Part 2

Mei Yin menatap kepergian Jenderal Chang Yi dan prajurit-prajuritnya itu dengan tatapan dingin. Setelah selesai mengubur mayat-mayat penduduk desa, mereka kemudian melanjutkan perjalanan untuk mencari tahu keberadaan para perampok yang sudah membunuh satu desa itu.

"Apa kamu tidak apa-apa ditinggal sendirian di sini?" tanya Jenderal Chang Yi pada gadis kecil itu sebelum pergi.

"Aku tidak apa-apa, Paman. Aku mohon, segeralah tangkap pembunuh-pembunuh itu dan hukum mereka seberat-beratnya," jawab Mei Yin dengan wajahnya yang terlihat marah.

Tatapan mata Mei Yin membuat Jenderal Chang Yi paham. Tatapan mata itu terlihat seperti lautan yang sedang bergejolak. Tatapan mata itu tidak sama saat sorot matanya terlihat sendu. Tatapan matanya akan terlihat seperti lautan biru yang tenang dan membuat siapapun yang memandangnya akan terkagum-kagum padanya.

"Aku mohon, Paman. Segera tangkap mereka agar mereka tidak lagi membunuh rakyat yang tidak berdosa," ucap Mei Yin yang membuat Jenderal Chang Yi kagum padanya.

"Kamu tunggu Paman di sini, Paman akan membawamu pergi dari sini," ucap Jenderal Chang Yi yang membuat Mei Yin tersenyum.

Melihat gadis kecil itu yang kini sendirian membuat Jenderal Chang Yi merasa khawatir padanya. Dia kasihan dengan gadis kecil itu. Dia takut kalau para perampok akan kembali lagi ke desa. Dan dia tidak ingin menyesal jika gadis itu sampai terbunuh.

"Aku akan membawa anak itu, kalian tunggu di sini," ucap Jenderal Chang Yi sambil berbalik arah menuju kembali ke desa walau mereka sudah berjalan sedikit menjauh dari desa itu.

Dengan perasaan khawatir, Jenderal Chang Yi mempercepat laju kudanya. Setibanya di desa, dia kemudian turun dari punggung kudanya dan mencari Mei Yin, tapi percuma karena gadis kecil itu sudah tidak ada lagi di sana.

Diperhatikannya kembali jejak kuda yang terlihat masih baru. Sepertinya, ada seseorang yang datang setelah mereka pergi. Jenderal Chang Yi kemudian meniup peluit yang merupakan tanda panggilan pada prajurit-prajuritnya. Dengan sekejap, semua prajuritnya telah berkumpul.

"Ikuti tanda jejak itu! Sepertinya, ada yang telah membawa anak itu dari sini," ucapnya sambil menunggangi kudanya dan mulai menyusuri jejak itu.

Setelah melakukan pengejaran, akhirnya mereka mendapati segerombolan pedagang yang melintas. "Apakah kalian yang telah membawa seorang gadis kecil dari desa di atas gunung tadi?" tanya Jenderal Chang Yi pada pemimpin gerombolan pedagang itu.

"Apa maksud Tuan, gadis kecil yang bermata biru?" tanya salah satu dari mereka.

"Benar, dimana dia sekarang?"

"Tuan terlambat karena gadis itu sudah dibeli oleh seseorang," jawab pedagang itu yang membuat Jenderal Chang Yi menjadi marah.

"Pada siapa kamu menjulnya, hah?" tanya Jenderal Chang Yi sambil menghunus pedang ke arah leher pedagang itu.

"Saya tidak tahu, Tuan. Orang itu hanya membeli dan memberikan saya sejumlah uang. Lagipula, gadis kecil itu saya beli dari seseorang yang kebetulan berpapasan dengan kami tadi," jelas pedagang itu dengan tubuhnya yang mulai gemetar.

Rupanya, setelah kepergian Jenderal Chang Yi, ada seseorang yang melewati desa itu dan mendapati Mei Yin sendirian. Lantas, orang itupun membawanya dengan paksa untuk dijual dan dijadikan sebagai budak.

Situasi negeri yang sedang kacau karena dampak dari kekeringan selama setahun telah membuat mereka nekat melakukan apa saja. Dari membunuh hingga merampok adalah hal yang biasa dilakukan hanya demi untuk menyambung hidup mereka.

Setelah menyusuri tempat itu hingga sampai ke pasar, Jenderal Chang Yi tidak menemukan Mei Yin. Terbesit rasa penyesalan di hatinya. Andai saja dia membawa gadis kecil itu bersamanya, mungkin anak tersebut akan baik-baik saja.

"Jenderal, kami sudah menyusuri semua tempat, tapi kami tidak bisa menemukan gadis kecil itu," ucap seorang prajurit yang datang melapor padanya.

"Baiklah, sepertinya kita sudah kehilangan jejak para perampok itu. Lebih baik kita kembali ke istana," ucap Jenderal Chang Yi dengan rasa kecewa.

Setelah tiba di istana, Jenderal Chang Yi segera melaporkan hasil pengejarannya yang membuat Raja kecewa.

"Maksud kamu, para perampok itu tidak bisa kalian tangkap?" tanya Sang Raja dengan wajahnya yang terlihat marah.

"Maaf, Paduka. Sepertinya, perampok-perampok itu sudah berbaur dengan penduduk sehingga kami tidak bisa mengetahui tempat persembunyian mereka," jawab Jenderal Chang Yi sambil berlutut dan menundukkan kepalanya.

"Baiklah, bagaimana kalau kita mengirim mata-mata di setiap tempat? Kita tidak bisa membuat penduduk khawatir dengan ulah para perampok-perampok itu," usul Raja yang membuat semua penasehat mendukung usulnya itu.

"Jenderal Chang Yi, berikan perintah pada prajurit-prajurit terbaikmu untuk memata-matai di setiap pelosok di negeri ini!" perintah Raja dan segera dilakukankan oleh Jenderal Chang Yi.

Setelah Jenderal Chang Yi selesai memilih prajurit-prajurit yang akan ditugaskan untuk menjadi mata-mata, akhirnya dia bisa kembali pulang ke rumahnya yang sudah hampir sebulan ini ditinggalkannya.

"Ayah ... Ayah ...." panggil seorang anak perempuan sambil berlari ke arahnya. "Ayah kenapa baru pulang? Aku sangat merindukan Ayah," ucap gadis kecil itu yang kini digendongan ayahnya.

"Anak Ayah sudah besar sekarang. Kamu makan apa sampai bisa berat begini?" canda Jenderal itu pada putrinya.

"Tidak berat kok, Ayah," jawab gadis itu sambil meminta turun dari gendongan ayahnya.

Setelah diturunkan, anak perempuan yang berumur sepuluh tahun itu kemudian berlari ke arah seorang wanita yang sedang berdiri di depan pintu rumahnya. "Ibu, Ayah sudah kembali." Wanita itu mengangguk dan tersenyum saat melihat Jenderal Chang Yi yang berjalan ke arahnya.

"Sayang," ucap Sang Jenderal sambil memeluk wanita itu yang tidak lain adalah istrinya.

"Kanda pasti lelah, ayo istirahat dulu," ucap sang istri sambil mengarahkannya untuk duduk.

Setelah menyiapakan teh hangat untuk suaminya, wanita yang terlihat cantik itu kemudian duduk menemani suaminya. "Ada apa, Kanda? Sepertinya, Kanda sedang memikirkan sesuatu?" tanya istrinya itu penasaran.

"Tidak ada apa-apa. Kanda hanya lelah," jawab Jenderal Chang Yi yang tidak ingin membuat istrinya itu khawatir.

Sang istri yang sudah mendengarkan penjelasan suaminya itu akhirnya maklum dan tidak bertanya lagi, walau dia tahu suaminya itu sedang memikirkan sesuatu.

"Di mana Liang Yi? Apa dia belum kembali dari latihannya?" tanya Jenderal Chang Yi pada istrinya itu.

"Sebentar lagi dia pasti akan kembali. Kanda jangan khawatir, anak kita sudah dewasa sekarang," jawab istrinya dengan senyum di wajahnya.

Di lapangan yang biasa dipakai untuk latihan, terlihat seorang pemuda yang berusia sekitar lima belas tahun sedang berlatih memanah. Walau masih muda, pemuda itu bisa memanah dengan tepat sasaran dan membuat orang-orang kagum padanya. Bukan hanya memanah, keahliannya dalam memainkan pedang terbilang sangat hebat. Dengan sekali mengayunkan pedangnya, dia bisa menebas apa saja di depannya. Bahkan, keahliannya dalam bertarung sudah bisa dibilang mahir karena dari kecil dia sudah diajarkan oleh ayahnya sendiri, yaitu Jenderal Chang Yi.

"Ayah," panggil Liang Yi saat dia baru saja datang dan mendapati ayahnya yang sedang duduk bersama ibunya.

"Bagaimana dengan latihanmu?" tanya Jenderal Chang Yi pada putranya itu yang terlihat kotor karena baru selesai latihan bertarung dengan pelatihnya.

"Lebih baik Ayah tanyakan saja pada pelatihku, apa kemampuanku bertambah atau berkurang," jawab Liang Yi.

"Kenapa, apa kamu ingin ayah yang mengujimu?" Pancing Sang Jendral yang membuat wajah putranya itu tersenyum sumringah.

"Sudah, sudah. Ayah dan anak sama saja, kalau sudah bertemu maunya uji kemampuan. Cepat sana kamu pergi mandi, setelah itu ke ruang belajar!" perintah ibunya yang langsung saja membuat senyumnya itu menghilang dan berganti dengan raut wajah yang terlihat cemberut.

"Ikuti perintah Ibumu. Besok, Ayah yang akan melatihmu," ucap Jenderal Chang Yi yang membuat wajah putranya itu kembali tersenyum.

Jenderal Chang Yi sangat menyayangi anak-anaknya. Kedua anaknya itupun sangat menghormatinya. Walau mereka dimanjakan, tapi tidak membuat mereka menjadi anak-anak yang cengeng. Mereka diajarkan tentang sopan santun dan rasa kasih antar sesama. Semua pelayan yang bekerja di rumah mereka tidak pernah diperlakukan dengan semena-mena, hingga membuat pelayan-pelayan itu menjadi betah. Mereka diajarkan untuk saling membantu. Karena itu, setiap sebulan sekali mereka selalu diajak orang tuanya keluar untuk membagikan makanan dan pakaian pada orang-orang yang tidak mampu.

"Rupanya, kemampuan kamu sudah bertambah. Ayah bangga padamu," puji Sang Ayah ketika mereka baru selesai latihan.

"Apa kemampuanku sudah sebagus itu, atau Ayah yang tidak fokus karena sedang memikirkan sesuatu?" tanya Liang Yi pada ayahnya hingga membuat ayahnya itu memandanginya.

"Apa kamu pikir, Ayahmu ini sudah tua, hah?" celetuk Jendrral Chang Yi walau dia mengakui kebenaran perkataan anaknya itu.

"Ayah, kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ayah, sebaiknya ceritakan padaku. Walau aku tidak bisa memberikan solusi, tapi setidaknya Ayah bisa menceritakan masalah itu padaku agar Ayah bisa sedikit lebih tenang," ucap Liang Yi yang seakan paham dengan situasi ayahnya.

Jenderal Chang Yi menarik napas panjang. Dia tidak menyangka kalau putranya kini sudah sedewasa itu. Setelah mereka duduk di sebuah gazebo, Jenderal Chang Yi mulai menceritakan tentang gadis bermata biru. Betapa, Sang Jenderal merasa sangat menyesal karena telah membiarkan gadis kecil itu sendirian dan sekarang keberadaan gadis itu tidak diketahuinya.

"Aku mengerti perasaan Ayah. Jangan menyalahkan diri Ayah, karena semua itu mungkin sudah takdir dari Dewa," ucap Liang Yi pada ayahnya itu.

"Gadis kecil itu, dia seusia dengan adikmu. Andai saja waktu itu Ayah membawanya, mungkin dia sudah ada di sini dan menemani adikmu," ucap Jenderal Chang Yi menyesal.

"Kita doakan saja semoga gadis kecil itu baik-baik saja," ucap Liang Yi mencoba menenangkan ayahnya.

Sementara itu, jauh di luar sana, Mei Yin tengah disekap di salah satu rumah. Bukan hanya dirinya, tapi juga ada beberapa gadis seusianya bahkan ada yang lebih tua beberapa tahun darinya.

"Jika situasi sudah aman, kita akan segera menjual gadis-gadis itu," ucap salah satu penjaga pada temannya.

Mei Yin yang diikat dan disumpal mulutnya itu tidak bisa berbuat apa-apa. Yang terlihat hanya gadis-gadis yang mulai menangis tanpa suara, karena mereka pasti akan dimarahi dan tidak diberi makan kalau mereka bersuara.

Penderitaan seorang Mei Yin, gadis kecil yang masih polos itu sepertinya masih akan terus berlanjut. Setelah kehilangan kakeknya dan hidup sebatang kara, kini dia harus merasakan kembali pahitnya hidup di tempat yang terasa asing baginya.

Mungkinkah, seorang gadis sekecil itu mampu bertahan? Mungkinkah, dia mampu melewati kehidupan yang keras? Hanya waktu yang akan menjawabnya.

Terpopuler

Comments

♥️♥️time travelers ♥️♥️

♥️♥️time travelers ♥️♥️

sedih bgt ceritanya . mudah mudahan happy ending

2021-04-20

0

(*) 😑 Oppa gabut😁😐😤

(*) 😑 Oppa gabut😁😐😤

di cerita ini tokoh utama nya siapa🤔
bingung aku🤔🤔

2021-01-31

1

Adinda Kinanty

Adinda Kinanty

saddd kasihann mei yin

2021-01-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!