Bab 4: Pelukan yang Tak Terlupakan

Tian bersandar di dinding kamar dengan kedua tangan terlipat di dada. Sorot matanya tenang, tapi penuh tanya, mengamati Grey yang sejak tadi tidak juga tidur. Wajah Grey tampak bengkak, matanya merah dan sembab. Seperti panda yang habis begadang sambil mendengar lagu patah hati.

“Grey, kamu kenapa sebenarnya?” tanya Tian akhirnya. “Ada yang ganggu kamu di sekolah? Ada yang ngatain kamu? Atau ada yang nyubit pipi kamu sampai bengkak?”

Grey diam. Bibirnya tertutup rapat. Matanya menatap keluar jendela, enggan menatap wajah suaminya. Tian menarik napas panjang, berusaha menahan geli sekaligus bingung.

Wanita. Satu kata, seribu kemungkinan. Dan semuanya penuh kode.

Sambil menatap layar ponselnya, Tian membaca pesan dari Mama: “Nak, Mama nanti mampir ya. Kangen rumahmu.”

“Mama mau datang hari ini,” ucap Tian sambil melirik ke arah Grey. “Kamu mau Mama kaget lihat kamu kayak habis dikeroyok lima orang? Mandi sana. Saya mau masak.”

Grey melirik sinis. “Terserah. Tapi sekarang saya minta satu hal aja… jangan gitu di depan Mama. Saya nggak mau bikin beliau kepikiran.”

Grey tidak menjawab. Tian keluar kamar dengan langkah tenang. Begitu pintu tertutup, Grey langsung mengambil bantal dan melemparnya ke arah pintu.

“Manusia batu! Nggak peka!”

Dengan malas, ia bangkit dari kasur dan menyeret langkah ke kamar mandi.

Setelah mandi dan berdandan seadanya, Grey berdiri di tangga. Ia menatap punggung Tian yang sibuk di dapur. Aroma masakan menguar ke seluruh penjuru rumah, membuat perutnya tiba-tiba berbunyi.

“Apakah ayah ikut?” tanya Grey pelan, setengah ingin tahu, setengah ragu.

Tian tak langsung menjawab. Ia hanya membalikkan badan, lalu kembali menghadap kompor. Suaranya dingin saat akhirnya berkata, “Tanya yang lain, saya akan jawab. Tapi jangan sebut dia ‘ayah’. Saya tidak punya ayah.”

Grey diam. Ia tahu, Tian menyimpan luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Tapi sekeras apapun ia mencoba memahami, tetap saja tak pernah cukup. Ia hanya tahu bahwa Tian sudah lama kecewa dan tidak mengizinkan siapa pun menyentuh luka itu.

Mereka sudah menikah selama tujuh bulan. Awalnya? Bencana. Grey merasa seperti dikurung dalam drama TV yang penuh paksaan. Tapi seiring waktu, segalanya berubah. Tanpa sadar, keberadaan Tian mulai terasa... aman.

Tian menoleh, memperhatikan Grey yang masih berdiri di tangga. Dalam hati, ia bertanya, “Apa dia masih marah?” Tapi di luar, ekspresinya tetap datar.

“Turun. Makanannya sudah siap,” ucapnya.

Grey menurut. Ia duduk manis di meja makan, menunggu. Dari semua kekacauan hidupnya, satu hal yang membuat Tian pantas disyukuri: kemampuan masaknya. Tian bisa memasak apa saja. Grey? Bahkan memencet tombol kompor pun bisa jadi bencana nasional.

Sesudah makan siang, mereka duduk bersebelahan di sofa, menonton acara kesukaan Grey—Cocomelon.

Tian menghela napas untuk kesekian kalinya. Di layar TV, anak-anak bernyanyi riang. Di dalam hatinya, Tian ingin menanyakan satu hal.

“Jadi…” Tian membuka suara.

Grey hanya menoleh sebentar, lalu kembali fokus ke TV.

“Kenapa kamu menangis semalam?” tanya Tian, nada suaranya lembut kali ini.

Tak ada jawaban.

“Grey,” ucap Tian pelan. “Saya cuma pengen tahu, di mana letak salah saya. Soalnya sore ini Mama datang. Kalau kamu masih begini, saya bisa kena semprot.”

Grey menggigit bibir bawahnya. Hatinya masih terasa panas saat mengingat kejadian semalam.

Malam Sebelumnya

“Nanti kalau sampai sana, jangan kemana-mana. Ikut saya terus,” ucap Tian sebelum turun dari mobil.

Grey menyilangkan tangan. “Om, saya ini bukan anak kecil. Saya ini istri resmi Om, tahu.”

“Saya tahu. Tapi ini acara besar. Banyak tokoh penting. Saya cuma ingin jaga kamu.”

Grey mengembungkan pipinya. “Jadi saya bodoh gitu?”

Tian langsung panik. “Bukan begitu!”

Tapi Grey sudah pura-pura mengelap air mata. “Bunda… Om Tian jahat…”

Tian tak bisa berkata-kata. Ia menghela napas panjang. “Pokoknya, jangan jauh-jauh.”

Di gedung tempat acara, mereka jadi pusat perhatian. Ini kedua kalinya Tian membawa wanita ke pesta. Grey tampak memesona dalam balutan gaun hitam, menawan dan kontras dengan wajah polosnya yang kebingungan.

Tian menyodorkan minuman padanya.

“Halo, Sebastian!” seru pria berjas biru yang mendekat.

“Halo, Pak Alex,” sapa Tian. “Ini Greyna, pasangan saya.”

Alex tersenyum ramah. “Senang bertemu denganmu, Greyna. Selera kamu bagus, Sebastian.”

“Terima kasih, Pak,” jawab Grey dengan senyum kikuk.

Tian lalu diajak berbincang dengan beberapa petinggi bisnis. Grey ikut duduk, mencoba tersenyum di tengah obrolan yang tidak ia pahami sepenuhnya.

“Jadi siapa namamu, Nona cantik?” tanya Pak Zean.

“Greyna Yoivandex,” jawab Grey dengan senyum ramah.

“Wah, namanya sebagus orangnya,” puji Vino.

Tapi rasa sesak mulai menyelimuti dada Grey. Ruangan ini… pakaian ini… obrolan ini… semuanya terasa asing.

“Permisi, saya ke toilet sebentar,” katanya. Tian hendak menahan, tapi urung.

Di toilet, Grey memandang dirinya di cermin. Gaun itu membingkai tubuhnya dengan sempurna, tapi terasa seperti penjara. Tumit tingginya membuat setiap langkah menjadi penderitaan.

Saat keluar, Tian sudah tak terlihat di sofa tempat mereka duduk.

“Om…,” panggil Grey pada Xander yang kebetulan lewat. “Lihat Sebastian?”

“Dia naik ke lantai atas,” jawab Xander. “Ayo, saya antar.”

Sesampainya di lantai dua, jantung Grey seketika membeku.

Di balik dinding kaca, ia melihat Tian—sedang memeluk seorang wanita.

Tanpa berkata apa-apa, Grey menuruni tangga lagi dan duduk di kursi bar.

“Ada yang bisa saya bantu, Nona?” tanya bartender.

“Air mineral, satu,” ucap Grey.

Dan di situlah malam berubah menjadi beban di dadanya. Ia menyelesaikan minumannya, menenangkan napas, lalu kembali bersosialisasi seolah tidak terjadi apa-apa.

Kembali ke masa sekarang, Grey duduk bersila di sofa, menatap layar TV tanpa benar-benar melihat.

Tian meliriknya.

“Maaf,” ucapnya akhirnya. “Semalam, yang kamu lihat itu… bukan seperti yang kamu kira.”

Grey menoleh cepat. “Oh iya? Berarti pelukan itu… pelukan formal?”

Tian tak membalas.

Grey tertawa hambar. “Sudahlah. Saya sudah selesai marah, cuma… belum selesai kecewa.”

Tian duduk di sampingnya, tapi menjaga jarak. “Itu mantan rekan kerja saya. Dia baru pulang dari luar negeri dan memang dekat dengan keluarga saya. Tapi saya salah karena enggak langsung kasih tahu.”

Grey memeluk lututnya. “Saya enggak minta semua hal dijelasin. Cuma… ya tahu kan, kadang cewek perlu diyakinin juga.”

Tian tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya hari itu, senyuman itu bukan senyum sarkas, bukan juga basa-basi.

“Saya janji, enggak akan bikin kamu ngerasa sendirian lagi.”

Grey pura-pura tidak dengar. Tapi wajahnya perlahan mencair. Mata panda itu masih ada, tapi tak lagi sekelam tadi pagi.

Mereka kembali menatap TV.

Dan suara anak-anak dari Cocomelon kembali mengisi ruang itu, kali ini… lebih hangat dari sebelumnya.

Terpopuler

Comments

Elle

Elle

Semangattttt

2025-02-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!