Bab 2: Patah dan Dilema

Matahari mulai merangkak naik, menyinari pelataran pesantren Al-Falah. Para santri sibuk dengan kegiatan pagi, sebagian membersihkan halaman, sebagian lagi membantu di dapur. Gus Zidan berdiri di beranda rumahnya, menyaksikan semua itu dengan mata yang menerawang.

Di kejauhan, ia melihat Zahra sedang menyapu halaman bersama beberapa santriwati lainnya. Gerakannya luwes dan anggun, seolah pekerjaan itu bukan beban sama sekali. Satu-dua kali Zahra tertawa kecil mendengar candaan temannya, tetapi segera kembali fokus pada tugasnya. Zidan mengalihkan pandangannya dengan cepat, takut jika terlalu lama memandang, hatinya akan semakin rapuh.

“Zidan!”

Suara itu membuatnya tersentak. Ibunya, Nyai Halimah, sudah berdiri di belakangnya dengan tatapan lembut. “Apa yang kau pikirkan, Nak?”

“Tidak apa-apa, Ummi,” jawab Zidan sambil memaksakan senyum.

Nyai Halimah menatap putranya dengan penuh kasih. Sebagai ibu, ia tahu ada sesuatu yang membebani Zidan. Namun, ia memilih untuk tidak langsung bertanya. “Ummi dengar dari abimu, keluarga Kiai Mahfud ingin kita segera membicarakan pernikahanmu dengan Ning Maya. Kau sudah siap, kan?”

Pertanyaan itu menghantam Zidan seperti petir di siang bolong. Ia mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Insya Allah, Ummi. Tapi… mungkin lebih baik kalau kita menunggu sedikit lagi. Saya ingin memastikan semuanya berjalan dengan baik.”

Nyai Halimah mengerutkan kening, tetapi tidak mendesak lebih jauh. “Kalau begitu, bicarakan baik-baik dengan abimu. Jangan biarkan waktu terlalu lama, Nak. Kehormatan keluarga kita juga bergantung pada keputusan ini.”

Zidan mengangguk lemah. Ia tahu ibunya benar, tetapi bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa hatinya berada di tempat lain?

Di sisi lain pesantren, Zahra sedang mengerjakan hafalan Al-Qurannya di sudut taman. Tempat itu adalah favoritnya, sepi dan tenang. Namun, hari ini pikirannya sedikit terusik.

Bayangan wajah Gus Zidan muncul di benaknya. Selama ini Zahra selalu berusaha menjaga pandangannya, seperti yang diajarkan dalam agama, tetapi ada sesuatu tentang Zidan yang sulit diabaikan. Cara Zidan berbicara, caranya memimpin, semuanya membuat Zahra merasa… nyaman, meskipun ia sendiri tidak mengerti kenapa.

“Zahra?”

Suara itu membuatnya tersentak. Ia menoleh dan melihat Nisa, salah satu teman dekatnya, berdiri di belakangnya dengan senyum lebar.

“Kamu melamun, ya?” goda Nisa sambil duduk di sampingnya.

“Enggak, kok,” Zahra mencoba tersenyum.

“Jangan bohong. Aku tahu kamu pasti kepikiran sesuatu. Atau… seseorang?” Nisa mengangkat alis dengan penuh arti.

Zahra menggeleng cepat. “Nisa, aku ke sini untuk belajar. Aku enggak mau pikiranku terganggu hal-hal lain.”

Nisa tertawa kecil. “Santai saja, Zahra. Tapi kalau suatu hari kamu butuh cerita, aku ada di sini.”

Zahra mengangguk, tetapi dalam hatinya ada pergulatan yang sulit dijelaskan.

Hari itu, di ruang utama pesantren, Kiai Idris memanggil Zidan untuk berbicara. Ruangan itu hangat, dindingnya dihiasi rak-rak penuh kitab kuning. Di sudut, sebuah foto keluarga besar terpajang, mengingatkan Zidan pada tanggung jawab yang ia pikul.

“Zidan, Abi ingin kita membahas sesuatu yang penting,” ujar Kiai Idris setelah mempersilakan putranya duduk.

Zidan merasakan hawa serius di ruangan itu. “Apa, Abi?”

Kiai Idris menarik napas dalam. “Kiai Mahfud menghubungi Abi tadi pagi. Mereka ingin mempercepat proses pernikahanmu dengan nak Maya. Menurut mereka, semakin cepat, semakin baik.”

Dunia Zidan terasa berputar. Ia ingin menjawab, tetapi lidahnya kelu.

“Zidan, Abi tahu ini mungkin bukan hal yang mudah bagimu. Tapi pernikahan ini bukan hanya soal kamu dan nak Maya. Ini soal menjaga hubungan baik antara dua keluarga besar, dan juga kelangsungan pesantren kita.”

“Tapi, Abi…” kata-kata Zidan terhenti. Bagaimana ia bisa mengatakan bahwa hatinya mulai condong pada orang lain?

“Tidak ada tapi, Nak,” potong Kiai Idris dengan suara lembut tapi tegas. “Abi ingin kamu merenungkan ini baik-baik. Jika ada keberatan, katakan sekarang. Abi tidak ingin kamu menikah tanpa keikhlasan.”

Zidan hanya bisa diam. Ia ingin berbicara, tetapi ketakutan dan rasa hormat pada ayahnya membuatnya bungkam.

Malam itu, Zidan kembali ke kamarnya dengan hati yang berat. Ia tahu, waktu tidak akan menunggunya. Keputusan harus dibuat, tetapi ia merasa terjebak dalam dilema yang tidak memiliki jalan keluar.

Ketika ia sedang termenung, pintu kamar diketuk. “Zidan, boleh masuk?”

Itu suara Vicky, sahabatnya sejak kecil yang juga salah satu ustadz di pesantren ini. Tanpa menunggu jawaban, Vicky masuk dengan membawa dua cangkir teh.

“Kamu kelihatan kusut, Dan. Apa yang terjadi?” tanya Vicky sambil duduk di kursi dekat jendela.

Zidan menghela napas. “Aku enggak tahu harus mulai dari mana, Vick.”

“Coba mulai dari yang paling sederhana. Apa yang mengganggu pikiranmu?”

Zidan terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Aku… aku rasa aku mulai menyukai seseorang.”

Vicky mengerutkan kening. “Dan kamu merasa itu masalah?”

Zidan mengangguk. “Karena orang itu bukan Ning Maya.”

Hening sesaat. Vicky menatap Zidan dengan penuh pengertian. “Dan orang itu adalah Zahra, kan?”

Zidan terkejut. “Bagaimana kamu tahu?”

“Aku sahabatmu, Dan. Aku tahu dari cara kamu diam-diam memperhatikannya. Tapi aku enggak akan menghakimi. Aku hanya ingin tahu, apa yang sebenarnya kamu inginkan?”

Zidan menatap Vicky dengan mata yang penuh kebingungan. “Aku enggak tahu, Vick. Aku hanya tahu aku terikat pada Ning Maya karena tradisi, tetapi hatiku ada pada Zahra. Apa yang harus aku lakukan?”

Vicky menepuk pundak Zidan. “Kamu harus bicara, Dan. Dengan abimu, dengan Maya, bahkan mungkin dengan Zahra. Kamu enggak bisa membiarkan ini mengendap terlalu lama. Cepat atau lambat, semuanya akan terungkap.”

Zidan hanya bisa mengangguk, meskipun hatinya masih penuh keraguan.

Di asrama, Zahra sedang menulis surat untuk keluarganya. Ia bercerita tentang pesantren, tentang kegiatannya, tetapi ada satu nama yang tidak sengaja terlintas di pikirannya, Gus Zidan.

Ia berhenti menulis, lalu menatap langit-langit. “Ya Allah, jika perasaan ini adalah cobaan, kuatkan hatiku. Jangan biarkan aku jatuh pada sesuatu yang tidak Kau ridhai.”

Namun, doa itu tidak menghapuskan rasa yang mulai tumbuh. Zahra hanya bisa berharap, jika memang ada takdir untuknya, Allah akan menunjukkannya dengan cara yang terbaik.

Bab kedua ini membawa pembaca semakin dekat pada konflik batin yang dialami Zidan dan Zahra. Di tengah tuntutan tradisi dan tanggung jawab, keduanya harus menemukan jalan untuk memahami hati masing-masing. Akankah mereka memilih cinta, atau justru menyerah pada keadaan? Mari ikuti perjalanan mereka yang penuh liku.

To Be Continued...

Episodes
1 Bab 1: Cahaya di Tengah Kerumitan
2 Bab 2: Patah dan Dilema
3 Bab 3: Antara Hati dan Tradisi
4 Bab 4: Jalan yang Terjal
5 Bab 5: Rasa yang Terpendam
6 Bab 6: Pilihan di Ujung Jalan
7 Bab 7: Titik Temu di Persimpangan
8 Bab 8: Gemuruh di Balik Pintu
9 Bab 9: Langkah di Atas Api
10 Bab 10: Langkah di Persimpangan
11 Bab 11: Atap Dalam Kebisuan
12 Bab 12: Langkah Baru
13 Bab 13: Jalan yang Tak Terduga
14 Bab 14: Titik Balik
15 Bab 15: Keteguhan Hati
16 Bab 16: Ketulusan di Tengah Badai
17 Novel: Jodoh Jalur Ummi
18 Bab 17: Ombak di Tengah Layar
19 Bab 18: Badai di Tengah Tenang
20 Bab 19: Titik Balik
21 Bab 20: Menentukan Hari Bahagia
22 Bab 21: Langkah Awal Menuju Mimpi
23 Bab 22: Hari yang Ditunggu
24 Bab 23: Menapak Jejak Baru
25 Bab 24: Memperkuat Ikatan
26 Bab 25: Keindahan Cinta dalam Setiap Langkah
27 Bab 26: Kejutan-kejutan Kehamilan Zahra
28 Bab 27: Kejutan-kejutan Zahra yang Manis
29 Bab 28: Kegembiraan dan Tantangan Baru
30 Bab 29: Ketegangan Menjelang Kelahiran
31 Bab 30: Kelahiran yang Dinanti
32 Bab 31: Menapaki Langkah Baru
33 Bab 32: Cinta yang Tumbuh di Pesantren
34 Bab 33: Merawat Zafran dengan Cinta
35 Bab 34: Langkah Baru Bersama Zafran
36 Bab 35: Taman Kota
37 Bab 36: Kabar Duka
38 Bab 37: Langkah Baru Zahra
39 Bab 38: Pertemuan Singkat, Kenangan Panjang
40 Bab 39: Kebahagiaan di Hari Pernikahan
41 Bab 40: Harapan di Tengah Kehidupan Baru
42 Bab 41: Menatap Hari Esok
43 Bab 42: Perjalanan Cinta yang Tak Pernah Pudar
44 Bab 43: Kembalinya Masa Lalu
45 Bab 44: Keputusan Berat
46 Bab 45: Perpisahan yang Tidak Terduga
47 Bab 46: Duka yang Menyelimuti
48 Bab 47: Menghadapi Maya
49 Bab 48: Menghadapi Keputusan
50 Bab 49: Dukungan Sahabat
51 Bab 50: Cahaya di Tengah Kegelapan
52 Bab 51: Jalan Pulang yang Panjang
53 Bab 52: Momen Haru
54 Bab 53: Di Pondok Pesantren
55 Bab 54: Tamu
56 Bab 55: Syukuran di Pondok Pesantren
57 Bab 56: Dalam Dekapan Baitullah (Tamat)
Episodes

Updated 57 Episodes

1
Bab 1: Cahaya di Tengah Kerumitan
2
Bab 2: Patah dan Dilema
3
Bab 3: Antara Hati dan Tradisi
4
Bab 4: Jalan yang Terjal
5
Bab 5: Rasa yang Terpendam
6
Bab 6: Pilihan di Ujung Jalan
7
Bab 7: Titik Temu di Persimpangan
8
Bab 8: Gemuruh di Balik Pintu
9
Bab 9: Langkah di Atas Api
10
Bab 10: Langkah di Persimpangan
11
Bab 11: Atap Dalam Kebisuan
12
Bab 12: Langkah Baru
13
Bab 13: Jalan yang Tak Terduga
14
Bab 14: Titik Balik
15
Bab 15: Keteguhan Hati
16
Bab 16: Ketulusan di Tengah Badai
17
Novel: Jodoh Jalur Ummi
18
Bab 17: Ombak di Tengah Layar
19
Bab 18: Badai di Tengah Tenang
20
Bab 19: Titik Balik
21
Bab 20: Menentukan Hari Bahagia
22
Bab 21: Langkah Awal Menuju Mimpi
23
Bab 22: Hari yang Ditunggu
24
Bab 23: Menapak Jejak Baru
25
Bab 24: Memperkuat Ikatan
26
Bab 25: Keindahan Cinta dalam Setiap Langkah
27
Bab 26: Kejutan-kejutan Kehamilan Zahra
28
Bab 27: Kejutan-kejutan Zahra yang Manis
29
Bab 28: Kegembiraan dan Tantangan Baru
30
Bab 29: Ketegangan Menjelang Kelahiran
31
Bab 30: Kelahiran yang Dinanti
32
Bab 31: Menapaki Langkah Baru
33
Bab 32: Cinta yang Tumbuh di Pesantren
34
Bab 33: Merawat Zafran dengan Cinta
35
Bab 34: Langkah Baru Bersama Zafran
36
Bab 35: Taman Kota
37
Bab 36: Kabar Duka
38
Bab 37: Langkah Baru Zahra
39
Bab 38: Pertemuan Singkat, Kenangan Panjang
40
Bab 39: Kebahagiaan di Hari Pernikahan
41
Bab 40: Harapan di Tengah Kehidupan Baru
42
Bab 41: Menatap Hari Esok
43
Bab 42: Perjalanan Cinta yang Tak Pernah Pudar
44
Bab 43: Kembalinya Masa Lalu
45
Bab 44: Keputusan Berat
46
Bab 45: Perpisahan yang Tidak Terduga
47
Bab 46: Duka yang Menyelimuti
48
Bab 47: Menghadapi Maya
49
Bab 48: Menghadapi Keputusan
50
Bab 49: Dukungan Sahabat
51
Bab 50: Cahaya di Tengah Kegelapan
52
Bab 51: Jalan Pulang yang Panjang
53
Bab 52: Momen Haru
54
Bab 53: Di Pondok Pesantren
55
Bab 54: Tamu
56
Bab 55: Syukuran di Pondok Pesantren
57
Bab 56: Dalam Dekapan Baitullah (Tamat)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!