The Secret of Love

The Secret of Love

Part 1

Langit tiba-tiba menjadi mendung. Cuaca yang semula terik, perlahan berganti dengan hawa dingin karena hujan mulai turun. Dari kejauhan, tampak sebuah desa yang terlihat sepi. Namun, desa yang tidak terlalu banyak penduduk itu tiba-tiba ramai karena semua penduduk berhamburan keluar dari rumah dan menuju salah satu lapangan yang cukup luas di tengah desa mereka.

Dengan bersorak sorai, mereka menikmati guyuran air hujan yang jatuh semakin deras. Bahkan, ada di antara mereka yang berguling-guling di atas tanah yang sudah penuh dengan lumpur.

"Terima kasih, Dewa. Terima kasih karena sudah mengabulkan permohonan kami," ucap seorang lelaki paruh baya yang duduk bersimpuh di atas tanah sambil membungkuk-bungkukkan badannya.

Melihat tingkahnya, membuat semua orang yang ada di tempat itu juga melakukan hal yang sama. Entah tua, atau muda, anak kecil, atau orang dewasa, semuanya berbaur di lapangan itu. Mereka terlihat gembira karena hujan yang sudah hampir setahun mereka tunggu akhirnya turun.

"Kakek, akhirnya kita bisa berkebun lagi," ucap gadis kecil yang sudah basah kuyup pada lelaki tua itu dengan senyum di wajah mungilnya.

"Iya, cucuku. Sekarang kita sudah bisa berkebun lagi," jawab lelaki tua itu sambil memeluk cucu perempuannya.

Mei Yin, gadis cilik yang terlihat polos dan selalu ceria. Dia tinggal bersama kakeknya yang merupakan pemimpin dari desa mereka. Bukan hanya itu, Mei Yin yang mempunyai kulit putih dan postur wajah yang cukup menarik untuk gadis cilik seusianya, banyak menarik perhatian orang.

Pernah sekali, lelaki paruh baya itu membawa Mei Yin ke kota untuk membeli sepatu baru untuknya. Awalnya, Mei Yin tidak diizinkan untuk ikut, tapi gadis kecil itu bersikeras untuk tetap ikut. Sepanjang perjalanan, dia selalu diperhatikan orang-orang. Mereka bilang, kalau wajahnya sangat cantik. Mereka mengibaratkan wajahnya bagaikan cahaya bulan purnama yang bersinar di atas laut biru. Bahkan, ada yang menyarankan pada lelaki tua itu agar cucunya jangan dibawa keluar karena ada perintah dari kerajaan untuk membawa setiap gadis ke kerajaan untuk dijadikan pelayan ataupun selir. Sejak saat itu, Mei Yin tidak pernah lagi ikut kakeknya keluar dari desa.

Mei Yin, gadis cilik yang berusia sepuluh tahun. Dari kecil, dia hanya tinggal berdua bersama kakeknya. Ibunya telah meninggal saat melahirkannya dulu. Sedangkan ayahnya, sudah meninggalkan desa sejak lima tahun yang lalu dan sampai kini, ayahnya itu tidak pernah muncul kembali.

"Kakek, ayo kita ke kebun," ajak Mei Yin pada kakeknya yang sementara masih tertidur. "Kakek," panggilnya lagi sambil menggoyang-goyangkan tubuh kakeknya itu.

"Ada apa, Mei Yin? Kakek masih mengantuk," ucap kakeknya dengan mata yang masih tertutup.

"Kakek juga kenapa baru pulang pagi? Bukankah, Kakek sudah berjanji padaku kalau hari ini kita akan berkebun?" Gadis kecil itu terlihat kesal karena diacuhkan oleh kakeknya.

"Mau bagaimana lagi, warga desa ingin berpesta semalaman. Masa Kakek sebagai kepala desa tidak turut hadir." Lelaki itu berucap sambil mencoba untuk duduk.

"Ya, sudah. Kakek lanjutkan saja tidur Kakek, biar Mei Yin yang pergi ke kebun sendirian." Gadis cilik itu lantas bangkit dan pergi meninggalkan kakeknya yang kembali membaringkan tubuhnya.

Jarak kebun dari desanya tidak terlalu jauh. Hanya melewati jalan yang tertutup pepohonan yang lumayan rindang. Dengan senangnya, gadis cilik itu berjalan menyusuri jalan yang sudah biasa dilaluinya. Gadis itu berjalan sambil menenteng rantang yang berisikan ubi rebus dan sebuah cangkul yang dibuat khusus untuknya. Setibanya di sebuah lahan yang dipenuhi rumput liar, dia berhenti dan mulai membersihkan lahan itu.

Walau masih kecil, Mei Yin tahu bagaimana caranya berkebun. Dia bisa membedakan daun-daun yang bisa dimakan atau tidak. Dia juga tahu tentang tumbuhan yang bisa dijadikan obat atau menjadi racun yang mematikan. Semua pengetahuannya itu diajarkan langsung oleh kakeknya yang juga merupakan tabib di desanya.

Tanpa terasa, sudah setengah hari dia berada di lahan itu. Dengan telaten, dia mulai membersihkan lahan yang akan dipakai untuk menanam nanti. Dengan semangat, dia mengumpulkan rumput-rumput yang sudah dicabutnya untuk segera dibakar.

Karena lelah, dia memutuskan untuk beristirahat sambil melahap ubi rebus yang tadi dibawanya sambil memandangi alam sekitar. Perlahan, pandangannya tertuju pada asap yang mengepul di balik pepohonan. Asap yang semula berwarna putih kini berubah menghitam.

Dengan penasaran, dia berjalan mencari sumber asap yang terlihat mulai pekat. Dan, betapa terkejutnya dia ketika melihat desanya yang telah terbakar. Dengan langkah yang kian dipercepat, dia menyusuri sisi rumahnya yang telah terbakar sebagian. Bukan saja terbakar, tapi dia melihat penduduk desa yang sudah terkapar tak bernyawa dengan luka tebasan pedang dan anak panah yang menancap di tubuh mereka. Sesaat, rasa takut mulai menghantui pikirannya, tapi karena kakeknya yang belum juga dia temukan, membuat dia memberanikan diri untuk terus mencari kakeknya di antara tumpukan mayat-mayat.

Melihat desanya yang sudah hancur porak poranda membuat Mei Yin menangis. Dia bahkan tidak bisa menemukan jasad kakeknya. Tidak ada satupun penduduk di desanya yang selamat. Mereka semua telah dibantai secara kejam.

Sambil menangis, Mei Yin mulai menggali tanah untuk mengubur jasad-jasad itu. Dia tidak tega melihat jasad warga desanya tidak terurus. Walau tubuh kecilnya tidak mampu untuk melakukan hal seberat itu, tapi dia berusaha untuk bisa mengubur mereka. Hingga hari mulai gelap, dia masih belum selesai menggali.

"Kakek, Kakek di mana?" Mei Yin berseru memanggil sang kakek dengan air mata yang membasahi wajahnya. Namun, tak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara jangkrik yang mulai bersahut-sahutan.

Udara malam semakin dingin dan cuaca yang gelap, membuat Mei Yin tidak sanggup untuk terus menggali. Tubuhnya yang kecil tidak sanggup menahan dinginnya udara malam yang kian menusuk tulang.

Perlahan, dia mendengar suara ringkikkan kuda yang berlari ke arahnya. Suara ringkikkan kuda itu terdengar semakin dekat hingga membuatnya bangkit dan segera bersembunyi. Dibalik rumput ilalang yang meninggi, dia menyembunyikan tubuh mungilnya.

"Sepertinya, para perampok itu sudah membunuh seluruh penduduk desa, Jenderal," ucap salah satu prajurit setelah memeriksa kondisi desa tersebut.

Lelaki yang terlihat gagah dan dipanggil jenderal itu kemudian turun dari atas kudanya. Sambil memegang obor ditangannya, dia kemudian memeriksa di sekeliling desa dengan harapan bisa menemukan warga yang masih selamat.

"Coba kalian periksa di sekeliling tempat ini. Sepertinya, ada yang berusaha menggali tanah karena liang ini masih baru, tanahnya masih basah karena baru digali. Sepertinya, ada seseorang yang mencoba untuk mengubur jasad-jasad ini," ucap jenderal itu pada prajurit-prajuritnya.

Setelah mendengar perintah Sang Jendral, prajurit-prajurit itu kemudian menyusuri setiap sudut desa hingga akhirnya terdengar salah satu prajurit yang berseru karena mendapati tubuh Mei Yin yang telah pingsan.

"Ada apa?" tanya prajurit lainnya sambil mendekati arah teriakan.

"Sepertinya, anak ini masih hidup," jawab prajurit itu sambil mengangkat tubuh Mei Yin dan segera dibawanya ke dalam tenda Sang Jenderal.

"Lapor, Jenderal. Sepertinya, hanya anak ini satu-satunya yang selamat," ucap prajurit itu sambil membaringkan tubuh Mei Yin di atas sebuah dipan.

Jenderal itu kemudian memeriksa tubuh Mei Yin yang terbaring dengan wajah yang memerah. "Sepertinya, dia sedang demam," ucapnya setelah meraba dahi gadis kecil itu. "Cepat, bawakan air dan kain untukku dan kalian segera kuburkan jasad-jasad itu!" perintah Sang Jenderal pada prajurit-prajuritnya.

"Baik, Jenderal!" Prajurit-prajurit itu lantas melaksanakan perintah dari Sang Jenderal.

"Kasihan kamu, pasti kamu sangat sedih karena desamu telah dibakar dan semua penduduk telah dibunuh," ucap Sang Jenderal sambil mengompres dahi Mei Yin. Melihat kondisi tubuh dan jari-jari tangannya yang terlihat penuh tanah dan berdarah, membuat Jenderal itu yakin kalau gadis kecil inilah yang telah menggali tanah untuk mengubur jasad-jasad itu.

"Kakek ... kakek ...." panggil Mei Yin dalam tidurnya. Sepertiya, gadis kecil itu tengah mengigau dan memanggil-manggil kakeknya.

Melihat kondisi Mei Yin yang sakit, membuat Sang Jenderal tidak bisa tidur. Semalaman, Jenderal itu merawatnya hingga membuat prajuritnya merasa kasihan padanya.

Sang Jenderal yang terlihat gagah ternyata mempunyai hati yang sangat baik. Di balik sikap kepemimpinannya yang tegas, ternyata dia adalah seorang yang baik hati. Jenderal itu sangat dihormati oleh pasukannya. Bukan hanya itu, ternyata Raja pun sangat segan padanya.

Jenderal Chang Yi, sosok lelaki yang mempunyai wajah yang tampan. Walau sudah tidak muda lagi, tapi aura wibawa dan kharismanya masih terpancar. Sikapnya yang peduli pada orang lain membuat namanya di kenal di seluruh pelosok negeri. Walau dia di kenal dengan keganasannya saat bertarung di medan perang, tapi semua itu akan hilang ketika dia sudah berbaur dengan keluarganya.

Jenderal Chang Yi di kenal sebagai seorang ayah yang sangat baik dan perhatian pada keluarganya. Pantas saja, dia dengan begitu telaten merawat Mei Yin yang sedang sakit seperti merawat putrinya sendiri.

Perlahan, sinar matahari mulai merambat masuk di sela-sela tenda. Udara dingin sisa semalam kini telah berganti dengan udara hangat, karena sinar matahari yang perlahan menunjukan kekuatannya.

Mei Yin yang semula teridur, kini perlahan mulai membuka matanya. Jenderal Chang Yi yang sedari tadi duduk di sampingnya mulai memperhatikan gadis kecil itu. Melihat Mei Yin yang perlahan membuka matanya membuat Jenderal Chang Yi menatapnya dengan tatapan kagum. Sorot matanya yang masih sayu tidak membuat Jenderal Chang Yi berpaling.

"Kalian siapa? Apa kalian yang telah membunuh orang-orang di desaku?" tanya Mei Yin yang mulai menangis karena mengingat kakek dan juga penduduk desa yang telah tewas.

"Jangan salah paham. Kami pasukan dari istana yang ditugaskan untuk mengejar para perampok itu," jawab Jenderal Chang Yi sambil mencoba menenangkannya.

"Kakek ... mana kakekku?" tanya Mei Yin sambil berlari keluar dari tenda.

"Kakek ... kakek ... kakek di mana?" panggil Mei Yin sambil mencari kakeknya, tapi tidak dia temukan.

Jasad-jasad yang awalnya bergelimpangan kini sudah tidak ada lagi. Tanah yang sempat digali olehnya kini sudah tertutup.

"Kami sudah mengubur jasad-jasad itu. Kami sudah memeriksa di setiap sudut dan menemukan beberapa jasad yang sudah hangus terbakar," ucap Jenderal Chang Yi menjelaskan.

Mei Yin kemudian duduk di dekat gundukan tanah yang masih basah. Air matanya perlahan jatuh karena menangisi penduduk desa yang telah terbunuh dan kakeknya yang tidak bisa ditemuinya lagi.

"Kakek, maafkan Mei Yin," ucap Mei Yin dengan air mata yang mengalir di sudut pipinya. Melihat gadis kecil itu menangis sesenggukan, membuat prajurit-prajurit merasa iba padanya.

Seorang gadis kecil, kini telah kehilangan keluarganya. Tempat untuk dia pulang, sudah tidak ada lagi. Tempat untuk dia mengadu, sudah pergi dengan tragis. Yang tersisa, hanya seorang gadis kecil yang tidak tahu harus pergi kemana. Seorang gadis kecil yang kini harus merasakan kehidupan tanpa kasih sayang.

N.B.

Buat teman-teman yang sudah ikuti ceritaku di NT, aku mau bilang kalau ada juga beberapa ceritaku yang sudah tamat di aplikasi Joy**** si pink. Semua ceritaku di sana gratis tanpa gembok. Aku masih memakai nama pena embun_senja. Ditunggu, ya...

Terpopuler

Comments

Triiyyaazz Ajuach

Triiyyaazz Ajuach

kasihan mey yin

2020-06-29

2

Kim Sumi Ryn

Kim Sumi Ryn

ini author favorit nih .. episode novel nya sedikit bikin semangat baca 😍

2020-06-18

2

Tri Wahyuni

Tri Wahyuni

😘langsung suka

2020-06-07

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!