NovelToon NovelToon

The Secret of Love

Part 1

Langit tiba-tiba menjadi mendung. Cuaca yang semula terik, perlahan berganti dengan hawa dingin karena hujan mulai turun. Dari kejauhan, tampak sebuah desa yang terlihat sepi. Namun, desa yang tidak terlalu banyak penduduk itu tiba-tiba ramai karena semua penduduk berhamburan keluar dari rumah dan menuju salah satu lapangan yang cukup luas di tengah desa mereka.

Dengan bersorak sorai, mereka menikmati guyuran air hujan yang jatuh semakin deras. Bahkan, ada di antara mereka yang berguling-guling di atas tanah yang sudah penuh dengan lumpur.

"Terima kasih, Dewa. Terima kasih karena sudah mengabulkan permohonan kami," ucap seorang lelaki paruh baya yang duduk bersimpuh di atas tanah sambil membungkuk-bungkukkan badannya.

Melihat tingkahnya, membuat semua orang yang ada di tempat itu juga melakukan hal yang sama. Entah tua, atau muda, anak kecil, atau orang dewasa, semuanya berbaur di lapangan itu. Mereka terlihat gembira karena hujan yang sudah hampir setahun mereka tunggu akhirnya turun.

"Kakek, akhirnya kita bisa berkebun lagi," ucap gadis kecil yang sudah basah kuyup pada lelaki tua itu dengan senyum di wajah mungilnya.

"Iya, cucuku. Sekarang kita sudah bisa berkebun lagi," jawab lelaki tua itu sambil memeluk cucu perempuannya.

Mei Yin, gadis cilik yang terlihat polos dan selalu ceria. Dia tinggal bersama kakeknya yang merupakan pemimpin dari desa mereka. Bukan hanya itu, Mei Yin yang mempunyai kulit putih dan postur wajah yang cukup menarik untuk gadis cilik seusianya, banyak menarik perhatian orang.

Pernah sekali, lelaki paruh baya itu membawa Mei Yin ke kota untuk membeli sepatu baru untuknya. Awalnya, Mei Yin tidak diizinkan untuk ikut, tapi gadis kecil itu bersikeras untuk tetap ikut. Sepanjang perjalanan, dia selalu diperhatikan orang-orang. Mereka bilang, kalau wajahnya sangat cantik. Mereka mengibaratkan wajahnya bagaikan cahaya bulan purnama yang bersinar di atas laut biru. Bahkan, ada yang menyarankan pada lelaki tua itu agar cucunya jangan dibawa keluar karena ada perintah dari kerajaan untuk membawa setiap gadis ke kerajaan untuk dijadikan pelayan ataupun selir. Sejak saat itu, Mei Yin tidak pernah lagi ikut kakeknya keluar dari desa.

Mei Yin, gadis cilik yang berusia sepuluh tahun. Dari kecil, dia hanya tinggal berdua bersama kakeknya. Ibunya telah meninggal saat melahirkannya dulu. Sedangkan ayahnya, sudah meninggalkan desa sejak lima tahun yang lalu dan sampai kini, ayahnya itu tidak pernah muncul kembali.

"Kakek, ayo kita ke kebun," ajak Mei Yin pada kakeknya yang sementara masih tertidur. "Kakek," panggilnya lagi sambil menggoyang-goyangkan tubuh kakeknya itu.

"Ada apa, Mei Yin? Kakek masih mengantuk," ucap kakeknya dengan mata yang masih tertutup.

"Kakek juga kenapa baru pulang pagi? Bukankah, Kakek sudah berjanji padaku kalau hari ini kita akan berkebun?" Gadis kecil itu terlihat kesal karena diacuhkan oleh kakeknya.

"Mau bagaimana lagi, warga desa ingin berpesta semalaman. Masa Kakek sebagai kepala desa tidak turut hadir." Lelaki itu berucap sambil mencoba untuk duduk.

"Ya, sudah. Kakek lanjutkan saja tidur Kakek, biar Mei Yin yang pergi ke kebun sendirian." Gadis cilik itu lantas bangkit dan pergi meninggalkan kakeknya yang kembali membaringkan tubuhnya.

Jarak kebun dari desanya tidak terlalu jauh. Hanya melewati jalan yang tertutup pepohonan yang lumayan rindang. Dengan senangnya, gadis cilik itu berjalan menyusuri jalan yang sudah biasa dilaluinya. Gadis itu berjalan sambil menenteng rantang yang berisikan ubi rebus dan sebuah cangkul yang dibuat khusus untuknya. Setibanya di sebuah lahan yang dipenuhi rumput liar, dia berhenti dan mulai membersihkan lahan itu.

Walau masih kecil, Mei Yin tahu bagaimana caranya berkebun. Dia bisa membedakan daun-daun yang bisa dimakan atau tidak. Dia juga tahu tentang tumbuhan yang bisa dijadikan obat atau menjadi racun yang mematikan. Semua pengetahuannya itu diajarkan langsung oleh kakeknya yang juga merupakan tabib di desanya.

Tanpa terasa, sudah setengah hari dia berada di lahan itu. Dengan telaten, dia mulai membersihkan lahan yang akan dipakai untuk menanam nanti. Dengan semangat, dia mengumpulkan rumput-rumput yang sudah dicabutnya untuk segera dibakar.

Karena lelah, dia memutuskan untuk beristirahat sambil melahap ubi rebus yang tadi dibawanya sambil memandangi alam sekitar. Perlahan, pandangannya tertuju pada asap yang mengepul di balik pepohonan. Asap yang semula berwarna putih kini berubah menghitam.

Dengan penasaran, dia berjalan mencari sumber asap yang terlihat mulai pekat. Dan, betapa terkejutnya dia ketika melihat desanya yang telah terbakar. Dengan langkah yang kian dipercepat, dia menyusuri sisi rumahnya yang telah terbakar sebagian. Bukan saja terbakar, tapi dia melihat penduduk desa yang sudah terkapar tak bernyawa dengan luka tebasan pedang dan anak panah yang menancap di tubuh mereka. Sesaat, rasa takut mulai menghantui pikirannya, tapi karena kakeknya yang belum juga dia temukan, membuat dia memberanikan diri untuk terus mencari kakeknya di antara tumpukan mayat-mayat.

Melihat desanya yang sudah hancur porak poranda membuat Mei Yin menangis. Dia bahkan tidak bisa menemukan jasad kakeknya. Tidak ada satupun penduduk di desanya yang selamat. Mereka semua telah dibantai secara kejam.

Sambil menangis, Mei Yin mulai menggali tanah untuk mengubur jasad-jasad itu. Dia tidak tega melihat jasad warga desanya tidak terurus. Walau tubuh kecilnya tidak mampu untuk melakukan hal seberat itu, tapi dia berusaha untuk bisa mengubur mereka. Hingga hari mulai gelap, dia masih belum selesai menggali.

"Kakek, Kakek di mana?" Mei Yin berseru memanggil sang kakek dengan air mata yang membasahi wajahnya. Namun, tak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara jangkrik yang mulai bersahut-sahutan.

Udara malam semakin dingin dan cuaca yang gelap, membuat Mei Yin tidak sanggup untuk terus menggali. Tubuhnya yang kecil tidak sanggup menahan dinginnya udara malam yang kian menusuk tulang.

Perlahan, dia mendengar suara ringkikkan kuda yang berlari ke arahnya. Suara ringkikkan kuda itu terdengar semakin dekat hingga membuatnya bangkit dan segera bersembunyi. Dibalik rumput ilalang yang meninggi, dia menyembunyikan tubuh mungilnya.

"Sepertinya, para perampok itu sudah membunuh seluruh penduduk desa, Jenderal," ucap salah satu prajurit setelah memeriksa kondisi desa tersebut.

Lelaki yang terlihat gagah dan dipanggil jenderal itu kemudian turun dari atas kudanya. Sambil memegang obor ditangannya, dia kemudian memeriksa di sekeliling desa dengan harapan bisa menemukan warga yang masih selamat.

"Coba kalian periksa di sekeliling tempat ini. Sepertinya, ada yang berusaha menggali tanah karena liang ini masih baru, tanahnya masih basah karena baru digali. Sepertinya, ada seseorang yang mencoba untuk mengubur jasad-jasad ini," ucap jenderal itu pada prajurit-prajuritnya.

Setelah mendengar perintah Sang Jendral, prajurit-prajurit itu kemudian menyusuri setiap sudut desa hingga akhirnya terdengar salah satu prajurit yang berseru karena mendapati tubuh Mei Yin yang telah pingsan.

"Ada apa?" tanya prajurit lainnya sambil mendekati arah teriakan.

"Sepertinya, anak ini masih hidup," jawab prajurit itu sambil mengangkat tubuh Mei Yin dan segera dibawanya ke dalam tenda Sang Jenderal.

"Lapor, Jenderal. Sepertinya, hanya anak ini satu-satunya yang selamat," ucap prajurit itu sambil membaringkan tubuh Mei Yin di atas sebuah dipan.

Jenderal itu kemudian memeriksa tubuh Mei Yin yang terbaring dengan wajah yang memerah. "Sepertinya, dia sedang demam," ucapnya setelah meraba dahi gadis kecil itu. "Cepat, bawakan air dan kain untukku dan kalian segera kuburkan jasad-jasad itu!" perintah Sang Jenderal pada prajurit-prajuritnya.

"Baik, Jenderal!" Prajurit-prajurit itu lantas melaksanakan perintah dari Sang Jenderal.

"Kasihan kamu, pasti kamu sangat sedih karena desamu telah dibakar dan semua penduduk telah dibunuh," ucap Sang Jenderal sambil mengompres dahi Mei Yin. Melihat kondisi tubuh dan jari-jari tangannya yang terlihat penuh tanah dan berdarah, membuat Jenderal itu yakin kalau gadis kecil inilah yang telah menggali tanah untuk mengubur jasad-jasad itu.

"Kakek ... kakek ...." panggil Mei Yin dalam tidurnya. Sepertiya, gadis kecil itu tengah mengigau dan memanggil-manggil kakeknya.

Melihat kondisi Mei Yin yang sakit, membuat Sang Jenderal tidak bisa tidur. Semalaman, Jenderal itu merawatnya hingga membuat prajuritnya merasa kasihan padanya.

Sang Jenderal yang terlihat gagah ternyata mempunyai hati yang sangat baik. Di balik sikap kepemimpinannya yang tegas, ternyata dia adalah seorang yang baik hati. Jenderal itu sangat dihormati oleh pasukannya. Bukan hanya itu, ternyata Raja pun sangat segan padanya.

Jenderal Chang Yi, sosok lelaki yang mempunyai wajah yang tampan. Walau sudah tidak muda lagi, tapi aura wibawa dan kharismanya masih terpancar. Sikapnya yang peduli pada orang lain membuat namanya di kenal di seluruh pelosok negeri. Walau dia di kenal dengan keganasannya saat bertarung di medan perang, tapi semua itu akan hilang ketika dia sudah berbaur dengan keluarganya.

Jenderal Chang Yi di kenal sebagai seorang ayah yang sangat baik dan perhatian pada keluarganya. Pantas saja, dia dengan begitu telaten merawat Mei Yin yang sedang sakit seperti merawat putrinya sendiri.

Perlahan, sinar matahari mulai merambat masuk di sela-sela tenda. Udara dingin sisa semalam kini telah berganti dengan udara hangat, karena sinar matahari yang perlahan menunjukan kekuatannya.

Mei Yin yang semula teridur, kini perlahan mulai membuka matanya. Jenderal Chang Yi yang sedari tadi duduk di sampingnya mulai memperhatikan gadis kecil itu. Melihat Mei Yin yang perlahan membuka matanya membuat Jenderal Chang Yi menatapnya dengan tatapan kagum. Sorot matanya yang masih sayu tidak membuat Jenderal Chang Yi berpaling.

"Kalian siapa? Apa kalian yang telah membunuh orang-orang di desaku?" tanya Mei Yin yang mulai menangis karena mengingat kakek dan juga penduduk desa yang telah tewas.

"Jangan salah paham. Kami pasukan dari istana yang ditugaskan untuk mengejar para perampok itu," jawab Jenderal Chang Yi sambil mencoba menenangkannya.

"Kakek ... mana kakekku?" tanya Mei Yin sambil berlari keluar dari tenda.

"Kakek ... kakek ... kakek di mana?" panggil Mei Yin sambil mencari kakeknya, tapi tidak dia temukan.

Jasad-jasad yang awalnya bergelimpangan kini sudah tidak ada lagi. Tanah yang sempat digali olehnya kini sudah tertutup.

"Kami sudah mengubur jasad-jasad itu. Kami sudah memeriksa di setiap sudut dan menemukan beberapa jasad yang sudah hangus terbakar," ucap Jenderal Chang Yi menjelaskan.

Mei Yin kemudian duduk di dekat gundukan tanah yang masih basah. Air matanya perlahan jatuh karena menangisi penduduk desa yang telah terbunuh dan kakeknya yang tidak bisa ditemuinya lagi.

"Kakek, maafkan Mei Yin," ucap Mei Yin dengan air mata yang mengalir di sudut pipinya. Melihat gadis kecil itu menangis sesenggukan, membuat prajurit-prajurit merasa iba padanya.

Seorang gadis kecil, kini telah kehilangan keluarganya. Tempat untuk dia pulang, sudah tidak ada lagi. Tempat untuk dia mengadu, sudah pergi dengan tragis. Yang tersisa, hanya seorang gadis kecil yang tidak tahu harus pergi kemana. Seorang gadis kecil yang kini harus merasakan kehidupan tanpa kasih sayang.

N.B.

Buat teman-teman yang sudah ikuti ceritaku di NT, aku mau bilang kalau ada juga beberapa ceritaku yang sudah tamat di aplikasi Joy**** si pink. Semua ceritaku di sana gratis tanpa gembok. Aku masih memakai nama pena embun_senja. Ditunggu, ya...

Part 2

Mei Yin menatap kepergian Jenderal Chang Yi dan prajurit-prajuritnya itu dengan tatapan dingin. Setelah selesai mengubur mayat-mayat penduduk desa, mereka kemudian melanjutkan perjalanan untuk mencari tahu keberadaan para perampok yang sudah membunuh satu desa itu.

"Apa kamu tidak apa-apa ditinggal sendirian di sini?" tanya Jenderal Chang Yi pada gadis kecil itu sebelum pergi.

"Aku tidak apa-apa, Paman. Aku mohon, segeralah tangkap pembunuh-pembunuh itu dan hukum mereka seberat-beratnya," jawab Mei Yin dengan wajahnya yang terlihat marah.

Tatapan mata Mei Yin membuat Jenderal Chang Yi paham. Tatapan mata itu terlihat seperti lautan yang sedang bergejolak. Tatapan mata itu tidak sama saat sorot matanya terlihat sendu. Tatapan matanya akan terlihat seperti lautan biru yang tenang dan membuat siapapun yang memandangnya akan terkagum-kagum padanya.

"Aku mohon, Paman. Segera tangkap mereka agar mereka tidak lagi membunuh rakyat yang tidak berdosa," ucap Mei Yin yang membuat Jenderal Chang Yi kagum padanya.

"Kamu tunggu Paman di sini, Paman akan membawamu pergi dari sini," ucap Jenderal Chang Yi yang membuat Mei Yin tersenyum.

Melihat gadis kecil itu yang kini sendirian membuat Jenderal Chang Yi merasa khawatir padanya. Dia kasihan dengan gadis kecil itu. Dia takut kalau para perampok akan kembali lagi ke desa. Dan dia tidak ingin menyesal jika gadis itu sampai terbunuh.

"Aku akan membawa anak itu, kalian tunggu di sini," ucap Jenderal Chang Yi sambil berbalik arah menuju kembali ke desa walau mereka sudah berjalan sedikit menjauh dari desa itu.

Dengan perasaan khawatir, Jenderal Chang Yi mempercepat laju kudanya. Setibanya di desa, dia kemudian turun dari punggung kudanya dan mencari Mei Yin, tapi percuma karena gadis kecil itu sudah tidak ada lagi di sana.

Diperhatikannya kembali jejak kuda yang terlihat masih baru. Sepertinya, ada seseorang yang datang setelah mereka pergi. Jenderal Chang Yi kemudian meniup peluit yang merupakan tanda panggilan pada prajurit-prajuritnya. Dengan sekejap, semua prajuritnya telah berkumpul.

"Ikuti tanda jejak itu! Sepertinya, ada yang telah membawa anak itu dari sini," ucapnya sambil menunggangi kudanya dan mulai menyusuri jejak itu.

Setelah melakukan pengejaran, akhirnya mereka mendapati segerombolan pedagang yang melintas. "Apakah kalian yang telah membawa seorang gadis kecil dari desa di atas gunung tadi?" tanya Jenderal Chang Yi pada pemimpin gerombolan pedagang itu.

"Apa maksud Tuan, gadis kecil yang bermata biru?" tanya salah satu dari mereka.

"Benar, dimana dia sekarang?"

"Tuan terlambat karena gadis itu sudah dibeli oleh seseorang," jawab pedagang itu yang membuat Jenderal Chang Yi menjadi marah.

"Pada siapa kamu menjulnya, hah?" tanya Jenderal Chang Yi sambil menghunus pedang ke arah leher pedagang itu.

"Saya tidak tahu, Tuan. Orang itu hanya membeli dan memberikan saya sejumlah uang. Lagipula, gadis kecil itu saya beli dari seseorang yang kebetulan berpapasan dengan kami tadi," jelas pedagang itu dengan tubuhnya yang mulai gemetar.

Rupanya, setelah kepergian Jenderal Chang Yi, ada seseorang yang melewati desa itu dan mendapati Mei Yin sendirian. Lantas, orang itupun membawanya dengan paksa untuk dijual dan dijadikan sebagai budak.

Situasi negeri yang sedang kacau karena dampak dari kekeringan selama setahun telah membuat mereka nekat melakukan apa saja. Dari membunuh hingga merampok adalah hal yang biasa dilakukan hanya demi untuk menyambung hidup mereka.

Setelah menyusuri tempat itu hingga sampai ke pasar, Jenderal Chang Yi tidak menemukan Mei Yin. Terbesit rasa penyesalan di hatinya. Andai saja dia membawa gadis kecil itu bersamanya, mungkin anak tersebut akan baik-baik saja.

"Jenderal, kami sudah menyusuri semua tempat, tapi kami tidak bisa menemukan gadis kecil itu," ucap seorang prajurit yang datang melapor padanya.

"Baiklah, sepertinya kita sudah kehilangan jejak para perampok itu. Lebih baik kita kembali ke istana," ucap Jenderal Chang Yi dengan rasa kecewa.

Setelah tiba di istana, Jenderal Chang Yi segera melaporkan hasil pengejarannya yang membuat Raja kecewa.

"Maksud kamu, para perampok itu tidak bisa kalian tangkap?" tanya Sang Raja dengan wajahnya yang terlihat marah.

"Maaf, Paduka. Sepertinya, perampok-perampok itu sudah berbaur dengan penduduk sehingga kami tidak bisa mengetahui tempat persembunyian mereka," jawab Jenderal Chang Yi sambil berlutut dan menundukkan kepalanya.

"Baiklah, bagaimana kalau kita mengirim mata-mata di setiap tempat? Kita tidak bisa membuat penduduk khawatir dengan ulah para perampok-perampok itu," usul Raja yang membuat semua penasehat mendukung usulnya itu.

"Jenderal Chang Yi, berikan perintah pada prajurit-prajurit terbaikmu untuk memata-matai di setiap pelosok di negeri ini!" perintah Raja dan segera dilakukankan oleh Jenderal Chang Yi.

Setelah Jenderal Chang Yi selesai memilih prajurit-prajurit yang akan ditugaskan untuk menjadi mata-mata, akhirnya dia bisa kembali pulang ke rumahnya yang sudah hampir sebulan ini ditinggalkannya.

"Ayah ... Ayah ...." panggil seorang anak perempuan sambil berlari ke arahnya. "Ayah kenapa baru pulang? Aku sangat merindukan Ayah," ucap gadis kecil itu yang kini digendongan ayahnya.

"Anak Ayah sudah besar sekarang. Kamu makan apa sampai bisa berat begini?" canda Jenderal itu pada putrinya.

"Tidak berat kok, Ayah," jawab gadis itu sambil meminta turun dari gendongan ayahnya.

Setelah diturunkan, anak perempuan yang berumur sepuluh tahun itu kemudian berlari ke arah seorang wanita yang sedang berdiri di depan pintu rumahnya. "Ibu, Ayah sudah kembali." Wanita itu mengangguk dan tersenyum saat melihat Jenderal Chang Yi yang berjalan ke arahnya.

"Sayang," ucap Sang Jenderal sambil memeluk wanita itu yang tidak lain adalah istrinya.

"Kanda pasti lelah, ayo istirahat dulu," ucap sang istri sambil mengarahkannya untuk duduk.

Setelah menyiapakan teh hangat untuk suaminya, wanita yang terlihat cantik itu kemudian duduk menemani suaminya. "Ada apa, Kanda? Sepertinya, Kanda sedang memikirkan sesuatu?" tanya istrinya itu penasaran.

"Tidak ada apa-apa. Kanda hanya lelah," jawab Jenderal Chang Yi yang tidak ingin membuat istrinya itu khawatir.

Sang istri yang sudah mendengarkan penjelasan suaminya itu akhirnya maklum dan tidak bertanya lagi, walau dia tahu suaminya itu sedang memikirkan sesuatu.

"Di mana Liang Yi? Apa dia belum kembali dari latihannya?" tanya Jenderal Chang Yi pada istrinya itu.

"Sebentar lagi dia pasti akan kembali. Kanda jangan khawatir, anak kita sudah dewasa sekarang," jawab istrinya dengan senyum di wajahnya.

Di lapangan yang biasa dipakai untuk latihan, terlihat seorang pemuda yang berusia sekitar lima belas tahun sedang berlatih memanah. Walau masih muda, pemuda itu bisa memanah dengan tepat sasaran dan membuat orang-orang kagum padanya. Bukan hanya memanah, keahliannya dalam memainkan pedang terbilang sangat hebat. Dengan sekali mengayunkan pedangnya, dia bisa menebas apa saja di depannya. Bahkan, keahliannya dalam bertarung sudah bisa dibilang mahir karena dari kecil dia sudah diajarkan oleh ayahnya sendiri, yaitu Jenderal Chang Yi.

"Ayah," panggil Liang Yi saat dia baru saja datang dan mendapati ayahnya yang sedang duduk bersama ibunya.

"Bagaimana dengan latihanmu?" tanya Jenderal Chang Yi pada putranya itu yang terlihat kotor karena baru selesai latihan bertarung dengan pelatihnya.

"Lebih baik Ayah tanyakan saja pada pelatihku, apa kemampuanku bertambah atau berkurang," jawab Liang Yi.

"Kenapa, apa kamu ingin ayah yang mengujimu?" Pancing Sang Jendral yang membuat wajah putranya itu tersenyum sumringah.

"Sudah, sudah. Ayah dan anak sama saja, kalau sudah bertemu maunya uji kemampuan. Cepat sana kamu pergi mandi, setelah itu ke ruang belajar!" perintah ibunya yang langsung saja membuat senyumnya itu menghilang dan berganti dengan raut wajah yang terlihat cemberut.

"Ikuti perintah Ibumu. Besok, Ayah yang akan melatihmu," ucap Jenderal Chang Yi yang membuat wajah putranya itu kembali tersenyum.

Jenderal Chang Yi sangat menyayangi anak-anaknya. Kedua anaknya itupun sangat menghormatinya. Walau mereka dimanjakan, tapi tidak membuat mereka menjadi anak-anak yang cengeng. Mereka diajarkan tentang sopan santun dan rasa kasih antar sesama. Semua pelayan yang bekerja di rumah mereka tidak pernah diperlakukan dengan semena-mena, hingga membuat pelayan-pelayan itu menjadi betah. Mereka diajarkan untuk saling membantu. Karena itu, setiap sebulan sekali mereka selalu diajak orang tuanya keluar untuk membagikan makanan dan pakaian pada orang-orang yang tidak mampu.

"Rupanya, kemampuan kamu sudah bertambah. Ayah bangga padamu," puji Sang Ayah ketika mereka baru selesai latihan.

"Apa kemampuanku sudah sebagus itu, atau Ayah yang tidak fokus karena sedang memikirkan sesuatu?" tanya Liang Yi pada ayahnya hingga membuat ayahnya itu memandanginya.

"Apa kamu pikir, Ayahmu ini sudah tua, hah?" celetuk Jendrral Chang Yi walau dia mengakui kebenaran perkataan anaknya itu.

"Ayah, kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ayah, sebaiknya ceritakan padaku. Walau aku tidak bisa memberikan solusi, tapi setidaknya Ayah bisa menceritakan masalah itu padaku agar Ayah bisa sedikit lebih tenang," ucap Liang Yi yang seakan paham dengan situasi ayahnya.

Jenderal Chang Yi menarik napas panjang. Dia tidak menyangka kalau putranya kini sudah sedewasa itu. Setelah mereka duduk di sebuah gazebo, Jenderal Chang Yi mulai menceritakan tentang gadis bermata biru. Betapa, Sang Jenderal merasa sangat menyesal karena telah membiarkan gadis kecil itu sendirian dan sekarang keberadaan gadis itu tidak diketahuinya.

"Aku mengerti perasaan Ayah. Jangan menyalahkan diri Ayah, karena semua itu mungkin sudah takdir dari Dewa," ucap Liang Yi pada ayahnya itu.

"Gadis kecil itu, dia seusia dengan adikmu. Andai saja waktu itu Ayah membawanya, mungkin dia sudah ada di sini dan menemani adikmu," ucap Jenderal Chang Yi menyesal.

"Kita doakan saja semoga gadis kecil itu baik-baik saja," ucap Liang Yi mencoba menenangkan ayahnya.

Sementara itu, jauh di luar sana, Mei Yin tengah disekap di salah satu rumah. Bukan hanya dirinya, tapi juga ada beberapa gadis seusianya bahkan ada yang lebih tua beberapa tahun darinya.

"Jika situasi sudah aman, kita akan segera menjual gadis-gadis itu," ucap salah satu penjaga pada temannya.

Mei Yin yang diikat dan disumpal mulutnya itu tidak bisa berbuat apa-apa. Yang terlihat hanya gadis-gadis yang mulai menangis tanpa suara, karena mereka pasti akan dimarahi dan tidak diberi makan kalau mereka bersuara.

Penderitaan seorang Mei Yin, gadis kecil yang masih polos itu sepertinya masih akan terus berlanjut. Setelah kehilangan kakeknya dan hidup sebatang kara, kini dia harus merasakan kembali pahitnya hidup di tempat yang terasa asing baginya.

Mungkinkah, seorang gadis sekecil itu mampu bertahan? Mungkinkah, dia mampu melewati kehidupan yang keras? Hanya waktu yang akan menjawabnya.

Part 3

Sudah dua hari Mei Yin dan gadis-gadis itu disekap di dalam sebuah ruangan yang gelap, sumpek dengan udara dingin yang membuat mereka harus duduk berkelompok dan saling mendekatkan tubuh agar tidak kedinginan.

"Sepertinya, mereka akan menjual kita ke tempat itu," ucap salah seorang gadis dengan suara yang sedikit berbisik.

"Ke tempat apa, Kak? Apakah kita akan dijadikan budak?" tanya seorang di antara mereka dengan wajah yang terlihat sedih.

Gadis itu tidak menjawab. Diperhatikannya kembali gadis-gadis yang ada di depannya dan pandangannya langsung tertuju ke arah Mei Yin. "Hei, kamu. Kalau perkiraanku ini memang benar, sebaiknya kamu harus berhati-hati. Kamu adalah gadis yang paling cantik di antara kami dan kamu pasti akan dijual ke tempat itu," ucapnya pada Mei Yin.

Mei Yin menatapnya dengan heran. Dia tidak tahu maksud dari perkataan gadis itu. "Maksud Kakak, apa?" tanya Mei Yin ingin mencari tahu.

Belum lagi gadis itu menjawab pertanyaannya, tiba-tiba saja pintu ruangan terbuka. Terlihat, seorang wanita yang berpenampilan menor dengan tubuh yang sedikit gempal memasuki ruangan itu. Dengan berbekal obor di tangannya, dia mulai mendekati gadis-gadis itu satu persatu.

"Cepat! Kalian berdiri dan segera berbaris!" perintah wanita itu sambil menyuruh gadis-gadis itu berjejer di depannya. Diperhatikannya wajah mereka satu persatu dan dia mulai memilih dan membagi mereka menjadi dua kelompok.

"Jual mereka kembali untuk dijadikan budak," ucapnya pada seorang penjaga yang ada di ruangan itu.

Ada sekitar tujuh gadis yang kembali disekap dan merekalah yang akan dijual untuk dijadikan budak. Sementara Mei Yin dan delapan gadis lainnya berada di kelompok yang lain. Mereka lalu dipaksa keluar dari ruangan itu dan dibawa ke suatu tempat. Dengan tangan yang terikat dan mulut yang disumpal dengan kain membuat gadis-gadis itu tidak bisa berteriak ataupun melawan.

"Sebaiknya kalian jangan coba-coba untuk melawan kalau kalian tidak ingin mati," ancamnya dengan wajah yang menyeringai di depan mereka.

Dengan perasaan takut, kesembilan gadis itu hanya bisa menuruti perkataannya. Mereka tidak tahu mereka akan dibawa kemana.

Setelah menempuh perjalanan hampir setengah jam di dalam kereta, mereka akhirmya berhenti di belakang sebuah bangunan yang terlihat sangat luas dan mewah. Kesembilan gadis itu lantas dipaksa turun dan disuruh masuk ke dalam bangunan itu. Hari yang semakin larut membuat wanita dan para penjaga itu lebih leluasa melakukan aksinya.

Kesembilan gadis itu kini ditempatkan di sebuah ruangan yang cukup luas. Dengan cahaya lampu yang terang dan pemanas yang sudah disediakan di ruangan itu, membuat mereka tidak lagi merasa kedinginan.

Kesembilan gadis itu kemudian dipilih lagi. Ada enam gadis yang dipilih dan dipisahkan dari tiga gadis lainnya. Enam gadis yang dipilih itu sudah mencapai umur di atas lima belas tahun. Sedangkan Mei Yin bersama dengan dua gadis lainnya dan dialah yang paling termuda di antara mereka semua.

"Beri mereka makanan dan pakaian yang bagus. Mulai saat ini, kalian akan bekerja untukku dan jangan coba-coba ada yang melarikan diri, karena pengawal-pengawalku pasti akan membunuh kalian!" ancam wanita itu sambil menatap tajam ke arah gadis-gadis itu.

Bangunan yang mewah dan tidak pernah tutup itu adalah sebuah rumah bordil yang paling terkenal di negeri itu. Rumah bordil yang mempunyai julukan Rumah Bunga itu terkenal karena mempunyai wanita penghibur yang cantik-cantik dan bertalenta. Selain menjual tubuhnya, wanita penghibur di tempat itu juga mempunyai banyak keahlian seperti bersyair, memainkan alat musik, dan menari. Karena itu, mereka sering kedatangan tamu dari kalangan bangsawan dan pegawai pemerintahan.

Wanita gempal dan selalu berpenampilan menor itu adalah pemilik dari rumah bordil itu. Dia adalah wanita yang paling dihormati di sana. Tidak ada yang berani melawan perintahnya apalagi membangkang. Tidak ada yang bisa melarikan diri dari tempat itu kecuali sudah tidak bernyawa atau memiliki penyakit yang membuat mereka tidak bisa lagi melayani para tamu.

Dengan pendapatannya yang begitu besar dari hasil rumah bordilnya, dia bisa menyewa pengawal-pengawal untuk menjaga tempat itu sehingga wanita-wanita yang bekerja padanya tidak bisa melarikan diri.

Dan kini, Mei Yin telah terperangkap di rumah bordil itu. Walau masih kecil, tapi wajahnya sangat cantik. Kulit yang putih, rambut yang hitam, lurus serta panjang telah membuat Mei Yin menjadi calon primadona di tempat itu. Apalagi, dengan warna matanya yang biru, telah membuat wanita gempal itu bertekad untuk menjadikannya sebagai wanita penghibur yang paling mahal di tempat tersebut.

"Kamu harus awasi gadis bermata biru itu. Ajarkan dia sopan santun dan cara menjamu tamu," perintahnya kepada seorang wanita yang terlihat anggun dan cantik.

"Baiklah, Jiya," jawab wanita itu sambil menundukkan kepalanya.

Di dalam kamar, Mei Yin duduk seorang diri. Dia sudah tidak lagi bersama kedua gadis yang sedari awal bersamanya. Karena wajahnya yang cantik dengan mata biru yang terlihat memukau, membuat wanita yang dipanggil Jiya itu menempatkannya di ruangan tersendiri.

"Sebaiknya kamu segera bersiap-siap." Tiba-tiba saja wanita yang anggun dan cantik itu muncul dari balik pintu dan membuat Mei Yin terkejut.

Mei Yin terpaku menatap wanita itu. Dia tidak pernah melihat wanita secantik itu. Melihat Mei Yin yang terus memandanginya membuat wanita itu tersenyum. Ditatapnya wajah Mei Yin dengan seksama. Diperhatikannya mata Mei Yin yang sebiru lautan sambil senyum yang tersungging di sudut bibirnya.

"Kamu gadis yang sangat cantik. Kamu pasti akan menjadi wanita penghibur yang terkenal di tempat ini," ucap wanita itu pelan hingga membuat Mei Yin menjadi bingung.

Sejak hari itu, Mei Yin mulai diajari tentang sopan santun, cara menjamu tamu, menari, bersyair, bahkan cara berdandan agar terlihat cantik dan menarik di depan pelanggan. Mei Yin kecil yang tidak paham, hanya bisa mengikuti perintah wanita itu. Hingga lima tahun kemudian, dia mulai mengerti maksud dari semua pelajaran yang diberikan padanya.

"Hua Feng, apakah selama ini kamu mengajariku agar aku bisa menjadi wanita penghibur di tempat ini?" tanya Mei Yin pada wanita yang selama ini sudah bersamanya itu.

"Kenapa? Apakah kamu tidak ingin tinggal di tempat ini lagi?" tanya wanita yang dipanggil Hua Feng itu.

Mei Yin menatap wanita cantik itu yang sedang menuangkan arak di dalam gelas dan langsung saja diteguknya. "Jangan pernah berpikir untuk melarikan diri dari tempat ini," lanjutnya.

Hua Feng, wanita cantik dan anggun. Wanita yang menjadi primadona di Rumah Bunga. Wanita yang sering melayani para tamu dari kalangan bangsawan dan juga dari kalangan istana.

Lelaki mana di negeri ini yang tidak terpesona dengan kecantikan seorang Hua Feng. Saat dia berjalan menyusuri jalan-jalan kota, semua mata langsung mengarah padanya. Bukan hanya para lelaki, tapi para wanitapun akan terpesona dengan kecantikan wajahnya.

Hua Feng, dia dulu adalah seorang gadis desa biasa. Dia hanya anak yatim piatu yang ditinggal mati kedua orang tuanya karena perang. Perjalanan hidup seorang Hua Feng sangat menyedihkan. Di masa kecilnya, dia sempat menjadi pengemis dan sering diusir. Hingga suatu saat, dia melihat kemewahan di suatu bangunan yang membuatnya menjadi iri dan bangunan itu adalah Rumah Bunga.

Dengan bermodalkan wajah yang cantik, Hua Feng remaja mulai menekuni pekerjaan barunya sebagai wanita penghibur. Bukan saja karena kecantikan wajahnya, tapi juga karena bakat yang dimilikinya yang membuat tamu-tamu di tempat itu menyukainya.

Sejak saat itu, pamor Hua Feng mulai melejit dan membuatnya menjadi wanita penghibur termahal di negeri itu. Bahkan, dia sering diundang ke istana untuk menari.

Dan kini, semua pengetahuan yang dia miliki telah dia ajarkan kepada Mei Yin. Walau di dalam hatinya, dia tidak ingin gadis bermata biru itu bernasib sama dengannya, yaitu menjadi wanita penghibur.

Hampir lima tahun Mei Yin berada di rumah bordil itu. Dia diberi makanan dan pakaian yang bagus. Itu semua mereka lakukan agar dia betah berada di tempat itu karena bagi mereka, dia adalah aset yang sangat berharga.

"Sebaiknya kamu bersiap-siap. Aku akan mengajakmu ke istana," ucap Hua Feng pada Mei Yin.

"Tapi...."

"Cepatlah dan sebaiknya kamu memakai penutup wajah agar orang-orang tidak melihat wajahmu, biar mereka semakin penasaran denganmu," ucap Hua Feng yang kemudian pergi meninggalkannya.

Mei Yin segera melakukan apa yang diperintahkan oleh Hua Feng padanya. Sebenarnya, dia sangat ingin keluar dari tempat itu, karena hampir lima tahun dia hanya terkurung di rumah bordil itu.

Dengan memakai baju yang berwarna merah dan rambut panjangnya yang dibiarkan terurai dengan hiasan tusuk konde berwarna emas, membuat Mei Yin terlihat sangat cantik, tapi semua kecantikannya itu harus dia sembunyikan di balik cadar berwarna hitam yang menutupi wajahnya.

Mei Yin telah berubah menjadi seorang gadis yang sangat cantik. Tak hanya cantik, tapi juga mempunyai bakat yang tak kalah dari Hua Feng, yaitu menari. Dan kini, mereka akan menuju istana karena Hua Feng telah diundang untuk menari di sana.

Setibanya di istana, kedua wanita cantik itu mulai memasuki halaman istana. Bukan hanya mereka berdua saja, tapi ada beberapa wanita yang juga diajak oleh Hua Feng.

Di balik cadarnya, Mei Yin begitu terkagum-kagum dengan lingkungan istana. Ditatapnya bangunan istana yang baginya sangan luar biasa. Mei Yin, gadis desa yang belum tersentuh dengan dunia luar perlahan mulai tertarik dengan kehidupan di dunia luar.

Di halaman istana, terlihat lampion yang menyala dengan aneka bentuk. Lampion warna-warni itu diatur dengan sedemikian rupa hingga membuat pemandangan di halaman istana terlihat sangat indah.

Di negeri tersebut, tidak ada penari yang bisa menari seindah Hua Feng. Karena itu, dia sering diundang ke istana untuk menari. Walau terkadang keputusan Raja untuk mengundang mereka sempat membuat beberapa menteri menentangnya, mengingat Hua Feng adalah seorang wanita penghibur.

Malam itu adalah malam ulang tahun salah satu dari selir Raja. Karena itu, Hua Feng diundang untuk menari. Di halaman istana sudah duduk semua pejabat kerajaan dan para bangsawan. Perlahan, pandangan Mei Yin tertuju pada seseorang yang sedang duduk dengan gagahnya. Di sebelah orang itu, duduk seorang wanita yang terlihat sangat cantik. Pandangannya tidak berpindah dari sosok itu. Hingga akhirnya, dia benar-benar yakin kalau dia mengenali sosok yang kini menjadi perhatiannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!