Malam hari, Zena tersenyum bahagia melihat Grey dan Tian yang duduk bersama di ruang tengah.
"Mama bahagia melihat kalian akur seperti ini. Itu artinya mama tidak salah pilih menantu," ucap Zena dengan mata berbinar.
"Oh, ya. Sayang, apakah Tian pernah bersikap kasar padamu?" tanyanya, mengarahkan pandangan penuh perhatian ke Grey.
"Enggak pernah, Ma. Grey selalu bahagia," jawab Grey sembari menuangkan teh ke dalam gelas Zena.
"Baguslah," ucap Zena, menghela napas lega. Ia menatap Tian yang masih sibuk dengan ponselnya.
"Hei, kau tidak merindukanku?" godanya.
"Untuk apa, Ma? Aku mampir ke Cafe Mama hampir setiap hari," jawab Tian santai, membuat Grey tersenyum geli.
Grey lalu duduk di samping Zena, menggenggam tangannya. "Mama jangan terlalu kerja keras. Kalau Mama butuh sesuatu, bilang ya."
Zena mengelus tangan Grey. "Aduh, menantu Mama sudah dewasa." Ia memeluk Grey dengan penuh kasih.
"Bagaimana sekolahmu?" tanya Zena kemudian.
"Lagi padat, Ma. Ujian akhir tiga bulan lagi. Tekanannya lumayan," jawab Grey jujur.
"Jangan sampai stres, ya. Jaga kesehatan, makan teratur, dan tidur cukup," pesan Zena.
"Mama juga, ya. Jangan lupa makan makanan yang Mama suka. Jangan cuma kopi dan roti bakar terus," celetuk Grey.
Zena tertawa. "Iya, iya. Mama nurut."
Setelah perbincangan yang hangat, mereka kembali ke kamar masing-masing. Tian duduk di pinggir kasur, memperhatikan Grey yang sudah meringkuk dalam selimut.
"Grey," panggil Tian, "serius deh, saya kayak lagi dihukum. Kamu diem-diem terus."
Grey mengangkat bantal dan menutup kedua telinganya. "Tidur, Om. Besok sekolah."
Tian menghela napas, tak menyerah. "Ya udah, tidur. Tapi jangan tiba-tiba gigit tangan saya lagi."
Grey muncul dari balik selimut. "Kalau Om ribut tengah malam, saya gigit beneran."
Tian meringis. "Kamu bukan kanibal, kan?"
"Bukan. Saya gorila. Mau tidur sekarang."
Di kantor, Tian sudah melamun lima menit lamanya.
"Bos!" panggil Xander dengan nada sebal.
"Hah? Apa?" Tian tersadar.
"Lo kenapa sih? Ngelamun dari tadi. Ponsel lo bunyi tuh," ujar Xander.
Tian menatap ponselnya dan mengacak rambut. "Bini gue kayak aneh. Kayak marah, tapi gue nggak tau salah gue apa."
Xander nyengir. "Makanya, jangan nikah sama anak sekolahan. Susah nebak moodnya."
"Lo bantuin cari solusi, bukan nyinyir," ucap Tian lemas.
Sementara itu, di sekolah, lapangan basket dipenuhi suara sorakan. Grey melempar bola ke Alka, yang menggiringnya lincah ke arah ring.
Tapi saat hendak melempar, Alka didorong keras oleh lawan. Ia jatuh.
"Oi! Main curang lo!" teriak Grey.
Alka mengangkat tangan, menolak bantuan. "Gue oke," katanya, bangkit sendiri.
Beberapa menit kemudian, Kiera datang membawa dua botol air mineral.
"Nih, minum dulu," katanya.
"Thanks," ucap Alka.
"Cewek lawan cewek aja kayak perang dunia," celetuk Kiera.
"Ya, emang seru," balas Alka.
"Gimana lo sama Gio?" tanya Kiera.
Grey melotot. "Ha?! Kalian pacaran?!"
"Baru banget, Rey. Maaf ya nggak bilang."
"Parah! Pajak jadian mana? Gue lagi bokek nih," keluh Grey.
"Ya, dia nembak gue pas kita ke pantai itu," jelas Alka.
"Lo tidur di hammock waktu itu. Nyenyak banget," tambah Kiera.
Grey cemberut. "Astagaaa. Lo juga, Ki? Lo pacaran juga?"
"E-enggak... eh, iya," ujar Kiera.
"Sama siapa lagi nih?!"
"Erland," jawab Kiera malu-malu.
"Duh, kalian semua penghianat jomblo. Janji manis tinggal janji!"
Grey membalikkan badan dengan drama berlebihan.
"Udah, pokoknya lo berdua harus traktir gue. Pajak jadian!" katanya sambil pergi.
Di kantin, Grey memesan tiga porsi bakso.
"Bi, pesan bakso tiga, ya!"
Tak lama, Fajar datang dan mencoba mengambil semangkok bakso.
"Jangan harap. Ini punya gue!" tegas Grey sambil menepuk tangan Fajar.
"Siapa juga yang mau rebutan makanan gorila?" celetuk Fajar.
"Laper, gue!"
Beberapa saat kemudian, Grey melihat Erland melintas.
"Erland! Sini!"
Erland mendekat. Tanpa aba-aba, Grey mengunci leher Erland dari belakang.
"Arghh! Grey, apaan sih!" jerit Erland.
"Berani-beraninya lo pacaran diem-diem sama Kiera, sahabat gue pula!"
Grey melepaskannya dan tersenyum puas. "Sebagai kompensasi, lo bayarin makan gue. Sip?"
"Bi, Erland yang bayar ya!" teriak Grey sambil kabur.
"Astaga, anak siapa tuh..." gumam Erland, menatap tagihan.
"Berapa, Bi?"
"Bakso 5 porsi, es teh 5, sama tahu isi. 80 ribu."
Erland menganga. "Buset..."
Tapi tetap bayar juga. Dan hari itu, Grey pulang dengan perut kenyang dan hati puas.
Malam semakin larut.
Greyna berguling ke kiri, lalu ke kanan. Selimut ditarik sampai hidung, lalu ditendang keluar lagi. Sudah lebih dari satu jam ia hanya rebahan tanpa hasil. Matanya lebar, pikirannya penuh hal nggak penting: dari PR yang belum selesai, harga jepit rambut yang ketinggalan di online shop, sampai kenapa Erland milih Kiera, bukan dirinya (padahal jelas dia nggak suka Erland).
“Aaaa, nyebelin banget!” gumam Grey, duduk tegak di kasur.
Ia mengambil ponsel dan langsung membuka Mobile Legends. Match cepat. Hero favorit: Layla. Mode klasik. Lawan bocil-bocil.
Suaranya mulai keluar. “WOI, WOI TANK-NYA DI MANA, BANGSAT?!” jerit Grey sambil mengetuk layar dengan brutal.
Tian yang sudah rebahan manis di sebelah, membuka satu matanya. “Kamu... main ML?” suaranya serak.
“Ya jelas, lah! Mau tidur susah! Daripada saya kepikiran kenapa Kiera pacaran diam-diam sama Erland, mending saya push rank! Sekalian pelampiasan!” omel Grey sambil terus nyepam skill dua.
Tian memijat pelipis. “Kamu mainnya sambil marah-marah gitu. Itu musuh apa utang?”
“Diem, Om! Ini sih bukan musuh, ini pengkhianat tim! Tank-nya malah farming di hutan. Aduh, aku dihajar! GIMANA SIH?!” jerit Grey lagi.
Tian membalikkan badannya menghadap dinding, pasrah. “Nggak salah mama bilang kamu gorila…”
“Om, kalo enggak bisa bantu, jangan banyak komentar! Kasih aku semangat gitu, kek!”
“Semangat, Grey. Hancurkan musuhmu. Tapi pelan-pelan, saya masih pengen punya gendang telinga besok pagi,” ucap Tian, menguap.
Grey diam sebentar. “Om.”
“Hm?”
“Kalo saya MVP, boleh traktir boba?”
Tian mendesah. “Terserah. Yang penting kamu cepet selesai dan... tolong kecilin volume. saya mau tidur, Grey.”
“BAIK! MAJU TERUS! AYO LAYLA, JANGAN MUNDUR! AAAARGHH!!” jerit Grey lagi.
Tian menutupi wajahnya dengan bantal.
Malam itu, yang tidur nyenyak cuma kucing tetangga.
"Defeat."
Tulisan itu menyala di layar Greyna dengan warna merah menyala seperti neraka. Ia membeku sesaat, lalu melempar bantal ke ujung ranjang.
“Yaelah, tim apaan tuh?! Nggak ada teamwork! Main kayak lagi nyari barang hilang! Aduh, kalah lagi!” geramnya sambil mengacak-acak rambut sendiri.
Ia menoleh ke samping, melihat Tian yang sudah tidur dengan damai seperti pangeran Disney. Tapi Greyna tidak peduli dengan ketenangan siapa pun malam ini.
“Om... Om... TIAN!” panggilnya sambil menggoyang-goyangkan bahu Tian.
Tian menggeliat, matanya terbuka setengah. “Hah? Apalagi, Grey...?”
“Ayo, temenin aku main ML!” pintanya sambil menyodorkan ponselnya.
Tian memejamkan mata kembali. “Grey... sekarang udah jam satu pagi.”
“Aku tahu. Tapi tadi aku kalah dan aku harus push rank sekarang juga biar mental aku stabil. AYOKLAH, AKU MAU RANK UP!” rengeknya.
Tian membuka satu matanya. “Main berdua?”
“Ya iyalah! Kita duo lane. Aku Marksman, om Tank. Biar kayak couple-couple yang lain!” katanya semangat.
Tian mendesah panjang. “Udah kayak dipaksa ikut audisi boyband... Yaudah, sini.” Ia mengambil ponsel di meja dan mulai membuka game-nya.
Greyna tersenyum lebar. “Yeay, makasih om! Hero-nya yang couple-an ya. Aku pake Lesley, Om Johnson ya.”
Tian menatapnya curiga. “Kenapa Johnson?”
“Soalnya Om keras dan suka nabrak perasaan orang,” jawab Grey, tertawa ngakak sendiri.
Tian mengangkat alis. “Oke, kalau gitu saya ganti jadi Tigreal.”
“Yaaah, masa pahlawan suci sih, kurang greget!” keluh Grey.
“Pilih satu aja, Grey.”
“Yaudah, oke. Tigreal. Yang penting Om harus gendong saya. Saya udah trauma kalah barusan. Pokoknya aku harus MVP!” ujarnya sambil bersiap.
Match dimulai.
Mereka masuk ke Land of Dawn dengan semangat setengah waras.
Tian diam-diam cukup jago. Ia buka war, zoning musuh, dan cover Grey seperti bodyguard profesional. Sementara itu Grey sibuk nge-kill sambil ngoceh.
“Om! Om! Cover aku, aku nge-lord!”
“Tungguin, om, aku ambil buff dulu!”
“Aduh! Aduh! GUE DIINCER!! OM TOLONG OM TOLONG—EH MAKASIH, OM.”
Tian mengangkat bahu. “Ya ampun. Main sama bocah drama tuh kayak nonton sinetron jam tujuh pagi.”
Pertandingan selesai.
“Victory.”
Dan MVP? Tentu saja... Grey.
“AAAAAA!!! MVP MVP MVP!! Om, Om keren banget!! Gendonganku mantep!” seru Grey sambil jingkrak-jingkrak di kasur.
Tian tersenyum tipis. “Jadi sekarang boleh tidur?”
“Boleh. Tapi besok kita push lagi ya? Targetnya Mythic!” ucap Grey sambil memeluk bantal.
Tian menutup mata. “Target saya itu tidur, Grey.”
Greyna hanya tertawa kecil. “Om, Om tuh emang nggak bisa nolak saya, ya?”
“Bukan nggak bisa nolak,” gumam Tian pelan, “tapi kasihan sama tetangga yang besok kerja. Suaramu kayak sirene ambulans.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments