No Rose Without A Thorn

No Rose Without A Thorn

Pertunangan

Hujan yang sejak pagi mengguyur bumi baru saja berakhir, menyisakan tetesan ringan yang membasahi lantai balkon sebuah rumah. Seorang gadis dengan gaun putih, berdiri menatap langit sore yang sendu.

Cahaya matahari baru saja terlihat setelah seharian tertutup awan gelap yang membawa hujan deras. Entah mengapa gadis itu merasa bahwa sore yang muram seolah mewakili hatinya. Sedikit resah walau ia tahu justru seharusnya merasa lega.

"Apa yang kamu pikirkan, Keira?"

tanya seorang wanita yang rupanya memperhatikan gadis itu sejak beberapa lama.

Keira, nama gadis itu, tak menoleh maupun menjawab hingga wanita bernama Lestari Kusuma yang menegurnya mendekat, dipandanginya wajah Keira dari samping lalu ia membelai rambutnya.

"Akhirnya hari ini datang juga," kata Lestari dengan ekspresi lega sembari terus membelai rambut Keira dengan rasa sayang.

"Berbahagialah Sayang, kamu berhak bahagia," gumam Lestari lagi

Perlahan Keira menoleh menatap wanita di sebelahnya lalu menggumam.

"Seandainya ...."

"Kak .... Kita harus segera pergi ...."

Teriakan seorang gadis di pintu kamar memutus perkataan Keira. Belum sempat ia menjawab, gadis itu sudah menyusul ke balkon.

"Oh, rupanya Ibu ada di sini. Ayah mencari Ibu, pergilah sebelum taringnya keluar!" ucap gadis itu sembari menambahkan taring dengan jari di bibirnya.

Keira tertawa lalu mendorong Lestari ke sampingnya.

"Pergilah duluan, Bu," kata Keira pelan sembari merapikan gaun ibunya.

Wanita yang dipanggil ibu itu tersenyum. "Baiklah, Ibu pergi lebih dulu. Dizza, kamu temani kakakmu, ya."

"Siaaap, Bu!"

Gadis bernama Dizza serta merta memberi hormat pada ibunya, Lestari yang tertawa lalu bergegas menemui suaminya.

Sepeninggal Lestari, Dizza mengamati Keira lalu tersenyum.

"Seandainya aku mewarisi setengah saja dari kecantikan kakak," gumam Dizza membuat Keira tertawa.

"Tentu saja kamu nggak akan bisa cantik seperti Kakak," kata Keira sambil melipat tangannya di dada.

"Ya aku tahu. Semenjak sekolah, semua temanku selalu bilang 'Wahh kakakmu cantik sekali' Kakak tahu, waktu itu rasanya aku ingin mematahkan leher mereka yang mengatakannya," sahut Dizza.

Keira kembali tertawa karena mengganggap kata-kata Dizza tak masuk akal.

"Kemarilah!" Keira meraih tangan adiknya.

"Kamu nggak akan pernah bisa cantik seperti Kakak karena kamu sudah terlahir cantik seperti ibumu," kata Keira hingga Dizza merenung sepersekian detik.

"Aku bahkan nggak pernah ingat wajah ibuku," gumam Dizza setelah termenung sesaat.

"Tapi aku nggak peduli. Cantik atau tidak, aku adalah adikmu. Anak Ayah dan Ibu. Tanpa mengurangi rasa hormat untuk ibu yang melahirkanku, aku menyayangi kalian semua!" kata Dizza ceria.

Keira mengangguk sambil tertawa. Tiba-tiba ponselnya yang tergeletak di meja berdering, nama Bara berkedip-kedip di layarnya.

"Jangan diangkat!" teriak Dizza.

Keira mengernyitkan dahinya, tapi tetap mengangkat ponsel untuk menjawab panggilan.

"Hmm ... ya ... baiklah ... sampai jumpa."

Keira menutup ponselnya sementara Dizza mengerucutkan bibirnya.

"Aku menjadi iri pada Kak Bara. Dia sudah merebut satu-satunya kakak perempuanku!" celetuk Dizza.

Keira tertawa lalu menjentikan jarinya di dahi Dizza sembari berkata,"Kamu sungguh berlebihan!"

Dizza mengaduh lalu tiba-tiba memeluk Keira.

"Kak, aku sungguh merasa aneh. Kakak hanya bertunangan, tapi mengapa aku merasa akan kehilangan Kakak?

Mungkin aku sedikit grogi padahal bukan aku yang bertunangan. Jantungku ...."

Keira langsung melepas pelukan Dizza.

"Apa kamu baik-baik saja?" tanyanya cemas.

Dizza menggeleng hingga Keira makin panik..

"Apa yang kamu rasakan? Apa sebaiknya kita memanggil dokter?" tanya Keira cemas.

Dizza menggeleng lagi.

"Aku ... hanya cemas ... Aku bahagia, tapi aku cemas, entahlah ...." Dizza memandang Keira lalu tertawa.

Sadar Dizza mengerjainya, Keira memukul pundak Dizza karena kesal mengira Dizza kembali sakit.

"Kak, berhentilah mencemaskan aku atau orang lain," kata Dizza serius.

"Kak, Kakak harus bahagia ...." sambung Dizza.

"Dizza, mengapa kamu terus mengatakan hal-hal aneh? Tentu saja Kakak akan bahagia. Apa kamu pikir ini pertunangan paksa? Kakak bertunangan dengan laki-laki pilihan Kakak sendiri, lantas haruskah Kakak merasa nggak bahagia?" tanya Keira heran.

Ucapan Keira memang benar, tapi Dizza malah mengangkat bahu.

"Entahlah ... aku hanya merasa perlu mengatakannya. Ahh, aku ingin memeluk Kakak sekali lagi. Berjanjilah Kakak akan selalu menjadi kakakku meskipun sudah bertunangan atau pun menikah!" kata Dizza seraya memeluk Keira lagi.

"Omong kosong apalagi Dizza?" tanya Keira kesal.

"Berjanjilah Kakak akan bahagia dan berhenti mencemaskan banyak hal," desak Dizza membuat Keira tertawa lagi.

"Tentu saja Kakak akan bahagia, " kata Keira riang.

Namun, di balik pelukan Dizza dia menggengam sebuah kalung dan di balik tawa riangnya ia menyembunyikan sebuah perasaan sedih. Benarkah aku bisa bahagia?

*

Pesta pertunangan antara Keira dan Bara berlangsung cukup meriah. Walaupun Keira berulang kali menyatakan keinginannya untuk menggelar acara secara sederhana, namun ibu, ayah tirinya serta keluarga Bara bersikeras menggelar acara spesial.

Kusuma dan Lestari terlihat sangat bahagia menyambut para tamu, begitupun dengan keluarga Bara, dan kedua orang tuanya sangat bahagia melihat putranya akan segera menikah.

Bara dan Keira terlihat sangat serasi menimbulkan decak kagum para tamu. Di antara keriuhan pesta, Keira memandang Kusuma dari kejauhan. Ketika melihat ayah tirinya tertawa beberapa kali, Keira merasa sedikit kesal.

"Kau menang lagi!" umpatnya dalam hati.

Keira memang benar, Kusuma memang merasa menang. Sejak awal dia menginginkan Keira menikah dengan Bara, agar bisnisnya semakin jaya dengan dukungan keluarga Bara. Pertunangan ini adalah awal yang sangat baik.

"Sayang, kenapa? Kamu lelah?" tanya Bara.

Keira menoleh menatap Bara sesaat lalu mengangguk pelan.

"Aku mau keluar sebentar," jawab Keira seraya melangkah keluar ruangan.

"Aku ikut," kata Bara sambil mengedipkan matanya.

Keira tersenyum sangat manis lalu keduanya berjalan keluar ruangan. Kusuma melirik keduanya yang bergandengan lalu tersenyum puas.

"Uuh ... pesta sederhana macam apa ini?" keluh Keira sambil memegang kepalanya yang mulai pening, lelah karena tersenyum pada semua tamu yang hadir.

"Perlu kugendong?" tawar Bara genit.

"Kamu gila!" Keira menepis tangan Bara dengan kesal.

Bara tertawa lalu mengajak Keira masuk ke tangga darurat. Ia pun sebenarnya merasa lelah dengan pesta yang berlangsung.

Mereka duduk di tangga darurat tanpa berkata apa pun, larut dalam pikiran masing-masing.

"Kamu bahagia, kan?" tanya Bara pada Keira yang terlihat memikirkan sesuatu.

"Ada yang kamu pikirkan?" tebak Bara ketika Keira tak juga menjawab.

Keira menggeleng dengan ragu karena tak tahu apa yang mengganjal pikirannya. Di sampingnya, Bara memeluk bahu Keira lalu menyandarkan kepala Keira di bahunya.

"Tidurlah," kata Bara dengan suara lembut.

Keira berusaha memejamkan matanya, tapi gagal. Kepalanya terlalu penat untuk tidur.

Beberapa saat berlalu Keira menegakkan kepalanya lagi lalu berkata dengan sedikit kesal, "Mereka menang."

"Kamu nggak suka?" tanya Bara.

"Bagian mana menurutmu yang nggak kusuka?" Keira balik bertanya sembari memandangi wajah Bara yang termenung.

"Hmm, yang pasti kamu menyukaiku, jadi pasti bukan diriku. Aku terlalu menawan untuk menjadi hal yang nggak kamu suka," jawab Bara membuat Keira terkekeh geli.

"Keira ...." Bara menggenggam tangan Keira dan menatap matanya.

"Bisakah kamu mengabaikan mereka? biarlah mereka merasa menang dan melakukan perjanjian apa pun di antara mereka? Bisakah kita menutup mata untuk mereka dan menjalani kehidupan kita sendiri?" tanya Bara.

Keira menghela napas. Tentu saja seharusnya hal itu yang dia lakukan. Hidup bahagia bersama Bara tanpa harus memikirkan apa yang ayah tirinya lakukan. Bukankah dia mencintai Bara dan Bara juga mencintainya?

"Keira, lupakan semua yang membuatmu sedih. Aku berjanji kita akan bahagia," lanjut Bara.

Keira akan menjawab, tapi Bara mendekatkan wajahnya.

"Tak usah menjawab. Aku tahu kita akan bahagia," kata Bara semakin mendekat lalu ia menyentuh pipi Keira.

Bara tahu seberapa sering pipi itu basah oleh air mata Keira. Ia ingin mengganti air mata luka itu dengan air mata bahagia.

"Kamu hanya perlu percaya padaku," bisik Bara.

Keira menurut, ia tak menjawab. Dibiarkannya Bara mencium keningnya lalu beralih ke bibirnya. Dalam beberapa detik keduanya sudah berciuman dan ....

"Aaaaaa ... maafkan ... maafkan!" pekik seorang gadis.

Keira tersentak, refleks ia mendorong Bara sambil menatap seorang gadis yang sedang membawa bunga. Gadis itu berdiri di anak tangga di bawah mereka. Mereka bertiga salah tingkah. Bara menutupi kekesalannya dengan membentak gadis itu.

"Apa yang kamu lakukan di sini?!"

Gadis itu mundur karena kaget, Keira menutupi rasa malunya dengan membuang muka, tak mau melihat gadis yang memergoki mereka bermesraan di tempat sepi.

"Maaf, saya nggak sengaja. Saya nggak melihat apa-apa. Silakan diteruskan!" kata Gadis itu sembari bersiap pergi.

"Tunggu, bunga itu untuk siapa?" tanya Bara.

"Ini untuk pasangan yang bertunangan di lantai 10. Tuan Bara dan Nona Keira. Maaf saya salah jalan karena lift sedang penuh saya ...."

Gadis itu terus bicara sementara Bara dan Keira hanya menatapnya serius.

"Astaga! Apakah itu kalian?" tanya gadis itu ketika menyadari pasangan di depannya berpakaian pesta.

"Kemari, berikan bunga itu padaku dan pergilah," kata Bara pelan, tapi gadis itu hanya diam menatap Bara.

"Tapi bagaimana aku tahu kalau kamu memang Tuan Bara?" tanyanya curiga.

Keira tertawa melihat Bara sibuk meladeni pengantar bunga yang lugu.

"Kemari, berikan bunga itu padaku," kata Keira singkat.

Seperti terhipnotis, gadis itu menyerahkan buket bunganya pada Keira.

"Kemarilah!" Keira meraih Bara untuk mendekat padanya.

"Kamu bisa mengambil foto kami menerima bunga ini dan berikan pada atasanmu. Katakan bahwa kamu memberikannya secara langsung pada kami," lanjut Keira.

Gadis itu terdiam sesaat, entah mengapa dia seakan tersihir oleh setiap kata yang diucapkan wanita di hadapannya.

"Ayo, tunggu apalagi?" tanya Keira tak sabar.

Gadis itu segera mengambil ponsel dan memotret keduanya.

"Sekarang kamu bisa pergi," kata Bara mengusir.

Gadis itu segera pergi sebelum menyempatkan menatap Keira sekali lagi.

Bara menatap Keira, ia akan mendekat untuk melanjutkan aktivitas mereka yang sebelumnya terganggu namun Keira menolak. Ia mendorong Bara pelan.

"Lupakan, kita terlalu lama pergi. Mereka pasti menunggu kita."

Keira berjalan mendahului Bara yang menggaruk kepalanya yang sebenarnya tak gatal. Dalam hati ia mengumpat kesal pada gadis pengantar bunga.

**

Nada, nama gadis pengantar bunga itu, mengumpat sepanjang jalan. Ia kesal karena lift yang penuh, ia harus mengantar bunga dengan berjalan kaki lewat tangga darurat. Terlebih kesal lagi karena ia harus bertemu dengan pasangan yang menurutnya mesum.

"Tak bisakah mereka menunggu sampai di rumah? Ah, benar-benar tak tahu malu!"

"Sedang apa kamu?"

Tiba-tiba langkah Nada terhenti oleh suara berat yang menunggunya di ujung mini market.

"Kakak mengagetkanku!" seru Nada kesal.

"Kaget bagaimana? Kamu yang terlalu serius mengumpat sepanjang jalan," keluh pria yang dipanggil kakak.

"Ah, apa aku terlihat mengumpat?" tanya Nada heran karena merasa hanya mengumpat dalam hati.

"Tentu saja kamu mengumpat dalam hati!" seru pria itu membuat Nada tertawa.

"Kakak selalu tahu apa yang aku lakukan," sambung Nada.

"Siapa yang kamu umpat? Kenapa kamu lama sekali?" tanya pria itu sembari memberikan helm pada Nada.

"Tak ada, bukan hal penting. Hanya sepasang kekasih mesum," jawab Nada enteng hingga pria itu terkekeh.

"Lupakan, mari bersenang-senang!" teriak Nada sembari naik ke boncengan motor.

Mereka tertawa lalu menghilang di tikungan menuju tempat bersenang-senang.

Tempat bersenang-bersenang versi Nada dan Evan adalah sebuah kedai barbeque yang murah meriah. Tempatnya agak terpencil dan hanya bisa ditemukan dengan kendaraan roda dua atau berjalan kaki. Mereka biasa menghabiskan waktu di tempat itu untuk makan dan sekadar bercerita.

Mereka bukanlah saudara kandung, juga bukan sepasang kekasih walaupun Nada terkadang berharap bisa menjadi kekasih Evan. Ia sering mengutarakannya pada Evan yang hanya dijawab dengan jentikan jari di dahinya.

"Setelah ini Kakak mau ke mana?" tanya Nada sambil menyeruput minumannya.

"Aku akan pergi selama beberapa hari. Jadi kumohon jangan melakukan hal-hal aneh selama aku pergi."

Nada menggeram kesal,"Kakak pikir aku akan melakukan apa?" tanya Nada tanpa rasa bersalah.

Evan membanting sendoknya di meja, Nada mengelus dadanya karena kaget.

"Seminggu yang lalu kamu mengatakan hal yang sama sebelum menjambak rambut anak paman Kit. Dan sebelumnya kamu juga mengatakan hal yang sama saat tanpa sadar menggelindingkan motor Willy!" teriak Evan kehabisan sabar.

Nada hanya diam merengut.

"Tapi itu kan salah mereka ...."

"Nad, bersikaplah manis seperti layaknya perempuan. Jangan terlalu sering terpancing emosi. Bagaimana bisa kamu mendapatkan pacar kalau begini terus?!" omel Evan.

Nada bersandar di dinding kedai.

"Haruskah aku mendapat pacar? Masa lalu saja aku nggak ingat, adakah pria yang mau dengan wanita yang tak ingat asal usulnya?" tanya Nada lirih.

"Kenapa kamu pedulikan masa lalumu yang nggak kamu ingat? Seharusnya kamu bahkan bersyukur bisa melupakan masa lalu," keluh Evan.

Nada menatap Evan lalu keduanya terdiam. Mereka adalah dua orang yang berbeda yang entah mengapa dipertemukan Tuhan.

Evan adalah orang yang mengutuk masa lalu yang seandainya bisa, rela menukar dirinya dengan Nada yang justru kehilangan ingatan akan masa lalunya.

Seandainya ia yang kehilangan ingatan, tentu Evan lebih bahagia tanpa harus terbayang kepedihan setiap saat. Tentu ia tak akan menyimpan dendam yang teramat dalam.

Sebaliknya, Nada selalu berusaha mengingat bagian dari masa lalunya yang hilang. Ia selalu berusaha mencari tahu kebenaran dari potongan memori yang singgah di setiap ingatannya.

Nada mengalami kecelakaan saat berusia 11 tahun, ia tak ingat apa pun kecuali mimpi buruk tentang kebakaran yang sering menghantuinya. Kebakaran dan sosok samar seorang kakak yang dinantikannya. Hanya petunjuk itu yang dia punya selain sebuah kalung yang selalu tersimpan di dalam tas.

Setelah mengalami kecelakaan, Nada hanya tahu bahwa dia adalah anak angkat dari pasangan yang sempat membawanya ke luar negeri. Naas, pasangan itu meninggal dalam kecelakaan pesawat lima tahun kemudian. Meninggalkan Nada seorang diri dengan seribu tanda tanya tentang asal usul Nada sesungguhnya.

Alih-alih mendapat warisan, rupanya pasangan itu hanya meninggalkan utang. Nada tak pernah tahu kalau ayah dan ibu angkatnya ternyata memiliki masalah keuangan serius. Karena tak memiliki kerabat, adik dari Ibu angkatnya mengirim Nada ke panti asuhan tanpa sepeser pun bekal. Di sanalah ia bertemu dengan Evan. Seorang anak laki-laki yang menyimpan banyak misteri. Evan berdiri lalu membayar makanan mereka.

"Ayo pulang, ada hal yang harus segera kuselesaikan," ajak Evan.

Nada mengemasi barang-barangnya lalu menatap punggung Evan yang berjalan lebih dulu keluar kedai.

"Apa yang Kakak sembunyikan?" tanya Nada dalam hati.

Terpopuler

Comments

@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ

@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ

semangat kak..

cinta pak bos hadir😊

2020-10-08

1

Nate Lawliet

Nate Lawliet

Ceritanya menarik, tinggalkan jejak dulu ^^

Hai kak, aku dah mampir. Ditunggu feedback nya ke ceritaku yg judulnya "If You Hate Me So" ya 💖 Terus semangat berkarya💖

2020-10-06

1

noname

noname

tata bahasanya bagus, bikin iri 😀

2020-09-23

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 68 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!