Sovia meraih ponsel milik Celine dan memeriksa foto yang ditunjukkan nya. Matanya menatap serius, bergantian antara layar ponsel dan Celine. Wajahnya menyiratkan kebingungan, namun ada sesuatu dalam tatapannya—seolah mengenali sesuatu yang sulit dijelaskan.
"Sovia?" panggil Celine, memecah keheningan.
Sovia mengangkat wajahnya perlahan. "Celine, jujur saja aku tidak tahu siapa orang yang ada di foto ini, karena sebagian foto ini terpotong. Tapi... mantel coklat ini, rasanya tidak asing bagiku."
Celine menatapnya penuh harap. "Sungguh?" tanyanya, sedikit terkejut. "Siapa? Kau tahu dia?"
Sovia menghela napas. "Entahlah... aku tidak yakin dia orangnya, tapi—" Ia berhenti sejenak, lalu merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah buku tua yang terlihat lusuh. Dengan hati-hati, ia menyerahkan buku itu kepada Celine. "Ini."
Celine memandangi buku itu dengan alis berkerut. "Apa ini?"
"Buku perjanjian dengan bangsa Iblis," jawab Sovia pelan.
Celine terkejut. "Apa? Untuk apa kamu memberikan buku ini padaku?" Suaranya terdengar bingung, bahkan sedikit cemas.
"Buku ini," Sovia melanjutkan, "ada kaitannya dengan orang yang mengenakan mantel coklat di foto ini."
Celine memandang Sovia tajam. "Benarkah?"
Sovia mengangguk, namun wajahnya tampak ragu. "Ya... dan di dalam buku itu, ada alamat seorang dukun sakti bernama nenek Ema. Dia mengenal pria itu."
Celine terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi itu. "Tunggu dulu. Aku masih belum mengerti. Bisa kamu jelaskan lebih detail kenapa kamu memberikan buku ini padaku? Dan apa kaitannya dengan pria bermantel coklat itu?"
Sovia menarik napas panjang, menatap Celine dengan ekspresi bimbang. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah ini keputusan yang tepat. "Haruskah aku benar-benar menceritakan semuanya padanya?"
"Sovia?" desak Celine, suaranya terdengar penuh rasa ingin tahu.
"Baiklah," ujar Sovia akhirnya. "Aku akan memberitahumu sedikit alasan kenapa aku memberikan buku itu padamu."
Celine menunggu dengan sabar meski hatinya penuh dengan pertanyaan.
"Tiga tahun yang lalu, ada seorang pria yang melakukan perjanjian sakral dengan bangsa Iblis." Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepalanya.
Sementara itu, Sovia berdiri, wajahnya tampak gelisah. Ia memandangi Celine dengan tatapan bimbang, seolah menimbang-nimbang apakah ia telah berkata terlalu banyak. Namun, ekspresi penasaran di wajah Celine membuatnya tahu bahwa ia harus melanjutkan.
"Perjanjian itu," Sovia mulai lagi, suaranya sedikit gemetar, "Didasari oleh keterpaksaan. Pria itu mendengar sebuah rumor bahwa bangsa Iblis bisa menyembuhkan segala penyakit. Dan saat dia merasa penyakitnya sudah tidak bisa disembuhkan oleh dokter sekalipun, dia mengambil keputusan terakhir—melakukan perjanjian itu."
Celine terdiam, tubuhnya menegang. "Perjanjian sakral dengan bangsa Iblis..." gumamnya pelan.
"Ya," jawab Sovia. "Tapi dia tidak melakukannya sendirian. Dia meminta bantuan nenek Ema, seorang dukun sakti yang mengerti tentang ritual semacam itu."
Celine mengangkat wajahnya, matanya menatap Sovia tajam. "Sovia, siapa pria itu sebenarnya? Apakah aku mengenalnya sebelum aku hilang ingatan?"
Pertanyaan itu membuat Sovia terdiam. Wajahnya yang awalnya serius berubah sendu. Ada sesuatu di dalam dirinya yang ingin ia sembunyikan, tapi Celine bisa melihat jelas bahwa Sovia tahu lebih banyak daripada yang ia ungkapkan.
"Sovia? Ada apa?" tanya Celine, mencoba mengurai kebisuan yang mendadak menyelimuti ruangan.
Sovia menarik napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya. "Celine, jika kamu benar-benar ingin mengetahui lebih banyak tentang pria bermantel coklat itu, kamu harus menemui nenek Ema. Dia satu-satunya yang bisa membantumu bertemu dengannya."
Celine mengerutkan dahi. "Bertemu dengannya? Apa maksudmu?"
"Ya," Sovia menjawab, suaranya pelan tapi tegas. "Tapi aku hanya bisa memberitahumu sejauh ini. Selebihnya, kamu harus mencari tahu sendiri tentang orang itu."
Sovia kemudian bangkit dari tempat duduknya, meraih tasnya, dan bersiap pergi. Langkahnya terasa berat, tapi ia tahu dirinya tak bisa tinggal lebih lama.
"Sovia, kamu mau ke mana?" tanya Celine, mencoba menghentikannya.
"Aku harus segera pergi. Ada urusan lain yang harus ku selesaikan." Sovia berbalik dan mulai berjalan menuju pintu.
Tap Tap Tap.
Celine memandangi punggung sahabatnya itu dengan perasaan campur aduk. "Baiklah, terima kasih, Sovia. Maaf sudah merepotkan mu malam-malam seperti ini. Kamu memang sahabat terbaikku," ucapnya, mencoba tersenyum meski pikirannya masih kacau.
Sovia berhenti sejenak, lalu menoleh sambil tersenyum kecil. Ia menepuk bahu Celine dengan lembut. "Maaf aku tidak bisa menemanimu untuk menemui nenek Ema."
"Tidak apa-apa. Aku mengerti," jawab Celine pelan.
"Kalau begitu, aku pergi dulu ya. Kalau ada apa-apa, hubungi aku," kata Sovia, sebelum membuka pintu dan melangkah keluar.
"Sampai nanti, Sovia," ucap Celine, melambaikan tangan.
"Sampai nanti, Celine," balas Sovia dengan senyuman tipis.
Blam!
Pintu tertutup pelan, meninggalkan Celine dalam keheningan. Setelah memastikan Sovia telah pergi, ia kembali duduk di sofa. Tatapannya tertuju pada buku tua yang masih tergeletak di atas meja. Buku itu terasa seperti magnet, memancarkan aura misteri yang tak bisa ia abaikan.
Celine mengambil buku itu dengan kedua tangannya. Ia membuka halaman pertama dengan hati-hati, bau kertas tua menyeruak ke udara. Di salah satu halaman, ia menemukan tulisan tangan yang samar namun jelas:
"Desa Zwaar dekat hutan."
Celine membaca tulisan itu berkali-kali. Meski tubuhnya diliputi rasa takut, hatinya membulatkan tekad. "Aku harus pergi ke sana," gumamnya pelan. "Aku harus mencari nenek Ema dan menemukan jawabannya."
Di luar jendela, angin malam berembus kencang, seolah memberikan pertanda akan bahaya yang menunggunya. Namun, bagi Celine, tidak ada jalan lain. Rahasia pria bermantel coklat itu harus terungkap, apa pun risikonya.
...****************...
Malam itu pukul 00:30, terlihat Celine tengah tertidur pulas di atas ranjangnya, dengan posisi tidur yang tidak beraturan. Ruangan yang remang-remang itu hanya diterangi oleh cahaya bulan yang menerobos melalui tirai jendela. Suara detakan jam dinding yang monoton seakan menjadi irama malam, menambah suasana tenang yang menyelimuti Celine.
Namun, ketenangan itu segera terganggu oleh kehadiran sesosok bayangan hitam yang melintas di sudut dinding. Bayangan itu bergerak dengan lembut, seolah-olah menyatu dengan kegelapan malam. Ia mendekati ranjang Celine, mengamati wajahnya yang damai, dan menarik selimut yang awalnya berantakan. Dalam sekejap, selimut itu kini menutupi tubuh Celine kembali dengan sangat rapi, seolah-olah bayangan itu ingin memberikan kenyamanan dan keamanan.
Makhluk misterius ini tidak hanya berhenti di situ. Ketika beberapa makhluk astral lain melintas, berusaha memasuki ruang pribadi Celine, bayangan hitam itu bergerak dengan sigap. Ia melawan mereka dengan kehadirannya yang mengintimidasi, menyingkirkan semua makhluk tersebut dengan mudah. Celine tidak menyadari bahwa di sekelilingnya ada pertarungan yang tak terlihat, antara kegelapan yang melindungi dan entitas-entitas yang ingin mengganggu ketenangannya.
Aura kegelapan yang dipancarkan oleh bayangan hitam tersebut meresap ke dalam alam mimpi Celine. Saat ia terbenam dalam tidurnya yang lelap, bayangan itu mulai menyalurkan kekuatannya ke dalam alam bawah sadar Celine. Setiap detik yang berlalu, Celine merasakan sensasi aneh, seolah ada sesuatu yang menghubungkannya dengan dunia lain.
......................
Di alam mimpi...
Celine tengah berada di ruangan apartemennya, duduk di kursi dengan perasaan bingung. Segala sesuatu di sekelilingnya terlihat familiar, namun ada nuansa aneh yang menyelimuti. Dinding yang biasanya hangat kini terasa dingin, dan lampu-lampu yang redup menambah kesan misterius di malam itu.
"Celine..."
Suara itu kembali memanggilnya, lembut namun mengusik.
"Celine..."
Celine menoleh, tetapi hanya ada bayangan dirinya yang terpantul kan di cermin. Hatinya berdebar, rasa cemas mulai merayap. "Siapa? Siapa yang memanggilku?" tanyanya dengan suara bergetar.
Tiba-tiba, terdengar suara napas yang terengah-engah dari sudut dapur. "Haaaahhhh ... haaaahhhh ..." Suara itu membuat bulu kuduknya merinding.
"Hemmm? Aku sepertinya mendengar suara," gumamnya.
"Apakah ada orang di sini?" Celine bertanya, suaranya nyaris tak terdengar. Namun, rasa penasarannya lebih kuat daripada ketakutannya. Dengan langkah hati-hati, ia berinisiatif menghampiri sumber suara itu.
Tap! Tap! Tap!
"Halo? Ada orang di sini?" Ia mengulangi dengan suara sedikit lebih keras, berusaha memperkuat keberaniannya.
"Haaaahhhh ... Haaaahhhh ..." Suara itu semakin jelas saat Celine mulai memasuki dapur. Jantungnya berdegup kencang, setiap detak seakan mengingatkannya akan bahaya yang mungkin mengintai.
"Halo?" Celine bertanya sekali lagi, suaranya kini bergetar.
Ketika Celine sudah berada di ambang pintu dapur, matanya terbelalak saat ia melihat sesosok makhluk misterius yang tengah mencekik makhluk lain dengan sangat kejam.
"Haaah!?" suara terkejutnya terlepas begitu saja tanpa bisa ditahan.
Celine yang sangat terkejut segera mendekap bibirnya dengan kedua telapak tangannya, berusaha menahan diri untuk tidak berteriak. Dalam kegelapan dapur yang samar, ia melihat dua sosok; satu tinggi dengan rambut silver panjang yang terurai, dan yang lain lebih kecil, berjuang melawan cengkeraman makhluk tinggi itu.
"Makhluk apa mereka? Apakah mereka adalah hantu?" pikir Celine, jantungnya berdebar hebat.
Ketakutan melanda dirinya saat ia menyaksikan dengan jelas bagaimana makhluk tinggi itu menghancurkan makhluk lain di depan matanya. Ada kekuatan dan dominasi dalam gerakannya, seolah-olah ia adalah penguasa kegelapan yang tak terbantahkan.
Celine berusaha untuk berlari, tetapi tubuhnya seolah membeku di tempat. Hanya bisa menyaksikan pertarungan yang menakutkan itu, ia terus bergumam dalam batinnya, "Ini hanya mimpi, ini hanya mimpi..." Namun, saat makhluk tinggi itu mengangkat makhluk kecil itu dengan mudah, Celine tak bisa menahan diri lagi.
Keterpurukannya dalam ketakutan membawa teriakan panjang keluar dari mulutnya. "Kyaaaaaaaaaaaaaa!"
......................
Kririririring! Kririririring!
Celine terbangun dari tidurnya, terengah-engah dan dengan wajah basah oleh keringat. Jantungnya berdegup kencang, dan bayangan mimpi mengerikan itu masih menghantuinya. "Haaaahhh!?" Ia mengingat kembali sosok makhluk tinggi berambut silver, dan bagaimana kegelapan itu menyelimutinya.
"Mi-mimpi?" tanyanya pada dirinya sendiri, meraba-raba kenyataan yang baru saja ia alami. "Tapi terlihat sangat nyata."
Suara jam weker terus berdering, menyadarkan Celine dari lamunannya. Waktu menunjukkan pukul 07:00 pagi.
Klak!
Dengan cepat, Celine mematikan jam weker miliknya. Ia berusaha mengusir sisa-sisa ketakutan dari mimpinya saat merapikan ranjangnya yang berantakan. "Aku terlambat, heeeh ... tidak biasanya aku terlambat." Ia menggelengkan kepalanya, berusaha menyingkirkan perasaan aneh itu.
Setelah merapikan ranjang, ia bergegas membersihkan diri di kamar mandi. Air dingin menyegarkan wajahnya, membangkitkan semangat untuk menghadapi hari. "Cepat, cepat, cepat! Aku bisa terlambat," ucapnya pada diri sendiri, berusaha menambah kecepatan.
Drrrrk!
Saat Celine sedang mengambil tasnya, suara gesekan kursi dari ruang makan tiba-tiba membuatnya terkejut. "Hah? Suara apa itu?" Ia menatap kosong, berusaha memahami sumber suara yang aneh itu. "Seperti dari ruang makan?"
Rasa penasaran mengalahkan ketakutannya, dan Celine berjalan menghampiri ruang makan dengan hati-hati. Setiap langkahnya penuh kehati-hatian, seolah-olah ia sedang mengintip sesuatu yang terlarang.
Tap! Tap! Tap!
Sesampainya di ruang makan, aroma yang tidak asing menyambutnya. "Ini? Aroma ini? Jangan-jangan ..." pikirnya, jantungnya berdebar. Ia menolehkan pandangannya ke arah meja makan, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat sepiring roti bakar dan segelas susu hangat tertata rapi di atas mejanya, persis seperti kemarin.
"Ah!?" suaranya terlepas, terkejut sekaligus bingung.
"Lagi?" Celine bergumam, mengingat kembali hari kemarin ketika ia menemukan hal yang sama. Roti bakar dan susu hangat yang selalu disiapkan secara misterius. Siapa yang melakukannya? Dan kenapa ia selalu menemukan makanan ini?
Perasaan aneh menyelimuti dirinya. Ada ketenangan dalam rutinitas ini, namun juga rasa takut yang terus menggerogoti. Celine merasa seolah hidupnya terjebak dalam siklus yang tidak ia pahami.
...Bersambung ......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Syelina Putri
ceritanya bagus 😭 aq penasaran.
2024-12-07
2
Sasa Bella
masih hidup orang nya?
2024-12-07
2
AmSi
wuiiiih 😳 bersinggungan dengan satanist 🔥🔥🔥
2024-12-07
1