Matahari sore menggantung rendah di langit, menyelimuti kota dengan semburat oranye yang hangat. Di depan sebuah kedai makanan kecil, Celine melangkah keluar, menyipitkan matanya yang menangkap kilau cahaya senja. Angin lembut mengibaskan helai rambutnya, sementara tatapan matanya terarah pada halte bus di kejauhan. Ia menggenggam tasnya erat, pikirannya tertuju pada tujuan berikutnya—rumah sakit.
Namun, ada sesuatu yang membuat tengkuknya meremang. Entah kenapa, sejak tadi, ia merasa seolah sedang diawasi. Ia melirik sekilas ke sekeliling, tapi trotoar dipenuhi oleh orang-orang yang sibuk dengan urusan masing-masing. Mungkin hanya perasaannya saja.
Di seberang jalan, sebuah Sedan hitam terparkir dengan mencolok. Kaca jendelanya yang gelap menyembunyikan sosok pria di dalamnya—Devid. Duduk di kursi pengemudi, ia berbicara dengan suara rendah melalui telepon genggamnya.
"Bagus, Jems," katanya, suaranya tenang tapi sarat dengan ketegasan. "Berkat bantuanmu, aku tahu kemana tujuan Celine saat ini."
"Sama-sama, Tuan. Saya senang membantu Anda," jawab Jems dari seberang.
Informasi yang diberikan Jems bukan sekadar hasil pengamatan biasa. Ia telah memasang pelacak GPS pada seluler Celine sejak beberapa hari lalu. Devid menekan tombol di layar ponselnya, melihat titik merah yang bergerak di peta digital. Lokasinya tepat—Celine memang berada di sana.
"Baiklah kalau begitu, aku akan menghubungimu lagi nanti."
"Baik, Tuan."
Pip!
Devid mematikan panggilannya, lalu mengalihkan perhatiannya pada halte bus. Matanya menyipit saat melihat Celine berdiri di sana, mengayunkan kaki dengan gelisah, sesekali melirik jam tangannya. "Apa yang membuatnya begitu terburu-buru?" pikirnya.
Sebuah bus akhirnya tiba, berhenti dengan derit rem yang tajam. Celine segera naik tanpa menoleh ke belakang. Saat pintu bus tertutup dan kendaraan itu mulai melaju, Devid dengan sigap memutar kunci kontak mobilnya. Mesin bergetar pelan sebelum akhirnya sedan hitam itu bergerak, membuntuti bus dari kejauhan.
Ia tidak boleh kehilangan jejaknya.
...****************...
Rumah Sakit, Pukul 16:00
Celine melangkah masuk ke lobi rumah sakit dengan hati penuh tekad. Bau antiseptik yang khas langsung menyeruak ke hidungnya, sementara suara langkah kaki tenaga medis dan roda brankar yang berdecit menyertai langkahnya menuju meja resepsionis.
Di balik meja, seorang suster dengan seragam putih menyambutnya dengan senyum ramah.
"Suster, maaf. Bolehkah saya meminta salinan data riwayat inap saya? Saya pernah dirawat di sini pada tanggal 14 November, karena luka tembak di bagian perut. Apakah pihak rumah sakit masih menyimpannya?"
Suster itu mengernyit, tampak berpikir sejenak sebelum bertanya, "Sebentar ya, Nona. Nama lengkap Anda siapa?"
"Celine. Celine Andalone."
"Baik, mohon tunggu sebentar ya, Nona. Saya akan coba mencarinya terlebih dahulu."
Celine mengangguk, lalu menunggu dengan gelisah sementara suster itu mengetik di komputer. Detik demi detik berlalu, dan wajah suster itu mulai menunjukkan kebingungan.
"Maaf, Nona Celine, kami tidak menemukan data Anda pada tanggal 14 November. Apa Anda yakin tanggalnya benar?"
Celine merasakan gelombang dingin menjalari tulang punggungnya. "Ya, saya yakin. Saya ditembak oleh gangster dan dirawat di sini." Suaranya bergetar, tapi nadanya tetap tegas.
Suster itu mencoba lagi, namun setelah beberapa kali pencarian, ia tetap tidak menemukan data tersebut.
"Maaf, Nona, tapi saya tetap tidak menemukannya."
Celine mengernyitkan alis, jelas tidak percaya dengan jawaban itu. Ia meraih ujung bajunya dan sedikit menariknya ke atas, menunjukkan luka jahitan di perutnya. "Saya yakin pernah dirawat di sini! Lihat ini, saya memiliki luka tembak dan sudah dijahit."
Suster itu menelan ludah, tampak ragu sejenak sebelum akhirnya melanjutkan pencarian. Suasana mendadak tegang. Hanya suara ketikan keyboard dan bunyi "bip" dari peralatan medis di sekitar yang terdengar.
Lalu, tiba-tiba suster itu terdiam. Matanya membesar saat melihat sesuatu di layar.
"Tunggu… Saya menemukan data Anda, Nona. Tapi ini tertanggal 19 November."
Celine mengerutkan kening. "Apa?"
"Menurut catatan rumah sakit, Anda mengalami kecelakaan pada tanggal tersebut dan dirawat di sini selama beberapa hari."
Jantung Celine berdetak lebih cepat. "Bagaimana bisa?" Ia yakin betul bahwa ia ditembak pada 14 November, tapi kenapa yang tercatat hanya kejadian 19 November? Apakah ada seseorang yang sengaja menghapus jejaknya?
Sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, suara yang tak asing tiba-tiba terdengar dari belakangnya.
"Celine? Ini benar kamu?"
Celine menoleh dan mendapati Angela, mantan teman kuliahnya, berdiri di sana dengan senyum sinis. Wanita itu tampak tidak banyak berubah sejak terakhir kali mereka bertemu—masih dengan tatapan meremehkan yang selalu membuat Celine muak.
"Apa kabar? Masih suka terjatuh seperti dulu?" ujar Angela dengan nada mengejek.
Celine menarik napas dalam-dalam, mencoba mengabaikan keberadaannya. Namun, Angela tidak berhenti. Saat Celine hendak berbalik pergi, Angela dengan cepat menyelipkan kakinya di jalur langkahnya.
BRUUK!
Tubuh Celine terjatuh ke lantai dengan suara keras. Beberapa orang di sekitar menoleh, tapi Angela hanya tertawa puas.
"Oh, hati-hati, Celine. Kamu memang selalu ceroboh."
Celine mengepalkan tangannya. "Perempuan ini… tidak berubah, selalu saja berbuat jahat kepadaku," gumamnya dalam hati.
Namun, di sudut ruangan, Briyon, suami hantunya, menyaksikan semuanya dengan amarah yang membara. Sosoknya yang tak kasat mata berdiri tegak, menatap Angela dengan pandangan penuh dendam. Aura gelap mulai berputar di sekelilingnya, membuat suhu ruangan terasa lebih dingin.
Pot bunga di meja resepsionis tiba-tiba bergetar. Dalam sekejap, benda itu melayang dan hampir terlempar ke arah Angela—tapi Celine dengan cepat menangkapnya sebelum sempat terjadi sesuatu.
Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Briyon untuk tidak bertindak gegabah.
Angela mengernyit, menyadari ada sesuatu yang aneh. "Aw, ada apa Celine? Mengapa kamu memegang pot itu?" tanyanya, menyipitkan mata penuh kecurigaan.
"Ah? Tidak."
Celine berdiri dengan anggun, meski hatinya masih bergejolak. Ia memutuskan untuk meninggalkan Angela tanpa sepatah kata pun. Namun, Angela tidak menyadari bahwa Briyon belum selesai dengannya.
Di sudut ruangan, samar-samar, sesosok bayangan mulai muncul. Wajahnya pucat, matanya kosong, dan bibirnya menyeringai menyeramkan. Suasana ruangan mendadak terasa mencekam.
Angela berbalik, dan saat itu juga—
"Kyaaaaaaaaaaaaaaaa! Suster!"
Ia menjerit histeris, membuat semua orang di sekitarnya terkejut.
"Ada apa, Nona?" tanya sang suster, beranjak dari kursinya.
Angela menunjuk dengan tangan gemetar ke sudut dinding. "Di sana… di sana! Ada hantu!"
Suster itu menoleh ke arah yang ditunjuk, tapi tidak melihat apa pun. "Maaf, Nona. Di sana tidak ada apa-apa."
Angela menatapnya dengan napas tersengal. Ia kembali melirik sudut dinding itu, tapi sosok menyeramkan tadi telah menghilang.
"Tapi… aku melihatnya… sungguh!"
Suster itu hanya tersenyum sopan, tampak mencoba menenangkan Angela. "Sepertinya Anda salah lihat, Nona. Mungkin karena kelelahan."
Namun, jauh di dalam hatinya, Angela tahu apa yang ia lihat itu nyata.
.......
.......
.......
Dari arah pintu masuk, seorang pria berambut cokelat melangkah masuk dengan ekspresi penuh amarah. Sepasang matanya yang tajam menyorot ke arah Angela, dan setiap langkahnya memancarkan ketegasan yang mengintimidasi. Itu Devid.
Ia berhenti tepat di hadapan Angela, menatapnya dingin. Sejak tadi, ia melihat sendiri bagaimana wanita itu memperlakukan Celine—dan kesabarannya telah habis.
Angela tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan keterkejutannya. "Devid? Wah, lama sekali tak bertemu," sapanya dengan nada manja, seolah tak terjadi apa-apa.
Namun, sebelum ia bisa mengatakan lebih banyak—
PLAK!
Suara tamparan itu menggema di lorong rumah sakit, membuat beberapa orang di sekitar mereka menoleh kaget. Angela tersentak mundur, tangannya refleks memegang pipinya yang kini memerah. Matanya melebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
"Apa-apaan ini, Devid?!" teriaknya dengan kemarahan bercampur kepanikan.
Devid tetap berdiri tegak, rahangnya mengeras. "Jangan pernah ganggu Celine lagi! Aku melihat semuanya." Suaranya dingin, hampir seperti ancaman. "Jika kau menyakitinya lagi, kau akan berurusan denganku."
Angela terdiam. Tenggorokannya terasa kering, dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar dipermalukan.
Tanpa menunggu respons, Devid berbalik dan berjalan pergi. Setiap langkahnya bergema di lorong rumah sakit, meninggalkan Angela yang masih terkejut dan menahan rasa malu.
Namun, saat Devid pergi, Angela mengepalkan tangannya. Matanya menyipit penuh dendam, bibirnya bergetar menahan amarah.
"Awas saja, Celine," gumamnya pelan, suaranya beracun. "Hidupmu tidak akan tenang!"
...****************...
Jalanan Kota, Pukul 19:00
Langit telah berubah gelap, lampu-lampu toko di sepanjang jalan mulai menyala, memancarkan cahaya neon berwarna-warni. Celine berjalan menyusuri trotoar, sesekali melirik ke arah orang-orang yang berlalu-lalang. Jalanan masih cukup ramai, tetapi di beberapa sudut kota, bayangan gelap mulai menyelimuti gang-gang kecil yang sepi.
Saat itu, ponselnya bergetar di tangan. Ia teringat pada Sovia, sahabatnya, dan segera menekan tombol panggil.
Pip! Pip!
Tuuuuuut!
Klak!
"Halo?" suara Sovia terdengar di seberang telepon.
"Halo, Sovia," jawab Celine.
"Ada apa, Celine?"
Celine menarik napas, ragu sejenak sebelum menjawab, "Hmm... Begini, ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu. Bisakah kamu ke apartemenku malam ini?"
Terdengar jeda singkat sebelum Sovia menjawab, "Hal penting? Baiklah, aku akan datang ke apartemen mu nanti malam."
"Terima kasih, Sovia. Kalau begitu, sampai nanti!"
"Ya, sampai nanti!"
Pip!
Celine menurunkan ponselnya dan menyimpannya ke dalam saku. Ia melanjutkan langkahnya, tapi pikirannya masih dipenuhi kegelisahan.
Tiba-tiba, matanya tertarik ke sebuah gang kecil di antara deretan toko. Di sana, dua pemuda berandalan sedang duduk bersandar di dinding bata, merokok sambil meneguk bir dari botol kaca. Jaket kulit mereka lusuh, wajah mereka keras, penuh bekas luka dan tato.
Sebuah ide muncul di benaknya.
"Aku penasaran... apakah mereka tahu tentang para gangster di kota ini?" pikirnya.
"Jika mereka tahu, mungkin saja mereka bisa membantuku menemukan pemimpin mereka."
Tanpa ragu, ia membelokkan langkahnya ke arah gang tersebut.
Tap tap tap...
Suara langkah kakinya menggema di antara dinding sempit. Kedua pemuda itu menoleh ke arahnya dengan ekspresi heran. Namun, keterkejutan mereka berubah menjadi ketertarikan ketika Celine mengeluarkan beberapa lembar uang dan menunjukkannya di hadapan mereka.
"Aku butuh informasi tentang para gangster di kota ini," katanya dengan suara tenang tapi penuh keyakinan. "Berikan aku informasi, dan kalian akan mendapat lima ribu lira."
Mata salah satu pemuda itu membulat, sementara yang lain menyeringai, matanya penuh perhitungan. Mereka saling melirik, jelas tergoda oleh tawaran yang menggiurkan.
"Woah, nona, kenapa kamu ingin tahu tentang informasi para gangster?" salah satu dari mereka bertanya dengan nada santai, meski terlihat jelas ada kecurigaan di balik matanya.
Celine menyipitkan mata. "Itu bukan urusanmu. Tugasmu hanya mengantarku ke markas mereka."
Pemuda yang bertanya tadi terkekeh kecil, sebelum melirik ke temannya seolah meminta persetujuan. Yang satunya mengangkat bahu, lalu berkata dengan nada meremehkan, "Baiklah, kami akan mengantarmu ke markas mereka. Tapi..." ia menatap Celine dari ujung kepala hingga kaki. "Kau yakin mau ke sana? Tempat itu bukan untuk orang sepertimu."
Celine menatapnya tajam. "Aku tahu apa yang aku lakukan."
Pemuda itu terkekeh lagi, lalu berdiri dan menepuk pundak temannya. "Ayo, kalau begitu. Semoga kau tidak menyesal, nona."
Celine mengikuti mereka dengan langkah tegas, tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu satu hal—ini mungkin adalah langkah paling berbahaya yang pernah ia ambil.
...Bersambung ......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Acil Supriadi
terima kasih kak sudah update, aku kira kenapa ga update /Sweat/
2024-12-28
2
ball
kok aneh banget ya, kaya di rahasiakan gitu, atau emang di lenyapin ya?
2024-12-28
1
Acil Supriadi
untuk seorang laki-laki menampar perempuan kayanya kelewatan ga sih?
2024-12-28
2