Di sebuah Cafetaria kecil di sudut kota, waktu masih menunjukkan pukul 09:00 pagi. Matahari pagi menyelinap masuk melalui kaca besar yang menghadap jalan, memberikan kehangatan pada ruangan yang mulai terisi aroma kopi segar.
Kincring!
Suara lonceng pintu masuk bergema, mengiringi langkah seorang pria yang memasuki cafetaria dengan langkah percaya diri. Para pelayan yang berseragam rapi segera menyambut dengan senyuman.
"Selamat datang!" sapa seorang pelayan muda sambil menyerahkan buku menu dengan sopan.
Tanpa membuka menu, pria itu duduk di dekat jendela dan berkata, "Pesan Cappuccino latte-nya dua, ya!"
Pelayan itu tersenyum, mencatat pesanan, dan bertanya, "Hangat atau dingin, Tuan?"
"Dingin satu, hangat satu," jawab pria itu sambil menatap keluar jendela, seperti mengamati sesuatu yang tak terlihat.
"Baik, akan segera kami antarkan. Mohon menunggu sebentar ya, Tuan."
Setelah mendapat jawaban singkat berupa anggukan, pelayan itu segera berjalan menuju meja barista di sudut cafetaria.
Tap... Tap... Tap!
Suara langkah kakinya bergema lembut di lantai kayu yang berkilat. Ia menyerahkan secarik kertas pesanan kepada seorang wanita muda yang berdiri di belakang meja bar.
"Celine, ada pesanan!" katanya sambil meletakkan kertas tersebut.
"Oh, oke," jawab Celine dengan suara datar namun tegas. Dengan cekatan, ia mengambil kertas itu dan mulai bekerja. Tangannya yang lincah menuangkan espresso dan susu ke dalam gelas, sementara uap tipis dari mesin kopi menciptakan siluet indah di sekelilingnya. Rambutnya yang diikat sederhana menambah kesan bahwa ia sangat fokus pada pekerjaannya.
"Minuman untuk meja tiga," ujar Celine akhirnya, menyerahkan nampan kepada pelayan yang sama.
Pelayan itu membawa dua gelas minuman ke meja pria tersebut. "Ini Cappuccino latte-nya, satu dingin dan satu hangat. Selamat menikmati, Tuan."
"Terima kasih," ucapnya pelanggan sambil tersenyum tipis.
.......
.......
.......
Sementara itu di sisi lain. Selepas pelayan itu pergi, Celine tampak menoleh ke arah Reina, rekan kerjanya, dengan raut wajah gelisah. Tangannya sibuk merapikan meja kerja, tetapi pikirannya melayang-layang. Wajahnya yang biasanya tenang kini tampak penuh kekhawatiran, membuat Reina merasa ada sesuatu yang tidak biasa.
"Celine? Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat gelisah?" tanya Reina sambil menyipitkan mata, mencoba membaca pikiran rekannya.
Celine terdiam sejenak, seperti sedang mencari keberanian untuk berbicara. Kemudian, dengan suara pelan namun serius, ia berkata, "Hng, Rein... apakah kau percaya tentang keberadaan hantu?"
Pertanyaan itu membuat Reina tersentak. "Loh, tiba-tiba membahas hantu? Ada apa?"
Celine menatapnya lekat-lekat, lalu berbisik, "Aku sepertinya sedang diawasi oleh hantu."
"Ehh? Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?" Reina mulai merasa merinding, tetapi rasa penasarannya mendorongnya untuk bertanya lebih jauh.
"Sudah dua kali aku mengalami pengalaman yang aneh," jawab Celine dengan nada serius.
"Pengalaman aneh? Seperti apa itu?"
Celine menarik napas panjang sebelum mulai bercerita. "Yang pertama, saat aku berada di rumah sakit. Kursi di ruang tunggu tiba-tiba bergerak sendiri. Lalu, tadi pagi, aku menemukan sesuatu yang lebih aneh lagi."
"Apa itu?"
"Sepiring roti bakar dan segelas susu hangat tiba-tiba ada di meja makan ku, tertata rapi, seperti dibuatkan seseorang."
"Hehhh? Membuatkan mu sarapan pagi?!" Mata Reina membelalak.
"Iya. Kamu pasti akan takut melihatnya. Bayangkan, aku tinggal sendiri. Yang memiliki kunci cadangan ruangan hanya Sovia. Tapi saat aku tanyakan padanya pagi ini, dia bilang tidak melakukannya."
Reina terdiam sejenak, mencerna cerita Celine. Namun, tiba-tiba ia terlihat mengalihkan perhatian dengan mencari kesibukan lain, seperti merapikan gelas yang sudah bersih.
"Rein, menurutmu itu hantu, kan?" desak Celine.
Reina menghela napas, tampak gugup. "Aku tidak tahu... mu-mungkin kamu sedang berhalusinasi."
"Halusinasi?" Alis Celine mengernyit. Ia menatap Reina penuh kebingungan, merasa jawaban itu tidak masuk akal.
"Ya," jawab Reina sambil berusaha terdengar meyakinkan. "Sejak kamu koma, banyak hal yang berubah pada dirimu. Ingatanmu masih belum pulih sepenuhnya, dan mungkin saja ini efek dari benturan di kepalamu."
"Maksudmu ada yang salah dengan otakku?" tanya Celine, kini terdengar lebih bingung dari pada sebelumnya.
"Celine, hantu itu tidak ada! Semua itu hanya halusinasi mu saja. Sebaiknya kamu lupakan, oke?" Reina mengakhiri kalimatnya dengan nada yang lebih keras, seperti ingin menutup pembicaraan.
Namun, sikap Reina justru membuat Celine semakin curiga. Tanpa menunggu jawaban, Reina tiba-tiba pergi meninggalkan meja bar, meninggalkan Celine sendirian.
Celine menghela napas berat sambil menatap kosong ke arah segelas kopi yang baru saja ia buat. Dalam hatinya, ia bergumam, "Halusinasi? Jelas-jelas ini nyata. Bahkan roti bakarnya aku bawa untuk bekal makan siang."
Ia memegang tas kecilnya yang berisi roti bakar itu. "Ini aneh," gumamnya lagi. Ada sesuatu yang tidak beres, dan ia bertekad mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, meskipun hal itu mungkin membawa dirinya pada kebenaran yang sulit diterima.
...****************...
Waktu berlalu dengan cepat, dan jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul 13:00 siang. Suasana di cafetaria mulai lengang, sebagian pelayan sudah mulai mengambil waktu istirahat mereka. Celine, yang sibuk membersihkan meja bar, tiba-tiba mendengar panggilan lembut dari Reina.
"Celine," panggil Reina sambil melambai.
"Ya?" Celine menoleh, sedikit bingung dengan nada serius rekannya.
"Sudah jam istirahat. Kamu istirahat duluan sana! Aku ambil jam kedua," ucap Reina sambil tersenyum.
"Tidak apa-apa, Rein? Kamu yang ambil jam kedua?" Celine bertanya, merasa tidak enak hati.
"Tidak apa-apa. Lagi pula, kamu sudah ditunggu oleh Boss tuh," jawab Reina santai, sambil menunjuk ke arah ruangan Boss dengan ibu jarinya.
Celine mengernyitkan alis. "Boss menungguku? Untuk apa?"
Reina menatap Celine sejenak, lalu menghela napas. "Heeh, kau ini..." Reina sempat berhenti berbicara, lalu teringat sesuatu. Ia mendadak tersenyum kecil, merasa harus memberikan penjelasan. "Ah, aku lupa, kamu kan masih lupa ingatan. Jadi wajar saja kamu lupa kebiasaanmu."
"Maksudmu apa? Aku tidak mengerti," jawab Celine, matanya menunjukkan kebingungan.
"Kamu dan Boss memang selalu makan siang bersama. Itu kebiasaan kalian dulu," ungkap Reina dengan nada santai.
Celine terdiam. Fakta itu membuat pikirannya kacau. "Benarkah?"
"Ya."
"... "
Melihat keraguan di wajah Celine, Reina kembali bersuara sambil tersenyum jahil. "Tunggu apa lagi? Sana pergi, nanti Boss mencari kamu!" seru Reina sambil mendorong tubuh Celine pelan.
"Ah, ba-baiklah," jawab Celine gugup.
Walaupun merasa ragu, ia akhirnya melangkah ke arah ruangan Boss sambil membawa kotak bekal makan siangnya. Langkahnya terdengar pelan namun penuh kecemasan.
Tap... Tap... Tap!
.......
.......
.......
Di depan pintu ruangan Boss, Celine berhenti. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dengan hati-hati, ia mengetuk pintu.
Tok, Tok, Tok!
Celine mengetuk pintu dengan hati-hati.
"Boss, ini aku, Celine," ucapnya dari luar ruangan.
"Masuklah!" terdengar suara tegas namun ramah dari dalam.
"Baik," jawabnya pelan.
Klak!
Celine membuka pintu, melangkah masuk, dan menutupnya kembali dengan lembut.
Blam!
Suara pintu tertutup memenuhi ruangan yang penuh dengan aroma kayu dan sedikit wangi parfum pria. Di balik meja besar yang tertata rapi, seorang pria tampan dengan rambut coklat yang disisir rapi terlihat menatapnya. Kemeja putih yang dikenakannya membuat sosoknya tampak berwibawa, sekaligus hangat.
"Boss memanggilku?" tanya Celine dengan nada ragu.
Pria itu, Devid, tersenyum tipis. Dengan gerakan tangan, ia menunjukkan meja di depannya yang penuh dengan makanan. "Aku sudah menyiapkan semuanya. Ayo, duduklah!"
"Wah!?" Mata Celine membesar saat melihat hidangan yang tersaji. "Makanannya banyak sekali."
"Aku ingin memastikan kamu makan siang dengan baik hari ini," ucap Devid, senyum lembut menghiasi wajahnya.
"Hng, baik." Celine melangkah perlahan, menuju kursi yang telah disiapkan.
Tap... Tap!
Drrrrk!
Ia menarik kursi dan duduk dengan sedikit canggung.
"Jangan sungkan," kata Devid sambil menuangkan air ke gelasnya. "Kita sudah sering makan siang bersama, pilih saja makanan yang kamu suka."
Celine mengerutkan kening. "Benarkah?"
Devid tertawa kecil. "Tentu saja. Makanan ini ku belikan khusus untukmu."
Namun, bukannya tersenyum, Celine justru menatapnya dengan tatapan bingung. "Boss... apa benar kita sering makan siang bersama? Aku tidak ingat apa-apa."
Devid terdiam sejenak, ruangan itu dipenuhi keheningan.
Celine melanjutkan dengan suara lirih, "Boss tahu kan, aku kehilangan beberapa ingatanku, jadi-"
Devid memotongnya dengan suara lembut, "Tidak apa-apa, aku mengerti. Aku akan membantumu mengingatnya, tenang saja."
"Oh... te-terima kasih," jawab Celine, merasa sedikit canggung dengan perhatian pria itu.
"Ngomong-ngomong," lanjut Devid, "bisakah kamu tidak memanggilku 'Boss' saat kita makan siang bersama? Panggil saja aku Devid."
"Hah? Tapi itu kan tidak sopan," balas Celine, matanya membesar.
"Hahaha, apanya yang tidak sopan?" Devid tertawa ringan, membuat suasana lebih santai.
"Ya, memanggil nama asli Boss itu terasa aneh..."
Devid bersandar di kursinya, menatap Celine dengan mata teduh. "Celine, kita ini sepasang kekasih. Mengapa harus merasa tidak sopan?"
"Apa?" Celine membelalak. "Sepasang kekasih?"
Devid mengangguk. "Aku tahu kamu kehilangan ingatanmu. Maka dari itu, aku akan sering mengajakmu makan siang bersama, agar kamu bisa mengingatku kembali."
Celine terdiam. Kata-kata itu seperti angin dingin yang menyelinap ke dalam pikirannya. "Sepasang kekasih?" gumamnya dalam hati. "Ini aneh. Tidak ada secercah memori yang terlintas di benakku. Jika dia benar-benar orang yang berharga di dalam hidupku, bukankah seharusnya ada sesuatu yang kuingat?"
"Celine? Kau melamun?" suara Devid membuyarkan lamunannya.
"Ah? Oh, tidak. Hahaha." Celine tersenyum canggung, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.
"Ayo, kita makan sebelum makanannya dingin," seru Devid, mengambil sepotong daging dan memberikannya kepada Celine.
"Baik." Celine mulai menyantap makanan di depannya, tetapi pikirannya terus melayang. Ia memutuskan, "Aku harus mencari tahu lebih banyak tentang Boss ini selepas pulang bekerja."
Sambil mengunyah, ia sesekali melirik Devid yang tampak begitu tenang. Pria itu berbicara santai tentang pekerjaannya, tetapi Celine hanya merespons dengan senyuman kecil, pikirannya sudah tenggelam dalam berbagai pertanyaan.
...****************...
Pukul 22:00 malam, suasana Cafetaria tempat Celine bekerja telah sunyi. Lampu-lampu telah dimatikan, hanya menyisakan lampu neon di bagian depan untuk memberi penerangan lembut. Para pelayan mulai meninggalkan tempat satu per satu, termasuk Celine dan Reina.
"Sampai nanti, Celine!" seru Reina sambil melambai.
"Sampai nanti!" balas Celine dengan senyuman.
Tap tap tap!
Celine melangkah pergi, membawa tas kecil di pundaknya. Udara malam yang dingin mulai menyelimuti, dan langkah-langkahnya menggema di trotoar yang sepi. Namun, belum jauh ia berjalan, sebuah suara memanggil dari belakang.
"Celine, tunggu!"
Celine menghentikan langkahnya, menoleh ke sumber suara. "Hmm? Oh, Boss rupanya."
Devid, pria tinggi dengan aura yang selalu memikat perhatian, berdiri di belakangnya. Napasnya sedikit tersengal, seolah ia terburu-buru untuk mengejar Celine.
"Celine, mau ku antar pulang?" tanyanya langsung, dengan nada penuh perhatian.
Celine menggeleng cepat. "Ah? Ti-tidak perlu, Boss! Aku akan pulang sendiri."
Devid menghela napas panjang, menggeleng sambil tersenyum kecil. "Sudah kubilang, di luar jam kerja, jangan panggil aku Boss. Panggil saja Devid."
"O-oh... ba-baiklah. Maafkan aku," jawab Celine, sedikit gugup.
Devid tersenyum lembut, lalu mengulurkan tangan untuk mengusap puncak kepala Celine dengan gerakan yang penuh kehangatan. "Ini sudah hampir larut malam. Jalan menuju rumahmu sangat berbahaya. Biar ku antar saja, ya!"
Celine melangkah mundur sedikit, mencoba menjaga jarak. "Ti-tidak perlu, aku bisa pulang sendiri. Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja."
Devid menatapnya lekat, tampak ragu. "Tapi-"
"Lagipula, aku ada urusan lain. Jadi, Devid tidak perlu repot-repot mengantar," potong Celine cepat, mencoba memberikan alasan.
"Begitu ya?" Devid terlihat sedikit kecewa, tetapi tetap menjaga senyumnya. "Benar tidak apa-apa?"
Celine mengangguk cepat. "Hng... tidak apa-apa. Aku baik-baik saja."
Devid terdiam sejenak, menghela napas. "Baiklah, kalau begitu. Tapi kalau terjadi sesuatu, langsung hubungi aku, ya."
"Baik," jawab Celine sambil tersenyum kecil.
Devid mengangguk, tampak enggan meninggalkan Celine. Namun, sebelum ia benar-benar pergi, ia tiba-tiba menarik Celine ke dalam pelukannya.
"!!!" Celine membeku, tidak menyangka dengan gerakan mendadak itu.
"Baiklah," bisik Devid sambil mengecup lembut puncak kepalanya. "Sampai nanti."
Masih dalam keterkejutan, Celine hanya bisa mengangguk pelan. "Sampai nanti," jawabnya dengan suara nyaris tak terdengar.
Tap tap tap!
Devid melangkah menuju parkiran mobil, meninggalkan Celine yang masih berdiri terpaku di tempatnya.
Celine menghela napas panjang setelah Devid menghilang dari pandangan. Tangannya menyentuh puncak kepalanya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
"Kenapa aku merasa... aneh?" gumamnya pelan.
Langkah-langkahnya kembali terdengar di trotoar yang sepi, malam yang dingin seolah semakin sunyi. Tapi di dalam benaknya, pikiran tentang Devid terus berputar.
"Apa benar dia adalah kekasihku? Kalau iya, kenapa tidak ada satu pun memori tentang dia yang muncul? Kenapa aku merasa semuanya seperti teka-teki yang sulit dipecahkan?"
Dengan perasaan yang campur aduk, Celine melanjutkan perjalanan pulangnya, bertekad untuk mencari tahu lebih banyak tentang dirinya sendiri—dan Devid.
...Bersambung ......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
AmSi
waaah pasti merasa aneh kalo ada yg bilang pacar tapi gak dikenal 😳 kenapa pacarnya kelihatan gak terlalu effort ya?
2024-12-05
1
gugun
hal horor di balut nuansa percintaan, asik sih.
semangat thor
2024-12-18
1
Tinta pink
pacar nya boss cafe, pasti temen-temen nya pada iri
2024-12-04
1