Setelah seharian penuh mereka menghabiskan waktu di taman hiburan, Celine dan Briyon pun memutuskan untuk segera pulang. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, menyisakan semburat jingga yang perlahan menghilang ditelan gelapnya malam. Lampu-lampu kota mulai menyala, memberikan cahaya yang lembut di sepanjang jalanan.
"Ayo Celine, saatnya kita pulang!" ajak Briyon, seraya menggenggam tangan gadis itu dengan lembut.
Celine menoleh, matanya berbinar meski kelelahan terlihat di wajahnya. "Ya, tapi sebelum kita pulang, aku mau makan sesuatu."
Briyon tersenyum kecil. "Kamu lapar ya? Mau makan apa?"
Gadis itu mengetuk dagunya dengan jari telunjuk, berpikir sejenak. "Hm... aku ingin makan Paella," katanya dengan penuh semangat.
Briyon mengangkat alisnya. "Wah, makanan itu enak juga! Baiklah, ayo kita mampir ke restoran yang biasa kita datangi!"
"Ayooo!" Celine bersorak kecil, membuat Briyon tertawa.
.......
.......
.......
Setelah itu, Celine dan Briyon bergegas menuju restoran langganan mereka, sebuah tempat kecil dengan dekorasi bergaya Spanyol yang hangat. Aroma rempah-rempah dan seafood langsung menyambut mereka begitu mereka melangkah masuk. Lampu-lampu gantung bernuansa kuning temaram memberikan kesan romantis, sementara alunan musik flamenco mengisi ruangan dengan melodi lembut.
"Sudah lama aku tidak datang ke sini," ucap Celine, matanya mengedarkan pandangan, menikmati setiap sudut restoran yang membawa banyak kenangan.
"Oh ya? Seingat ku, terakhir kali kita ke sini saat kita masih pacaran, kan?" ujar Briyon, tersenyum kecil.
Celine menoleh, mengangguk pelan. "Kamu benar."
Briyon hanya terkekeh, lalu melambaikan tangan untuk memanggil salah satu pelayan. Tak butuh waktu lama, seorang pelayan menghampiri mereka dengan senyum ramah, menyerahkan buku menu.
"Silakan, Tuan dan Nona. Ini menu kami!" katanya sopan.
"Terima kasih," jawab Celine, segera membuka buku menu. "Kamu mau pesan apa, Briyon?"
"Aku mau makan pasta!" jawab Briyon mantap.
"Oke, satu pasta dan satu paella. Minumnya?"
"Ice green tea," sahut Briyon tanpa ragu.
"Hmm… baiklah, satu ice green tea dan satu jus apel," kata Celine kepada sang pelayan.
"Baik, Nona. Semua pesanan Anda sudah saya catat. Mohon menunggu sebentar, pesanan akan segera diantar," ujar pelayan itu dengan sopan, sebelum pergi meninggalkan meja mereka.
Saat mereka menunggu makanan datang, Briyon tiba-tiba merasa ada seseorang yang terus memperhatikannya. Ia mengerutkan kening, lalu melirik ke arah depan. Tatapannya bertemu dengan seorang pria yang duduk tidak jauh dari mereka.
"Ada apa, sayang?" tanya Celine, menyadari perubahan ekspresi Briyon.
"Aku tidak tahu… tapi sepertinya ada pria yang terus memperhatikan kita," jawab Briyon pelan.
"Di mana?"
"Di sana," ujar Briyon, memberi isyarat dengan matanya ke arah pria tersebut.
Celine, yang duduk berhadapan dengan Briyon, penasaran. Ia pun memutar tubuhnya sedikit untuk melihat ke belakang. Begitu melihat sosok pria itu, matanya membelalak terkejut.
"Oh… Devid!?" serunya tanpa sadar.
Briyon menatapnya heran. "Devid? Kamu kenal dia?"
"Dia bosku," jawab Celine cepat. "Kamu tidak ingat dia? Bukankah kamu pernah bertemu dengannya?"
Briyon mengernyit, mencoba mengingat. "Ah… aku lupa. Aku kan cuma bekerja di tempatmu sebentar, jadi aku tidak begitu memperhatikan wajahnya dari dekat," katanya, masih tampak sedikit bingung.
Celine menghela napas. "Begitu ya… abaikan saja. Aku sedang tidak ingin bertemu dengannya."
Ia kembali menghadap ke meja, berusaha mengabaikan keberadaan Devid di sana. Briyon meliriknya sekilas, menangkap ekspresi yang sedikit berubah. Ada sesuatu dalam tatapan Celine—mungkin rasa canggung, atau mungkin ada hal lain yang tidak ingin ia ungkapkan.
Namun, tak lama setelah Celine memalingkan tubuhnya, pria tinggi berambut coklat itu tiba-tiba bangkit dan menghampiri mereka dengan langkah percaya diri. Celine merasa matanya bertemu dengan tatapan Devid yang penuh kebahagiaan.
"Oh, lihatlah siapa di sini? Ada Celine-ku yang cantik dan…" Devid menjeda ucapannya sejenak, memperhatikan Briyon yang duduk di sisi Celine. Mata Devid menyipit, tatapannya merendahkan. "Briyon rupanya," lanjutnya, nada suaranya sedikit mencemooh.
Celine merasa dada nya berdebar, tapi ia berusaha untuk tetap tenang.
"Selamat malam, Tuan Devid," sapa Briyon dengan sopan, meskipun ada ketegangan di udara.
"Malam, Briyon," jawab Devid dengan nada yang tidak terlalu ramah.
Celine yang sudah mulai merasa tidak nyaman dengan kehadiran Devid langsung menatapnya tajam. "Mau apa kau ke sini?" tanyanya, suara penuh dengan nada kesal yang tak bisa disembunyikan.
Devid terkekeh ringan, seolah tidak terpengaruh oleh sikap Celine. "Aah... jangan jutek seperti itu, aku hanya ingin melihatmu," ujarnya, masih dengan senyum yang sedikit sinis.
"Untuk apa? Kedatanganmu hanya merusak suasana makan malamku," balas Celine tanpa ragu, matanya menatap tajam ke arah Devid.
Devid mengangkat bahu, ekspresinya berubah sedikit lebih serius. "Begitu kah? Hmmm... jangan seperti itu pada Boss-mu, Celine! Aku datang baik-baik kok. Oh ya, kamu sudah pesan makanannya, Celine?"
"Kami sudah pesan, Tuan Devid," jawab Briyon, meskipun nada suaranya terdengar sedikit tegang. Namun, jawabannya seolah memicu kemarahan Devid.
"Aku tidak bertanya padamu!" kata Devid dengan suara yang sedikit meninggi, tatapannya kini langsung tertuju pada Briyon.
Briyon tetap tenang, meskipun ia merasakan ketegangan semakin memuncak. "Tapi sepertinya istri ku tidak nyaman dengan anda, jadi maaf, bisakah anda pergi meninggalkan kami?"
Devid terlihat terkejut, matanya menyipit tajam. "Apa? Kamu mengusirku?" tanya Devid, suaranya terdengar seperti tantangan.
"Maaf Tuan, ini untuk kenyamanan istri ku," jawab Briyon lembut, meskipun jelas terlihat bahwa dia tidak suka dengan sikap Devid yang tidak sopan.
Devid menyeringai, meskipun ekspresinya tak menunjukkan rasa bersalah. "Baiklah, kalau begitu aku akan pergi. Oh ya, Celine, bill kalian nanti aku yang bayar, ya!"
"Untuk apa?" tanya Celine, suaranya sedikit ketus, tak suka dengan tawaran tersebut.
"Untuk apa? Bukankah suamimu tidak bekerja? Dan dia tidak punya uang untuk bayar bill-nya? Jadi biar aku saja yang mentraktir kalian," jawab Devid dengan nada mengejek, matanya masih penuh rasa sinis.
Drrrrk!
Celine tiba-tiba berdiri dari kursinya, matanya menyala penuh ketegangan. Suasana restoran yang tadinya tenang kini terasa kaku. Ia melirik ke arah pelayan yang sedang berdiri di dekat kasir, memanggilnya dengan suara tegas, "Pelayan!"
Tak lama kemudian, pelayan itu mendekat dengan langkah cepat. "Ya, Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya sopan, meskipun ada rasa canggung di antara mereka.
"Pesanan meja nomor 27, tolong dibungkus saja, ya! Tolong siapkan bill-nya untukku!" seru Celine, suaranya tegas, membuat pelayan itu mengangguk cepat dan segera bergegas menuju dapur.
"Baik, Nona. Mohon menunggu sebentar!" jawab pelayan itu, sebelum pergi.
Celine berjalan ke arah kasir, dengan langkah yang mantap dan penuh keyakinan. Namun, langkahnya terhenti ketika suara Devid memanggilnya.
"Celine!"
Celine tidak menoleh, tetapi berhenti sejenak dan mendengus pelan. "Apa?" jawabnya, masih dengan nada yang dingin.
"Biar bill-nya aku yang bayar, ya!" Devid menyusulnya dengan langkah cepat.
Celine berhenti sejenak, memutar tubuhnya perlahan dan menatap Devid dengan tatapan tajam yang penuh kesal. "Berhentilah merendahkan Briyon di hadapanku!"
Devid tersenyum sinis, seolah tak terpengaruh oleh kemarahan Celine. "Aku Tidak merendahkannya, Celine. Aku hanya berkata yang sejujurnya padamu."
"Lalu, untuk apa kau berbicara seperti itu?" Celine berkata dengan suara yang mulai bergetar, menahan amarahnya. "Kau merasa bangga menjadi orang kaya?"
Devid mengangkat bahu, wajahnya mengeras. "Celine, aku bingung padamu. Ada pria yang memiliki segalanya dan mencintaimu, tapi kamu malah memilih pria yang sakit-sakitan dan tidak memiliki penghasilan apa pun."
Plak!
Suasana seketika menjadi hening. Celine yang sudah tidak tahan lagi, memberikan tamparan keras di wajah Devid. Suaranya menggema di seluruh restoran, memecah ketegangan yang telah membangun. "Tutup mulutmu! Jika kau berbicara buruk lagi tentang Briyon, aku akan keluar dari tempat kerja mu!"
Devid terdiam, matanya terbuka lebar, terkejut oleh reaksi Celine yang begitu berani. Ia meraba pipinya, masih merasa perih dari tamparan itu, namun tidak bisa berkata apa-apa.
Celine merasa puas dengan tindakannya. Dengan langkah tegas, ia kembali memutar tubuhnya dan melanjutkan perjalanannya menuju kasir, tanpa sekalipun menoleh lagi ke arah Devid.
Sesampainya di kasir, Celine berdiri tegak, menunggu pelayan mengantar bill-nya. Hatinya masih berdebar, namun ia tahu bahwa apa yang baru saja terjadi adalah peringatan yang tak bisa dibiarkan begitu saja. Ia tidak akan pernah membiarkan Devid atau siapa pun merendahkan Briyon di hadapannya lagi.
.......
.......
.......
Sementara itu, di sisi lain restoran, Briyon yang memperhatikan interaksi antara Celine dan Devid merasa ada sesuatu yang aneh. Hatinya dipenuhi kecurigaan, meskipun Celine berusaha tetap tenang.
"Ada apa sebenarnya dengan orang itu?" gumam Briyon pada dirinya sendiri, matanya tidak pernah lepas dari Devid yang tampak sedikit marah.
Tap! Tap! Tap!
Suara langkah kaki Celine yang kembali menghampiri mengalihkan perhatiannya. Celine datang dengan sekantung pesanan mereka yang sudah dibungkus rapi, senyum di wajahnya menunjukkan bahwa ia berusaha untuk tidak membiarkan kejadian tadi merusak hari mereka.
"Briyon, ayo kita pulang!" ajaknya dengan nada ceria, meskipun ada sedikit ketegangan yang masih menggantung di udara.
"Ya, ayo!" jawab Briyon dengan cepat, meskipun hatinya masih dipenuhi rasa tidak nyaman.
Mereka pun akhirnya meninggalkan restoran tersebut, melangkah keluar dengan tenang. Sementara di dalam, Devid tetap duduk di tempatnya, tatapannya penuh amarah dan kegagalan yang tak terucapkan.
.......
.......
.......
Di sudut restoran yang lebih gelap, Devid masih meneguk minumannya dengan perasaan kesal. Namun, ketenangannya terganggu saat seorang pria tinggi berpakaian formal serba hitam mendekat dan berdiri di hadapannya.
"Tuan Devid!"
Devid menoleh, sedikit terkejut. "Apa lagi?" jawabnya dengan suara yang terdengar lelah dan frustrasi.
Pria itu tidak menjawab langsung, melainkan berdiri dengan tegak, menunggu beberapa detik sebelum akhirnya berbicara.
"Orang-orang yang Anda perintahkan sudah mulai bergerak, Tuan," ucap pria itu dengan suara datar dan tegas, memberikan informasi yang lebih membebani situasi Devid.
Devid mengangkat gelasnya dan meneguk minuman dalam satu tegukan panjang. Glug... glug...
"Ahhh..." Devid menghela napas panjang, menenangkan pikirannya yang penuh dengan kekesalan. Setelah itu, ia kembali menatap pria itu dengan penuh perhatian.
"Bagus! Singkirkan dia! Tapi jangan untuk wanita-nya!" Devid memberi perintah dengan suara rendah namun penuh kekuatan.
"Baik, Tuan," jawab pria itu, seraya mengangguk hormat, dan seketika itu juga berbalik, meninggalkan Devid yang kini kembali sendirian.
Dengan langkah tegap, pria itu menghilang di balik pintu, meninggalkan Devid dengan pikirannya yang semakin gelap.
Devid duduk sendiri, wajahnya berubah menjadi penuh perhitungan. Keputusan yang telah ia buat mulai menunjukkan hasilnya, meskipun rencananya baru saja dimulai.
...****************...
Di perjalanan menuju apartemen Celine, pukul 21:00 malam, suasana terasa tenang meski ada perasaan yang mengganjal di dalam hati Briyon. Celine berjalan di sampingnya, berpegangan tangan, namun Briyon tak bisa menahan pikirannya yang terus berputar sejak mereka meninggalkan restoran itu. Sesuatu yang tak bisa ia abaikan.
"Celine!" panggilnya, suara sedikit menggema di malam yang sunyi.
"Ya sayang? Ada apa?" jawab Celine, menoleh dengan senyum lembut yang ia coba tampilkan.
"Sebenernya ada masalah apa kamu dengan Boss-mu?" tanya Briyon, ragu-ragu.
Celine sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, namun ia tetap berjalan dengan langkah yang tenang. "Apa maksudmu?"
Celine melanjutkan, "Dia sejak awal datang menghampiri kita, sudah bermaksud ingin menjatuhkan harga diri mu di hadapanku. Apa kamu tidak menyadarinya?"
Briyon terdiam sejenak, menatap Celine dengan mata penuh kebingungan. "Oh, tidak," jawabnya pelan.
"Tidak? Sudah jelas-jelas dia merendahkan mu, mengatakan bahwa kamu tidak memiliki penghasilan, dan sebagainya," Celine tidak bisa menahan kekesalannya. Setiap kali ingat bagaimana Devid berbicara tentang Briyon, ia merasa marah.
Briyon menghela napas panjang, menyadari bahwa Celine tampak sangat terpengaruh dengan kejadian itu. Namun, ia tidak ingin Celine terlalu terbebani. "Tapi, yang dia ucapkan memang benar, Celine. Aku belum memiliki penghasilan yang tetap. Saat ini aku masih bekerja freelance, gajiku pun kecil. Jika dibandingkan denganmu, sangat jauh berbeda."
Celine melirik ke arah suaminya, melihat betapa lembut dan sabarnya Briyon. Wajahnya tidak sedikit pun menunjukkan rasa kesal atau marah terhadap Devid.
Celine merasa hatinya terenyuh melihat kesabaran Briyon. "Alasan mengapa aku begitu mencintaimu, Briyon," ucapnya dengan suara lembut, "kamu adalah pria yang sangat baik, dan memiliki hati yang lembut. Walaupun Devid menjatuhkan harga dirimu, kamu masih saja terlihat baik-baik saja. Aku tak habis pikir jika aku tidak ada di sisimu, pasti dia sudah mem-bully mu."
Briyon tersenyum ringan, "Aku tidak peduli dengan apa yang dia katakan, Celine. Yang penting, aku ada di sini untukmu."
Celine mengangguk, tersenyum dengan mata yang penuh rasa sayang. Ia merasa beruntung memiliki Briyon di sisinya. Meskipun masa depan mereka penuh ketidakpastian, Celine tahu satu hal yang pasti—ia tidak ingin kehilangan pria ini.
...Bersambung ......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Andini
dih sombong bgt sumpah /Panic//Panic//Panic//Panic//Panic/
2024-12-16
2
Tinta pink
fikiran ku nething sama itu org. 🤔
2024-12-16
2
Ria Salista
curiga sama devid/Right Bah!/
2024-12-16
2