BAB 3 — Rahasia, Kopi, dan Kewaspadaan

Jam 04.30 sore, bel sekolah berbunyi nyaring, memecah kebisingan kelas yang mulai lengang. Siswa-siswi berhamburan keluar dari gerbang sekolah, termasuk Greyna, Alka, dan Kiera.

“Lo nggak langsung pulang, Grey?” tanya Alka sambil menyesuaikan tali tasnya.

“Enggak, ke cafe dulu. Ngerjain makalah,” jawab Grey santai, memutar kunci motor dan menyalakan mesin.

Kiera langsung naik ke boncengan. “Gue bareng lo, ya.”

Alka ikut naik motor satunya. Mereka melaju beriringan menuju cafe langganan di pinggir kota, tempat yang cukup tenang dengan pemandangan indah. Butuh waktu hampir satu setengah jam karena jalanan sore cukup padat.

Setibanya di cafe, mata mereka langsung dimanjakan oleh panorama senja. Dari jendela kaca besar, terlihat pegunungan hijau yang diselimuti kabut tipis. Langit berwarna oranye keemasan, memantulkan cahaya yang menyilaukan namun menenangkan.

Lampu kota mulai menyala, berkelap-kelip bagai bintang di kejauhan. Aroma kopi dan suara musik instrumental menambah kehangatan sore itu.

Grey berdiri. “Pesennya apa?”

“Cappuccino,” jawab Alka.

“Creamy latte,” timpal Kiera sambil tersenyum.

Grey mengangguk, memesan ke kasir, lalu kembali membawa nampan berisi tiga gelas minuman.

Mereka tenggelam dalam obrolan ringan, membahas isi makalah, tugas sekolah, dan rencana presentasi minggu depan.

Namun, jam dinding menunjukkan pukul 8 malam, dan Greyna masih belum terlihat gelisah. Kiera mengerutkan dahi. “Lo enggak pulang, Grey? Biasanya jam segini udah jalan.”

Grey hanya mengangkat bahu. “Masih banyak yang harus dirapihin.”

Alka menatapnya curiga. “Mama Aresa enggak nyariin?”

Grey menggeleng. Dalam hati, dia bersyukur Mama Aresa—Mamanya tersayang—sedang berada di luar negeri. Sama seperti suaminya, Tian, yang kini sedang dinas ke China.

Kiera ikut menatap penasaran. “Lo tuh kayak… terlalu santai akhir-akhir ini. Gue aja sampai heran.”

Grey hanya tersenyum samar, tidak menjawab.

Ponselnya tiba-tiba bergetar. Nama "Tian" muncul di layar.

Grey buru-buru berdiri. “Gue ke toilet bentar, ya.”

Begitu sampai di luar area cafe, ia menjawab panggilan itu dan langsung berpindah ke video call.

Wajah Tian muncul di layar, sedang bersandar di tempat tidur hotel dengan rambut setengah basah.

“Lagi apa?” tanya Tian dengan suara lelah.

“Ngerjain makalah,” jawab Grey.

“Dimana? Saya lihat CCTV rumah gelap,” kata Tian curiga.

“Di cafe. Sama Alka sama Kiera. Belum selesai,” jelas Grey.

Tian mengangguk pelan. “Mereka tahu kamu tinggal dimana sekarang?”

“Enggak,” jawab Grey cepat. “Saya bilang masih ngekos biasa, biar enggak curiga. Mereka juga enggak tahu kita udah nikah.”

Tian tersenyum kecil. “Ya, bagus. Jaga terus rahasia itu. Jangan sampai bocor.”

Grey mengangguk.

“Kamu udah makan?” tanya Tian.

“Belum.”

“Jangan kebiasaan telat makan. Di sana jam berapa sekarang?”

“Jam sembilan kurang,” jawab Grey sambil menoleh ke jam tangan.

Tian menatapnya serius. “Saya kasih waktu sampai jam 10. Kalau lewat—”

Grey buru-buru memotong, “Udah, udah. Saya pulang sebelum jam 10. Nyampe rumah jam 11-an, soalnya tempat ini jauh.”

Tian menghela napas. “Jangan ngebut, Grey.”

Grey tersenyum. “Saya bukan Gio.”

Tian ikut tersenyum kecil. “Oke. Nanti kabarin saya kalau udah sampai.”

Setelah mematikan panggilan, Grey menarik napas panjang. Dunia luar tidak tahu betapa ruwetnya hidup rahasianya sekarang: menikah diam-diam dengan atasan kantoran yang jauh lebih tua, tinggal di rumah mewah yang bahkan sahabat-sahabatnya tidak tahu lokasinya.

Dia kembali ke meja. Alka dan Kiera masih mengobrol dengan Gio, Erland, dan Fajar—yang entah datang dari mana.

“Ini manusia pada muncul tiba-tiba. Dunia sempit banget,” keluh Grey pelan sambil memijat pelipis.

Fajar menyapa ceria, “Hai, Grey!”

Grey hanya menjawab dengan anggukan kecil.

Tak lama kemudian, suasana mendadak ricuh. Seorang wanita dengan wajah memerah dan suara tinggi menerobos masuk ke cafe dan langsung menghampiri Fajar.

“Fajar!!! Lo serius enggak bales chat gue? Ngilang dua hari?!” bentaknya.

Semua mata menoleh. Gio menyembunyikan tawa, sementara Erland buru-buru menengok ke arah lain.

Andrea—nama wanita itu—melotot ke arah Grey, Alka, dan Kiera. “Jangan-jangan kalian ya selingkuhannya dia?!”

“Apaan sih…” gumam Kiera.

Fajar berdiri dan mencoba menarik Andrea keluar. “Udah, jangan ribut di sini.”

Namun Andrea melawan, menuding mereka satu per satu sambil berkata kasar, sebelum akhirnya dibawa keluar oleh Fajar.

Setelah kehebohan itu berlalu, Gio menoleh ke Erland. “Land, jadi balapan nggak?”

“Jadi dong. Yang penting uangnya aman,” jawab Erland.

“Boleh ikut nonton?” tanya Alka penasaran.

“Boleh aja. Tapi kalau ada polisi, tanggung sendiri, ya,” sahut Gio cepat.

Kiera menatap Alka dengan mata menyipit. “Lo serius mau nonton balapan liar?”

Alka nyengir. “Seru kayaknya.”

Namun Grey sudah mulai membereskan barang-barangnya. “Eh, gue duluan ya.”

“Mau pulang?” tanya Gio.

Grey mengangguk. “Iya, udah kelar juga makalahnya.”

“Hati-hati, Grey!” seru Kiera.

Grey mengenakan jaket kulit, lalu berjalan ke parkiran. Ia menelpon Tian lagi. “Om, saya otw pulang. Sampai rumah mungkin jam 11.”

Tian terdengar khawatir. “Astagfirullah, kamu ngapain sampai ke cafe sejauh itu?”

“Cari inspirasi. Yang penting saya pulang,” jawab Grey datar.

Tian menghela napas lagi. “Oke, hati-hati di jalan.”

“Siap,” jawab Grey singkat lalu memutus panggilan.

Malam itu, jalanan sepi dan gelap. Lampu motor menerangi jalan kecil yang lengang. Angin dingin menerpa wajah Grey yang mulai merinding.

“Sial, tau gini tadi gue bawa mobil,” gumamnya. Tapi semuanya harus dijalani. Demi rahasia. Demi ketenangan. Demi Tian.

Motor melaju perlahan melewati jalan berkelok yang sunyi. Pepohonan rimbun menjulang di kanan-kiri, menciptakan bayangan gelap yang bergoyang tertiup angin malam. Daun-daun kering berjatuhan, beberapa menempel di kaca helm Grey.

Lampu jalan semakin jarang terlihat. Di satu titik, hanya lampu motor yang menjadi satu-satunya penerang. Angin malam menusuk kulit, menciptakan desis samar seperti bisikan hutan.

Greyna mengeratkan jaketnya. “Gila, ini kayak jalan ke dunia lain,” gumamnya. “Kalau ada hantu lewat, saya nangis beneran.”

Ia memelankan laju motor saat mendekati tikungan curam. Suara jangkrik bersahut-sahutan, dan entah dari mana, terdengar lolongan anjing di kejauhan. Jantungnya berdetak lebih cepat.

“Kenapa sih rumahnya Om Tian harus di tempat kayak gini? Sekalian aja pindah ke markas vampir!” omelnya sendiri.

Setelah hampir satu jam setengah perjalanan, akhirnya cahaya rumah terlihat di ujung jalan panjang yang menanjak. Rumah itu berdiri megah di tengah kebun luas, dikelilingi pagar tinggi dan taman bergaya tropis yang tampak lebih menyeramkan daripada indah di malam hari.

Begitu sampai di depan pagar otomatis, ia menempelkan jarinya ke panel sidik jari. “Verifikasi berhasil,” bunyi suara mekanis. Pagar terbuka perlahan.

Begitu motor masuk, lampu halaman menyala otomatis. Ia mematikan mesin motor dan menatap rumah besar itu sejenak. Sunyi. Gelap. Dan dingin.

Dia menekan kode pintu, lalu masuk ke dalam rumah. Lampu ruang tamu menyala otomatis dengan sensor gerak. Lantai marmer memantulkan bayangan tubuhnya, dan aroma vanila dari pengharum ruangan menyambut lembut.

Greyna meletakkan jaket dan helmnya di gantungan, lalu menghempaskan diri ke sofa empuk berwarna abu-abu. Ia mengusap wajahnya pelan, lalu mengambil ponsel dari saku jaket.

Panggilan ke Tian.

Ponselnya hanya berdering dua kali sebelum suara Tian muncul.

“Halo?” suara Tian terdengar lelah tapi tenang.

“Udah sampai rumah,” ujar Grey.

“Alhamdulillah,” jawab Tian. “Jam berapa sekarang?”

“Setengah dua belas. Jalan gelap semua, serem banget, Om.”

“Makanya saya bilang bawa mobil…” Tian menghela napas. “Tapi kamu keras kepala.”

Grey nyengir, meski Tian tidak bisa melihat. “Kalau bawa mobil, susah parkir di cafe. Lagian, saya juga bukan tipe cewek minta dianterin terus.”

“Apa boleh buat,” balas Tian. “Tapi serius, kamu nggak ketemu hal aneh kan?”

“Selain jalan gelap, daun-daun beterbangan, dan suara anjing hutan… enggak,” jawab Grey sambil mengangkat kaki ke sandaran sofa.

Tian tertawa kecil. “Itu cukup untuk bikin saya pesan tiket pulang cepat.”

“Yakin mau ninggalin kerjaan demi istri rahasia yang belum bisa masak dan baru bisa bikin mie rebus rasa gosong?” ledek Grey.

“Yakin. Karena istri rahasia itu satu-satunya manusia di bumi yang bisa bikin saya ngeluarin suara ketawa di tengah laporan neraca bulanan.”

Grey terdiam sejenak. Suara tawa Tian di ujung sana, tawa yang jarang ia dengar saat masih hanya jadi staf biasa di kantor—kini terasa dekat. Akrab. Dan anehnya, menenangkan.

Ia menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa.

“Grey,” panggil Tian pelan.

“Hm?”

“Terima kasih karena tetap mau jaga semuanya tetap rahasia. Saya tahu ini nggak gampang buat kamu.”

Grey tersenyum samar. “Saya juga nggak nyangka bisa sampai titik ini. Tapi… entah kenapa, saya nggak nyesel.”

Ada jeda sejenak sebelum Tian bicara lagi.

“Kamu ngantuk?”

“Lumayan. Tapi sekarang udah tenang.”

“Besok sekolah lagi?”

“Yup. Besok jam 6 harus udah bangun. Mampus.”

Tian tertawa kecil. “Oke, tidur sana. Saya juga mau lanjut kerja dikit. Kalau kangen, tinggal video call lagi.”

Grey mendesah. “Boleh minta satu kalimat buat nutup malam ini?”

“Kalimat romantis?” tanya Tian menggoda.

Grey mencibir. “Kalimat logistik aja deh. Saya ngantuk.”

Tian tertawa. “Oke. Besok saya transfer uang jajan. Jangan jajanin cowok.”

Grey tertawa geli. “Siap, Komandan.”

“Good night, Grey.”

“Good night, Om Tian.”

Panggilan berakhir.

Grey menatap layar ponsel sejenak sebelum meletakkannya di meja. Ia bangkit pelan, menuju kamarnya di lantai dua. Malam itu, rumah besar itu tetap sunyi, dan menakutkan karwna hanya sendirian.

Terpopuler

Comments

BULAN

BULAN

Ceritanya seru, lanjuttt

2025-02-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!