Bab 15: Keteguhan Hati

Malam itu, Zahra duduk di sudut kamarnya dengan pena di tangan. Surat untuk Zidan sudah setengah jadi, tapi setiap kali ia hendak menyelesaikannya, tangannya berhenti. Bukan karena ia ragu akan perasaannya, tetapi karena ketakutan akan masa depan yang belum jelas.

“Jika aku membiarkan perasaan ini menguasai, apa aku sedang melawan takdir Allah?” Zahra bergumam pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Ia menatap jendela, memperhatikan rintik hujan yang membentuk pola acak di kaca. Dalam setiap tetesan, ia mencoba mencari petunjuk, tetapi yang ia temukan hanyalah pantulan dirinya yang penuh kebingungan.

Namun, Zahra tahu bahwa ia tidak bisa terus-terusan lari dari kenyataan. Ia harus menyelesaikan surat itu, baik untuk Zidan maupun untuk dirinya sendiri. Dengan napas panjang, ia mulai menulis:

"Gus, maafkan aku jika selama ini aku membuatmu menunggu dalam ketidakpastian. Percayalah, ini bukan tentang aku tidak menerima perasaanmu. Justru sebaliknya, aku terlalu takut menghadapi segalanya, karena keadaan yang belum bisa kita kendalikan. Tapi satu hal yang ingin aku katakan, aku percaya bahwa apa pun yang Allah rencanakan untuk kita, itu adalah yang terbaik. Jika kita memang berjodoh, aku yakin Allah akan memberikan jalan, bahkan di tengah segala rintangan ini. Zahra.”

Ia melipat surat itu dengan hati-hati, memasukkannya ke dalam amplop kecil, dan menyimpannya di bawah sajadah. Zahra berencana menitipkan surat itu pada Aisyah keesokan harinya.

Sementara itu, di pesantren asal, Zidan merasa lebih tenang setelah keberaniannya menemui Zahra. Meski Zahra belum memberikan jawaban pasti, Zidan merasa langkahnya tidak sia-sia. Ia percaya, Allah sedang menyusun jalan terbaik bagi mereka.

Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Kabar bahwa Zidan menemui Zahra sampai ke telinga beberapa pengurus pesantren, termasuk Kiai Mahfud. Meski Kiai Mahfud telah memberi restu secara pribadi, beliau tetap khawatir keputusan Zidan bisa menimbulkan kegaduhan di kalangan santri.

“Zidan, kamu harus lebih hati-hati,” ujar Kiai Idris dalam percakapan di ruangannya. “Abi tidak ingin ada yang salah paham tentang niatmu. Apalagi Zahra sekarang berada di lingkungan baru. Jika ada isu yang beredar, itu bisa menyulitkan dia.”

Zidan mengangguk. “Aku paham, Abi. Aku hanya tidak ingin dia merasa sendiri.”

“Dan Abi tidak menyalahkan itu,” jawab Kiai Idris dengan tenang. “Tapi ingat, menjaga nama baiknya sama pentingnya dengan memperjuangkan cintamu.”

Kata-kata itu menjadi pengingat bagi Zidan. Ia mulai lebih berhati-hati dalam tindakannya, memastikan bahwa perjuangannya tidak malah membebani Zahra.

Di hari berikutnya, Zahra memberikan surat itu kepada Aisyah saat mereka bertemu di acara pengajian gabungan. Aisyah, yang sudah lama melihat pergulatan hati Zahra, menerimanya dengan senyum penuh pengertian.

“Zahra,” kata Aisyah lembut, “aku tahu ini tidak mudah bagimu. Tapi aku yakin, Allah tidak akan membiarkan kamu menghadapi ini sendirian.” Pertemuan mereka dilakukan di sebuah toko buku, Aisyah memang izin keluar dari pesantren sengaja untuk menemui Zahra.

Zahra mengangguk, meski hatinya masih penuh keraguan. “Tolong berikan ini pada Gus Zidan. Aku hanya ingin dia tahu apa yang ada di hatiku.”

Aisyah memeluk Zahra dengan erat. Ia tahu betapa berat keputusan ini bagi sahabatnya.

Surat itu sampai di tangan Zidan dua hari kemudian. Saat membacanya, Zidan merasakan campuran emosi, lega, bahagia, dan sedikit gelisah. Zahra tidak memberikan jawaban pasti, tetapi surat itu adalah tanda bahwa Zahra tidak benar-benar meninggalkannya.

Namun, Zidan tahu bahwa hanya cinta saja tidak cukup. Ia harus menunjukkan kepada Zahra bahwa ia siap menghadapi apa pun untuk mereka berdua.

Di malam yang sama, Zidan berbicara dengan ayahnya sekali lagi.

“Abi, aku ingin bertemu Zahra lagi. Tapi kali ini, aku ingin melibatkan keluarganya juga. Aku ingin mereka tahu bahwa aku serius.”

Kiai Idris terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Jika itu niatmu, Abi akan mendukung. Tapi pastikan kamu melakukannya dengan cara yang benar.”

Rencana pertemuan itu pun mulai dirancang. Zidan menghubungi Aisyah untuk meminta bantuan mengatur pertemuan dengan Zahra dan keluarganya. Aisyah, meski awalnya terkejut, setuju untuk membantu.

Namun, ketika Zahra mendengar rencana itu, hatinya kembali bimbang. Ia tidak tahu apakah ia siap menghadapi keluarganya, terutama karena mereka selama ini sangat melindunginya.

“Zahra, ini adalah kesempatan untuk melihat kesungguhan Gus Zidan,” ujar Aisyah, mencoba menenangkan Zahra. “Dan ini juga kesempatan bagimu untuk berdiri di antara perasaan dan keluargamu.”

Zahra akhirnya setuju, meski dengan hati yang masih penuh keraguan.

Hari pertemuan itu tiba. Zidan, ditemani oleh Kiai Idris dan ibunya, datang ke rumah Zahra dengan membawa niat tulus. Di ruang tamu sederhana itu, suasana terasa tegang. Ayah Zahra, seorang pria yang dikenal tegas tetapi lembut, menatap Zidan dengan penuh perhatian.

“Gus Zidan,” kata Ayah Zahra akhirnya, memecah keheningan, “saya sudah mendengar tentang niatmu. Tapi sebelum saya memberikan restu, saya ingin tahu sejauh mana kamu memahami tanggung jawab ini.”

Zidan menatap Ayah Zahra dengan penuh keyakinan. “Pak, saya tidak akan berdiri di sini jika saya tidak yakin dengan niat saya. Saya tahu Zahra adalah sosok yang kuat, tetapi saya ingin menjadi pelindungnya, seperti yang dia pantas dapatkan.”

Ayah Zahra terdiam, merenungkan kata-kata Zidan. Sementara itu, Zahra yang duduk di sudut ruangan merasa jantungnya berdegup kencang.

“Bagus,” ujar Ayah Zahra akhirnya. “Tapi ingat, cinta saja tidak cukup untuk membangun kehidupan. Kamu harus siap menghadapi segala rintangan, baik dari dalam maupun dari luar.”

“Saya siap, Pak,” jawab Zidan dengan tegas.

Suasana di ruangan itu perlahan mencair. Zahra merasa lega melihat bagaimana Zidan menghadapi keluarganya dengan penuh penghormatan. Namun, ia tahu bahwa ini baru permulaan.

Setelah pertemuan itu, Zahra merasa ada beban yang terangkat dari pundaknya. Meski masih banyak yang harus mereka hadapi, ia merasa lebih yakin bahwa Zidan adalah sosok yang tepat untuknya.

Namun, di balik semua kebahagiaan itu, ada bayangan lain yang mulai muncul. Beberapa orang di pesantren baru Zahra mulai memperhatikan hubungan mereka, dan tidak semua pandangan itu positif.

“Zahra, kamu yakin ini pilihan yang benar?” tanya salah seorang temannya suatu hari.

“Kenapa kamu bertanya begitu?” Zahra balik bertanya.

“Karena cinta itu indah, tapi juga bisa menjadi ujian yang berat,” jawab temannya pelan.

Zahra tidak menjawab. Ia tahu bahwa apa pun yang ia pilih, akan ada konsekuensi yang harus ia hadapi.

Zidan dan Zahra kini berada di persimpangan yang lebih besar. Meski mereka semakin dekat, dunia di sekitar mereka mulai memberikan tekanan yang tidak kecil. Apakah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi segalanya? Ataukah perjalanan ini justru akan membawa mereka pada takdir yang berbeda?

Hanya waktu yang bisa menjawab.

To be continued...

Episodes
1 Bab 1: Cahaya di Tengah Kerumitan
2 Bab 2: Patah dan Dilema
3 Bab 3: Antara Hati dan Tradisi
4 Bab 4: Jalan yang Terjal
5 Bab 5: Rasa yang Terpendam
6 Bab 6: Pilihan di Ujung Jalan
7 Bab 7: Titik Temu di Persimpangan
8 Bab 8: Gemuruh di Balik Pintu
9 Bab 9: Langkah di Atas Api
10 Bab 10: Langkah di Persimpangan
11 Bab 11: Atap Dalam Kebisuan
12 Bab 12: Langkah Baru
13 Bab 13: Jalan yang Tak Terduga
14 Bab 14: Titik Balik
15 Bab 15: Keteguhan Hati
16 Bab 16: Ketulusan di Tengah Badai
17 Novel: Jodoh Jalur Ummi
18 Bab 17: Ombak di Tengah Layar
19 Bab 18: Badai di Tengah Tenang
20 Bab 19: Titik Balik
21 Bab 20: Menentukan Hari Bahagia
22 Bab 21: Langkah Awal Menuju Mimpi
23 Bab 22: Hari yang Ditunggu
24 Bab 23: Menapak Jejak Baru
25 Bab 24: Memperkuat Ikatan
26 Bab 25: Keindahan Cinta dalam Setiap Langkah
27 Bab 26: Kejutan-kejutan Kehamilan Zahra
28 Bab 27: Kejutan-kejutan Zahra yang Manis
29 Bab 28: Kegembiraan dan Tantangan Baru
30 Bab 29: Ketegangan Menjelang Kelahiran
31 Bab 30: Kelahiran yang Dinanti
32 Bab 31: Menapaki Langkah Baru
33 Bab 32: Cinta yang Tumbuh di Pesantren
34 Bab 33: Merawat Zafran dengan Cinta
35 Bab 34: Langkah Baru Bersama Zafran
36 Bab 35: Taman Kota
37 Bab 36: Kabar Duka
38 Bab 37: Langkah Baru Zahra
39 Bab 38: Pertemuan Singkat, Kenangan Panjang
40 Bab 39: Kebahagiaan di Hari Pernikahan
41 Bab 40: Harapan di Tengah Kehidupan Baru
42 Bab 41: Menatap Hari Esok
43 Bab 42: Perjalanan Cinta yang Tak Pernah Pudar
44 Bab 43: Kembalinya Masa Lalu
45 Bab 44: Keputusan Berat
46 Bab 45: Perpisahan yang Tidak Terduga
47 Bab 46: Duka yang Menyelimuti
48 Bab 47: Menghadapi Maya
49 Bab 48: Menghadapi Keputusan
50 Bab 49: Dukungan Sahabat
51 Bab 50: Cahaya di Tengah Kegelapan
52 Bab 51: Jalan Pulang yang Panjang
53 Bab 52: Momen Haru
54 Bab 53: Di Pondok Pesantren
55 Bab 54: Tamu
56 Bab 55: Syukuran di Pondok Pesantren
57 Bab 56: Dalam Dekapan Baitullah (Tamat)
Episodes

Updated 57 Episodes

1
Bab 1: Cahaya di Tengah Kerumitan
2
Bab 2: Patah dan Dilema
3
Bab 3: Antara Hati dan Tradisi
4
Bab 4: Jalan yang Terjal
5
Bab 5: Rasa yang Terpendam
6
Bab 6: Pilihan di Ujung Jalan
7
Bab 7: Titik Temu di Persimpangan
8
Bab 8: Gemuruh di Balik Pintu
9
Bab 9: Langkah di Atas Api
10
Bab 10: Langkah di Persimpangan
11
Bab 11: Atap Dalam Kebisuan
12
Bab 12: Langkah Baru
13
Bab 13: Jalan yang Tak Terduga
14
Bab 14: Titik Balik
15
Bab 15: Keteguhan Hati
16
Bab 16: Ketulusan di Tengah Badai
17
Novel: Jodoh Jalur Ummi
18
Bab 17: Ombak di Tengah Layar
19
Bab 18: Badai di Tengah Tenang
20
Bab 19: Titik Balik
21
Bab 20: Menentukan Hari Bahagia
22
Bab 21: Langkah Awal Menuju Mimpi
23
Bab 22: Hari yang Ditunggu
24
Bab 23: Menapak Jejak Baru
25
Bab 24: Memperkuat Ikatan
26
Bab 25: Keindahan Cinta dalam Setiap Langkah
27
Bab 26: Kejutan-kejutan Kehamilan Zahra
28
Bab 27: Kejutan-kejutan Zahra yang Manis
29
Bab 28: Kegembiraan dan Tantangan Baru
30
Bab 29: Ketegangan Menjelang Kelahiran
31
Bab 30: Kelahiran yang Dinanti
32
Bab 31: Menapaki Langkah Baru
33
Bab 32: Cinta yang Tumbuh di Pesantren
34
Bab 33: Merawat Zafran dengan Cinta
35
Bab 34: Langkah Baru Bersama Zafran
36
Bab 35: Taman Kota
37
Bab 36: Kabar Duka
38
Bab 37: Langkah Baru Zahra
39
Bab 38: Pertemuan Singkat, Kenangan Panjang
40
Bab 39: Kebahagiaan di Hari Pernikahan
41
Bab 40: Harapan di Tengah Kehidupan Baru
42
Bab 41: Menatap Hari Esok
43
Bab 42: Perjalanan Cinta yang Tak Pernah Pudar
44
Bab 43: Kembalinya Masa Lalu
45
Bab 44: Keputusan Berat
46
Bab 45: Perpisahan yang Tidak Terduga
47
Bab 46: Duka yang Menyelimuti
48
Bab 47: Menghadapi Maya
49
Bab 48: Menghadapi Keputusan
50
Bab 49: Dukungan Sahabat
51
Bab 50: Cahaya di Tengah Kegelapan
52
Bab 51: Jalan Pulang yang Panjang
53
Bab 52: Momen Haru
54
Bab 53: Di Pondok Pesantren
55
Bab 54: Tamu
56
Bab 55: Syukuran di Pondok Pesantren
57
Bab 56: Dalam Dekapan Baitullah (Tamat)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!