sama cuci kaki. Kalo mau mandi pake air anget, tapi mendingan gak usah mandi."

Aku mengangkat kedua alisku karena aku tidak bisa mengangkat satu alis, "Oke, ada lagi?"

"Goodnight."

***

Aku berniat untuk melanjutkan tidurku kembali ketika suara ketukan pintu kamar terdengar memasuki gendang telinga. Mbok Ijah masuk ke dalam kamar.

"Non, ada temennya nungguin di luar." kata Mbok Ijah. Aku mengernyitkan keningku bingung.

Temen?

Rasanya tidak ada salah satu temanku yang sedang berada di Anyer atau... Tunggu dulu, sepertinya aku melupakan sesuatu? Tiba-tiba terlintas sebuah nama di benakku juga kalimat ajakannya tadi malam. Tidak salah lagi, itu pasti Elang.

Aku membasuh wajahku di wastafel lalu mengganti pakaian tidurku. Setelah itu beranjak keluar kamar untuk menemuinya. Dia berdiri di luar cottage.

"Lo lagi gak berusaha buat lupa, kan?" bukannya menyapa atau semacamnya dia malah melontarkan kalimat itu.

"Lupa?" tanyaku bingung.

Belum sempat menjawab ia sudah menarikku untu berjalan mengikutinya dan membawaku tepat ke depan pantai. Tepat di depan pantai aku melepaskan dengan paksa genggamannya pada tanganku.

"Gue kan udah bilang gak mau berenang," kataku.

"Gue juga udah bilang kalo ada gue," balasnya.

"Tapi gue udah bilang kalo mau ngeliatin aja."

"Tapi sekarang gue maunya ...," dia belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika tiba-tiba kurasakan tubuhku terangkat keatas dan sekarang aku sudah menghadap punggungnya.

"Lama," dari suaranya aku dapat merasakan seringaian di wajahnya. Hal pertama yang kulakukan adalah meronta untuk di turunkan.

Ia baru menurunkanku saat sudah benar-benar berada di laut pinggiran yang dalamnya sedada. Seketika tubuhku langsung basah oleh air laut. Elang tertawa-tawa melihatku.

"Gay," kataku.

"Kalo gue gay gak mungkin gue mau capek-capek deketin lo," jawabannya membuatku tidak bisa lagi membalas.

"Iya terserah lo aja," aku membalikkan tubuhku dan bersusah payah untuk berjalan kembali ke pantai.

Baru satu langkah aku menerjang air untuk kembali ke pantai. Tubuhku terangkat lagi ke atas.

"Elang, turunin gue!" teriakku yang kini lagi-lagi berada dalam gendongannya.

"Nggak bakal kalo lo coba-coba buat balik ke pantai lagi."

"Tapi gue gak mau berenang, El. Serius gue gak bisa berenang," aku mencoba mengeluarkan nada dengan semelas mungkin agar di kasihani. Tapi dari yang kudengar ia malah terkekeh.

"Ada gue, Mocha."

"Gue takut tenggelem, lo ngerti gak sih?" Sekarang aku jadi sewot. Ini namanya pemaksaan, jelas-jelas aku tidak menyukai hal-hal berbau air yang dalam.

"Kalo lo tenggelem, gue bakal jadi orang pertama yang nolongin lo. Sekarang pilihannya, lo mau tetep gue gendong kaya gini terus gue bawa ke tempat yang lebih dalem apa janji gak bakal balik ke pantai sampe gue mau balik?"

"El, plis dong gue.."

"Berarti lo mau pilihan pertama," Elang bergerak maju ke depan itu artinya kalau semakin lama ia semakin berjalan ke depan maka air laut akan semakin dalam juga.

"Iya gue janji gak bakal balik ke pantai!" setelah berkata seperti itu ia menurunkanku. Penglihatanku sedikit abu-abu akibat terlalu lama dalam posisi gendongannya yang membuatku menghadap ke bawah.

"Gitu kan enak," katanya sambil tersenyum sumringah.

"Enak di lo, gak enak di gue." Elang hanya tertawa-tawa menanggapi.

"Gak usah ketawa," aku menciptakan percikan air yang kulempar pada Elang. Akibatnya sekarang kami jadi saling lempar-melempar air. Ini sangat klise menurutku, dan aku merasa seperti berada dalam sebuah novel-novel. Tapi kenyataannya aku memang berada di novel, novelku sendiri.

Tiba-tiba Elang menenggelamkan seluruh tubuhnya ke bawah laut. Aku berpikir bahwa mungkin dia sedang ingin berendam di bawah. Tapi ini sudah lewat dari satu menit aku menunggu tapi ia tak kunjung muncul ke permukaan.

Aku mulai sedikit panik, aku bahkan tidak bisa tenggelam ke dalam air karena jika aku tenggelam sudah pasti aku akan refleks bernafas dan alhasil aku akan meminum air laut. Aku khawatir jika tenyata Elang kehabisan nafas di bawah sana.

"Lang, lo dimana?" aku mengedarkan seluruh pandanganku untuk mencari kalau-kalau ada tanda-tanda keberadaannya. Tapi hasilnya nihil.

"Elang, plis dong dong jangan bercanda. Kalo bercanda jangan di laut plis, bahaya."

Aku menggigit bibirku. Kalau benar-benar ia tidak muncul ke permukaan, apa aku harus menyelam untuk mencarinya? Demi alam semesta, aku tidak bisa.

Atau apa aku harus kembali ke pantai dan memanggil orang untuk mencarinya?

"Elang!" rasanya aku sudah ingin menangis. Kalau Elang beneran kehabisan nafas di bawah sana bisa saja aku yang akan disalahkan oleh keluarganya. Kan aku yang sedang bersamanya saat ini.

"El..." aku baru akan memanggilnya lagi ketika tiba-tiba kakiku terangkat lagi. Sekarang aku berada dalam papahannya, bukan gendongannya. Ini beda versi. "Lo gila!" umpatku.

Elang tertawa-tawa karenanya, "Takut banget gue tenggelem ya?"

"Iyalah takut, ntar pasti orang-orang bakal nyalahin gue." jawabku. "Turunin gue!"

"Emang kenapa sih? Sekarang kan gue gendongnya kaya gini. Ya paling nggak orang-orang nganggep kita lagi pacaran."

"Apaan sih, turunin gue cepetan sekarang!" pada akhirnya Elang menurunkanku. Dengan sedikit buru-buru aku langsung berbalik kembali ke pantai. Untungnya Elang tidak menggendongku lagi sesuai perjanjian awal. Dia malah mengikutiku dari belakang.

Aku memeluk tubuhku sendiri karena sedikit terlalu lama di dalam air aku menjadi sedikit kedinginan.

"Tunggu disini ya, gue ambilin handuk sama teh." aku hanya mengangguk mengiyakan.

Aku duduk di salah satu bangku panjang yang menghadap ke laut sambil menunggu Elang. Aku memain-mainkan pasir pantai yang lembut dengan kedua kakiku dan menikmati sebuah sensasi tersendiri karenanya.

"Mocha?"

Bukan, itu bukan suara Elang. Tidak perlu kutolehkan kepala untuk melihat siapa pemilik suara itu aku juga sudah tau ia siapa. Tapi untuk formalitas aku menolehkan kepala untuk melihatnya. Seujujurnya aku sedikit terkejut saat mendengar suaranya memanggilku. Tidak di sangka ia berada disini juga. Yang membuatku kecewa adalah saat aku menoleh kudapati seorang perempuan disampingnya.

"Hey," sapaku pelan.

"Dari kapan disini?" tanyanya.

"Kemarin, lo?"

"Gue baru aja nyampe, tapi Carissa pengen langsung jalan-jalan di sekitar pantai. Oh iya, ini Mocha, Sa."

Perempuan yang bernama Carissa itu langsung tersenyum manis menyambutnya lalu mengulurkan tangannya kearahku.

"Carissa," katanya. Suaranya sangat lembut. Siapapun yang mendengarnya pasti akan langsung merasa tenang.

"Mocha, Mochaccino."

"Namanya unik," sahutnya. Aku hanya bisa tersenyum. Sudah banya yang bilang seperti itu.

"Katanya lo males kesini?" Elang sudah berada disampingku. Setidaknya aku bersyukur kehadirannya membuatku menjadi lebih lega dan tidak canggung.

"Dia nih yang maksa gue," Alfa melirik kearah Carissa. Demi samudra hindia, itu bukan lirikan sebagai ungkapan kesal. Melainkan menyiratkan ungkapan buat dia apa sih yang nggak. Yang dilirik hanya tersenyum renyah.

"Apa kabar, Sa?" tanya Elang.

"Baik Kak, Kakak?"

Elang mengangkat kedua bahunya acuh, "Kaya yang lo liat."

Carissa memanggil Elang kakak? Rasanya aneh mendengar Elang di panggil kakak. Memang umurnya berapa sih? Aku bahkan tidak tahu dia kuliah dimana. Nanti sajalah kutanyakan.

"Ya udah ya gue sama Carissa duluan," pamit Alfa.

"Duluan ya, Mocha." Carissa menganggukkan kepala sedikit lalu segera berlalu dari hadapanku. Meninggalkanku dengan Elang berdua.

"Nih."

"Apa?" tanyaku bingung.

"Makanya jangan langsung nengok dulu, liat dong apa yang gue bawa." kulihat Elang membawa secangkir teh dan sebuah handuk. Gara-gara Alfa dan Carissa aku jadi lupa Elang tadi menghilang untuk apa.

"Oh iya, makasih." aku menerima keduanya. Elang sudah berpindah dan duduk di sampingku. "Lo gak minum teh?"

Elang menoleh, "Nggak, lo aja."

Aku mengangguk lalu menyesap tehku. Tiba-tiba terlintas sebuah pikiran di otakku. Apa sebaiknya aku bertanya pada Elang tentang Alfa dan Carissa? Tapi, bagaimana kalau dia menyimpulkan sendiri kalau aku suka Alfa. Walau kenyataannya seperti itu, tapi bagaimanapun juga, itu kan sudah menjadi sebuah rahasia milikku.

"Lang, boleh nanya gak?"

"Nanya apa?"

"Nggak jadi deh."

"Kok lo manggil gue Lang bukan El?"

"Emang kenapa?"

"Kan kita udah sepakat."

"Plis deh itu Cuma nama. Cuma nama."

"Fine." Elang mengedikkan bahunya, mengalah.

Sebaiknya aku bertanya apa tidak? Ah, dari pada penasaran lebih baik aku bertanya.

"Lang, Carissa sama Alfa pacaran?" tanyaku.

"Kenapa nanya itu?" tuh kan, batinku.

"Ya.. nggak kenapa-napa sih, soalnya di sekolah tuh gosipnya Alfa gak bisa move on dari mantan terakhirnya siapa ya namanya, lupa. Tapi ternyata dia malah akhir-akhir ini sama Carissa, pacar pertamanya." sekaligus cinta pertamanya yang gue tau, batinku lagi.

"Kenapa lo tau banget tentang Alfa?"

"Emang itu kesannya tau banget ya? Bukannya itu wajar gue tau? Alfa kan... ya lo tau lah, banyak yang ngomongin apalagi cewek-cewek."

"Kayanya sih mereka pacaran lagi," jawabnya.

Oke-jadi-pacaran-lagi.

Pacaran lagi.

Pacaran.

Lagi.

"Kok jadi diem?" Elang yang menyadari akan tiba-tiba diamku langsung berkomentar. Buru-buru aku menggeleng.

"Nggak, gue Cuma lagi mikir."

"Mikir apa?"

"Lo percaya nggak sih first love mean true love?"

Elang berpikir sejenak, "Gue percaya, tapi gue lebih percaya dengan takdir Tuhan," jawabnya. "Kalo lo?"

"Nggak."

Karena sepertinya aku tidak akan jodoh dengan Alfa.

 

 

Terpopuler

Comments

Zedt

Zedt

darah q juga ikut berdesir saat mmbaca nih novel..

2020-01-05

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!