BAB 5
Niatnya aku ingin mengajak Davo untuk makan malam bersama sembari melihat festival kembang api yang di adakan malam ini. Tapi ternyata dia tidak ada di kamarnya. Rasanya aku ingin memaki habis-habisan padanya karena menelantarkan adiknya seperti ini. Biar saja, kalau sampai dirumah aku akan mengadukan segala perbuatannya pada Mama dan Papa biar uang jajannya di potong. Atau mungkin kartu kreditnya di ambil.
Yang terakhir aku pasti senang sekali.
Kuputuskan untuk keluar sendiri dan menghampiri festival. Tapi ternyata festival itu sangat ramai oleh pengunjung yang datang. Ingat tidak jika aku tidak suka keramaian? Jadi aku memilih untuk membeli sebuah jagung bakar dan duduk di pasir pantai yang menghadap ke laut.
Masih bisa kudengar walau sedikit suara keramaian orang-orang yang ingin menyaksikan festival kembang api. Suara ombak laut jauh lebih indah daripada kembang api. Lagipula dari sini kembang api juga akan terlihat.
"Kok sendirian?" jantungku langsung berdebar mendengar suara itu. Aku menoleh dan mendapati Alfa berdiri disampingku.
"Eh.. gue.. gak suka kalo rame-rame gitu," jawabku.
Alfa menaruh tubuhnya di sampingku, "Gue juga gak suka sebenernya."
"Lo gak sama Carissa?"
"Carissa pengen liat dari deket, jadi dia sama Liza, saudara gue."
Aku mengangguk-ngangguk sebagai jawaban.
"Kayanya udah mau mulai," kata Alfa. Terdengar dari jauh teriakan orang-orang.
Satu.. dua.. tiga..
Setelah hitungan ketiga sebuah kembang api diikuti kembang api lainnya bermunculan keatas turut mewarnai langit yang gelap. Aku menatap terpukau keatas. Disampingku Alfa juga sedang menatap keatas, bibirnya sedikit terangkat keatas mengukir sebuah senyuman.
Beberapa lamanya tidak ada yang berbicara diantara kami berdua karena terlalu terpukau oleh kembang api.
"Bagus ya?" Alfa yang pertanya berbicara saat kembang api itu sudah usai mewarnai langit yang gelap.
Aku mengangguk setuju, "Bagus banget."
"Lo udah makan malem?"
"He he.. belom."
"Kalo gitu cari makan yuk," tanpa pikir panjang aku langsung mengangguk. Untuk pertama kalinya seumur hidupku aku makan bareng bersama Alfa. Ini sungguh diluar bayanganku.
Aku berjalan beriringan dengan Alfa menuju tempat makan. Saat tiba-tiba di tengah jalan aku tidak sengaja hampir tersangkut sebuah batu. Lalu Alfa dengan cepat langsung mendorongku untuk menghindarinya sambil menahanku.
Aku tidak tau apa yang terjadi, tidak tau Alfa yang memang terlalu keras mendorongku sehingga aku jatuh ke atas pasir pantai dengan Alfa berada di atasku atau yang lainnya. Hanya saja aku merasakan saat tubuhku sukses menyentuh pasir pantai. Saat itu pula bibirku juga sukses menyentuh sesuatu.
Sesuatu yang lembut dan basah.
Aku membuka mataku dan mendapati reaksi Alfa sama terkejutnya denganku. Bibirnya menyentuh bibirku, dengan tidak sengaja akibat terjatuh tadi.
Apa ini adalah ciuman pertamaku?
***
I got that awkward moment.
Meskipun berulang kali Alfa meminta maaf padaku kalau kejadian tadi murni tidak di sengaja dan ia meminta untuk melupakannya seakan tidak pernah terjadi. Aku pikir ia pasti mudah untuk melupakannya namun untukku sama sekali tidak mudah.
Bagaimana rasanya menyukai seseorang selama lima tahun lamanya dan tidak pernah sekalipun berbicara dengannya lalu pada suatu hari bisa berbicara dengan jarak yang cukup dekat apalagi di ajak makan malam bersama. Walau aku tahu itu arti konteks makan malam bersama yang bukan sebenarnya. Dan tiba-tiba tanpa disengaja bibirnya menyentuh bibirmu akibat peristiwa bodoh.
Deg deg an? Pasti.
Malu? Apalagi.
Awkward? Exactly.
Senang? Idk.
Aku bersumpah aku sama sekali tidak senang. Dan aku bersumpah tidak akan menganggap itu sebagai ciuman pertamaku. Ciuman pertamaku hanya akan kuberikan dengan orang yang juga mencintaiku. Catat itu.
"Masalah yang tadi.." Alfa masih saja membahas itu padahal kami sudah duduk di sebuah tempat makan di pinggiran pantai. Padahal aku sudah benar-benar tidak ingin mengingatnya apalagi membahasnya. Itu semakin membuat perasaanku tidak karuan.
"Gapapa, itu Cuma kecelakaan, gak di sengaja. Gak perlu di bahas karna gue gak mau ngebahas," kataku.
"Oke, tapi ijinin gue minta maaf untuk yang terakhir kalinya, boleh?" pintanya.
Aku mengernyitkan keningku, "Kalo itu mau lo."
Alfa memamerkan sederet giginya yang putih bersih, ia melukiskan senyuman yang sebenarnya sekarang. Dan aku menyukainya.
"Gue minta maaf, bener-bener minta maaf."
"Permintaan maaf diterima," aku balas tersenyum padanya melihat Alfa juga tersenyum padaku.
"Mau makan apa?" tanya Alfa.
Aku melihat menu yang tersedia diatas meja, "Gurame bakar sama es jeruk nipis."
"Oke." Alfa memanggil salah seorang pelayan untuk mencatat pesanan kami berdua. Alfa memesan kepiting saos tiram dan teh rempah-rempah.
Saat sedang menunggu pesanan Carissa datang bersama.. Elang? Well, Elang lagi, Elang lagi. Carissa langsung duduk di sisi Alfa sementara Elang duduk di sisiku.
"Hey, Mocha." sapa Carissa. "Tadi kenapa nggak ikut festival kembang api?"
"He he lagi gak mood aja," jawabku sambil meringis sekenanya.
"Liza mana, Sa?" tanya Alfa pada Carissa.
"Liza langsung ke cottage, katanya ngantuk." jawab Carissa di iringi anggukan Alfa. "Kalian berdua udah mesen makanan?"
"Udah kok," kata Alfa. Jadi intinya sekarang aku hanya menonton percakapan antara Alfa dan Carissa. Imajinasi liarku langsung melayang ke antah berantah. Membayangkan jika aku berada di posisi Carissa. Pasti itu akan sangat.... Ugh, bangun, Mocha!
Ini memang di dalam novel, novel yang kutulis. Dan ini bukan fiksi, ini non-fiksi. Ini kisah real dengan hidupku. Asal kalian tahu, dalam hidupku jarang sekali akan berakhir seperti yang kuinginkan. Untuk masalah cinta, aku tidak tahu apa akan sesuai dengan keinginanku. Kita lihat saja nanti bagian akhirnya. Dan itu akan lumayan memakan waktu lama karena aku masih berstatus SMA jika ingin ending yang benar-benar mencapai klimaks.
Seperti yang kubilang diawal paragraf kalau aku tidak menjanjikan apa-apa masalah alur dan ending.
Lamunanku buyar ketika sura jentikan jari berada di depanku. Aku langsung mengerjap dan menoleh kearah jari itu kembali ke tempat semula. Ternyata itu tangan Elang.
"Bete ya gak sama laptop?" tanyanya. Ketika itu pula pelayan datang membawa pesanan aku dan Alfa terlebih dahulu karena memesannya duluan kami.
"Sok tau," jawabku datar.
"Gue bukan sok tau, tapi pengen tau."
"Karena kepengen tauan lo itu makanya lo jadi sok tau," balasku. Elang hanya terkekeh mendengarnya.
Tak berapa lama kemudian pesanan Carissa dan Elang datang. Mereka semua sedang sibuk dengan makanannya masing-masing. Sementara aku, tiba-tiba nafsu makanku hilang. Padahal aku sangat suka gurame bakar, tapi entah kenapa untuk malam ini aku bahkan baru memasukkan tiga suap kedalam mulutku.
"Tuh kan ngelamun lagi, bete beneran apa kenapa?" lagi-lagi Elang membuyarkan lamunanku.
"Ga pa-pa," jawabku singkat dan mencoba menyuapkan nasi ke dalam mulutku lagi. Sampai kulihat sisa di piringku tinggal setengah lebih sedikit aku langsung menghentikannya.
"Sorry ya, gue balik duluan ke cottage." kataku sambil mengangkat tubuhku dari kursi.
Alfa dan Carissa yang sedang menunduk makan langsung menoleh kearahku, "Kenapa, Cha?" tanya Alfa.
"Ngg.. ngantuk," jawabku.
"Masih jam sepuluh kok, Mocha. Kok udah ngantuk?" tanya Carissa.
"Sebenernya gue jarang tidur malem," itu seratus persen bohong besar. Aku selalu suka tidur lebih dari jam duabelas malam untuk menulis. Karena menulis di malam hari membuat efek berbeda daripada menulis di pagi atau siang hari. Apalagi malam hari ide selalu bermunculan. "Duluan ya.."
Buru-buru aku langsung berjalan keluar tempat makan dan tepat selangkah aku keluar dari tempat makan itu. Seseorang menarik pergelangan tanganku. Aku langsung menoleh.
"Kenapa?" tanyaku melihat Elang tepat berada di depanku.
"Lo yakin gak suka tidur malem?" tanyanya.
"Ya... kin."
"Tapi kantung mata lo gak pernah nunjukin kalo lo jarang tidur malem," jawaban Elang membuatku langsung salah tingkah.
"E-emang kalo punya kantung mata gak boleh kalo jarang tidur malem? Gimana kalo mata gue udah begini dari dulu?"
"Tapi gue gak yakin kalo mata lo emang dari dulu punya kantung mata.."
"Kenapa gak yakin?"
"Karena.." Elang tidak melanjutkan perkataannya. Ia menghela nafas kemudian mata elangnya tiba-tiba menatapku tepat ke dalam mataku. Jujur, aku paling tidak suka jika berbicara dengan seseorang mata ke mata. Karena itu membuat risih dan salah tingkah. "Gue anterin lo ke cottage."
Pada akhirnya aku diantar oleh Elang sampai ke depan cottage. Selama perjalanan tidak ada yang berbicara diantara kami.
"Jangan buka laptop, tidur yang bener biar kantung mata lo gak tambah gede," pesannya dan langsung berbalik meninggalkanku. Aku tidak membalas ucapannya dan menatap punggungnya yang berjalan.
Pada kenyataannya, aku tidak membuka laptopku dan memilih untuk tidur. Walaupun peristiwa bersama Alfa masih terbayang di benakku yang membuatku sama sekali tidak bisa memejamkan mataku. Dan alhasil aku baru bisa tidur saat jam menunjukkan pukul tiga pagi.
***
"Kak, pulang hari ini aja yuk." aku menghampiri kamar Davo setelah bangun di pagi harinya pukul 8 pagi.
"Kenapa? Siapa juga coba yang mau jemput? Orang Pak Danar baru jemput besok," jawab Davo.
"Telpon Pak Danar suruh jemput sekarang."
"Udahlah, Cha. Besok aja nanggung pulangnya," aku hanya bisa mengerucutkan bibirku saat Davo beranjak ke kamar mandi.
Hari ini pokoknya gak boleh ketemu Alfa sama Carissa..
Entah kenapa aku tidak ingin bertemu mereka berdua. Karena jika melihat Alfa aku pasti akan terus memikirkan peristiwa semalam. Jika melihat Carissa, aku merasa tidak enak. Aku tahu itu tidak di sengaja. Tapi, yang jelas rasanya tidak enak. Jadi aku memilih untuk berdiam diri di dalam cottage sambil ditemani Mbok Ijah yang sedang memijat kakiku.
"Mbok, tolong bikinin jus alpukat dong." kataku.
Mbok Ijah mengangguk dan berjalan ke dapur. Berulang kali aku mengganti chanel, tapi tidak menemukan acara yang bagus bahkan sampai Mbok Ijah datang membawa jus alpukat. Ternyata berlama-lama berdiam diri di dalam cottage membuat perasaan bosan melanda.
Setelah menghabiskan jus alpukat, aku berjalan ke kamar dan mengambil laptopku. Aku ingin menulis di pinggir pantai.
Aku baru akan menuliskan peristiwa semalam di dalam novelku, dan itu seperti sebuah perjuangan karena susah sekali untuk menulisnya. Karena setiap kata perkata yang kutulis rasanya seperti ada yang menempel di bibirku. Dan aku agak sedikit merinding karenanya dan aku belum berani melanjutkan. Jadi aku lebih memilih untuk menutup laptopku.
Ketika sebuah suara terdengar sampai di telingaku, aku menoleh kearah sumber suara. Kulihat dari jauh Carissa sedang mengejar Alfa sambil tertawa-tawa. Dari yang kulihat Carissa pasti tidak akan bisa menangkap Alfa karena Alfa begitu cepat. Lalu Alfa memutar arah sehingga sekarang ia berada di belakang Carissa.
Dengan cepat Alfa mengangkat tubuh Carissa dan memutar-mutarnya. Carissa tertawa-tawa minta di turunkan. Tapi Alfa tidak mau menurunkannya.
Dan segalanya, aku melihatnya.
Sepertinya Elang benar, mereka kembali berpacaran. Dan itu semakin membuatku ingin menenggelamkan diriku. Sejujurnya, sudah dari dulu aku ingin menghilangkan perasaanku terhadap Alfa. Tapi semakin ingin menghilangkan semakin besar juga rasa penasaranku tentang dia.
Aku tahu bahwa aku berlebihan. Tapi, biarlah.
Sekarang di kejauhan aku bisa membayangkan tadi malam aku bersama Alfa. Karena sekarang posisi mereka sama. Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dengan cepat aku langsung berdiri dan meninggalkan tempat. Anggap saja aku tidak pernah melihat apa-apa.
Aku bukan penulis novel yang baik, karena aku belum bisa menuliskan perasaan seseorang bahkan diriku dengan detil dalam tulisan-tulisanku. Jadi untuk saat ini aku belum bisa menggambarkan tentang perasaanku.
Singkatnya, aku bukan cemburu. Perasaanku lebih kepada menyesal. Menyesal kenapa aku menyukai orang yang salah.
"Mo?"
Aku langsung bisa menebak siapa yang baru saja memanggilku. Rasanya aku ingin bilang padanya kalau aku ingin sendiri. Tapi itu tidak mungkin. Kesannya aku sedang mempunya masalah walau sebenarnya aku memang mempunyai masalah.
"Apa?"
Elang berjalan mendekatiku, ia tidak menjawab. Malah mengamatiku dari atas sampai bawah dan berakhir menatap wajahku.
"Jangan ngeliatin gue," kataku.
Elang mengangkat sudut bibirnya keatas, "Iya gue tau lo risih diliatin."
"Udah tau malah kaya gitu," gumamku.
"Tapi lo juga udah tau kan kalo gue suka ngeliat lo risih?"
Aku memutar kedua bola mataku, "...gak tau."
"Gak tau apa pura-pura gak tau?" seringainya.
"Gak mau tau."
Elang terkekeh, "Lo abis darimana?"
"Emang kenapa?"
"Cuma pengen tau."
"Kenapa sih lo sukanya pengen tau?"
"Emang gak boleh?"
"Nggak."
Elang hanya tersenyum menanggapi. Beberapa lamanya kami hanya diam. Aku ingin meninggalkannya sendirian tapi itu terkesan tidak sopan dan aku bisa dimarahi oleh Mama dan Papa kalau sampai mereka tahu.
"Mo," akhirnya Elang mengalah untuk bicara.
"Apa?"
"Gue boleh nanya sesuatu gak? Yang kali ini gue bener-bener pengen tau."
Aku mengangkat kedua alisku, tidak biasanya Elang seserius ini.
"Nanya apa?"
Elang diam sejenak kemudian menghembuskan nafasnya. Sepertinya kali ini memang pertanyaan yang benar-benar ingin ia ketahui. Biasanya ia bertanya tanpa perlu berpikir matang-matang. Tapi ini?
Bahkan aku hampir bertanya lagi ia ingin bertanya apa. Ketika tiba-tiba ia mengeluarkan suaranya dan memberikan pertanyaan yang ingin ia ketahui kepadaku. Pertanyaannya sukses membuatku terdiam. Kalau sewaktu di acara bisnis Mama dan Papa ia seakan hanya bercanda, tapi untuk kali ini sepertinya tidak.
"Lo suka sama Alfa?"
Lalu aku harus menjawab apa?
****
Iya, gue suka, cinta malah dari 5 tahun yang lalu.
Kalimat tadi hanya kupendam dalam hati saja. Tidak mungkin aku mengatakan pada Elang kalau aku menyukai Alfa. Lagipula dia siapa? Bahkan dia belum bisa kukategorikan sebagai temanku. Teman-teman disekolahku juga belum ada yang tahu.
"Lo udah nanya itu dua kali," kataku tanpa memberikan ekspresi yang berarti.
"Dan gue mau jawaban lo untuk kedua kalinya," katanya.
Dia memang selalu bisa menjawab semua kalimatku. Bahkan aku belum pernah melihatnya salah tingkah, gugup, atau semacamnya. Aku hanya meliahat dia sebagai seseorang yang berkata tanpa pandang bulu. Yang jelas dia suka mengeluarkan semua unek-uneknya. Dan aku tidak terlalu menyukai orang yang seperti itu.
"Untuk kedua kalinya gue jawab jangan ngaco," jawabku.
"Gue mau jawaban yang jujur," katanya.
"Itu udah jawaban paling jujur gue, kalo lo maksa gue malah gak tau mau jawab apa," aku menghela nafas sebentar. "Lagian kenapa sih kok lo kesannya pengen tau banget?"
"Karena gue emang pengen tau banget."
"Denger ya, lagian kenapa kalo gue suka atau nggak sama Alfa? Itu bukan urusan lo sama sekali."
Mata elangnya berkilat menahan sesuatu, "Gue cuma mau mastiin kalo gue nggak salah...,"
"Udah deh, gue capek. Makasih udah dianterin."
Tanpa perlu mendengarkan kalimat Elang, aku masuk ke dalam cottage. Rasanya aku ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Kulihat Davo sudah duduk manis di depan tv sambil menonton tim sepakbola kesayangannya sedang melakukan pertandingan.
"Tadi perasaan ada suara cowok, siapa?" Davo menghentikan langkahku yang hendak masuk ke kamar.
Aku refleks berhenti dan menoleh kearahnya, "Elang," kataku datar. Setelah menjawab aku ingin melanjutkan langkahku tapi ternyata lagi-lagi Davo menahanku.
"Elang anaknya Om Wijaya, kan? Gue baru tau dia ngambil cuti kuliah 3 bulan."
Pernyataan Davo sontak membuatku berjalan mendekat kearahnya dan duduk disampingnya. Davo masih sibuk menonton sambil memakan pop corn.
"Cuti kuliah? 3 bulan?"
Davo mengangguk, "Iya dia tuh kuliah di Aussie."
"Aussie?"
"Iya, dih kok lo jadi kepo gitu tentang si Elang itu? Lo suka sama dia?"
Refleks aku langsung berdiri, "Nggak apaan."
***
Aku sampai di dalam kamarku tepat pada pukul 12 siang. Tanpa perlu berpamitan pada Alfa, Carissa, dan Elang aku langsung pulang. Tidak seperti Davo yang pamit duluan kepada teman-temannya terlebih dahulu.
Mama dan Papa tidak ada di rumah. Itu sudah tidak perlu dipertanyakan lagi kemana perginya mereka. Lalu aku tidur sampai jam 4 sore. Kata Davo, aku tidur seperti orang sedang koma. Sudah dibangunkan berkali-kali untuk makan tapi tidak bangun-bangun juga.
"Pak Danar, anterin ke Groovey cafe."
Aku memutuskan untuk pergi kesana, karena tidak tahu harus berbuat apa di rumah. Seperti biasa, Mbak Naya selalu menghampiriku dan menyebutkan pesananku tanpa perlu ditanya. Setelah Mbak Naya pergi aku langsung membuka laptopku dan membuka document novel yang sedang kugarap.
Aku melanjutkan tulisanku saat di Anyer, juga tentang Elang yang selalu ingin tahu. Karena terlalu sibuknya menulis aku hanya mengangguk dan mengucapkan terimakasih dengan pelan saat Mbak Naya menaruh hot bread pudding chocolate di atas meja.
Aku mengernyitkan kening saat membaca ulang tulisan yang baru kutulis. Saat ada beberapa bagian yang tidak seharusnya diceritakan lebih detil aku menghapusnya kemudian mengubahnya. Juga bagian saat sedang percakapan dengan Elang. Karena terlalu kesal aku selalu lupa ia berbicara apa saja.
Semakin lama tulisanku semakin kacau, entah kenapa tiba-tiba pikiranku melayang kemana-mana. Sehingga aku tidak tahu sedang mengetik apa. Bukan, bukan tidak tahu. Melainkan tidak sadar.
"**** this shit," aku menghentikan jari-jariku yang sedang menari-nari diatas keyboard. Pandanganku masih menatap layar laptop sementara tanganku meraba-raba hot bread pudding chocolate diatas meja.
"Languange."
Baru ketika aku mendengar suara seseorang aku mengalihkan pandanganku dari layar laptop. Aku terkejut melihat siapa yang ada didepanku sekarang. Mungkin kalian bosan dengan orang ini, tapi kenyataannya dia sedang berada didepanku. Dengan tangannya yang menopang dagunya.
Tak lupa mata elangnya yang tengah menatapku.
"Sebenernya lo tuh sengapa ngikutin gue kesini atau apa sih," aku baru akan menutup laptopku. Seketika mood menulisku langsung hilang. Benar-benar hilang.
Tapi tangannya keburu menahan tanganku agar tidak menutup laptop, "Plis jangan bilang gue ganggu lo karna lo risih gue liatin. Lo lanjutin aja kegiatan lo dan gue janji gue gak bakal ngapa-ngapain."
Aku melirik kearah tangannya yang masih memegang tanganku. Dia merasa aku meliriknya dan ia langsung mengangkatnya.
"Termasuk ngeliatin?" tanyaku ketika ia sudah memindahkan tangannya.
"Kalo itu nggak janji."
Aku menghela nafas dan berniat kembali menutup laptopku.
"Oke janji," tiba-tiba suaranya terdengar dan sontak membuat kegiatanku berhenti.
Aku menatapnya dan tidak berkata apa-apa. Aku memakan beberapa suap hot bread pudding chocolate lalu kembali pada laptopku. Saat dipertengahan menulis, aku melirik Elang tajam untuk memastikan bahwa dia tidak sedang menatapku.
Yang kudapati hanya ia sibuk dengan ponselnya.
Tapi entah kenapa sepertinya aku memang tidak bisa menulis jika mengetahui bahwa ada orang didekatku walaupun dia tidak menatap. Tanpa perlu pikir panjang aku langsung menutup laptopku.
"Kenapa ditutup?" tanya Elang ketika sadar aku sedang memasukkan laptop kedalam tas.
"Gapapa," jawabku singkat.
Elang tidak menjawab lagi, dan itu membuatku cukup mengernyitkan kening. Padahal dia selalu menjawab apa yang kukatakan meskipun kalimatku tidak perlu mendapatkan jawaban.
"Lo kenapa sih suka kesini?" akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya.
Elang menoleh, "Kenapa tumben banget nanya?"
"Ya udah gak jadi nanya."
Elang malah terkekeh mendengarnya, "Cafe ini punya tante gue jadi terserah gue mau suka kesini apa nggak."
Aku terkejut mendengarnya, bagaimana mungkin cafe ini milik tantenya? Itu artinya milik tantenya Alfa juga bukan? Tapi kenapa aku tidak pernah melihat Alfa disini untuk sebelum-sebelumnya?
"Se-rius?"
Elang mengangguk kalem, "Serius."
Sepertinya aku harus mengganti tempat menulis favoritku.
***
Pagi ini aku mendapati Lyla menangis di dalam kelas. Aku menatap sekilas kearahnya dan menoleh kearah Vee untuk meminta jawaban dari cara tatapanku kepadanya. Lantas aku langsung duduk tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
"Biasa," kata Vee.
Tita, teman sebangku Lyla sibuk menenangkan dirinya. Sementara aku hanya menopang kepalaku miring dengan tangan kiri. Ini bukan hal baru lagi untukku. Menangis karena cinta sudah biasa kutemui. Jadi, mau menenangkan juga susah. Karena yang membuat dirinya menangis juga dirinya sendiri.
Menerima cinta berarti harus siap untuk merasakan putus cinta.
"Masih banyak ikan di laut, La." kata Tita.
Iya banyak, tapi untuk mencari yang benar-benar pas hanya satu diantara seperjuta-juta. Lyla harus menahan tangisannya karena guru matematika sudah masuk ke dalam kelas. Tiba-tiba guru matematika yang bernama Pak Hamdan berdehem membuat suasana kelas semakin kaku.
"Keluarkan kertas satu lembar. Tulis nama dan kelas."
Oke, sepertinya ini akan rumit.
***
Sebenarnya aku sedang malas ke kantin. Jadi aku lebih memilih untuk menetap di kelas sambil mendengarkan lagu dari iPod. Kulihat hanya tinggal aku dan Tia si kutu buku yang ada di kelas. Aku menopang wajahku dengan kedua tanganku dan terhanyut oleh suara milik Hayley Williams.
Perutku tiba-tiba mengerang minta diisi, dengan terpaksa akhirnya aku berdiri dari tempat dudukku dan berjalan menuju kantin sambil mendengarkan lagu dari iPod. Saat melewati lapangan aku mendapati Alfa berada di lapangan bersama teman-temannya. Tapi buru-buru kuhiraukannya, entah kenapa setiap melihat Alfa pikiranku langsung menerawang kemana-mana dan aku membencinya.
***
Aku menunggu Pak Danar di parkiran sekolah. Tumben sekali ia datang terlambat, padahal biasanya ia selalu on time setiap menjemputku.
"Mocha," suara perempuan membuatku menoleh.
Di depanku berdiri Carissa, sejujurnya aku heran. Dia tidak sekolah atau bagaimana ya? Dari sewaktu pertama melihat ia disini bersama Alfa ia tidak pernah mengenakan seragam sekolah. "Eh, hai." jawabku.
"Belum di jemput?"
Aku menggeleng sambil meringis, "Belum, he he."
"Bareng aja yuk sama Alfa."
Apa katanya? Bareng sama Alfa? Jadi maksudnya aku harus satu mobil dengan mereka berdua? Its a big NO.
"Nggak usah, bentar lagi kayanya nyampe kok."
Tepat pada saat itu ponselku berdering. Terpampang di layar nama Mama disana. Aku langsung mengangkatnya.
"Kenapa, Ma?"
"Cha, tiba-tiba Mama harus ke bandara sama Papa, jadi Pak Danar gak bisa jemput kamu. Ga pa-pa ya? Kamu naik taksi aja ya, Cha. Hati-hati ya, Cha. Love you."
"Iya.. Sayang Mama juga," aku menghela nafas.
"Itu Mama kamu, ya?" tanya Carissa dan sebagai jawaban aku hanya mengangguk. "Jadi gimana? Jemputan kamu udah hampir dateng? Kalo belum, bareng Alfa aja."
"Iya kok udah hampir dateng," terpaksa aku berbohong.
"Ya udah kalo gitu, aku duluan ya." Carissa berlalu dari hadapanku. Kulihat ia masuk ke dalam sekolah, sepertinya ia mencari Alfa.
Aku memutar bola mataku seperti orang idiot. Oh iya, seharusnya aku mencari taksi sekarang. Aku berjalan keluar gerbang sekolah dan menyapa sekilas pada satpam sekolah yang kuketahui bernama Pak Pardi.
***
Hampir 10 menit aku menunggu taksi yang lewat tapi tidak ada yang lewat di depanku. Aku ingin menelpon Mama atau Papa untuk menanyakan nomer pemesanan taksi tapi aku ingat mereka mau flight. Menelpon Davo tidak ada jawaban. Ingin browsing di internet tapi aku baru ingat kalau kuotaku habis. Lengkaplah sudah penderitaanku.
Saat sudah di titik penderitaanku akibat pegal dan panas karena terlalu lama berdiri, sebuah mobil lewat didepanku. Sekitar 10 meter ia melewatiku lalu satu detik kemudian mobil itu berjalan mundur. Aku mengernyitkan keningku melihat mobil itu, seperti tidak asing. Benar saja, setelah kacanya terbuka dan menampilkan sesosok yang kukenal.
Tolong jangan bosan dengan sosok ini.
"Ayo masuk," katanya.
"Lagi nunggu jemputan," jawabku tanpa perlu melihat kearahnya.
"Iya jemputan lo itu gue, cepet masuk."
"Emang nama lo Pak Danar?"
"Ya anggep aja kaya gitu," jawabnya santai. "Tunggu apalagi?"
Mungkin karena faktor capek akibat terlalu lama menunggu. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk kedalam mobilnya. Beberapa menit tak ada pembicaraan diantara kami berdua.
"Lo kuliah di Aussie?" tiba-tiba terlontar pertanyaan itu dari mulutku tanpa bisa kukendalikan.
Elang refleks menoleh kearahku, "Kata siapa gue kuliah di Aussie?"
"Davo."
"Oh, kakak lo?" tanyanya, aku mengangguk. "Iya gue kuliah disana, tapi lagi cuti."
"Kenapa cuti?"
"Pengen aja."
"Pengen aja atau nggak enak disana?" tanyaku penasaran.
"Tunggu deh, kenapa lo jadi pengen tau banget?"
Kurasakan wajahku merona dan buru-buru kualihkan agar Elang tak bisa melihatnya. Kalau di pikir-pikir memang sekarang kesannya aku ingin tahu banget.
"Ya kalo lo nggak mau ngasih tau juga ga pa-pa, gue sih nggak maksa. Nggak kaya lo," aku mencari alasan yang tepat. Dan alasanku ini sonta membuat Elang tertawa.
"Emang gue selama ini kesannya maksa banget ya?"
"Banget."
Elang terkekeh kembali, "Sorry then."
"Ngomong-ngomong, kayanya ini bukan jalan ke rumah gue deh."
Elang langsung nengir mendengarnya, "Gue emang nggak niat bawa lo pulang. Temenin gue makan dulu ya? Gue laper."
Rasanya aku ingin mencongkel matanya. Untung cakep, kalau tidak benar-benar akan kucongkel.
***
Kami berdua sampai pada sebuah restoran di pusat kota Jakarta. Aku dan Elang turun dari mobil dan masuk kedalam. Kebetulan restoran ini sedang ramai-ramainya, entah kenapa aku risih sekali. Oh ya, kalian kan sudah tahu kalau aku benci keramaian. Hampir semua tempat duduk penuh.
Sampai akhirnya ada suara orang memanggil Elang. Aku dan Elang menoleh kearah sumber suara dan mendapati Alfa dan Carissa sedang duduk bersama sambil menikmati makanan.
Elang langsung menarik tanganku dan membawaku kesana. Demi apapun, keadaan seperti inilah yang makin membuatku risih. Aku tidak menyukai disaat ada Alfa dan Carissa. Bukannya aku benci mereka, hanya saja, entahlah. Aku juga tidak begitu mengerti tentang perasaanku sehingga aku tidak dapat menjelaskannya kepada kalian semua.
"Oh jadi ini jemputannya." Carissa mengerling kepadaku dan juga Elang. Membuatku refleks sedikit menunduk. "Kak Elang lama banget jemputnya, kasian Mocha lama nunggunya."
"Hah?" seperti orang dongo aku menjawab.
"Iya nih tadi macet banget di jalan," kata Elang. "Maaf ya telat jemput, hehe." Elang mengerling kearahku. Oke, kerlingannya tidak sesuai dengan matanya untuk kali ini.
"Mau pesen apa, Cha?" tanya Alfa.
Glek.
Rasanya aneh sekali mendengar Alfa menanyakan itu kepadaku. Karena ia sama sekali tidak menanyakan apa pesanan Elang. Oh tidak, ini sepertinya aku saja yang berlebihan. Jelas, ia menghargai seorang aku yang baru diantara mereka.
Lima belas menit pesanan baru datang dan kegiatanku makanku sangat kacau. Aku jadi serba salah untuk makan karena di depanku tepat ada Alfa. Ditambah Carissa yang mencerocos mengatakan pada Alfa bahwa makanannya enak dan Alfa harus mencobanya.
Alhasil, Carissa menyuapkannya pada Alfa.
Fix, aku ingin ke toilet sekarang juga.
"Gue ke toilet dulu ya.."
***
Mungkin jika ada orang yang menghitungnya terdengar tidak wajar. Karena aku sudah berada di dalam toilet selama lebih dari 30 menit, padahal paling tidak waktu yang dibutuhkan seseorang di toilet paling lama hanya 15-20 menit.
Aku sibuk membasuh wajahku pada wastafel dan mematut diriku di cermin. Kupandangi diriku dari atas sampai bawah.
"Iya sih.. ini emang jauh banget," berulangkali aku menggumamkan kalimat itu saat dipikiranku terlintas sesosok Carissa dan aku yang berada disampingnya. Jika dipikir-pikir aku tidak bisa di sejajari dengan Carissa.
Ini terdengar klise dan seperti cerita fiksi kebanyakan. Tapi kenyataan memang benar, yang cantik pasti akan mendapatkan sesuatu yang diinginkan walau entah akhirnya akan seperti apa.
Detik selanjutnya aku hampir terlonjak mendapati bayangan dari cermin sesosok tubuh itu. Elang. Bagaimana dia bisa berada disini? Di dalam toilet perempuan?
Dengan gerakan cepat aku berbalik dan bersandar pada wastafel sambil menatap Elang.
"Lo.. ngapain lo disini?" tanyaku terbata.
"Lo selalu lama di dalem toilet," komentarnya santai tidak memedulikan wajahku yang sudah merah padam akibat menahan malu.
"Keluar dari sini, lo nggak takut dikira tukang intip atau pemerkosa apa?"
Elang hanya melirik kearah pintu toilet dan seketika aku langsung melotot kearahnya. Dipintu itu bertuliskan "SEDANG DIPERBAIKI". Kali ini aku benar-benar ingin mencongkel matanya.
"Gue cuma mau ngingetin doang kalo lama-lama di dalem toilet..."
Sebelum sempat ia menyelesaikan kalimatnya. Aku langsung berjalan lurus, karena tahu kalimat apa yang akan dilontarkannya. Pasti tentang mitos itu. Aku lupa, dan sekarang aku sedikit merinding takut.
Karena terlalu terburu-burunya aku menabrak tubuhnya yang jelas-jelas berada didepanku. Aku mendongak kearahnya dan mendapati sepasang mata elang tengah menatapku.
"Takut?" ia menarik sudut bibirnya keatas.
Aku tidak tahu apa yang sedang kupikirkan tapi kurasa, ini adalah pemandangan terindah selama aku hidup.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Kanza Elfianur
alur nya mantab
2021-04-14
2
iamrainyshah
Elang Mocha
2020-03-19
0
Ni Made Merianti
suka deng sm alur ceritanya gk ngebosenin
2020-02-20
0