Pagi di pesantren Al-Falah selalu diawali dengan suara adzan Subuh yang menggema lembut, mengalun dari menara masjid. Angin pagi menyelinap melalui jendela kamar Gus Zidan, membuatnya menggeliat di atas sajadah yang sejak tadi ia bentangkan. Ia sudah terjaga sejak sebelum Subuh, namun pikiran yang menggelayut membuatnya sulit fokus berdoa.
Di depan sajadah, sebuah kitab kuning terbuka, tetapi pandangan Zidan kosong, melompati teks-teks Arab yang sudah akrab baginya. Pikirannya tidak ada di sana. Melainkan pada satu sosok yang baru beberapa hari hadir di pesantren ini, Zahra.
Zahra adalah santriwati baru yang datang dari kota. Wajahnya tenang, dengan sorot mata yang penuh keyakinan dan senyum yang menenangkan. Di hari pertama Zahra bergabung, Zidan sudah mendengar gumaman dari para santri dan ustazah tentang kecerdasannya. Dalam waktu singkat, Zahra menjadi pembicaraan karena caranya menghafal Al-Quran begitu cepat, dan tutur katanya selalu penuh hormat.
Namun, bagi Zidan, yang menarik bukan hanya kecerdasan Zahra, melainkan caranya membawa diri. Ada sesuatu dalam langkahnya yang anggun, sederhana, tapi penuh keyakinan. Zidan tak pernah merasa seperti ini sebelumnya—bukan pada Maya, wanita yang sudah dijodohkan dengannya sejak kecil.
Zidan mendesah panjang. Maya adalah putri dari sahabat ayahnya, Kiai Mahfud, seorang ulama terpandang yang memiliki pesantren besar di kota sebelah. Semua orang menganggap hubungan itu sebagai takdir. Gus Zidan, anak tunggal Kiai Idris, dan Maya, gadis cantik yang lembut, tampaknya adalah pasangan sempurna di mata masyarakat. Namun hati Zidan berkata lain.
“Zidan!” suara lembut namun tegas dari luar pintu membuyarkan lamunannya.
“Ya, Ummi,” jawab Zidan sambil bangkit.
Ibunya, Nyai Halimah, muncul di ambang pintu. “Sudah waktunya memimpin tadarus. Jangan lupa, Nak, santri-santri baru akan ikut hari ini.”
Zidan mengangguk, tetapi hatinya gelisah. Pasti Zahra akan berada di antara mereka. Ia harus menjaga sikapnya, jangan sampai ada yang melihat gejolak di hatinya.
Ruangan aula pesantren dipenuhi suara lantunan ayat-ayat suci Al-Quran. Zidan duduk di depan, memimpin tadarus dengan suara yang merdu dan tenang. Santri-santri duduk melingkar, termasuk Zahra yang berada di barisan wanita, beberapa meter darinya.
Zidan mencoba fokus. Namun sesekali, tanpa sengaja, pandangannya melirik ke arah Zahra. Gadis itu duduk tegak, dengan kepala tertunduk khusyuk. Kerudung putih sederhana yang dikenakannya memantulkan cahaya pagi, membuatnya tampak seperti sosok yang datang dari mimpi.
“Maa Syaa Allah,” gumam Zidan dalam hati. Tapi seketika ia menegur dirinya sendiri. Astaghfirullah. Jangan sampai hati ini tergelincir, Ya Allah.
Ketika tadarus selesai, Zahra mendekat bersama beberapa santriwati lain untuk bertanya tentang tajwid. Suaranya lembut, namun penuh rasa ingin tahu. “Gus, bolehkah saya bertanya tentang ayat tadi? Saya ingin memastikan apakah pelafalan saya sudah benar.”
Zidan mengangguk, mencoba menjaga ekspresi netral. “Tentu, silakan.”
Zahra membaca dengan lancar, tetapi ada sedikit kesalahan kecil yang langsung diperbaiki oleh Zidan. Setiap kali Zahra berbicara, Zidan merasa seperti mendengar musik yang indah, tenang, namun menenangkan.
Namun, perasaan itu segera tergantikan oleh rasa bersalah. Bagaimana mungkin ia merasa seperti ini, sementara Maya sudah dipersiapkan untuknya?
Malam itu, Zidan duduk di ruang kerja Kiai Idris, ayahnya. Kiai Idris memandang putranya dengan senyum bijak. “Zidan, bagaimana kesanmu tentang santri-santri baru kita?”
“Baik, Bi. Mereka terlihat sangat semangat belajar,” jawab Zidan hati-hati.
Kiai Idris mengangguk. “Termasuk Zahra, ya? Gadis itu punya potensi besar. Abi dengar dia sudah hafal tujuh juz Al-Quran sebelum datang ke sini.”
Zidan hanya tersenyum kecil, tidak berani berkomentar banyak.
“Abi juga ingin mengingatkanmu, Nak,” lanjut Kiai Idris, “tentang rencana pernikahanmu dengan Ning Maya. Keluarga Kiai Mahfud berharap kita segera menetapkan tanggal. Bagaimana menurutmu?”
Zidan merasa jantungnya berdegup kencang. Pertanyaan itu selalu menjadi momok baginya. Ia mencintai orang tuanya, menghormati tradisi, tetapi setiap kali membayangkan Maya, ia merasa ada sesuatu yang kurang.
“Yah, mungkin kita bisa menunggu sedikit lagi?” Zidan mencoba menjawab diplomatis.
Kiai Idris mengerutkan kening. “Zidan, Abi tahu ini bukan hal mudah. Tapi ini bukan hanya soal perasaan. Ini soal menjaga silaturahmi dan kehormatan keluarga.”
Zidan terdiam. Ia tahu betapa pentingnya hal itu bagi ayahnya, tetapi hatinya berkata lain.
Di sisi lain, Zahra juga mulai merasa bahwa pesantren ini membawa cerita yang berbeda dalam hidupnya. Malam itu, di asrama santriwati, ia duduk di tepi jendela, memandang langit malam yang penuh bintang.
Ia teringat pertemuan singkatnya dengan Zidan pagi tadi. Gus Zidan, meskipun tampak tenang dan berwibawa, memiliki sorot mata yang penuh misteri. Zahra tidak bisa menafsirkan apa yang ia lihat dalam mata itu.
Zahra menggeleng pelan, mencoba mengusir pikiran itu. Ia datang ke pesantren ini untuk belajar, bukan untuk terjebak dalam hal-hal yang membuat hatinya goyah. Namun, ada sesuatu tentang Zidan yang sulit diabaikan.
Malam semakin larut, tetapi Zidan tidak bisa memejamkan mata. Ia duduk di depan meja belajarnya, dengan kertas kosong di depannya. Di tangannya, pena yang tak kunjung bergerak.
Ia ingin menulis surat untuk ayahnya. Surat yang menjelaskan perasaannya, tentang Maya, tentang Zahra, tentang semuanya. Tetapi kata-kata terasa begitu sulit.
“Apa yang harus aku lakukan, Ya Allah?” bisiknya lirih.
Di tengah kebimbangan itu, bayangan Zahra kembali melintas. Senyumnya, ketenangannya, caranya berbicara tentang ilmu agama. Zidan tahu, jika ia mengikuti perasaannya, ia harus siap menghadapi konsekuensi yang berat.
Tetapi jika ia memilih untuk tetap berada di jalur yang sudah ditentukan, akankah ia bisa benar-benar bahagia?
Bab awal ini membahas pergulatan batin Gus Zidan. Di tengah tradisi yang mengikat, hadirnya Zahra menjadi ujian besar dalam hidupnya. Akankah ia memilih cinta, atau tetap setia pada jalan yang sudah digariskan?
To Be Continued...
Matahari mulai merangkak naik, menyinari pelataran pesantren Al-Falah. Para santri sibuk dengan kegiatan pagi, sebagian membersihkan halaman, sebagian lagi membantu di dapur. Gus Zidan berdiri di beranda rumahnya, menyaksikan semua itu dengan mata yang menerawang.
Di kejauhan, ia melihat Zahra sedang menyapu halaman bersama beberapa santriwati lainnya. Gerakannya luwes dan anggun, seolah pekerjaan itu bukan beban sama sekali. Satu-dua kali Zahra tertawa kecil mendengar candaan temannya, tetapi segera kembali fokus pada tugasnya. Zidan mengalihkan pandangannya dengan cepat, takut jika terlalu lama memandang, hatinya akan semakin rapuh.
“Zidan!”
Suara itu membuatnya tersentak. Ibunya, Nyai Halimah, sudah berdiri di belakangnya dengan tatapan lembut. “Apa yang kau pikirkan, Nak?”
“Tidak apa-apa, Ummi,” jawab Zidan sambil memaksakan senyum.
Nyai Halimah menatap putranya dengan penuh kasih. Sebagai ibu, ia tahu ada sesuatu yang membebani Zidan. Namun, ia memilih untuk tidak langsung bertanya. “Ummi dengar dari abimu, keluarga Kiai Mahfud ingin kita segera membicarakan pernikahanmu dengan Ning Maya. Kau sudah siap, kan?”
Pertanyaan itu menghantam Zidan seperti petir di siang bolong. Ia mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Insya Allah, Ummi. Tapi… mungkin lebih baik kalau kita menunggu sedikit lagi. Saya ingin memastikan semuanya berjalan dengan baik.”
Nyai Halimah mengerutkan kening, tetapi tidak mendesak lebih jauh. “Kalau begitu, bicarakan baik-baik dengan abimu. Jangan biarkan waktu terlalu lama, Nak. Kehormatan keluarga kita juga bergantung pada keputusan ini.”
Zidan mengangguk lemah. Ia tahu ibunya benar, tetapi bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa hatinya berada di tempat lain?
Di sisi lain pesantren, Zahra sedang mengerjakan hafalan Al-Qurannya di sudut taman. Tempat itu adalah favoritnya, sepi dan tenang. Namun, hari ini pikirannya sedikit terusik.
Bayangan wajah Gus Zidan muncul di benaknya. Selama ini Zahra selalu berusaha menjaga pandangannya, seperti yang diajarkan dalam agama, tetapi ada sesuatu tentang Zidan yang sulit diabaikan. Cara Zidan berbicara, caranya memimpin, semuanya membuat Zahra merasa… nyaman, meskipun ia sendiri tidak mengerti kenapa.
“Zahra?”
Suara itu membuatnya tersentak. Ia menoleh dan melihat Nisa, salah satu teman dekatnya, berdiri di belakangnya dengan senyum lebar.
“Kamu melamun, ya?” goda Nisa sambil duduk di sampingnya.
“Enggak, kok,” Zahra mencoba tersenyum.
“Jangan bohong. Aku tahu kamu pasti kepikiran sesuatu. Atau… seseorang?” Nisa mengangkat alis dengan penuh arti.
Zahra menggeleng cepat. “Nisa, aku ke sini untuk belajar. Aku enggak mau pikiranku terganggu hal-hal lain.”
Nisa tertawa kecil. “Santai saja, Zahra. Tapi kalau suatu hari kamu butuh cerita, aku ada di sini.”
Zahra mengangguk, tetapi dalam hatinya ada pergulatan yang sulit dijelaskan.
Hari itu, di ruang utama pesantren, Kiai Idris memanggil Zidan untuk berbicara. Ruangan itu hangat, dindingnya dihiasi rak-rak penuh kitab kuning. Di sudut, sebuah foto keluarga besar terpajang, mengingatkan Zidan pada tanggung jawab yang ia pikul.
“Zidan, Abi ingin kita membahas sesuatu yang penting,” ujar Kiai Idris setelah mempersilakan putranya duduk.
Zidan merasakan hawa serius di ruangan itu. “Apa, Abi?”
Kiai Idris menarik napas dalam. “Kiai Mahfud menghubungi Abi tadi pagi. Mereka ingin mempercepat proses pernikahanmu dengan nak Maya. Menurut mereka, semakin cepat, semakin baik.”
Dunia Zidan terasa berputar. Ia ingin menjawab, tetapi lidahnya kelu.
“Zidan, Abi tahu ini mungkin bukan hal yang mudah bagimu. Tapi pernikahan ini bukan hanya soal kamu dan nak Maya. Ini soal menjaga hubungan baik antara dua keluarga besar, dan juga kelangsungan pesantren kita.”
“Tapi, Abi…” kata-kata Zidan terhenti. Bagaimana ia bisa mengatakan bahwa hatinya mulai condong pada orang lain?
“Tidak ada tapi, Nak,” potong Kiai Idris dengan suara lembut tapi tegas. “Abi ingin kamu merenungkan ini baik-baik. Jika ada keberatan, katakan sekarang. Abi tidak ingin kamu menikah tanpa keikhlasan.”
Zidan hanya bisa diam. Ia ingin berbicara, tetapi ketakutan dan rasa hormat pada ayahnya membuatnya bungkam.
Malam itu, Zidan kembali ke kamarnya dengan hati yang berat. Ia tahu, waktu tidak akan menunggunya. Keputusan harus dibuat, tetapi ia merasa terjebak dalam dilema yang tidak memiliki jalan keluar.
Ketika ia sedang termenung, pintu kamar diketuk. “Zidan, boleh masuk?”
Itu suara Vicky, sahabatnya sejak kecil yang juga salah satu ustadz di pesantren ini. Tanpa menunggu jawaban, Vicky masuk dengan membawa dua cangkir teh.
“Kamu kelihatan kusut, Dan. Apa yang terjadi?” tanya Vicky sambil duduk di kursi dekat jendela.
Zidan menghela napas. “Aku enggak tahu harus mulai dari mana, Vick.”
“Coba mulai dari yang paling sederhana. Apa yang mengganggu pikiranmu?”
Zidan terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Aku… aku rasa aku mulai menyukai seseorang.”
Vicky mengerutkan kening. “Dan kamu merasa itu masalah?”
Zidan mengangguk. “Karena orang itu bukan Ning Maya.”
Hening sesaat. Vicky menatap Zidan dengan penuh pengertian. “Dan orang itu adalah Zahra, kan?”
Zidan terkejut. “Bagaimana kamu tahu?”
“Aku sahabatmu, Dan. Aku tahu dari cara kamu diam-diam memperhatikannya. Tapi aku enggak akan menghakimi. Aku hanya ingin tahu, apa yang sebenarnya kamu inginkan?”
Zidan menatap Vicky dengan mata yang penuh kebingungan. “Aku enggak tahu, Vick. Aku hanya tahu aku terikat pada Ning Maya karena tradisi, tetapi hatiku ada pada Zahra. Apa yang harus aku lakukan?”
Vicky menepuk pundak Zidan. “Kamu harus bicara, Dan. Dengan abimu, dengan Maya, bahkan mungkin dengan Zahra. Kamu enggak bisa membiarkan ini mengendap terlalu lama. Cepat atau lambat, semuanya akan terungkap.”
Zidan hanya bisa mengangguk, meskipun hatinya masih penuh keraguan.
Di asrama, Zahra sedang menulis surat untuk keluarganya. Ia bercerita tentang pesantren, tentang kegiatannya, tetapi ada satu nama yang tidak sengaja terlintas di pikirannya, Gus Zidan.
Ia berhenti menulis, lalu menatap langit-langit. “Ya Allah, jika perasaan ini adalah cobaan, kuatkan hatiku. Jangan biarkan aku jatuh pada sesuatu yang tidak Kau ridhai.”
Namun, doa itu tidak menghapuskan rasa yang mulai tumbuh. Zahra hanya bisa berharap, jika memang ada takdir untuknya, Allah akan menunjukkannya dengan cara yang terbaik.
Bab kedua ini membawa pembaca semakin dekat pada konflik batin yang dialami Zidan dan Zahra. Di tengah tuntutan tradisi dan tanggung jawab, keduanya harus menemukan jalan untuk memahami hati masing-masing. Akankah mereka memilih cinta, atau justru menyerah pada keadaan? Mari ikuti perjalanan mereka yang penuh liku.
To Be Continued...
Pagi itu, pesantren Al-Falah terasa lebih sibuk dari biasanya. Ummi Halimah mempersiapkan ruang tamu utama untuk menyambut tamu istimewa, Kiai Mahfud dan keluarga Maya. Para santri bergegas menata meja dan kursi, sementara aroma masakan khas pesantren mulai menyebar dari dapur.
Di kamar pribadinya, Gus Zidan duduk di tepi ranjang. Pikirannya bercabang antara tanggung jawab yang sudah diatur Abi Idris dan hatinya yang tak bisa lepas dari Zahra. Ia merasa seperti kapal yang terombang-ambing di tengah badai.
“Zidan, apa kamu sudah siap?” suara Ummi Halimah memecah lamunannya.
Zidan menoleh. Umminya berdiri di ambang pintu dengan senyum lembut yang khas. “Mereka akan tiba sebentar lagi. Tolong jangan terlambat.”
“Insya Allah, Ummi,” jawab Zidan sambil memaksakan senyum.
Namun, hatinya berteriak. Apa yang harus ia katakan jika keluarga Maya menyinggung soal pernikahan? Bagaimana ia bisa menolak tanpa mengecewakan Ummi dan Abi?
Setelah Ummi Halimah pergi, Zidan merapikan pakaian dan berdiri di depan cermin. Wajahnya tampak lebih tegang dari biasanya. “Ya Allah,” gumamnya pelan, “tunjukkan jalan yang terbaik untukku. Aku tidak ingin mengecewakan siapa pun.”
Di ruang tamu, suasana hangat segera tercipta begitu Kiai Mahfud dan keluarganya tiba. Ning Maya, dengan kebaya sederhana berwarna pastel, duduk di samping ibunya. Pandangannya sesekali mencuri lihat ke arah Zidan yang duduk di sisi lain ruangan.
Zidan, di sisi lain, hanya menjawab seadanya setiap kali Abi Idris mengajaknya berbicara. Kepalanya terasa berat dengan berbagai pikiran. Sesekali ia melirik ke arah Ning Maya, berusaha mencari perasaan yang seharusnya ada, tetapi yang ia temukan hanyalah kehampaan.
“Zidan,” suara Abi Idris memecah lamunannya. “Kiai Mahfud ingin tahu, kapan kira-kira kita bisa mulai membicarakan tanggal pernikahanmu dengan nak Maya?”
Pertanyaan itu membuat jantung Zidan serasa berhenti. Semua mata kini tertuju padanya.
“Abi,” Zidan berdeham pelan, berusaha mengumpulkan keberanian. “Saya rasa, sebelum kita membicarakan itu, saya ingin meminta waktu untuk… memastikan diri saya siap. Saya ingin menjalankan pernikahan ini dengan sepenuh hati.”
Ruangan itu hening sejenak. Ning Maya menunduk, sementara Kiai Mahfud menatap Zidan dengan kening sedikit berkerut. Abi Idris melirik Zidan, tetapi tidak langsung berbicara.
“Kalau begitu, kami hormati keinginan Zidan,” ujar Kiai Mahfud akhirnya dengan nada bijak. “Tapi ingatlah, Nak, menikah adalah ibadah yang harus dijalani dengan niat dan tekad. Jangan biarkan keraguan terlalu lama.”
Zidan mengangguk. “Terima kasih, Kiai. Saya akan berusaha sebaik mungkin.”
Sore harinya, Zidan duduk di taman pesantren. Ia mencoba menenangkan diri, tetapi pikirannya masih kacau. Bayangan Zahra muncul lagi di benaknya, membuat hatinya semakin tak menentu.
“Gus Zidan,” suara lembut menyapa dari belakang.
Zidan menoleh dan melihat Zahra berdiri tak jauh darinya. Ia membawa beberapa buku dan terlihat ragu untuk mendekat.
“Ada apa, Zahra?” tanya Zidan, mencoba terdengar tenang.
“Maaf mengganggu, Gus,” jawab Zahra pelan. “Saya hanya ingin menyerahkan ini. Ustazah Nisa meminta saya mengembalikan buku ini ke perpustakaan.”
Zidan mengangguk. “Letakkan saja di meja sana. Nanti saya bawa ke perpustakaan.”
Zahra mengangguk, lalu meletakkan buku-buku itu di meja dekat Zidan. Saat ia hendak pergi, Zidan tiba-tiba berbicara, “Zahra, tunggu!”
Zahra berhenti dan menoleh dengan tatapan bingung.
“Kamu betah di sini?” tanya Zidan.
Zahra tersenyum tipis. “Alhamdulillah, Gus. Saya merasa lingkungan di sini sangat mendukung. Semua santri dan pengajar baik hati.”
Zidan menatap Zahra sejenak, ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia tahu itu tidak mungkin. Akhirnya ia hanya mengangguk. “Bagus kalau begitu. Kalau ada kesulitan, jangan ragu untuk bicara.”
“Terima kasih, Gus,” ujar Zahra sebelum melangkah pergi.
Zidan menatap punggungnya yang semakin menjauh. Hatinya semakin berat, tetapi ia tahu ia harus membuat keputusan secepatnya.
Malam itu, Zidan memberanikan diri berbicara dengan Abi Idris. Ia tahu, percakapan ini tidak akan mudah, tetapi ia tidak bisa terus hidup dalam kebingungan.
“Abi, saya ingin bicara,” ujarnya saat menemui ayahnya di ruang kerja.
Abi Idris meletakkan kitab yang sedang dibacanya dan menatap Zidan. “Ada apa, Nak?”
“Abi, saya ingin jujur. Saya merasa hati saya… tidak sepenuhnya untuk Ning Maya,” kata Zidan dengan suara pelan, tetapi tegas.
Abi Idris menatap putranya lama, seolah mencoba memahami maksudnya. “Lalu, untuk siapa hatimu, Zidan?”
Zidan ragu sejenak, tetapi akhirnya berkata, “Untuk seseorang yang tidak pernah kita rencanakan, Zahra.”
Hening. Abi Idris menghela napas panjang. “Zidan, kamu tahu apa yang kamu katakan ini bukan hal kecil. Zahra adalah santriwati. Jika kamu memilih dia, kamu harus siap menghadapi konsekuensi dari keluarga Ning Maya dan Kiai Mahfud.”
“Saya tahu, Abi. Tapi saya juga tahu bahwa pernikahan tanpa cinta hanya akan menyakiti kedua belah pihak,” jawab Zidan tegas.
Abi Idris menatap putranya dengan tatapan penuh pertimbangan. Akhirnya ia berkata, “Berikan Abi waktu untuk berpikir, Zidan. Ini bukan keputusan yang bisa diambil dengan tergesa-gesa.”
Zidan mengangguk, merasa lega meskipun keputusan akhir belum didapatkan. Setidaknya, ia telah menyampaikan isi hatinya.
Di kamar Zahra, malam itu terasa panjang. Ia tidak bisa tidur, entah kenapa pertemuannya dengan Gus Zidan sore tadi terus terngiang di benaknya.
“Ya Allah,” bisiknya dalam hati. “Jika perasaan ini adalah cobaan, bimbing aku untuk tetap berada di jalan-Mu. Jika ini adalah tanda, tunjukkan jalan yang terbaik untukku.”
Tanpa Zahra sadari, hatinya telah memasuki labirin yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sebuah labirin yang akan membawanya pada pilihan antara cinta, keyakinan, dan takdir.
Bab kali ini mempertegas pergolakan batin Zidan dan Zahra. Dengan keberanian Zidan untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Abi, konflik mulai memasuki babak baru. Apakah cinta akan menang melawan tradisi, ataukah mereka akan tunduk pada kehendak keluarga? Perjalanan mereka baru saja dimulai.
To Be Continued...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!