Celine melangkah perlahan ke meja makan yang sederhana di sudut ruangan. Jemarinya yang ramping menyentuh gelas susu di atas meja. Kehangatan gelas itu menenangkan kulitnya sejenak.
"Hangat," gumamnya, lirih. Ia menatap roti bakar yang tergeletak di piring dengan sempurna. "Susu dan roti bakarnya masih terasa hangat."
Ia berdiri tegak sejenak, pandangannya bergerak ke kiri dan kanan. Suasana sunyi menyelimuti ruangan itu, hanya terdengar suara detak jam di dinding. Bibirnya mengerucut, penuh keraguan. Siapa yang menyiapkan ini? Pikirannya mulai bermain, memutar-mutar kemungkinan.
Sesuatu terasa aneh, selama ini ia tinggal sendirian. Tidak ada manusia lain yang punya akses ke apartemen kecilnya selain Sovia, atau setidaknya itulah yang selalu ia yakini.
Celine menarik napas dalam, lalu menunduk sedikit. "Terima kasih atas sarapannya," ucapnya pelan, seperti berbicara pada udara kosong. "Aku akan memakannya di tempat kerja."
Ia bergerak cepat, meraih kotak bekal dari atas meja dapur. Dengan cekatan, ia memasukkan roti bakar itu ke dalamnya, lalu menuangkan susu hangat ke dalam botol minum berwarna biru yang selalu ia bawa. Tatapannya sekali lagi menyapu ruangan itu sebelum menutup kotak bekalnya.
Tidak ada suara. Tidak ada gerakan. Hanya ia, dengan keheningan yang menggantung seperti rahasia.
Setelah semuanya selesai, ia mengenakan mantel silver yang tergantung di belakang pintu. Sepatu hitamnya berbunyi lembut di lantai kayu saat ia berjalan ke arah pintu keluar. Sebelum melangkah keluar, ia menoleh sekali lagi ke meja makan itu, seolah ingin memastikan bahwa segalanya nyata.
Namun tidak ada yang berubah. Sarapan telah dipindahkan, dan ruangan itu kembali kosong.
Dengan sedikit tergesa, ia membuka pintu dan keluar. Udara dingin menyambutnya, menggigit kulitnya, namun pikirannya tetap sibuk memikirkan satu hal. Siapa yang menyiapkan sarapan itu?
...****************...
Di loker tempat Celine bekerja, jarum jam menunjuk pukul 08:00. Ruangan itu sepi, hanya terdengar suara gesekan kain saat ia mengganti pakaiannya dengan seragam kerja. Seragam itu sederhana, berwarna abu-abu dengan nama perusahaan kecil terbordir di sisi dada. Sambil mengenakan seragam, ia menggigit roti bakar yang dibawanya, menikmati rasa hangat yang tersisa.
Pikirannya sedikit melayang, memikirkan sarapan yang tadi pagi terasa hampir seperti misteri. Tapi ia menepis rasa aneh itu. Baginya, pekerjaan lebih penting saat ini.
"Celine!" Sebuah suara memecah keheningan. Reina, rekan kerjanya, muncul dari balik pintu loker yang sedikit terbuka.
"Ya, Rein?" sahut Celine, setengah memutar tubuhnya ke arah suara itu.
"Kamu dipanggil Boss ke ruangannya," kata Reina dengan nada yang sedikit penasaran, tapi tetap ringan.
"Oh, baiklah. Aku akan segera ke sana," balas Celine sambil merapikan kerah seragamnya.
"Oke!" Reina kembali menghilang di balik pintu, meninggalkan Celine sendiri di ruang loker.
Selesai mengganti pakaian, Celine mengambil botol minum birunya dan meneguk susu hangat yang masih tersisa di dalamnya. Cairan itu mengalir lembut di tenggorokannya, memberikan sedikit kehangatan di pagi yang dingin. Ia menutup botol itu kembali dengan bunyi klik, menaruhnya ke dalam tas, dan menarik napas panjang.
Dengan langkah ringan namun tergesa, ia meninggalkan ruang loker dan berjalan menuju ruangan Boss. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya, bukan karena takut, tetapi lebih pada rasa penasaran. Jarang-jarang ia dipanggil pagi-pagi seperti ini.
.......
.......
.......
Di depan ruangan Boss, Celine berdiri dengan gugup. Tangannya yang ramping mengetuk pintu kayu berwarna cokelat tua itu tiga kali.
Tok! Tok! Tok!
"Boss, ini aku, Celine," suaranya terdengar jelas meskipun diiringi sedikit ketegangan.
"Masuklah!" sahut suara berat dari dalam, milik Devid.
"Baik."
Celine menghembuskan napas pendek, lalu meraih gagang pintu. Setelah mendapatkan izin, ia pun membuka pintu dengan perlahan, suara derit pintu terdengar kecil.
Klak!
"Permisi ..." gumamnya.
Namun, langkahnya sempat terhenti sejenak. Matanya menangkap pemandangan yang tidak biasa: di dalam ruangan, bersama Devid, ada tiga polisi yang duduk dengan ekspresi serius, memandangnya dengan sorot tajam.
"Polisi? Apa yang mereka lakukan di sini?" pikir Celine, sedikit terkejut.
"Ah, Celine, masuklah!” panggil Devid sambil melambaikan tangan. "Ada sesuatu yang perlu aku tanyakan padamu."
"Baik," jawab Celine, meskipun perasaan was-was mulai merayap di dadanya.
Ia melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan suara yang cukup tegas.
Blam!
Langkah kakinya terdengar di lantai kayu yang bersih. Tatapannya bergantian antara Devid dan ketiga polisi itu. Ada sesuatu di wajah mereka yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat: curiga, mungkin juga penuh penilaian.
"Ada apa, Boss?" tanyanya, mencoba menenangkan diri.
"Celine," Devid memulai dengan nada hati-hati, "Para polisi ini datang mencari mu. Mereka ingin bertanya tentang kasus pembunuhan yang terjadi di gang dekat apartemen mu."
"K-kasus pembunuhan?" suara Celine meninggi, tak dapat menyembunyikan keterkejutannya.
"Benar," jawab polisi dengan nada tegas.
Salah satu polisi berdiri, menghampiri Celine, dan menyerahkan selembar berkas yang tebal. Di dalamnya, terdapat foto-foto korban dengan luka yang mengerikan, serta salinan sidik jari.
"Ini?" tanya Celine, sedikit gemetar.
"Kami memiliki rekaman CCTV yang menunjukkan Anda memasuki gang tersebut pada pukul 22:30. Apakah itu benar?" Polisi itu bertanya dengan nada serius.
Celine mengangguk pelan. "Ya, itu benar."
"Kalau begitu, bisakah Anda menjelaskan kepada kami apa yang terjadi malam itu?"
Celine menelan ludah. Ia tahu, ceritanya akan terdengar gila, tetapi ia tak punya pilihan lain kecuali berkata jujur. "Saya berada di lokasi kejadian sebelum orang itu tewas. Dia bersama dua temannya sedang membully seorang pria yang tidak bersalah."
"Lalu?" desak polisi itu.
"Mungkin Anda tidak akan percaya dengan apa yang akan saya katakan," Celine berhenti sejenak, menarik napas dalam. "Tapi saya bersumpah, orang itu dibunuh oleh... hantu."
DEG!
Ruangan itu menjadi sunyi sejenak. Ketiga polisi itu saling bertukar pandang, wajah mereka jelas menunjukkan rasa tak percaya.
"Tidak ada hantu yang bisa membunuh manusia, Nona," cetus salah satu polisi dengan nada skeptis.
"Tapi saya berkata jujur!" Celine membalas dengan yakin, suaranya penuh emosi. "Saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri!"
Namun, penjelasan itu hanya membuat ketiga polisi semakin ragu. Salah satu dari mereka mengeluarkan borgol dari saku, membuat Celine mundur setengah langkah.
"Maaf, Nona," kata polisi itu dingin. "Anda harus ikut kami ke kantor polisi untuk menjalani serangkaian pemeriksaan."
"Apa? Tapi, saya sudah mengatakan yang sebenarnya!" protes Celine, mencoba menjelaskan lagi.
Polisi itu tidak peduli. Dengan gerakan cepat, mereka memborgol kedua tangan Celine. Devid yang melihat itu langsung berdiri dari kursinya, matanya terbelalak.
"Tunggu, Pak Polisi!" serunya. "Kalian tidak bisa membawa Celine begitu saja tanpa izin saya!"
"Maaf, Tuan," kata polisi yang tampaknya paling senior. "Ini prosedur. Jika Nona Celine terbukti tidak bersalah, kami akan mengantarnya kembali."
Devid terlihat ragu, tatapannya penuh kekhawatiran. "Celine..."
Celine menoleh, wajahnya tetap tegar meskipun borgol mengikat tangannya. "Tidak apa-apa, Boss. Aku akan membuktikan kepada mereka bahwa aku tidak bersalah."
Devid diam, tapi tatapannya melembut. "Aku percaya padamu."
Celine tersenyum samar, berusaha menenangkan bosnya. "Terima kasih."
Setelah memastikan semuanya, polisi mengisyaratkan bahwa mereka akan membawa Celine pergi.
"Kami akan segera membawa Nona Celine. Jika sudah selesai, kami akan menghubungi Anda," kata salah satu dari mereka kepada Devid.
"Ya, kalian boleh membawaku," ucap Celine tegas.
Langkah kaki mereka menggema saat mereka keluar dari ruangan itu. Pintu tertutup rapat di belakang mereka.
Klak!
Blam!
Ruangan itu kembali sunyi, menyisakan Devid yang berdiri diam dengan perasaan bercampur aduk.
.......
.......
.......
Setelah Celine dibawa pergi oleh para polisi, Devid duduk sendirian di ruang kerjanya, terdiam dalam keheningan. Pemandangan di luar jendela tak menyentuh perhatiannya. Matanya kosong, terfokus pada bayangan senyum Celine yang masih terngiang di benaknya.
"Celine tersenyum kepada ku... itu adalah sesuatu yang jarang terjadi," gumamnya pelan, seolah mencari makna di balik senyuman itu. Rasanya, senyum itu seperti memberikan secercah cahaya di tengah kebingungannya, sesuatu yang langka dari Celine yang biasanya begitu tertutup.
Devid menarik napas panjang, mencoba menepis perasaan yang mulai mengganggu pikirannya. Tanpa membuang waktu, ia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja kerjanya. Jarinya menekan tombol ponsel dengan cepat, menekan kontak yang sudah dikenalnya dengan baik.
Pip pip!
Tuuuuuut!
Klak!
Suara panggilan masuk terdengar, dan tak lama kemudian terdengar suara seseorang di ujung sana.
"Halo, Tuan?"suara berat Jems terdengar jelas di seberang sana.
"Jems, bisa kau datangi kantor kepolisian sekarang?" Devid memulai dengan nada tegas, suaranya sedikit bergetar meski ia berusaha menjaga ketenangan.
"Ya, Tuan? Apakah ada masalah?" tanya Jems, terdengar khawatir.
"Celine dibawa oleh pihak kepolisian barusan. Ia ditetapkan sebagai calon tersangka dalam kasus pembunuhan. Mereka ingin memeriksa dia lebih lanjut." Devid menghela napas berat, sulit untuk melanjutkan kata-katanya. "Dan aku tidak percaya Celine terlibat dalam hal itu."
Jems terdiam sejenak, mencerna informasi yang baru didengarnya. "Begitu, jadi apa yang ingin Tuan lakukan?"
Devid menggenggam ponselnya lebih erat, matanya menatap kosong ke luar jendela. "Urus pihak kepolisian, Jems. Bersihkan nama baik Celine! Walaupun Celine tidak bersalah sekalipun, aku ingin semuanya beres secepat mungkin. Aku tidak bisa membiarkan orang yang aku cintai terjebak dalam masalah ini."
"Baik, Tuan. Saya akan segera mengurus semuanya." Jems menjawab dengan suara mantap, tak ada keraguan dalam kata-katanya.
"Terima kasih, Jems," Devid menjawab dengan nada lega meski masih ada kecemasan yang mengganjal di dadanya. "Aku harap semuanya bisa diselesaikan."
Pip!
Devid menutup telepon dengan pelan, lalu meletakkan ponselnya kembali di atas meja. Ia kembali terdiam, menyandarkan punggungnya pada kursi. Ditatapnya secangkir kopi di mejanya yang sudah mulai dingin, namun tidak ada selera untuk meminumnya.
"Celine, aku akan pastikan kamu kembali dengan aman," bisiknya pada dirinya sendiri, meskipun tak ada yang mendengarnya.
...****************...
Di kantor kepolisian...
Jam dinding menunjukkan pukul 09:00 pagi. Celine duduk di kursi kayu yang keras, matanya memandang meja di hadapannya dengan tatapan kosong. Di depannya, seorang polisi berseragam duduk dengan ekspresi serius, berkas-berkas dan foto korban terhampar di meja.
"Nona Celine," polisi itu memulai, suaranya tegas namun tenang, "kami menemukan sidik jari Anda di wajah kanan korban. Bagaimana Anda menjelaskan ini?"
Polisi itu menyodorkan foto bukti yang menunjukkan sidik jari yang cocok dengan Celine. Ia hanya melirik foto itu sejenak sebelum akhirnya mengangkat wajahnya.
"Tentu saja ada sidik jariku," jawab Celine dengan nada tegas. "Aku memukul wajahnya dengan tinjuku. Dia berniat memperkosaku, jadi aku memukulnya untuk membela diri."
Polisi yang mendengar jawaban itu memiringkan tubuhnya ke depan, matanya menatap Celine tajam. Ia tampak merenungkan pernyataan tersebut, kemudian mulai berbicara, kali ini dengan nada yang lebih dingin.
"Saya mulai mengerti situasinya," katanya. "Dari data yang kami miliki, tampaknya Anda mendapatkan tindakan kekerasan dari korban dan teman-temannya. Namun, karena Anda ingin membela diri, Anda melakukan tindakan ekstrem—yaitu membunuh korban secara langsung."
Celine terperangah. Ia memandang polisi itu dengan mata melebar.
"Apa? Itu tidak benar!" serunya. "Saya memang membela diri, tapi saya tidak membunuhnya! Orang itu tewas dibunuh oleh hantu! Saya bersumpah!"
Polisi itu menyandarkan tubuhnya kembali, meletakkan pulpen yang tadi ia gunakan untuk mencatat. Ekspresinya penuh skeptisisme.
"Sepertinya Anda sedang berhalusinasi, Nona," katanya, mencoba terdengar masuk akal. "Dan Anda mencoba mengarang cerita untuk membela diri. Mana ada hantu yang bisa membunuh manusia?"
Celine meremas jemarinya, menahan rasa frustrasi yang mulai memuncak. "Ada saksi!" katanya lantang. "Di sana ada seorang laki-laki, korban pemukulan mereka! Dia melihatku! Aku yakin, setelah Anda mendengar penjelasannya, Anda akan mengerti."
Polisi itu menatap Celine sejenak, lalu mengangguk kecil. "Baiklah. Kebetulan kami memang sudah mengundang orang itu untuk interogasi ini," ujarnya. Kemudian ia memanggil rekan setimnya, seorang polisi bernama Alex.
"Alex, bawa saksi itu ke sini!" serunya.
"Baik!" jawab Alex, segera bergegas keluar ruangan.
Beberapa saat kemudian, langkah kaki terdengar mendekat.
Tap! Tap! Tap!
Alex kembali, membawa seorang pria yang wajahnya penuh luka dan memar. Pakaiannya kusut, tubuhnya sedikit membungkuk, dan ia berjalan pelan seperti menahan rasa sakit. Polisi itu menunjuk kursi kosong di samping Celine.
"Silakan duduk," kata Alex, membimbing pria itu untuk mengambil tempatnya.
Celine memandangi pria itu dengan rasa iba. Wajahnya yang babak belur dan penuh luka membuat hatinya tercekat. "Orang ini penuh memar... kasihan sekali," pikirnya.
Polisi yang tadi menginterogasi Celine mulai berbicara lagi. "Baiklah, Tuan Arnon," katanya kepada pria itu. "Anda adalah saksi dalam kasus ini. Bisakah Anda jelaskan kepada kami apa yang sebenarnya terjadi malam itu?"
Arnon awalnya tertunduk, ragu-ragu untuk bicara. Namun, perlahan ia mengangkat wajahnya, menatap Celine dengan ekspresi datar. Suara napasnya terdengar berat, dan suasana ruangan mendadak terasa semakin tegang.
"Perempuan ini," katanya, suaranya dingin dan tajam, "yang membunuhnya."
Kalimat itu seperti petir yang menyambar Celine. Ia menoleh ke arah Arnon dengan ekspresi tak percaya, mulutnya sedikit terbuka, namun tak ada kata yang keluar.
...Bersambung ......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
AmSi
kalo stok susu sama rotinya habis, akankah si hantu beli lagi ? 😆
2024-12-08
1
Gebi s.
ini kenapa ya fikiran nya? apa dia di hasut orang?
2024-12-08
2
AmSi
Pura2 ga tau aja Celine 🤭
2024-12-08
1