Part 12

Di lantai atas, Shan dengan santainya mengetuk pintu kamar Noya sebelum membukanya tanpa menunggu jawaban. "Noya! Aku datang!" serunya ceria, membuat gadis yang sedang duduk di depan meja rias menoleh dengan senyum lebar.

"Kak Shan!" Noya langsung berdiri dan menghampiri Shan dengan semangat. "Aku kira kamu nggak akan datang gara-gara nenek dan Mama!"

Shan hanya tertawa kecil, berjalan masuk dan menjatuhkan dirinya ke atas tempat tidur Noya. "Mana mungkin aku batal? Aku sudah janji. Lagipula, sudah biasa kan kalau Tante Ranika dan Nenekmu nggak suka aku ada di sini?" Shan mengangkat bahunya acuh tak acuh.

Noya ikut duduk di sampingnya, menghela napas pelan. "Iya sih… Aku juga nggak ngerti kenapa mereka selalu keras sama kamu. Padahal kamu baik dan nggak pernah jahat sama aku."

Shan tersenyum kecil, mengacak rambut Noya dengan gemas. "Ya begitulah. Tapi, yaudahlah! Hari ini kita mau pergi ke mana?"

Noya langsung berbinar. "Aku mau ke toko buku! Ada novel yang sudah lama aku incar, katanya hari ini restock!"

Shan mengangguk semangat. "Oke! Habis itu kita bisa nongkrong sebentar di kafe favoritmu."

Setelah berbincang di kamar, Shan dan Noya akhirnya bersiap untuk pergi. Keduanya turun dari lantai atas dengan langkah ringan, masih membahas tempat-tempat yang akan mereka kunjungi hari ini.

Begitu mereka tiba di lantai bawah, Mona yang sedang duduk di ruang tamu langsung menatap mereka tajam, seakan ingin mengatakan sesuatu. Namun, sebelum Mona sempat membuka mulut, Virzha lebih dulu bersuara.

"Shan, Noya, jangan pulang larut malam, ya," ujar Virzha dengan nada lembut tapi tegas. "Kalau bisa, sebelum magrib kalian sudah di rumah."

Shan tersenyum santai. "Siap, Om! Kami nggak akan terlalu lama."

Noya ikut mengangguk. "Iya, Ayah. Kami cuma mau ke toko buku dan mungkin mampir sebentar di kafe."

Mona menatap Virzha dengan kesal, merasa menantunya tidak seharusnya membiarkan Shan terus berkeliaran di rumah mereka seperti ini. Namun, Virzha tetap tenang, seakan tak peduli dengan tatapan mertuanya.

"Kalau begitu, hati-hati di jalan," tambah Virzha.

Shan dan Noya pun segera melangkah ke luar, sementara Mona masih memandang kepergian mereka dengan ekspresi tidak suka. Meski ia tidak berkata apa-apa, jelas terlihat bahwa ia masih belum setuju dengan kedekatan Shan dan Noya.

Namun, baik Shan maupun Noya tidak peduli. Mereka hanya ingin menikmati hari mereka tanpa drama keluarga.

Mona tampak tidak senang izin yang Virzha berikan, tapi sebelum ia sempat menjawab, Anand bersuara. "Nenek, sudahlah," katanya tegas. "Biarkan Noya pergi. Dia juga butuh bersenang-senang."

Mona menatap cucu laki-lakinya dengan kesal, tapi kali ini, ia memilih untuk tidak melanjutkan perdebatan. "Kalian memang aneh"

***

Anand berdiri di depan rumah nenek Mikha, mengetuk pintu dengan cemas. Sejak semalam, Mikha tidak memberi kabar sama sekali. Ia bahkan tidak membaca pesan atau mengangkat teleponnya. Sebagai seseorang yang selalu ada untuknya, sikap Mikha yang tiba-tiba seperti ini membuat Anand tidak tenang.

Pintu akhirnya terbuka, dan di ambangnya berdiri Mikha dengan ekspresi datar. Wajahnya terlihat lelah, tapi ia tetap berusaha tersenyum tipis.

"Kamu ke sini?" tanyanya tanpa antusias.

Anand mengangguk cepat. "Aku khawatir. Kenapa kamu nggak kasih kabar sama sekali? Aku telepon, aku chat… Kamu bahkan nggak baca pesanku."

Mikha hanya menghela napas. "Maaf ya, aku sibuk. Banyak urusan di sekolah, apalagi sebentar lagi ada pentas seni. Aku nggak sempat pegang HP."

Anand menatapnya, mencoba membaca ekspresi Mikha, tapi gadis itu terlihat begitu cuek. Seolah kehadirannya di sini tidak berarti apa-apa.

"Mikha… kamu kenapa?" suara Anand terdengar lebih pelan, penuh rasa ingin tahu dan kekhawatiran. "Kamu kelihatan beda. Apa aku melakukan sesuatu yang salah?"

Mikha menggeleng, masih dengan sikap dinginnya. "Nggak ada yang salah. Aku cuma sibuk. Kamu nggak perlu khawatir, Anand. Fokus aja sama pekerjaanmu di rumah sakit."

Jawaban itu entah kenapa terdengar seperti penolakan halus. Anand mengernyit, merasa tidak nyaman dengan perubahan sikap Mikha. "Mikha, kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita ke aku. Aku di sini buat kamu."

Namun, bukannya merespons, Mikha justru berbalik, melangkah meninggalkan Anand yang masih berdiri di ambang pintu.

"Aku harus bersiap-siap. Aku ada kelas pagi ini," katanya singkat, lalu menutup pintu di belakangnya.

Anand hanya bisa terdiam di teras rumah itu. Ada sesuatu yang berubah dalam diri Mikha, dan itu membuatnya merasa sedih sekaligus bingung.

Saat Mikha akhirnya keluar dengan tasnya, Anand langsung menawarkan, "Biar aku antar kamu ke tempat mengajar."

Mikha menggeleng. "Nggak usah. Aku bisa sendiri."

Jawaban itu terdengar begitu dingin, seakan ia tidak menginginkan kehadiran Anand di sisinya.

Anand hanya bisa menatap punggung Mikha yang semakin menjauh, meninggalkannya dengan ribuan pertanyaan di kepala.

Anand masih berdiri di teras rumah itu, menatap jalanan yang mulai ramai dengan aktivitas pagi. Punggung Mikha sudah menghilang di kejauhan, meninggalkan pertanyaan besar dalam benaknya.

Baru saja ia hendak beranjak pergi, pintu rumah terbuka kembali, kali ini menampilkan sosok nenek Mikha. Wanita tua itu memandang Anand dengan penuh pemahaman, seakan mengerti betapa bingung dan sedihnya pemuda itu.

"Nak Anand…" suara lembutnya memecah kesunyian.

Anand menoleh, berusaha tersenyum meskipun hatinya masih terasa berat. "Nenek…"

Nenek Mikha melangkah mendekat, menepuk punggung tangan Anand dengan lembut. "Jangan terlalu dipikirkan, Nak. Mikha memang sedang banyak pekerjaan di sekolah. Dia pasti lelah, makanya sedikit sensitif."

Anand menghela napas. "Tapi dia seperti… menjauh dariku, Nek. Seolah aku ini bukan siapa-siapa baginya."

Nenek Mikha menatap Anand dengan lembut. Dalam hatinya, ia tahu Mikha belum mengungkapkan kebenaran yang sebenarnya pada Anand. Namun, bukan haknya untuk memberitahu.

"Jangan khawatir, Nak," katanya dengan senyum menenangkan. "Mikha sangat mencintaimu. Dia hanya butuh waktu."

Anand menunduk, mencoba memahami kata-kata itu. Ia ingin percaya, tapi ada sesuatu dalam diri Mikha yang terasa berbeda.

"Kamu lebih baik kembali ke rumah sakit sekarang," lanjut nenek Mikha. "Banyak pasien yang membutuhkanmu. Jangan sampai mereka menunggu terlalu lama."

Anand mengangguk pelan. Ia tahu nenek Mikha benar. Bagaimanapun, tugasnya sebagai dokter adalah prioritas.

"Terima kasih, Nek," ucapnya sebelum berpamitan.

Saat Anand melangkah pergi, nenek Mikha hanya bisa menatap punggungnya dengan perasaan campur aduk. Seandainya Anand tahu kenyataan yang sebenarnya…

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!