Tian bersandar di dinding kamar dengan kedua tangan terlipat di dada, matanya yang tajam menatap Grey yang masih tergeletak di kasur dengan wajah bengkak dan mata sembap. Lingkaran hitam di bawah mata Grey begitu jelas, membuatnya terlihat seperti panda malang yang baru saja bertengkar dengan lebah.
"Grey, kamu sebenarnya kenapa?" tanya Tian lagi, suaranya datar tapi ada nada khawatir yang tersembunyi. "Ada yang bully kamu di sekolah atau kenapa? Ngomong, saya enggak bakalan ngerti kalau kamu cuma diam sambil nangis dengerin lagu galau semalaman."
Grey mengatupkan bibirnya yang kering, matanya yang merah masih menatap ke arah jendela dimana sinar matahari pagi mulai menyusup masuk. Tian menghela napas dalam hati, memikirkan betapa rumitnya memahami wanita.
Tian mengeluarkan ponsel dari saku celananya yang rapi, melihat pesan dari mamanya yang akan datang berkunjung hari ini. "Mama mau datang berkunjung," ujarnya sambil mengetuk-ngetuk layar ponsel dengan jari panjangnya. "Gimana ekspresi mama ngeliat keadaan kamu kayak gini, pasti khawatir. Pergi mandi terus turun ke bawah, saya mau masak."
Grey mengerutkan alisnya yang sudah cukup tebal, wajahnya masih cemberut seperti anak kecil yang baru dilarang main game. "Terserah untuk sekarang, saya minta kerja sama sama kamu, tolong jangan kayak gini di depan mama."
Begitu Tian keluar dari kamar dengan langkah panjangnya yang khas, Grey langsung melempar bantal besar ke arah pintu yang baru saja ditutup. "Manusia batu dasar enggak peka!" gerutnya sambil bangkit dari kasur dengan malas, rambutnya yang berantakan seperti sarang burung.
Setelah mandi air hangat yang cukup lama, Grey kini berdiri di tangga dengan rambut masih sedikit basah, mengenakan kaos oversized Tian dan celana pendek. Matanya mengamati Tian yang sedang asyik mengaduk sesuatu di wajan, aroma bawang putih dan daging sapi tumis memenuhi seluruh rumah.
"Apakah ayah ikut?" tanya Grey dengan suara kecil, mencoba menyelipkan pertanyaan itu di antara suara minyak yang mendesis.
Tian membeku sejenak, lalu dengan gerakan kasar ia membalikkan badan dan kembali menghadap kompor. "Tanyakan saja pertanyaan lain, saya akan menjawab," suaranya tiba-tiba dingin seperti es. "Dan jangan menyebutnya ayah. Dia tidak pantas disebut sebagai ayah."
Grey menggeleng pelan, rambut basahnya meneteskan air ke bahu. Dia tidak pernah benar-benar mengerti mengapa Tian membenci ayahnya sampai ke tulang sumsum.
Sudah 7 bulan sejak pernikahan mereka yang awalnya kacau balau. Grey yang dulu menolak mentah-mentah kehadiran Tian, sekarang justru merasa nyaman dengan rutinitas pagi mereka, dengan masakan Tian yang selalu sempurna, dengan cara Tian yang selalu tahu kapan harus memberinya space.
Tian menoleh sebentar ke arah Grey yang masih berdiri di tangga. "Apakah dia sudah selesai marah?" pikirnya sambil mengaduk tumisan. "Turun sini, makannya sudah siap!" teriaknya dengan suara yang sengaja dibuat keras.
Grey duduk rapi di meja makan marmer mereka, tangannya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tidak sabar. Sejujurnya, Grey sama sekali tidak bisa memasak - bahkan untuk merebus air pun dia pernah hampir membakar dapur. Entah bagaimana Tian bisa menerima semua kekurangannya, mulai dari ketidakmampuannya di dapur, kebiasaan mengigau di malam hari, sampai dengkurannya yang kadang bisa menyaingi suara gergaji mesin.
Setelah makan siang yang dihabiskan dalam keheningan, mereka sekarang duduk di sofa kulit hitam yang empuk. Di layar TV besar, Cocomelon sedang menampilkan episode tentang bayi kecil yang belajar berhitung. Tian yang biasanya cuek, kali ini terus menghela napas, jari-jarinya yang panjang mengetuk-ngetuk sandaran sofa.
"Jadi......" Tian memecah kesunyian, suaranya berat.
Grey menoleh sebentar, lalu kembali menatap TV dengan ekspresi datar.
"Kenapa kamu menangis semalam?" tanya Tian lagi, kali ini lebih lembut.
Grey tetap bungkam, tangannya memeluk bantal kecil di pangkuannya.
"Ayolah, jawab saya," desak Tian sambil menyenderkan badan ke arah Grey. "Sore mama datang, kalau gini terus, bisa-bisa saya kena omel lagi. Ayo, kasih tahu saya, dimana letak kesalahan saya."
Grey menggigit bibir bawahnya yang sudah sembap karena digigit-gigit semalaman, mengingat kembali kejadian di pesta yang membuat hancur hatinya.
Kilas Balik - Malam Sebelumnya
"Nanti, kalau sampai sana, kamu jangan kemana-mana, ikut sama saya aja. Nanti hilang kalau kamu keliaran sendirian," ujar Tian sambil mengikat dasinya di depan cermin.
Grey yang sedang berjuang memasang high heelsnya mendengus kesal. "Om, memangnya saya anak kecil umur 10 tahun? Saya ini sudah besar, bahkan sekarang saya sudah nikah sama om. Jangan cerewet."
Tian berbalik, wajahnya serius. "Bukan gitu, masalahnya ini acara besar, isinya orang-orang berpendidikan semua."
Grey langsung menggembungkan pipinya, matanya mulai berkaca-kaca dengan dramatis. "Terus saya bodo gitu? Ih, jahat. Bunda... Grey dibilang bodoh!" Tangannya dengan cepat mengusap air mata palsu yang bahkan belum sempat jatuh.
Tian langsung panik, tangannya yang besar meraih wajah Grey. "Enggak gitu, astaga! Pokoknya, jangan jauh-jauh dari saya."
Di gedung mewah tempat pesta berlangsung, semua mata tertuju pada mereka ketika turun dari mobil mewah. Grey yang tidak terbiasa dengan high heels nyaris terjatuh, tapi dengan cepat Tian menahannya. "Aduh, ini acara fashion show kali ya?" batin Grey sambil memandangi sekeliling yang penuh dengan wanita-wanita cantik dengan gaun mewah dan pria-pria tampan dengan jas mahal.
"Halo, Sebastian! Akhirnya, sekian lama kamu sendirian, sekarang sudah punya pasangan ya, haha!" sapa seorang pria berjas biru laut.
Tian tersenyum sopan. "Halo, Pak Alex! Perkenalkan, ini Greyna Yoivandex, pasangan saya."
Alex menjulurkan tangannya ke Grey. "Selera kamu emang enggak pernah mengecewakan," ujarnya sambil menepuk bahu Tian, membuat Grey sedikit tersinggung tanpa alasan yang jelas.
Di sofa VIP, beberapa orang tua menyapa Tian dengan hangat. "Wah, akhirnya pria lajang kita sekarang sudah ada gandengan, haha!"
Grey yang mulai tidak nyaman dengan situasi, akhirnya mengaku perlu ke toilet. Di balik pintu toilet mewah, dia menatap dirinya di cermin. "Sesak banget pakai baju beginian," keluhnya sambil mencoba menarik napas dalam-dalam yang terhambat oleh korset ketatnya.
Ketika kembali ke ruangan utama, Tian sudah tidak ada di tempat. Grey berkeliling mencari, sampai akhirnya Xander menunjuk ke arah tangga. "Dia ada di atas."
Dan di sanalah, di sudut gelap lantai dua, Grey melihat Tian sedang berpelukan erat dengan seorang wanita cantik berbaju merah. Wanita itu bahkan mencium pipi Tian sebelum pergi.
Grey langsung turun dengan wajah pucat, duduk di bar dan memesan air mineral. "Ini, Nona," bartender memberikan botol air dengan wajah bingung.
Sepanjang malam, Grey berusaha tersenyum dan berbincang dengan tamu-tamu lain, sementara hatinya hancur berkeping-keping.
Kembali ke Masa Sekarang
"Jadi?" tanya Tian lagi, sekarang dengan nada lebih lembut.
Grey menarik napas dalam. "Saya lihat Om kemarin... di lantai dua... berpelukan dengan wanita berbaju merah." Suaranya bergetar, matanya kembali berkaca-kaca.
Tian mengernyitkan dahi, lalu tiba-tiba tertawa. "Astaga, itu Mama Vanessa, sepupu saya dari Belanda! Dia baru datang kemarin dan langsung terbang lagi pagi ini."
Grey membeku. "Apa?"
"Dia memang punya kebiasaan mencium pipi, itu budaya mereka," jelas Tian sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu pikir saya selingkuh?"
Wajah Grey langsung memerah dari telinga sampai leher. "Saya... saya..."
Tian menarik Grey ke pelukannya. "Bodoh sekali kamu," bisiknya sambil mencium kening Grey. "Saya sudah menikah dengan kamu, mana mungkin saya melihat wanita lain?"
Grey bersembunyi di dada Tian, malu setengah mati. "Tapi Om memang manusia batu! Enggak peka!"
Tian tertawa, suaranya yang dalam bergema di dada Grey. "Ya sudah, lain kali jangan langsung marah. Tanya dulu."
Di luar, bel rumah berbunyi. "Itu pasti Mama," ujar Tian sambil melepaskan pelukan.
Grey buru-buru mengusap wajahnya. "Aduh, muka saya masih bengkak nih!"
Tian tersenyum, matanya berbinar. "Tidak apa-apa, Mama pasti mengira kamu menangis karena bahagia menikah dengan saya."
Grey mendelik, tapi tidak bisa menyembunyikan senyum kecil yang muncul di bibirnya. Mungkin, hanya mungkin, Tian tidak se-batu yang dia kira.
BERSAMBUNG...
Wahai para pembacaku yang setia, komen kalian bikin aku makin semangat nulis, lho! Jangan lupa kasih saran ya~ 💕
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Elle
Semangattttt
2025-02-05
0