Something Happens
"Rhea. Sini!" panggil mempelai wanita yang tak lain merupakan sepupuku, anak dari adik ayahku.
Hari ini pernikahannya. Cucu kesayangan kakekku itu tersenyum sambil melambaikan tangan ke arahku. Mengisyaratkan aku untuk mendekat ke arah panggung untuk berfoto bersama dengan sepupuku yang lain.
Dan momen menyebalkan itu pun dimulai,
"Rhea sekarang gendutan ya?"
"Kamu kapan lagi nyusul Vivi?"
"Nggak malu sama umur?"
"Muka pas-pasan nggak perlu pilih-pilih, kecuali kamu itu cantiknya kayak Vivi. Becanda loh, jangan dimasukin dalam hati ya."
Aku akui Vivi memang sangat cantik, kulit wajah dan tubuhnya putih, mulus, bersinar bak permata, senyumnya semanis madu sidr, madu yang hanya ada di pegunungan Hadramaut di Timur Tengah.
Matanya sejernih sungai nil dan wajahnya cantik mempesona bak artis-artis korea. Satu lagi, jangan lupakan lekuk tubuhnya yang pastinya membuat semua pria tergiur dan tak henti memandang ke arahnya dengan segala pikiran kotor mereka. Ciih, menyebalkan.
Lalu bagaimana dengan aku?
Aku?.Heh?!. Aku ini tidak ada apa-apanya dibandingkan sepupu sempurnaku itu. Kalau dia Putri Salju, aku ini hanya kurcaci. Jika dia Cinderella, aku ini hanyalah labu yang menjadi kereta kudanya.
Dia itu ibarat Ratu Elizabeth dan aku ini hanyalah upik abu yang selalu jadi keset kakinya. Benar-benar menyebalkan. Kenapa hidup selalu tidak adil padaku?. Aku pun kembali meringis perih dalam hatiku.
"Udah selesai ngomong nya?. Punya mulut kok cuma dipake ngebacotin orang aja!. Urus Sono hidup Lo, nggak usah ngerecokin hidup gue," sahutku pada ocehan sepupuku yang sedari tadi sibuk mengomentari hidupku.
"Kamu sama siapa ke sini, Rhea?!" tanya Vivi dengan suara lembut khas nya.
Salah satu hal yang membuatku kesal. Untuk apa Vivi menanyakan hal menyebalkan yang dia sendiri sudah tahu jawabannya.
"Berdua tadi, sama tukang ojek!" kesalku dengan sinis.
"Jangan manyun gitu dong, tenang aja aku yakin kok kamu juga bakalan nyusul aku nikah."
Aku pun membalas senyum menyebalkan itu, "Heh?!. Makasih."
Aku tersenyum paksa, kemudian mengulurkan tanganku untuk bersalaman dengan gadis menyebalkan ini.
Setelah mengakhiri salaman penuh dendamku, aku pun segera melangkah pergi dari singgasana mereka. Kakiku melangkah jauh semakin jauh mendekat ke arah hidangan prasmanan yang sangat menggugah selera.
Maklum saja, sepupuku itu tergolong keluarga kaya dan terpandang. Satu hal lagi yang membuatku bertambah iri padanya. Sudah kubilangkan aku ini hanya upik abu yang selalu berada di kasta terendah, jadi jangan pernah membual ini dan itu didepanku.
Aku pun mulai mengambil makanan yang aku sukai dari meja hidangan. Walau dadaku mendidih, aku tidak mungkin melupakan kremi-kremi yang ada di dalam perutku. Mereka juga perlu dinafkahi. Setidaknya aku tidak boleh egois kali ini.
Setelah mengambil makanan, aku pun mulai duduk manis dan menyantap makananku dengan anggun sesuai dengan penampilanku hari ini yang terlihat, ehm, lumayan cantik. Yah, setidaknya untuk hari ini.
Sesaat kemudian, sesuatu yang hangat menyentuh bahuku, aku tersentak dan menoleh seketika.
Pria bertubuh tinggi yang sangat asing tertangkap oleh kedua bola mataku. Aku mengernyit sambil membenarkan letak kaca mataku yang sedikit merosot melewati hidungku.
" Lo Rhea, kan?. Apa kabar, lo?"
Aku menepis tangannya dari bahuku, "Nggak usah sok kenal, deh!" Aku kembali menyantap makananku.
"Gue Nathan. Lo nggak inget sama gue?" ucapnya lagi dengan nada heboh yang mengernyit.
Pria itu kemudian duduk di sebelahku. "Gue temen kampus lo dulu. Masa lo nggak inget. Lo itu Rhea, sahabatnya Egi 'kan?. Rahagi Hadyan Prasaja, iya 'kan?"
Mataku membulat saat pria itu menyebut nama Egi. Egi, sahabatku.
"Terus, kalau lo kenal Egi, kenapa?" sinisku lagi.
"Nggak pa-pa,sih. Biar lo inget aja sama gue!. He.he.he."
"Nggak penting." Aku memutar bola mataku malas sambil memasukkan sesuap nasi lagi ke dalam mulutku.
"Jutek amat sih, lo. Ngomong-ngomong, lo sekarang kerja dimana?"
Aku menatapnya sekilas saat dia tertawa karena jawaban asal yang aku buat tadi. Pria ini lumayan tampan, gigi putihnya tampak berjajar rapi saat dia tertawa. Lesung pipinya juga menancap dalam di kedua pipinya yang mulus.
"Boleh minta nomor hape?" tanyanya tiba-tiba.
Aku menghentikan gerakan tanganku. Aku pun sedikit menolak, berpura-pura jual mahal. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya dikejar seorang pria sebab aku sudah bosan terus mengejar mereka.
Benar saja, pria didepanku ini terus saja merayuku untuk memberikan nomorku padanya. Rayuannya itu sedikit berpengaruh padaku. Aku mencoba mengatur detak jantungku yang mulai tak beraturan saat mendengar rayuan demi rayuan yang terlontar dari bibir manisnya.
Dan kesempatan emas ini pun tidak aku sia-siakan.
Satu bulan sejak pertemuanku dengan Nathan, tak kusangka kami pun semakin dekat. Kedekatan yang berujung dengan pengakuan cintaku padanya. Sudah ku bilangkan, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini.
Mumpung ada kesempatan langsung saja aku ambil secepat mungkin. Setidaknya dengan begitu aku berharap tidak akan jomblo lagi.
Setelah banyak pengorbanan yang aku lakukan untuk meluluhkan hatinya, akhirnya Nathan pun menerimaku.
Aku segera menaruh ponsel di atas meja lalu menyeruput jus jeruk kesukaanku yang tersaji di sana sejak aku mendaratkan kaki di kafe favorit kami. Kami?. Ya, aku dan Nathan. Sekarang aku menyebut semua hal dengan sebutan kami dan kita. Terdengar berlebihan, tapi aku suka.
Rasanya menyenangkan berbagi hal-hal yang aku suka dengan pria yang aku sayang. Menikah dengan Nathan adalah salah satu impian ku, impian yang akan segera jadi kenyataan.
Namun, khayalanku terhempas saat suara berat seorang pria berkumandang sinis di telingaku.
"Lo beneran mau ngelamar si Nathan?" tanya Egi, sahabatku yang sejak tadi menemaniku di kafe ini. Matanya menatapku lekat.
Aku manggut-manggut mengiyakan sambil tersenyum.
Aku memang sengaja mengajak Egi ikut ke kafe ini. Aku mau sahabatku yang setia itu jadi saksi kebahagiaanku. Kebahagiaan yang sebentar lagi akan menghampiriku.
"Lo yakin, Rhe?" tanyanya lagi dengan wajah tidak percaya. "Lo nggak takut ditolak kayak dulu-dulu?"
"Stop Egi. Gue ini lagi seneng dan lo jangan ngerusak mood gue!"
Egi hanya menggeleng setelah aku mengeluarkan kalimatku barusan.
"Lo 'kan jadian belom lama sama si Nathan. Masa lo udah mau ngelamar dia aja. Lo itu cewek, jangan ngejatuhin harga diri lo kayak gini dong, Rhe!" Egi mencoba menasehatiku.
"Nathan itu cowok baik dan gue yakin, kali ini gue pasti di terima. Lo lihat aja entar," jawabku optimis.
Lagi-lagi Egi hanya menggeleng singkat. Raut wajah khawatir tertangkap jelas di rona matanya. Padahal aku sudah sering melakukan hal konyol ini, tapi dia selalu saja menunjukkan ekspresi seperti itu. Aku memang tidak salah memilih sahabat.
Satu hal yang membuatku suka bersahabat dengan Egi. Dia itu pria yang baik dan pastinya sahabat yang baik.
Tentang dirinya yang lain, aku tidak terlalu memikirkannya, meskipun banyak orang yang mengatakan kalau Egi itu nyaris sempurna sebagai seorang pria tapi bagiku dia hanyalah sahabat. Just it. Tak terasa persahabatan kami pun sudah sepuluh tahun lamanya.
Sebuah mobil hitam yang sangat aku tandai terlihat berhenti dan terparkir di depan kafe. Mataku membulat menangkap sosok pria yang sangat aku cintai di sana. Nathan berjalan memasuki kafe perlahan lalu menghampiriku dan Egi.
Nathan langsung mengobrol singkat dengan Egi setelah sebelumnya melayangkan sebuah ciuman hangat di pipiku yang aku balas dengan pelukan erat di pinggangnya.
Egi menjawab lelucon dan pertanyaan Nathan dengan singkat dan datar, membuatku terpaksa melotot tajam ke arah Egi, mengisyaratkan dengan mataku agar Egi mengubah sikap dinginnya terhadap Nathan.
Meskipun mereka sudah beberapa kali bertemu, tapi Egi tetap saja seperti itu pada Nathan. Membuatku sebal.
Sesuai rencana kami beberapa waktu lalu, Egi pun beralasan undur diri dari aku dan Nathan. Aku memang sengaja menyuruh Egi pergi agar aku bisa berduaan dengan Nathan, lalu aku akan melamar Nathan tepat saat itu juga.
Aku sungguh sangat tidak sabar mendengar kata "iya" tercetus dari bibir Nathan. Sesaat setelah kepergian Egi, aku pun langsung mendekat ke arah Nathan yang duduk tepat di sampingku.
Jantungku sudah berdebar tak karuan padahal aku belum mengatakan apapun. Aku menarik nafas panjang lalu menghembuskannya. Hal itu aku lakukan beberapa kali untuk menetralkan detak jantungku. Aku sangat gugup.
"Kamu kenapa sayang?" tanya Nathan yang memang memperhatikanku sejak tadi.
"Hemm. A-a-aku mau nikah sama kamu. Kamu mau kan?" tanyaku harap-harap cemas.
Aku masih menatapnya lekat dengan sekotak cincin di tanganku. Cincin yang sengaja aku beli di toko dekat rumah. Sementara Nathan masih diam membisu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Ummu Sakha Khalifatul Ulum
Semangat thor 💪💪💪
2020-10-05
0
Pena.S
hallo kak.. aku mampir nih meluncur bawa like ehehhe.. semangat berkarya❤️🤗
2020-08-22
1
Aisyah
si rhea nekat amat, Thor🤣🤣
Lanjut
2020-08-22
0