NovelToon NovelToon

No Rose Without A Thorn

Pertunangan

Hujan yang sejak pagi mengguyur bumi baru saja berakhir, menyisakan tetesan ringan yang membasahi lantai balkon sebuah rumah. Seorang gadis dengan gaun putih, berdiri menatap langit sore yang sendu.

Cahaya matahari baru saja terlihat setelah seharian tertutup awan gelap yang membawa hujan deras. Entah mengapa gadis itu merasa bahwa sore yang muram seolah mewakili hatinya. Sedikit resah walau ia tahu justru seharusnya merasa lega.

"Apa yang kamu pikirkan, Keira?"

tanya seorang wanita yang rupanya memperhatikan gadis itu sejak beberapa lama.

Keira, nama gadis itu, tak menoleh maupun menjawab hingga wanita bernama Lestari Kusuma yang menegurnya mendekat, dipandanginya wajah Keira dari samping lalu ia membelai rambutnya.

"Akhirnya hari ini datang juga," kata Lestari dengan ekspresi lega sembari terus membelai rambut Keira dengan rasa sayang.

"Berbahagialah Sayang, kamu berhak bahagia," gumam Lestari lagi

Perlahan Keira menoleh menatap wanita di sebelahnya lalu menggumam.

"Seandainya ...."

"Kak .... Kita harus segera pergi ...."

Teriakan seorang gadis di pintu kamar memutus perkataan Keira. Belum sempat ia menjawab, gadis itu sudah menyusul ke balkon.

"Oh, rupanya Ibu ada di sini. Ayah mencari Ibu, pergilah sebelum taringnya keluar!" ucap gadis itu sembari menambahkan taring dengan jari di bibirnya.

Keira tertawa lalu mendorong Lestari ke sampingnya.

"Pergilah duluan, Bu," kata Keira pelan sembari merapikan gaun ibunya.

Wanita yang dipanggil ibu itu tersenyum. "Baiklah, Ibu pergi lebih dulu. Dizza, kamu temani kakakmu, ya."

"Siaaap, Bu!"

Gadis bernama Dizza serta merta memberi hormat pada ibunya, Lestari yang tertawa lalu bergegas menemui suaminya.

Sepeninggal Lestari, Dizza mengamati Keira lalu tersenyum.

"Seandainya aku mewarisi setengah saja dari kecantikan kakak," gumam Dizza membuat Keira tertawa.

"Tentu saja kamu nggak akan bisa cantik seperti Kakak," kata Keira sambil melipat tangannya di dada.

"Ya aku tahu. Semenjak sekolah, semua temanku selalu bilang 'Wahh kakakmu cantik sekali' Kakak tahu, waktu itu rasanya aku ingin mematahkan leher mereka yang mengatakannya," sahut Dizza.

Keira kembali tertawa karena mengganggap kata-kata Dizza tak masuk akal.

"Kemarilah!" Keira meraih tangan adiknya.

"Kamu nggak akan pernah bisa cantik seperti Kakak karena kamu sudah terlahir cantik seperti ibumu," kata Keira hingga Dizza merenung sepersekian detik.

"Aku bahkan nggak pernah ingat wajah ibuku," gumam Dizza setelah termenung sesaat.

"Tapi aku nggak peduli. Cantik atau tidak, aku adalah adikmu. Anak Ayah dan Ibu. Tanpa mengurangi rasa hormat untuk ibu yang melahirkanku, aku menyayangi kalian semua!" kata Dizza ceria.

Keira mengangguk sambil tertawa. Tiba-tiba ponselnya yang tergeletak di meja berdering, nama Bara berkedip-kedip di layarnya.

"Jangan diangkat!" teriak Dizza.

Keira mengernyitkan dahinya, tapi tetap mengangkat ponsel untuk menjawab panggilan.

"Hmm ... ya ... baiklah ... sampai jumpa."

Keira menutup ponselnya sementara Dizza mengerucutkan bibirnya.

"Aku menjadi iri pada Kak Bara. Dia sudah merebut satu-satunya kakak perempuanku!" celetuk Dizza.

Keira tertawa lalu menjentikan jarinya di dahi Dizza sembari berkata,"Kamu sungguh berlebihan!"

Dizza mengaduh lalu tiba-tiba memeluk Keira.

"Kak, aku sungguh merasa aneh. Kakak hanya bertunangan, tapi mengapa aku merasa akan kehilangan Kakak?

Mungkin aku sedikit grogi padahal bukan aku yang bertunangan. Jantungku ...."

Keira langsung melepas pelukan Dizza.

"Apa kamu baik-baik saja?" tanyanya cemas.

Dizza menggeleng hingga Keira makin panik..

"Apa yang kamu rasakan? Apa sebaiknya kita memanggil dokter?" tanya Keira cemas.

Dizza menggeleng lagi.

"Aku ... hanya cemas ... Aku bahagia, tapi aku cemas, entahlah ...." Dizza memandang Keira lalu tertawa.

Sadar Dizza mengerjainya, Keira memukul pundak Dizza karena kesal mengira Dizza kembali sakit.

"Kak, berhentilah mencemaskan aku atau orang lain," kata Dizza serius.

"Kak, Kakak harus bahagia ...." sambung Dizza.

"Dizza, mengapa kamu terus mengatakan hal-hal aneh? Tentu saja Kakak akan bahagia. Apa kamu pikir ini pertunangan paksa? Kakak bertunangan dengan laki-laki pilihan Kakak sendiri, lantas haruskah Kakak merasa nggak bahagia?" tanya Keira heran.

Ucapan Keira memang benar, tapi Dizza malah mengangkat bahu.

"Entahlah ... aku hanya merasa perlu mengatakannya. Ahh, aku ingin memeluk Kakak sekali lagi. Berjanjilah Kakak akan selalu menjadi kakakku meskipun sudah bertunangan atau pun menikah!" kata Dizza seraya memeluk Keira lagi.

"Omong kosong apalagi Dizza?" tanya Keira kesal.

"Berjanjilah Kakak akan bahagia dan berhenti mencemaskan banyak hal," desak Dizza membuat Keira tertawa lagi.

"Tentu saja Kakak akan bahagia, " kata Keira riang.

Namun, di balik pelukan Dizza dia menggengam sebuah kalung dan di balik tawa riangnya ia menyembunyikan sebuah perasaan sedih. Benarkah aku bisa bahagia?

*

Pesta pertunangan antara Keira dan Bara berlangsung cukup meriah. Walaupun Keira berulang kali menyatakan keinginannya untuk menggelar acara secara sederhana, namun ibu, ayah tirinya serta keluarga Bara bersikeras menggelar acara spesial.

Kusuma dan Lestari terlihat sangat bahagia menyambut para tamu, begitupun dengan keluarga Bara, dan kedua orang tuanya sangat bahagia melihat putranya akan segera menikah.

Bara dan Keira terlihat sangat serasi menimbulkan decak kagum para tamu. Di antara keriuhan pesta, Keira memandang Kusuma dari kejauhan. Ketika melihat ayah tirinya tertawa beberapa kali, Keira merasa sedikit kesal.

"Kau menang lagi!" umpatnya dalam hati.

Keira memang benar, Kusuma memang merasa menang. Sejak awal dia menginginkan Keira menikah dengan Bara, agar bisnisnya semakin jaya dengan dukungan keluarga Bara. Pertunangan ini adalah awal yang sangat baik.

"Sayang, kenapa? Kamu lelah?" tanya Bara.

Keira menoleh menatap Bara sesaat lalu mengangguk pelan.

"Aku mau keluar sebentar," jawab Keira seraya melangkah keluar ruangan.

"Aku ikut," kata Bara sambil mengedipkan matanya.

Keira tersenyum sangat manis lalu keduanya berjalan keluar ruangan. Kusuma melirik keduanya yang bergandengan lalu tersenyum puas.

"Uuh ... pesta sederhana macam apa ini?" keluh Keira sambil memegang kepalanya yang mulai pening, lelah karena tersenyum pada semua tamu yang hadir.

"Perlu kugendong?" tawar Bara genit.

"Kamu gila!" Keira menepis tangan Bara dengan kesal.

Bara tertawa lalu mengajak Keira masuk ke tangga darurat. Ia pun sebenarnya merasa lelah dengan pesta yang berlangsung.

Mereka duduk di tangga darurat tanpa berkata apa pun, larut dalam pikiran masing-masing.

"Kamu bahagia, kan?" tanya Bara pada Keira yang terlihat memikirkan sesuatu.

"Ada yang kamu pikirkan?" tebak Bara ketika Keira tak juga menjawab.

Keira menggeleng dengan ragu karena tak tahu apa yang mengganjal pikirannya. Di sampingnya, Bara memeluk bahu Keira lalu menyandarkan kepala Keira di bahunya.

"Tidurlah," kata Bara dengan suara lembut.

Keira berusaha memejamkan matanya, tapi gagal. Kepalanya terlalu penat untuk tidur.

Beberapa saat berlalu Keira menegakkan kepalanya lagi lalu berkata dengan sedikit kesal, "Mereka menang."

"Kamu nggak suka?" tanya Bara.

"Bagian mana menurutmu yang nggak kusuka?" Keira balik bertanya sembari memandangi wajah Bara yang termenung.

"Hmm, yang pasti kamu menyukaiku, jadi pasti bukan diriku. Aku terlalu menawan untuk menjadi hal yang nggak kamu suka," jawab Bara membuat Keira terkekeh geli.

"Keira ...." Bara menggenggam tangan Keira dan menatap matanya.

"Bisakah kamu mengabaikan mereka? biarlah mereka merasa menang dan melakukan perjanjian apa pun di antara mereka? Bisakah kita menutup mata untuk mereka dan menjalani kehidupan kita sendiri?" tanya Bara.

Keira menghela napas. Tentu saja seharusnya hal itu yang dia lakukan. Hidup bahagia bersama Bara tanpa harus memikirkan apa yang ayah tirinya lakukan. Bukankah dia mencintai Bara dan Bara juga mencintainya?

"Keira, lupakan semua yang membuatmu sedih. Aku berjanji kita akan bahagia," lanjut Bara.

Keira akan menjawab, tapi Bara mendekatkan wajahnya.

"Tak usah menjawab. Aku tahu kita akan bahagia," kata Bara semakin mendekat lalu ia menyentuh pipi Keira.

Bara tahu seberapa sering pipi itu basah oleh air mata Keira. Ia ingin mengganti air mata luka itu dengan air mata bahagia.

"Kamu hanya perlu percaya padaku," bisik Bara.

Keira menurut, ia tak menjawab. Dibiarkannya Bara mencium keningnya lalu beralih ke bibirnya. Dalam beberapa detik keduanya sudah berciuman dan ....

"Aaaaaa ... maafkan ... maafkan!" pekik seorang gadis.

Keira tersentak, refleks ia mendorong Bara sambil menatap seorang gadis yang sedang membawa bunga. Gadis itu berdiri di anak tangga di bawah mereka. Mereka bertiga salah tingkah. Bara menutupi kekesalannya dengan membentak gadis itu.

"Apa yang kamu lakukan di sini?!"

Gadis itu mundur karena kaget, Keira menutupi rasa malunya dengan membuang muka, tak mau melihat gadis yang memergoki mereka bermesraan di tempat sepi.

"Maaf, saya nggak sengaja. Saya nggak melihat apa-apa. Silakan diteruskan!" kata Gadis itu sembari bersiap pergi.

"Tunggu, bunga itu untuk siapa?" tanya Bara.

"Ini untuk pasangan yang bertunangan di lantai 10. Tuan Bara dan Nona Keira. Maaf saya salah jalan karena lift sedang penuh saya ...."

Gadis itu terus bicara sementara Bara dan Keira hanya menatapnya serius.

"Astaga! Apakah itu kalian?" tanya gadis itu ketika menyadari pasangan di depannya berpakaian pesta.

"Kemari, berikan bunga itu padaku dan pergilah," kata Bara pelan, tapi gadis itu hanya diam menatap Bara.

"Tapi bagaimana aku tahu kalau kamu memang Tuan Bara?" tanyanya curiga.

Keira tertawa melihat Bara sibuk meladeni pengantar bunga yang lugu.

"Kemari, berikan bunga itu padaku," kata Keira singkat.

Seperti terhipnotis, gadis itu menyerahkan buket bunganya pada Keira.

"Kemarilah!" Keira meraih Bara untuk mendekat padanya.

"Kamu bisa mengambil foto kami menerima bunga ini dan berikan pada atasanmu. Katakan bahwa kamu memberikannya secara langsung pada kami," lanjut Keira.

Gadis itu terdiam sesaat, entah mengapa dia seakan tersihir oleh setiap kata yang diucapkan wanita di hadapannya.

"Ayo, tunggu apalagi?" tanya Keira tak sabar.

Gadis itu segera mengambil ponsel dan memotret keduanya.

"Sekarang kamu bisa pergi," kata Bara mengusir.

Gadis itu segera pergi sebelum menyempatkan menatap Keira sekali lagi.

Bara menatap Keira, ia akan mendekat untuk melanjutkan aktivitas mereka yang sebelumnya terganggu namun Keira menolak. Ia mendorong Bara pelan.

"Lupakan, kita terlalu lama pergi. Mereka pasti menunggu kita."

Keira berjalan mendahului Bara yang menggaruk kepalanya yang sebenarnya tak gatal. Dalam hati ia mengumpat kesal pada gadis pengantar bunga.

**

Nada, nama gadis pengantar bunga itu, mengumpat sepanjang jalan. Ia kesal karena lift yang penuh, ia harus mengantar bunga dengan berjalan kaki lewat tangga darurat. Terlebih kesal lagi karena ia harus bertemu dengan pasangan yang menurutnya mesum.

"Tak bisakah mereka menunggu sampai di rumah? Ah, benar-benar tak tahu malu!"

"Sedang apa kamu?"

Tiba-tiba langkah Nada terhenti oleh suara berat yang menunggunya di ujung mini market.

"Kakak mengagetkanku!" seru Nada kesal.

"Kaget bagaimana? Kamu yang terlalu serius mengumpat sepanjang jalan," keluh pria yang dipanggil kakak.

"Ah, apa aku terlihat mengumpat?" tanya Nada heran karena merasa hanya mengumpat dalam hati.

"Tentu saja kamu mengumpat dalam hati!" seru pria itu membuat Nada tertawa.

"Kakak selalu tahu apa yang aku lakukan," sambung Nada.

"Siapa yang kamu umpat? Kenapa kamu lama sekali?" tanya pria itu sembari memberikan helm pada Nada.

"Tak ada, bukan hal penting. Hanya sepasang kekasih mesum," jawab Nada enteng hingga pria itu terkekeh.

"Lupakan, mari bersenang-senang!" teriak Nada sembari naik ke boncengan motor.

Mereka tertawa lalu menghilang di tikungan menuju tempat bersenang-senang.

Tempat bersenang-bersenang versi Nada dan Evan adalah sebuah kedai barbeque yang murah meriah. Tempatnya agak terpencil dan hanya bisa ditemukan dengan kendaraan roda dua atau berjalan kaki. Mereka biasa menghabiskan waktu di tempat itu untuk makan dan sekadar bercerita.

Mereka bukanlah saudara kandung, juga bukan sepasang kekasih walaupun Nada terkadang berharap bisa menjadi kekasih Evan. Ia sering mengutarakannya pada Evan yang hanya dijawab dengan jentikan jari di dahinya.

"Setelah ini Kakak mau ke mana?" tanya Nada sambil menyeruput minumannya.

"Aku akan pergi selama beberapa hari. Jadi kumohon jangan melakukan hal-hal aneh selama aku pergi."

Nada menggeram kesal,"Kakak pikir aku akan melakukan apa?" tanya Nada tanpa rasa bersalah.

Evan membanting sendoknya di meja, Nada mengelus dadanya karena kaget.

"Seminggu yang lalu kamu mengatakan hal yang sama sebelum menjambak rambut anak paman Kit. Dan sebelumnya kamu juga mengatakan hal yang sama saat tanpa sadar menggelindingkan motor Willy!" teriak Evan kehabisan sabar.

Nada hanya diam merengut.

"Tapi itu kan salah mereka ...."

"Nad, bersikaplah manis seperti layaknya perempuan. Jangan terlalu sering terpancing emosi. Bagaimana bisa kamu mendapatkan pacar kalau begini terus?!" omel Evan.

Nada bersandar di dinding kedai.

"Haruskah aku mendapat pacar? Masa lalu saja aku nggak ingat, adakah pria yang mau dengan wanita yang tak ingat asal usulnya?" tanya Nada lirih.

"Kenapa kamu pedulikan masa lalumu yang nggak kamu ingat? Seharusnya kamu bahkan bersyukur bisa melupakan masa lalu," keluh Evan.

Nada menatap Evan lalu keduanya terdiam. Mereka adalah dua orang yang berbeda yang entah mengapa dipertemukan Tuhan.

Evan adalah orang yang mengutuk masa lalu yang seandainya bisa, rela menukar dirinya dengan Nada yang justru kehilangan ingatan akan masa lalunya.

Seandainya ia yang kehilangan ingatan, tentu Evan lebih bahagia tanpa harus terbayang kepedihan setiap saat. Tentu ia tak akan menyimpan dendam yang teramat dalam.

Sebaliknya, Nada selalu berusaha mengingat bagian dari masa lalunya yang hilang. Ia selalu berusaha mencari tahu kebenaran dari potongan memori yang singgah di setiap ingatannya.

Nada mengalami kecelakaan saat berusia 11 tahun, ia tak ingat apa pun kecuali mimpi buruk tentang kebakaran yang sering menghantuinya. Kebakaran dan sosok samar seorang kakak yang dinantikannya. Hanya petunjuk itu yang dia punya selain sebuah kalung yang selalu tersimpan di dalam tas.

Setelah mengalami kecelakaan, Nada hanya tahu bahwa dia adalah anak angkat dari pasangan yang sempat membawanya ke luar negeri. Naas, pasangan itu meninggal dalam kecelakaan pesawat lima tahun kemudian. Meninggalkan Nada seorang diri dengan seribu tanda tanya tentang asal usul Nada sesungguhnya.

Alih-alih mendapat warisan, rupanya pasangan itu hanya meninggalkan utang. Nada tak pernah tahu kalau ayah dan ibu angkatnya ternyata memiliki masalah keuangan serius. Karena tak memiliki kerabat, adik dari Ibu angkatnya mengirim Nada ke panti asuhan tanpa sepeser pun bekal. Di sanalah ia bertemu dengan Evan. Seorang anak laki-laki yang menyimpan banyak misteri. Evan berdiri lalu membayar makanan mereka.

"Ayo pulang, ada hal yang harus segera kuselesaikan," ajak Evan.

Nada mengemasi barang-barangnya lalu menatap punggung Evan yang berjalan lebih dulu keluar kedai.

"Apa yang Kakak sembunyikan?" tanya Nada dalam hati.

Kepingan Masa Lalu

Keira pulang ke rumah dengan sambutan Dizza yang melayangkan sebuah album foto. Apalagi kalau bukan album pertunangannya. Meski letih, Keira masih bisa menanggapi semua celotehan Dizza yang manja. Ia bergelayut di lengan Keira dan mengomentari semua foto yang ada di album.

Keira menatap foto-foto itu sembari tersenyum sendiri hingga tak menyadari Lestari mendekat. Melihat kedua putrinya sedang tertawa melihat-lihat album foto di pangkuan Keira, Lestari ikut tersenyum.

"Dizza, ayah memanggilmu, " kata Lestari seraya menyuruh Dizza segera pergi ke ruang kerja Kusuma.

Dizza mengomel mengatakan bahwa ayahnya selalu menjadi orang yang merusak suasana. Penuh kesabaran Lestari menasehati Dizza agar tidak mengatakan hal yang tidak masuk akal tentang ayahnya. Nasihat Lestari membuat Dizza tertawa lalu segera berlari mencari Kusuma.

Sepeninggal Dizza, Lestari mendekati Keira yang serius memandang foto keluarga mereka di pesta pertunangan yang lalu.

"Kita benar-benar terlihat seperti sebuah keluarga," ucap Keira lirih.

"Apa maksudmu? Kita memang keluarga," kata Lestari sembari mengambil secangkir teh yang ada di meja.

Tak memperhatikan Lestari yang bersantai, Keira masih memandang fotonya yang bersebelahan dengan Dizza.

"Kalau dia masih ada, pasti akan menyenangkan. Usianya sama dengan Dizza. Apa dia akan sama seperti Dizza? Suka berbelanja atau ...."

"Hentikan Keira!" putus Lestari setengah membentak Keira.

"Kenapa, Bu? Kenapa aku bahkan nggak boleh mengenangnya?!" tanya Keira marah.

"Berulang kali Ibu katakan, jangan lagi menyakiti dirimu sendiri. Lupakan masa lalu," jawab Lestari.

"Lupakan?" Keira bertanya dengan kesal.

"Tanpa Ibu perintahkan aku selalu berusaha melupakan, Bu. Melupakan semua masa buruk kita. Melupakan kalau aku yang menyebabkan adikku satu-satunya tewas terbakar!" balas Keira tak kuasa menahan tangisnya.

Sambil menghela napas, Lestari merendahkan suaranya.

"Pelankan suaramu. Jangan sampai ayahmu mendengar ...."

"Dia bahkan bukan ayahku!" pekik Keira marah.

"Keira!" Lestari kembali membentak Keira.

"Kenapa, Bu? Kenapa kita bahkan nggak boleh membicarakannya? Kenapa Ibu semudah itu melupakannya? Dia juga anak Ibu!" sahut Keira emosi.

Sadar putrinya sedang emosional, Lestari langsung memeluk Keira untuk meredakan amarah putrinya.

"Itu bukan salahmu. Kebakaran itu bukan salahmu. Adikmu pasti bahagia di sana. Dia pasti sudah bahagia. Jadi jangan lagi menyalahkan dirimu," bisik Lestari.

"Maafkan Kakak, maafkan Kakak ... Kamu pasti marah karena nggak bisa datang ke pesta pertunangan Kakak. Ah, kamu pasti sudah mengutuk Kakak sejak hari pertama Kakak mengingkari janji. Kakak bahkan nggak pernah tahu di mana jasadmu," lirih Keira sembari meratap dengan sedih.

Lestari menahan dirinya agar tidak tersulut emosi. Sudah berulang kali dia mengatakan pada Keira agar tidak pernah menyebutkan tentang adiknya di rumah ini. Namun, Keira sering membantah.

"Dia sudah pergi dan biarkan dia pergi dalam damai tanpa perlu menyebut namanya di dunia kita yang setengah neraka ini."

Begitu pesan Lestari setiap kali Keira mengingat tentang kemalangan adiknya.

Keira sudah berusaha melupakan masa lalu, tapi bayangan wajah adiknya tak mau hilang dari pelupuk matanya. Pelan-pelan ingatan masa lalu itu kembali hadir.

"Kakak benar-benar akan datang, kan?" tanya seorang gadis kecil pada seorang gadis perempuan yang lebih besar.

"Apakah kakak pernah ingkar janji?"

Gadis kecil itu tersenyum lalu menggeleng.

"Aku tahu Kakak akan selalu datang. Karena kau adalah Kakakku!" seru Gadis kecil sambil melompat gembira.

Gadis besar mengangguk senang.

"Malam ini, tunggulah Kakak. Apa pun yang terjadi, kakak pasti akan datang walaupun terlambat. Jangan katakan apa pun pada Ibu!"

"Janji?" ulang gadis kecil itu.

"Janji!" Gadis besar memeluk adiknya.

"Keira ayo pergi," ajak Lestaru memanggil Keira lalu ia berlutut di hadapan gadis kecil bernama Zea.

"Zea, maafkan Ibu karena harus meninggalkanmu seperti ini. Ibu tak akan lama. Ibu akan segera menjemputmu. Dengarkan kata-kata ibu pengawas," pesan Lestari.

Zea mengangguk lalu melirik Keira yang memberi isyarat untuk diam. Perlahan Lestari memeluk putri bungsunya.

"Kenapa bukan kakak yang tinggal di sini?" tanya Zea polos.

Lestari menatap Zea dengan iba lalu kembali memeluk putri bungsunya.

"Karena Zea akan lebih aman berada di sini."

Namun, ternyata semua itu salah. Keira tahu ibunya berbohong pada Zea. Ia tahu ibunya sudah membeli tiket ke luar negeri untuk mereka berdua. Karena tak mau meninggalkan Zea, Keira bertekad membawa Zea lari malam itu tanpa sepengetahuan ibunya.

Malam itu adalah hari paling mengenaskan dalam hidup Keira, ia gagal menepati janjinya pada Zea. Keira tidak bisa menjemput adiknya sementara Zea telah menanti Keira dengan sabar.

Saat menunggu Keira, terjadi pemadaman listrik, Zea yang ketakutan, bersembunyi di luar panti untuk menanti Keira. Entah apa yang terjadi tiba-tiba terdengar ledakan yang menyebabkan kebakaran di panti. Api dengan cepat membakar bangunan panti asuhan. Beberapa penghuni sudah melarikan diri, tapi Zea bertahan di tempatnya bersembunyi karena tidak mau Keira kesulitan menemukannya.

Keesokan harinya dikabarkan bahwa sebagian anak-anak menjadi korban dalam insiden itu, termasuk Zea.

*

Evan memandang Televisi dengan perasaan marah. Berita yang dilihatnya adalah pertunangan antara Keira Kusuma dan Bara Wijaya. Matanya tak lepas memandang sosok wanita yang selalu terlihat senyum. Di matanya, wanita itu masih sama seperti tiga belas tahun lalu.

"Apakah kamu berpura-pura bahagia? atau kamu benar-benar bahagia dengan kehidupanmu sekarang?"

Sejuta tanya menghantui pikiran Evan. Saat itu ia tak menyadari bahwa Nada telah masuk ke dalam rumahnya.

"Baru kali ini aku melihat kakak serius menonton berita!" sahut Nada ikut mendengarkan berita sambari mengeluarkan beberapa belanjaan ke dalam kulkas.

"Oh, pertunangan orang kaya."

"Tunggu dulu, siapa namanya?" Nada tiba-tiba ikut duduk, tak menyadari Evan sedang mengepalkan tangannya.

"Astaga ini kan pasangan mesum!" seru Nada sambil menutup mulut membuat Evan terkejut.

"Pasangan mesum? Kamu mengenalnya?" tanya Evan yang disambut gelengan kepala Nada.

"Pasangan yang kuceritakan saat terakhir mengantar bunga," jawab Nada membuat Evan memutar ingatannya.

"Tunggu, aku bahkan masih menyimpan fotonya. Ahhh, aku tak menyangka mereka orang terkenal. Bisa-bisanya mereka berciuman di tangga darurat saat tamu-tamu lain masih di dalam gedung."

Nada yang terus mengoceh tak menyadari perubahan wajah Evan yang mengeras.

" Lihatlah ... Pantas saja aku merasa tak asing saat melihat wanita itu. Ternyata dia termasuk selebritis," kata Nada sambil memamerkan foto Bara dan Keira yang tersenyum bahagia memegang bunga.

Evan memandang keduanya dan tak sengaja menggumam, "Ternyata kamu bahagia ...."

Ucapan Evan membuat Nada memandang Evan heran.

"Hoy, apa maksud Kakak? Tentu saja pasangan seperti ini bahagia ... Kakak terlihat iri!" sahut Nada menertawakan Evan.

"Kamu!" Evan menggertakan giginya.

"Sebelum aku menghitung sampai 3, sebaiknya kamu segera pulang!" teriak Evan kesal hingga Nada lari terbirit-birit.

"Ah, terlalu lama membujang membuat orang bisa terkena PMS tanpa sebab," gerutu Nada kesal.

*

Malamnya Evan bermimpi bertemu dengan Keira. Mereka mengenakan seragam sekolah, seperti dulu saat mereka sering bertemu.

Awalnya Keira tersenyum dan mengulurkan tangannya lalu tiba-tiba ia menarik Evan hingga terjatuh di tebing.

Evan bangun dari tidurnya dan mengambil minum.

"Di antara semua yang berkhianat, kenapa kamu juga termasuk seperti mereka?!" tanya Evan sambil membanting gelasnya dengan marah.

Evan teringat saat ia dan Keira berjanji bahwa mereka akan menemukan jalan untuk selamat. Bahwa mereka akan melanjutkan hidup bersama, bahwa mereka tidak akan hidup dalam bayang-bayang Kusuma.

Namun, apa yang dilihatnya hari ini? Keira yang telah menyandang nama Kusuma bahkan tertawa bahagia. Bahagia di atas penderitaannya.

"Penghianat!" maki Evan.

Bertahun-tahun Evan menyusun rencana balas dendam, tapi beberapa kali harus kandas karena ia masih menyimpan perasaan untuk Keira. Ia tak ingin Keira terluka, karena ia mengira Keira adalah korban, sekalipun ia tak pernah mengerti alasan Keira menghianatinya.

Namun, melihat Keira bertunangan dengan bahagia, membuat Van yakin bahwa ia harus segera balas dendam, termasuk pada Keira. Gadis yang pernah dicintainya, yang pernah mengisi hari-harinya dengan cinta, yang akhirnya menghancurkan hidupnya.

*

Keira dan Bara sedang berjalan-jalan di pusat perbelanjaan. Sebenarnya Keira hanya sedang malas pulang kerumah, ia beralasan ingin mencari sebuah kado untuk temannya yang tak ada. Bara tahu Keira berbohong, tapi ia bersikeras menemaninya.

Mereka berkeliling keluar masuk toko, hanya melihat lihat tanpa membeli. Bara berulang kali menggoda Keira dengan mencoba berbagai aksesoris lucu agar terlihat cute. Keira tertawa berulang kali.

Mendadak Keira berbelok memasuki toko aksesoris remaja. Sebenarnya toko itu bukanlah tempat yang masuk akal untuk mencari kado di usia mereka. Mereka baru menyadari setelah berputar satu kali mengitari seisi toko.

"Kita salah tempat," kata Keira.

"Ini lucu!" kata Bara saat mengangkat sebuah topi pantai yang lebar.

"Apanya yang lucu?" tanya Keira.

"Lihat aku!" pinta Bara ketija memakai topi itu.

"Nggak lucu!" tukas Keira kesal.

Keira kesal karena merasa waktunya habis oleh tingkah Bara yang banyak mencoba barang-barang tak masuk akal.

"Kalau begini, apa lebih lucu?" Tiba-tiba Bara mendekat ke Keira hingga Keira juga masuk ke dalam topi.

"Kita bisa membeli satu topi untuk berdua. Sangat hemat untuk biaya pernikahan," kata Bara pelan dan serius hingga Keira tertawa.

"Mundur, kamu membuat karyawan itu mencurigai kita," bisik Keira.

Namun, Bara malah semakin dekat.

"Aku yakin sekarang dia akan memanggil temannya untuk melihat kita," bisik Bara di telinga Keira.

Perlahan Keira melirik sekilas dan ya memang benar. Beberapa karyawan mengamati mereka.

"Hentikan!" Keira mendorong Bara agar menjauh, tapi Bara malah merapat dan berbisik lagi.

"Sekarang apakah jumlah mereka bertambah?" tanya Bara.

Keira tak mau melirik lagi, ia berkata dengan kesal. "Kurasa mereka semua termasuk manajernya akan berjejer di pojok itu kalau kamu nggak mau mundur sekarang."

"Itu yang kumau!"

Bara masih berbisik sambil menutup topinya. Keira melirik lalu tiba-tiba jantungnya serasa berhenti berdetak karena melihat sesosok pria yang sedang memperhatikannya. Seketija Keira membuang wajah karena kaget, lalu ia menoleh lagi. Namun, pria itu sudah menghilang.

"Ada apa?" tanya Bara curiga.

Keira tak menjawab namun ekspresinya mendadak berubah gelisah.

Apa aku salah lihat?

Tapi, apakah dia benar Evan?

Keira mendadak linglung hingga Bara sigap menopang bahu Keira.

"Kamu kenapa?" tanya Bara keheranan.

Keira tak bisa menjawab, sebagai alasan dia mengatakan mendadak mengalami sakit perut.

Pria yang dilihat Keira itu memang Evan. Bukan kebetulan Evan bertemu dengan Keira karena ia memang mencari dan mengikutinya. Evan masih ingin memastikan bahwa Keira benar-benar telah hidup bahagia dan melupakannya.

Dengan perasaan marah Evan menelpon seseorang dan berjalan keluar gedung perbelanjaan itu membawa hati terluka. Saking terburu-buru Evan tak menyadari kehadiran manusia di hadapannya.

"Aduuh!"

Wanita yang ditabrak Evan menjerit kesal. Ia baru saja akan menyumpah tatkala melihat Evan yang terburu-buru meminta maaf.

"Kak Evan?!"

Evan mendelik, tak mengenali gadis bersuara cempreng di hadapannya.

"Kak Evan fotografer, kan?" sapa gadis itu membuat Evan mengganguk pelan.

"Wow, sebuah kebetulan sekali. Saya adalah pengagum Kak Evan, sudah lama sekali saya ingin mengenal dan bekerja sama dengan kakak!" seru gadis itu riang.

Perlahan Evan mengernyitkan dahi.

"Bagaimana? Apa Kakak setuju?"

Evan semakin heran. Gadis itu tak mengatakan perjanjian kerjasama apa pun lalu menginginkan persetujuan.

"Maaf, sepertinya saya terlalu banyak bicara sampai lupa mengenalkan diri. Nama saya Dizza Kusuma, saya ingin Kak Evan memotret saya. Apakah Kakak ada waktu?" tanya Dizza ramah.

Lamat-lamat Evan memandangi wajah gadis di hadapannya.

Dizza Kusuma, putri bungsu Kusuma, adik tiri Keira.

"Hallooooo!" Dizza melambaikan tangan di wajah Evan.

Pelan tapi pasti Evan tersenyum lalu mengulurkan tangannya.

"Maaf saya sedikit terkejut tertabrak gadis cantik. Sungguh sebuah kebetulan yang manis, saya juga sedang mencari seorang model," balas Evan.

Kata-kata manis Evan membuat Dizza tersenyum lebar, tapi senyum Evan di dalam hati dua kali lebih lebar.

"Lihatlah Kusuma. Aku juga bisa menghancurkan hartamu yang paling berharga!" ucap Evan di dalam hati.

*

Malam ini giliran Keira yang bermimpi bertemu Evan.

Evan berlari mengejar mobil Keira yang terus melaju. Ketika akhirnya mobil berhenti, Keira membuka jendela dengan angkuh.

"Lupakan aku," katanya sembari menutup jendela mobil.

Keira terbangun, tak percaya bagaimana bisa memori tiga belas tahun itu masuk sebagai mimpi. Ia membuka laci nakas dan mengambil kalung berbentuk bintang.

"Zea, kamu tahu, Kakak selalu merindukanmu dan dia. Kalian bahkan belum sempat saling bertemu," ucap Keira lirih sembari kembali mengingat masa-masa indah saat bersama Evan.

Dulu, hampir setiap hari Keira pulang bersama Evan, tertawa bersama bahkan menangis bersama.

"Keira, kamu bersungguh-sungguh akan melarikan diri?" tanya Evan.

Keira menggangguk dengan ragu. .

"Aku nggak akan pergi tanpa adikku!" kata Keira.

"Aku juga nggak akan pergi tanpa ibuku!" sahut Evan.

"Mari kita pergi bersama ...." usul Keira.

"Apa kamu yakin bisa meninggalkan ibumu?" tanya Evan.

Perlahan Keira menggeleng pelan.

"Aku tak tahu bagaimana hidup tanpa Ibu ...."

"Apa ibumu bahagia di sana? ibuku tidak," sela Evan lagi.

"Aku nggak melihatnya bahagia ...." gumam Keira.

"Pembohong!"

Evan kembali melempar gelas. Ia baru saja mengingat kejadian yang sama dengan yang diingat Keira. Bila Keira menangis mengenangnya, sebaliknya Evan mengutuk kenangan itu.

Sambil mengeluarkan sebuah foto keluarga, Evan berbicara sendiri.

"Aku akan membalas mereka untuk kalian!"

tekad Evan untuk segera menyelesaikan balas dendamnya.

Pelan-pelan Evan meletakan kembali fotonya di dalam laci.

Foto seorang Wanita dengan dua anak laki-laki.

Evan memejamkan matanya lalu menangis. Sudah sangat lama ia tak menangis, terakhir kali adalah tiga belas tahun yang lalu. Saat ia menemukan kenyataan ibunya meninggal karena over dosis obat dan berikutnya Hans kakaknya terjun dari tebing.

Lalu ia teringat saat Kusuma mengusirnya dari rumah.

"Kamu, menghilanglah dari negara ini sebelum kesabaranku benar-benar habis!" kata Kusuma dengan mata berkilat-kilat.

"Apa salahku, Ayah?" tanya Evan waktu itu.

"Aku bukan Ayahmu! Pergi!" balas Kusuma sebelum memerintahkan para anak buahnya untuk menyeret Evan keluar rumah, tak peduli pada teriakan Evan yang memohon meminta penjelasan.

"Kusuma, Lestari Kusuma, Keira! Kalian harus merasakan penderitaan yang sama!" teriak Evan dengan sangat marah.

Keluarga Kusuma

Kusuma adalah seorang laki-laki berhati dingin dan nyaris tak memiliki perasaan. Dirinya hanya sibuk memikirkan perusahaan dan tak segan mengorbankan banyak orang. Awalnya ia menikah dengan seorang wanita pewaris hotel bernama Ayuni.

Kusuma tak pernah benar-benar mencintai Ayuni. Selama menikah dengan Ayuni, Kusuma juga menjalin hubungan dengan Resti, ibu kandung Evan. Orang lain mengenal Resti sebagai istri simpanan Kusuma. Ia jarang terlihat di tempat umum. Kusuma menyembunyikannya di pinggiran kota.

Resti bukanlah wanita sehat, ia memiliki dua orang anak, Hans dan Evan. Ia tak punya pilihan selain mengikuti Kusuma, karena ia mencintainya. Mereka hidup lebih dari berkecukupan karena Kusuma memberikan semua kebutuhan dalam kategori mewah. Rumah mewah, mobil, supir dan lain-lain. Hanya status istri sah yang tidak diberikan oleh Kusuma meskipun akhirnya Ayuni meninggal saat melahirkan Dizza, ia tetap tidak menikahi Resti secara sah.

Kusuma secara mengejutkan justru menikah secara sah dengan Lestari. Wanita pertama yang dikenalnya dan sempat menghilang. Kusuma berhasil menemukan Lestari setelah bertahun-tahun mencarinya.

Salah satu hal yang tidak pernah dimengerti oleh Evan dan Keira yang saat itu masih sangat muda.

Keira tidak merestui pernikahan itu. Ia tak mengenal Kusuma dan tak mengerti bagaimana bisa ibunya secara cepat menerima pernikahan itu begitu saja. Evan juga mengutuk pernikahan mereka, ia tahu bahwa ibunya sangat mencintai Kusuma. Ibunya bahkan rela menerima cacian sebagai istri simpanan selama bertahun-tahun, namun disaat ia mengira akhirnya dapat menjadi istri sah, Kusuma justru menikah dengan Lestari.

Evan dan Keira bertemu pertama kali di rumah Kusuma, saat ia mengikuti ibunya yang datang menemui Kusuma dengan air mata. Evan mengenali Keira sebagai anak perempuan yang menyebabkan ibunya terluka, ia juga melihat kebencian Keira pada pernikahan itu. Keduanya bertemu kembali di sekolah yang sama sebagai murid baru.

Sebagai tanda protes pada Kusuma, Resti sengaja pindah mendekati Kusuma. Namun ia tanpa sengaja memindahkan Evan ke sekolah yang sama dengan Keira. Resti dan Lestari nyaris tak pernah bertemu, namun Keira dan Evan justru sering bertemu tanpa diketahui orang tua mereka. Hampir setiap hari mereka merencanakan kehidupan yang baik dan keluar dari lingkaran Kusuma. Keduanya bahkan berharap Kusuma bisa segera meninggal agar kehidupan mereka bisa normal kembali.

Kusuma memang bukan orang baik, ia nyaris tak pernah menunjukan kasih sayang pada anak-anak dari wanita yang ada di dekatnya. Tidak pada Hans dan Evan, tidak juga pada Keira. Ia hanya menugaskan kaki tangannya agar memberikan anak-anak itu kehidupan yang layak.

"Bukannya kamu bilang punya adik?" tanya Evan suatu hari.

Keira mengangguk. "Ibu bilang untuk saat ini adikku belum bisa tinggal bersama kami."

"Kenapa?" tanya Evan heran. Keira mengangkat bahu, ia sendiri tak mengerti.

"Ayah mengetahuinya?" tanya Evan hati-hati.

Keira mengangkat bahu lagi.

"Entahlah..."

Keira sama sekali tak mengerti dunia orang dewasa.

"Kamu memanggilnya ayah?" tanya Keira.

Evan mengangguk.

"Dia bukan ayahku. Tapi sejak aku kecil, ibu menyuruhku memanggilnya ayah walaupun ia tak pernah menanggapi."

"Lalu kenapa kamu tetap memanggilnya ayah?"

"Untuk menyenangkan ibuku. Kakak tidak mau memanggilnya ayah."

"Kakakmu di mana?"

"Sekolah di Amerika. Ayah menyuruhnya sekolah di sana."

Keira termenung. "Dia juga akan mengirimku ke sana..." ucapnya lirih.

"Aku bahkan tidak boleh pergi ke mana-mana." sahut Evan.

"Mengapa dia bisa mengatur kehidupan kita semaunya?" tanya Keira kesal.

"Karena dia Kusuma. Karena ibu kita yang memberinya kesempatan mengatur kehidupan mereka."

"Ibuku tak punya pilihan." Keira membela ibunya. Ia selalu mendengar permintaan maaf Lestari bahwa mereka tak punya pilihan.

"Ibuku terikat di sini karena dia terlalu mencintai pria tak berperasaan itu. Lalu mengapa ibumu bisa tidak memiliki pilihan? Apakah Tuan Kusuma yang mencintai ibumu?" tanya Evan.

Keira mengendikan bahunya lagi.

"Aku nggak tahu."

"Aku rasa ayah bukanlah orang yang bisa mencintai orang lain," sambung Evan curiga.

Keira membenarkan dalam hati. Tak ada cinta dalam kehidupan Kusuma.

"Lalu mengapa kalian ada di sini?" Evan bertanya-tanya sendiri. Demikian juga dengan Keira, ia tak mengerti mengapa ibunya bisa menikah dengan Kusuma, orang asing yang tak pernah mereka temui seumur hidup

*

Kembali ke masa kini, Dizza dan Keira sedang berjalan menyusuri koridor pertokoan. Mereka sedang memilih tempat untuk makan siang.

"Di sana sepertinya enak!" Dizza menunjuk sebuah restoran fast food. Keira mengiyakan. Ia hampir tidak pernah mendebat apa pun kemauan Dizza. Bukan karena takut pada Kusuma, namun Keira memang menyayangi Dizza, bahkan sangat menyayanginya.

Ketika Keira memasuki rumah Kusuma pertama kali, Dizza tak ada di sana. Dizza tinggal di Singapura sejak lahir karena itu ia tak mengenal Resti, Hans, atau Evan. Tak ada satupun keluarga yang pernah memberitahu Dizza tentang mereka. Begitupun Evan, dia tidak pernah mengenal Dizza. Dia hanya mengetahui dari ibunya bahwa Kusuma memiliki anak kandung dengan Ayuni bernama Dizza.

Setahun setelah Lestari menikah dengan Kusuma, Dizza kembali ke tanah air bersama Martha, asisten setia Ayuni yang kemudian dipecat Kusuma. Sejak kecil Dizza sering sakit-sakitan, karena itu dia menjadi terlalu manja, terlebih karena Lestari dan Keira selalu menuruti kemauannya.

"Kak, pesan apa?" Dizza menyenggol Keira yang terlihat sibuk menatap layar ponselnya.

"Terserah, sama saja denganmu." Keira menjawab tanpa semangat.

Dizza kembali sibuk memesan menu pada kasir. Keira kembali sibuk pada ponselnya dan mulai mengetik sebuah nama dalam kolom pencarian internet. Evan.

Keira menghapus kembali pencariannya dan menertawakan kebodohannya. Ia bahkan tak mengerti apa yang sedang ia cari.

"Kakak sedang ada masalah di kantor?" tanya Dizza.

Keira menggeleng lalu memakan kentang goreng di meja.

"Kamu pesan ini saja?" tanya Keira sembari menatap paket hemat berisi kentang goreng, dua pasang ayam, dan satu soft drink.

Dizza tertawa. "Kakak bilang sama denganku. Karena aku sedang tidak boleh banyak makan, jadi aku hanya pesan satu agar kita berdua tidak gemuk!"

Keira tertawa menanggapinya.

"Oke, tapi tolong pesankan Kakak es krim." Keira memerintahkan Dizza untuk berdiri.

Menatap antrian yang mulai panjang, Dizza menggerutu.

"Ayolah sayang ...." Keira memohon. Dizza terpaksa menurut. Keira tersenyum puas berhasil mengusir Dizza dalam antrian sehingga dia bisa memulai pencarian atas raaa penasarannya.

Dizza baru saja berdiri, tiba-tiba....

BRAK!

"Ahhh!"

"Aduh!"

Seorang gadis tertabrak kursi yang ditarik Dizza karena ingin berdiri. Akibatnya baki yang dibawa jatuh berantakan, minuman dalam gelas tumpah membasahi rok Dizza.

Keira berdiri karena kaget.

"Kalau jalan lihat-lihat!" Dizza menghardik gadis itu yang sedang memungut baki yang jatuh.

"Kalau mau berdiri juga lihat-lihat!" gadis itu balas menghardik.

Sekejap terjadi perang mulut karena keduanya saling menyalahkan. Dizza marah-marah karena roknya basah.

Keira berusaha menengahi.

"Ayo pulang," Keira membujuk Dizza. Dizza masih tak terima, begitu juga gadis itu. Keduanya kembali adu mulut.

Keira menatap wajah gadis itu dan mengingat-ingat wajahnya.

"Dizza, ayo pulang." Keira segera menarik tangan Dizza karena tak ingin terjebak dalam perang gadis labil.

"Kau?" Gadis yang tak lain adalah Nada mengenali Keira sebagai Pasangan Mesum.

Keira akhirnya mengenali Nada sebagai pengantar bunga, tapi ia tak mengatakan apa pun bahkan bertindak biasa saja seolah tak pernah bertemu.

"Kakak mengenalnya?" tanya Dizza.

Keira memandang Nada sekilas lalu menggandeng Dizza untuk pergi sebelum mengucapkan sebuah kalimat yang membuat Nada geram.

"Tidak penting."

**

"TIDAK PENTING!" Nada mengulang kata-kata yang diucapkan Keira. Bedanya, kalau Keira mengucapkannya secara datar, tapi Nada mengucapkannya sambil berteriak.

Evan menutup telinga dengan kesal. Ini adalah kelima kalinya Nada mengadukan hal tersebut.

"Siapa sebenarnya wanita yang kamu maksud?" tanya Evan kesal. Ia tak mengerti kisah yang diceritakan Nada secara emosional.

Nada hanya menekankan berulang kali, "Wanita itu sombong sekali mengatakan TIDAK PENTING!"

Nada duduk di hadapan Evan, menarik napas lalu menceritakan kisahnya dari awal. Evan mendengarkan dengan setengah hati lalu kembali pada bagian Keira mengatakan kalimat menjengkelkan itu.

"Yang kutanyakan, siapa wanita itu?" tanya Evan kehabisan stok sabar.

Nada memandang Evan. "Aku belum mengatakannya?"

Evan melempar kulit kacang ke wajah Nada sebagai jawaban.

"Wanita Pasangan Mesum yang pertunangannya masuk dalam berita TV!" Jerit Nada kesal.

Evan tersedak kacang dan buru-buru minum.

"Kamu bertemu dengannya lagi?" tanya Evan.

Nada menarik napas kesal.

"Keira?" ulang Evan.

Nada mengangguk lagi.

Wajah Evan mengeras. "Dia sombong?"

"Begitulah, orang kaya mana yang tidak sombong?" tanya Nada kesal.

"Aku tidak," jawab Evan acuh.

"Kakak pengecualian. Lagi pula Kakak tak sekaya mereka," ejek Nada sambil tertawa.

Evan melempar kulit kacang lagi, berusaha menguasai emosinya tatkala mendengar nama Keira.

"Akan kubuktikan bahwa ketika menjadi kaya tak harus menjadi sombong!"

"Aaaaaawww sungguh aku terkesan!" Nada mencibir dengan kesal.

"Buktikanlah dengan menikahiku saat Kakak kaya!" Sambung Nada diplomatis dengan gaya dramatis.

Evan memandangnya dengan kesal. Ia berdiri lalu ditumpahkannya semua kacang ke pangkuan Nada.

"Sana bergaulah dan cari orang kaya!" kata Evan kesal, lalu ia pergi meninggalkan Nada yang menjerit-jerit karena rumahnya kotor oleh kacang dan kulitnya.

*

Evan sedang menikmati secangkir kopi di sudut mall.Tak jauh dari tempatnya duduk, empat orang wanita yang tak lagi muda sedang berbincang akrab. Evan memperhatikan mereka sembari berpura-pura memainkan ponselnya.

"Tas ini tidak dijual di Indonesia. Suamiku membelinya minggu lalu di Paris. Hanya ada 20 di dunia, tapi tidak ada di Indonesia."

"Wah, memang terlihat bagus. Aku tak sempat membelinya karena waktu itu Nadia tak memberiku kesempatan pergi ke Paris."

"Ada apa dengan Nadia?"

"Biasa, dia mengoperasi lagi hidungnya di Jepang dan memaksaku menemaninya!"

Keempat wanita itu tertawa.

"Nyonya Kusuma, apakah pernikahan putrimu akan dilangsungkan dalam waktu dekat?" tanya seorang wanita pada wanita yang sejak awal tidak terlalu banyak bicara.

"Hmm, kami sedang membahasnya. Tapi mungkin akan menjadi pesta tertutup."

Ketiga wanita itu terlihat kecewa.

"Tapi kupastikan kalian akan datang," sambung Lestari yang disambut teriakan gembira ketiga temannya.

"Maaf, aku harus pergi sekarang. Aku ada janji dengan Dokter Merlin," kata Lestari tiba-tiba.

Sebelum pergi ia meletakan tiga buah kantong kertas kecil diatas meja.

"Maaf aku lupa memberikan pada kalian karena sibuk dengan pertunangan kemarin. Ini adalah hadiah yang kujanjikan akan kubawa dari Maroko."

Salah satu wanita membuka kantong itu dan terperanjat.

"Dasar kau penipu, kamu membelinya di sini, bukan Maroko!"

Lestari tertawa, apalagi saat ketiga temannya berdecak kagum pada rantai gelang yang dibawakannya.

"Kau sungguh memberikan ini untuk kami?" tanya salah seorang lainnya.

Lestari mengangguk. "Maaf aku tak sempat membeli apa pun di sana. Aku membeli ini sebagai gantinya, semoga sepadan," katanya merendah.

Wanita-wanita itu memukul lengannya.

"Kau gila! Ini lebih dari sepadan!"

Lestari tersenyum lalu berpamitan, membiarkan ketiga temannya terpana pada gelang berhias berlian yang ia berikan.

Evan menjulurkan kakinya saat Lestari hampir melewatinya. Lestari berhenti lalu seorang pria meminta Evan menyingkirkan kakinya yang keluar terlalu jauh dari tempatnya duduk.

Evan memandang Lestari yang sedang membuang muka dan memakai kacamata hitamnya. Pria di depan Lestari kembali meminta Evan tidak menghalangi jalan Lestari. Evan menarik kakinya sembari membuat catatan dalam hati.

"Bagaimana kalau aku mengembalikanmu ke posisi awal? Kamu bahkan tak akan sanggup berjalan menyingkirkan kakiku di tempat ini!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!