"Rhea. Sini!" panggil mempelai wanita yang tak lain merupakan sepupuku, anak dari adik ayahku.
Hari ini pernikahannya. Cucu kesayangan kakekku itu tersenyum sambil melambaikan tangan ke arahku. Mengisyaratkan aku untuk mendekat ke arah panggung untuk berfoto bersama dengan sepupuku yang lain.
Dan momen menyebalkan itu pun dimulai,
"Rhea sekarang gendutan ya?"
"Kamu kapan lagi nyusul Vivi?"
"Nggak malu sama umur?"
"Muka pas-pasan nggak perlu pilih-pilih, kecuali kamu itu cantiknya kayak Vivi. Becanda loh, jangan dimasukin dalam hati ya."
Aku akui Vivi memang sangat cantik, kulit wajah dan tubuhnya putih, mulus, bersinar bak permata, senyumnya semanis madu sidr, madu yang hanya ada di pegunungan Hadramaut di Timur Tengah.
Matanya sejernih sungai nil dan wajahnya cantik mempesona bak artis-artis korea. Satu lagi, jangan lupakan lekuk tubuhnya yang pastinya membuat semua pria tergiur dan tak henti memandang ke arahnya dengan segala pikiran kotor mereka. Ciih, menyebalkan.
Lalu bagaimana dengan aku?
Aku?.Heh?!. Aku ini tidak ada apa-apanya dibandingkan sepupu sempurnaku itu. Kalau dia Putri Salju, aku ini hanya kurcaci. Jika dia Cinderella, aku ini hanyalah labu yang menjadi kereta kudanya.
Dia itu ibarat Ratu Elizabeth dan aku ini hanyalah upik abu yang selalu jadi keset kakinya. Benar-benar menyebalkan. Kenapa hidup selalu tidak adil padaku?. Aku pun kembali meringis perih dalam hatiku.
"Udah selesai ngomong nya?. Punya mulut kok cuma dipake ngebacotin orang aja!. Urus Sono hidup Lo, nggak usah ngerecokin hidup gue," sahutku pada ocehan sepupuku yang sedari tadi sibuk mengomentari hidupku.
"Kamu sama siapa ke sini, Rhea?!" tanya Vivi dengan suara lembut khas nya.
Salah satu hal yang membuatku kesal. Untuk apa Vivi menanyakan hal menyebalkan yang dia sendiri sudah tahu jawabannya.
"Berdua tadi, sama tukang ojek!" kesalku dengan sinis.
"Jangan manyun gitu dong, tenang aja aku yakin kok kamu juga bakalan nyusul aku nikah."
Aku pun membalas senyum menyebalkan itu, "Heh?!. Makasih."
Aku tersenyum paksa, kemudian mengulurkan tanganku untuk bersalaman dengan gadis menyebalkan ini.
Setelah mengakhiri salaman penuh dendamku, aku pun segera melangkah pergi dari singgasana mereka. Kakiku melangkah jauh semakin jauh mendekat ke arah hidangan prasmanan yang sangat menggugah selera.
Maklum saja, sepupuku itu tergolong keluarga kaya dan terpandang. Satu hal lagi yang membuatku bertambah iri padanya. Sudah kubilangkan aku ini hanya upik abu yang selalu berada di kasta terendah, jadi jangan pernah membual ini dan itu didepanku.
Aku pun mulai mengambil makanan yang aku sukai dari meja hidangan. Walau dadaku mendidih, aku tidak mungkin melupakan kremi-kremi yang ada di dalam perutku. Mereka juga perlu dinafkahi. Setidaknya aku tidak boleh egois kali ini.
Setelah mengambil makanan, aku pun mulai duduk manis dan menyantap makananku dengan anggun sesuai dengan penampilanku hari ini yang terlihat, ehm, lumayan cantik. Yah, setidaknya untuk hari ini.
Sesaat kemudian, sesuatu yang hangat menyentuh bahuku, aku tersentak dan menoleh seketika.
Pria bertubuh tinggi yang sangat asing tertangkap oleh kedua bola mataku. Aku mengernyit sambil membenarkan letak kaca mataku yang sedikit merosot melewati hidungku.
" Lo Rhea, kan?. Apa kabar, lo?"
Aku menepis tangannya dari bahuku, "Nggak usah sok kenal, deh!" Aku kembali menyantap makananku.
"Gue Nathan. Lo nggak inget sama gue?" ucapnya lagi dengan nada heboh yang mengernyit.
Pria itu kemudian duduk di sebelahku. "Gue temen kampus lo dulu. Masa lo nggak inget. Lo itu Rhea, sahabatnya Egi 'kan?. Rahagi Hadyan Prasaja, iya 'kan?"
Mataku membulat saat pria itu menyebut nama Egi. Egi, sahabatku.
"Terus, kalau lo kenal Egi, kenapa?" sinisku lagi.
"Nggak pa-pa,sih. Biar lo inget aja sama gue!. He.he.he."
"Nggak penting." Aku memutar bola mataku malas sambil memasukkan sesuap nasi lagi ke dalam mulutku.
"Jutek amat sih, lo. Ngomong-ngomong, lo sekarang kerja dimana?"
Aku menatapnya sekilas saat dia tertawa karena jawaban asal yang aku buat tadi. Pria ini lumayan tampan, gigi putihnya tampak berjajar rapi saat dia tertawa. Lesung pipinya juga menancap dalam di kedua pipinya yang mulus.
"Boleh minta nomor hape?" tanyanya tiba-tiba.
Aku menghentikan gerakan tanganku. Aku pun sedikit menolak, berpura-pura jual mahal. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya dikejar seorang pria sebab aku sudah bosan terus mengejar mereka.
Benar saja, pria didepanku ini terus saja merayuku untuk memberikan nomorku padanya. Rayuannya itu sedikit berpengaruh padaku. Aku mencoba mengatur detak jantungku yang mulai tak beraturan saat mendengar rayuan demi rayuan yang terlontar dari bibir manisnya.
Dan kesempatan emas ini pun tidak aku sia-siakan.
Satu bulan sejak pertemuanku dengan Nathan, tak kusangka kami pun semakin dekat. Kedekatan yang berujung dengan pengakuan cintaku padanya. Sudah ku bilangkan, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini.
Mumpung ada kesempatan langsung saja aku ambil secepat mungkin. Setidaknya dengan begitu aku berharap tidak akan jomblo lagi.
Setelah banyak pengorbanan yang aku lakukan untuk meluluhkan hatinya, akhirnya Nathan pun menerimaku.
Aku segera menaruh ponsel di atas meja lalu menyeruput jus jeruk kesukaanku yang tersaji di sana sejak aku mendaratkan kaki di kafe favorit kami. Kami?. Ya, aku dan Nathan. Sekarang aku menyebut semua hal dengan sebutan kami dan kita. Terdengar berlebihan, tapi aku suka.
Rasanya menyenangkan berbagi hal-hal yang aku suka dengan pria yang aku sayang. Menikah dengan Nathan adalah salah satu impian ku, impian yang akan segera jadi kenyataan.
Namun, khayalanku terhempas saat suara berat seorang pria berkumandang sinis di telingaku.
"Lo beneran mau ngelamar si Nathan?" tanya Egi, sahabatku yang sejak tadi menemaniku di kafe ini. Matanya menatapku lekat.
Aku manggut-manggut mengiyakan sambil tersenyum.
Aku memang sengaja mengajak Egi ikut ke kafe ini. Aku mau sahabatku yang setia itu jadi saksi kebahagiaanku. Kebahagiaan yang sebentar lagi akan menghampiriku.
"Lo yakin, Rhe?" tanyanya lagi dengan wajah tidak percaya. "Lo nggak takut ditolak kayak dulu-dulu?"
"Stop Egi. Gue ini lagi seneng dan lo jangan ngerusak mood gue!"
Egi hanya menggeleng setelah aku mengeluarkan kalimatku barusan.
"Lo 'kan jadian belom lama sama si Nathan. Masa lo udah mau ngelamar dia aja. Lo itu cewek, jangan ngejatuhin harga diri lo kayak gini dong, Rhe!" Egi mencoba menasehatiku.
"Nathan itu cowok baik dan gue yakin, kali ini gue pasti di terima. Lo lihat aja entar," jawabku optimis.
Lagi-lagi Egi hanya menggeleng singkat. Raut wajah khawatir tertangkap jelas di rona matanya. Padahal aku sudah sering melakukan hal konyol ini, tapi dia selalu saja menunjukkan ekspresi seperti itu. Aku memang tidak salah memilih sahabat.
Satu hal yang membuatku suka bersahabat dengan Egi. Dia itu pria yang baik dan pastinya sahabat yang baik.
Tentang dirinya yang lain, aku tidak terlalu memikirkannya, meskipun banyak orang yang mengatakan kalau Egi itu nyaris sempurna sebagai seorang pria tapi bagiku dia hanyalah sahabat. Just it. Tak terasa persahabatan kami pun sudah sepuluh tahun lamanya.
Sebuah mobil hitam yang sangat aku tandai terlihat berhenti dan terparkir di depan kafe. Mataku membulat menangkap sosok pria yang sangat aku cintai di sana. Nathan berjalan memasuki kafe perlahan lalu menghampiriku dan Egi.
Nathan langsung mengobrol singkat dengan Egi setelah sebelumnya melayangkan sebuah ciuman hangat di pipiku yang aku balas dengan pelukan erat di pinggangnya.
Egi menjawab lelucon dan pertanyaan Nathan dengan singkat dan datar, membuatku terpaksa melotot tajam ke arah Egi, mengisyaratkan dengan mataku agar Egi mengubah sikap dinginnya terhadap Nathan.
Meskipun mereka sudah beberapa kali bertemu, tapi Egi tetap saja seperti itu pada Nathan. Membuatku sebal.
Sesuai rencana kami beberapa waktu lalu, Egi pun beralasan undur diri dari aku dan Nathan. Aku memang sengaja menyuruh Egi pergi agar aku bisa berduaan dengan Nathan, lalu aku akan melamar Nathan tepat saat itu juga.
Aku sungguh sangat tidak sabar mendengar kata "iya" tercetus dari bibir Nathan. Sesaat setelah kepergian Egi, aku pun langsung mendekat ke arah Nathan yang duduk tepat di sampingku.
Jantungku sudah berdebar tak karuan padahal aku belum mengatakan apapun. Aku menarik nafas panjang lalu menghembuskannya. Hal itu aku lakukan beberapa kali untuk menetralkan detak jantungku. Aku sangat gugup.
"Kamu kenapa sayang?" tanya Nathan yang memang memperhatikanku sejak tadi.
"Hemm. A-a-aku mau nikah sama kamu. Kamu mau kan?" tanyaku harap-harap cemas.
Aku masih menatapnya lekat dengan sekotak cincin di tanganku. Cincin yang sengaja aku beli di toko dekat rumah. Sementara Nathan masih diam membisu.
Nathan masih tak bersuara, sepertinya ia kaget, padahal permintaan ku sudah mengudara sejak sepuluh menit yang lalu. Menyebalkan memang, tapi mau bagaimana lagi aku sudah cinta.
"Aku mau!" ucapnya singkat. Ucapan singkat yang berhasil membuatku berteriak kegirangan dan sontak memeluk tubuh Nathan lalu menyandarkan kepalaku di dada bidangnya.
Ka-kamu serius?" tanyaku pada Nathan, masih dengan mataku yang membulat.
Nathan mengangguk.
Aku memeluknya erat.
"Tapi aku mau sebelum kita nikah, kamu jangan temenan lagi sama Egi" ujarnya tersenyum sambil membelai rambut ikal ku.
"Maksudnya?"
"Aku cuma mau perhatian kamu itu cuma sama aku, bukan ke cowok lain," jawab Nathan singkat, sambil menyematkan cincin di jari manis ku.
"Kamu masih cemburu sama Egi?"
Nathan mengangguk.
"Ya ampun sayang, Egi itu cuma sahabat aku aja, nggak lebih dan nggak akan pernah lebih," sahutku.
"Kamu yakin?!" tanyanya memastikan jawaban ku.
Dering ponsel Nathan seketika menyentak kami berdua. Nathan segera meraih gawai dari saku celananya. Samar-samar aku mendengar suara seorang wanita dari balik gawai pipih di telinganya sesaat setelah sapaan terlontar dari bibirnya. Nathan langsung melepas pelukannya dan menjauh.
Suara siapa itu?, batinku tiba-tiba gusar.
Aku menatap Nathan yang masih sibuk dengan panggilannya.
Tak lama, Nathan mematikan panggilannya kemudian mendatangiku di meja kembali.
"Siapa?" tanyaku ketus masih menatap tajam ke arah Nathan.
"Oh, adik sepupu aku. Biasa minta dijemput," jawabnya santai dan singkat.
Aku hanya tersenyum tipis sambil menatap lekat kedua manik mata cokelat terangnya.
Kenapa Nathan nggak pernah cerita kalau dia punya adik sepupu?, batinku.
"Ya udah, aku balik duluan ya sayang. Nanti aku telepon. Bye. I Love You," pamitnya padaku.
Nathan pun berlalu pergi setelah mencium keningku.
Tak lama berselang, sesuai rencana Egi pun mendatangiku di meja. Egi memajukan wajahnya penuh rasa penasaran saat melihatku menekuk wajahku di atas meja. Tekukan wajah penuh rasa penyesalan dan kekesalan.
"Gimana?!" tanya Egi penasaran.
Aku mengangguk mengiyakan sambil memamerkan cincin di tanganku padanya.
"Oh," balas Egi singkat.
"Cuma Oh, doang?!. Lo nggak kasih selamet ke gue?"
"Iya selamet deh. Puas Lo!"
Aku nyengir, "Gi, makan yuk. Gue laper, karna hari ini gue lagi seneng, gue traktir deh."
"Males ah gue."
"Ayolah Gi, ntar kalo gue udah nikah gue bakal nggak bisa lagi makan bareng Lo."
"Maksud Lo?"
Astaga, mulutku ini memang tidak bisa direm.
"Duh, perut gue sakit. Cepetan yuk. Gue udah laper banget," alihku sambil berjalan.
Egi pun segera mengikuti langkah kakiku di belakang. Aku melenggang santai saat menarik pintu kafe. Langkah santaiku terhenti tepat saat aku melihat seorang bocah kecil menangis di ujung jalan.
Bocah lelaki itu tampak berjalan tak tentu arah dengan langkah kaki kecilnya. Rintihan lirih memanggil ibunya terdengar memekakkan telinga. Sepertinya bocah itu kehilangan ibunya. Bocah itu berjalan gontai berlari menerobos lalu lintas padat merayap didepannya.
Tanpa pikir panjang, aku pun segera melintasi lalu lintas ramai dihadapanku. Niatku hanya satu, menyelamatkan bocah kecil didepanku.
Suara klakson mobil yang terus-menerus berbunyi tidak aku hiraukan, pandanganku hanya tertuju pada bocah kecil yang kini mulai terisak pilu itu.
Teriakan Egi yang spontan memanggil namaku tak lagi terdengar karena suara mesin kendaraan yang banyak melintas di sana. Aku berlutut lalu segera menarik bocah kecil itu kedalam pelukan hangatku. Bocah kecil itu pun seketika menghentikan tangisnya.
Aku terhenyak saat tiba-tiba sebuah lengan kekar kurasakan menarik tubuhku. Memaksa lututku untuk berdiri dengan tegak.
Wajah Egi tampak jelas didepanku. Sesaat kami saling melempar pandang, aku mengamati mata teduhnya dari dekat.
Cepat-cepat ia memalingkan wajahnya lalu menggendong bocah tersebut dalam dekapannya, meninggalkanku yang masih mematung di belakang.
Bahkan Egi sahabatku, tidak mau menatap wajahku lama-lama. Yah, aku bisa maklum. Aku ini si buruk rupa. Nasib dan wajahku tidaklah semulus aspal jalanan tempatku berpijak saat ini.
"Woy. Rhea!. Cepetan!" teriak Egi dari seberang.
Aku pun segera berlari menyusul langkah Egi dari belakang.
...----------------...
Di rumah, aku masih memikirkan kata-kata Nathan.
Apa aku harus memutus persahabatan ku dengan Egi?, batinku.
drrrttt.. drrrttt
"Rhe, jalan yuk," suara Egi dari ponsel ku.
"Apaan sih Lo, udah malem, gue mau tidur."
"Bentar ini Rhe, gue cuma mau ketemu Lo bentar."
"Astaga Egi, tadi siang kan kita udah ketemu. Lo mau ngapain sih?"
"Udah, pokoknya Lo kesini aja. Gue tunggu di kafe deket mall tempat kita biasa nongkrong."
Tut..Tut..Tut.
...----------------...
"Ada apaan sih Gi?!" tanyaku sesaat setelah tiba di kafe.
"Lo mau apa?. Makan?, minum?. Gue yang bayar."
"Nggak usah, gue udah kenyang. Ada apaan sih Gi?"
Egi terlihat ragu yang membuatku bertambah penasaran.
"Rhe, Lo cinta sama Nathan?"
"Kok Lo nanya nya gitu?!"
"Kalo misalkan gue bilang Lo nggak usah nikah sama Nathan, Lo mau?"
"Maksud Lo?" tanyaku aneh.
"Jawab aja."
Aku menatap Egi serius, "Ya gue nggak mau lah, ngapain juga gue mesti nurutin Lo. Lo mau ngomong apaan sih Egi?!"
Seminggu kemudian,
Plak!!!
Tanganku melayang dan mendarat mulus di pipi Nathan. Kupandangi wajah yang beberapa saat lalu masih terlihat tampan itu dengan tatapan tajam penuh kekesalan. Nathan benar-benar brengsek. Dasar bedebah.
Aku menghapus kasar jejak air mata yang mengalir deras di pipiku. Jejak air mata yang menemaniku sedari tadi di kafe bergaya vintage yang sudah beberapa kali aku kunjungi belakangan ini. Sial!. Kenapa air mata sialan ini tak juga berhenti padahal aku telah menyekanya berulangkali.
Kutatap raut wajah Nathan yang tampak meradang. Tatapan mengerikannya berusaha menerobos masuk kedalam iris mata cokelat pekat milikku. Meskipun begitu aku tidak takut sedikitpun dengan tatapan pria yang tengah membidik tajam ke arahku itu.
"Berani banget lo nampar gue!. Lo kira lo itu siapa, hah?!" makinya seolah-olah akan menelanku saat ini juga.
Sekali lagi kudaratkan tanganku di pipinya. Keras. Sangat keras. Sudah kubilangkan kalau aku tidak takut sedikitpun dengan tatapan sialannya itu.
Dua kali menampar wajah Nathan membuat tanganku terasa perih, bukan hanya tanganku tapi hatiku juga. Baru kali ini aku menampar wajah orang yang aku sayangi.
"Masih bagus gue cuma nampar lo. Dasar cowok brengsek. Gue minta putus!" ucapku dengan nada memekik.
Akhirnya kata-kata itu lolos dari bibirku. Harusnya aku mendengarkan kata-kata Egi. Seharusnya dari dulu aku mengatakan itu pada pria bedebah ini. Benar kata Egi, aku memang selalu salah dalam memilih pria.
"Oke, fine. Kita putus. Gue minta, lo jangan hubungi gue atau merengek minta balikan. Gue jijik pacaran sama cewek buruk rupa kayak lo. Harusnya lo itu bersyukur, gue mau sama lo. Cewek jelek kayak lo, tujuh turunan juga nggak bakalan bisa dapetin cowok kayak gue."
Kulihat Nathan menarik sudut bibirnya, mengejek ke arahku. Tanpa sadar bulir bening kembali jatuh saat lagi-lagi kalimat menyakitkan itu tertangkap oleh inderaku.
Jelek. Buruk rupa. Aku benci dengan kata-kata itu.
Aku masih membisu sambil merapatkan gigiku dan mengepalkan tanganku, bersiap untuk meninju mulut kotornya.
"Dasar perawan tua!" tambahnya.
Jleb!!!
Nathan menghunus sebuah mata pisau tepat menancap di jantungku. Jantungku terasa berhenti sejenak. Dadaku terasa sakit seperti dihujani beribu anak panah. Ya, Nathan telah berhasil menabur garam diatas lukaku yang menganga.
Tenggorokanku rasanya tercekat. Aku menelan ludahku kasar dengan tatapan pedih menyatu bersamaan dengan bulir bening yang menggenangi kantung mataku. Ucapannya kali ini sungguh sangat menyakiti harga diriku. Aku mengerjap dan bulir itu pun jatuh seketika.
Pijakan kakiku goyang. Aku terduduk lemas bertopangkan kursi berbahan rotan ini sesaat setelah kepergian pria brengsek yang sudah kupacari selama hampir dua bulan lamanya.
Aku menangis. Menangis sejadi-jadinya.
Dua jam setelah tangisan memalukan itu aku lakukan, aku melangkah pergi ke sebuah arena bermain anak yang ada di dekat sini.
Sepanjang langkah, aku merutuki nasib sial yang menimpaku. Nasib sial yang akan terus mengikutiku kemanapun aku pergi, selalu dan mungkin selamanya.
Aku menghembuskan nafas berat setiap kali mataku menangkap sepasang kekasih yang berjalan sambil saling merangkul mesra satu sama lain. Pasangan muda-mudi yang seolah sengaja meledekku dengan berjalan hilir mudik tiada henti didepanku. Aku sungguh iri. Andai saja takdir baik menghampiriku.
"Rhea!" suara pria yang kukenal menghentikan umpatanku dalam hati.
Aku menoleh dan mendapati Egi berjalan ke arahku. Entah bagaimana ceritanya aku bisa bertemu dengannya disini. Masa bodoh, pikirku. Yang penting setidaknya rasa Maluku berkurang sebab aku tidak harus berjalan sendirian seperti orang bodoh dengan mata yang bengkak dan sembab begini.
"Lo mau kemana, Re?"
"Gue mau kawin!" jawabku singkat.
Egi tertawa. Tertawa dengan suara khasnya. Suara khas yang sudah menemaniku selama sepuluh tahun ini.
"Lo ngapain disini?" tanyaku ketus.
"Gue?!. Biasa, gue lagi ngedate."
Aku terperangah. "Sama siapa?"
"Ya sama cewek-lah. Masa sama kuda. Emangnya elo, ngedate sama kadal."
Refleks aku menjitak dahi Egi si sontoloyo ini sekuat tenaga. Sangat kuat hingga sukses membuatnya mengaduh kesakitan. Soal jitak menjitak, aku memang jagonya.
"Rasain, lo."
"Sakit tau!. Bisa nggak sih, lo berhenti KDRT sama gue!"
"Bodo!. Syukurin!"
Tiba-tiba Egi merangkul lenganku kemudian melangkah.
"Lo mau bawa gue kemana?" tanyaku.
Aku mendongak menatap wajahnya. Postur tubuhnya yang menjulang tinggi selalu memaksa kepala berhargaku untuk mendongak setiap kali Egi berdiri didekatku.
"Ke restoran."
"Gue udah kenyang."
"Idih, siapa juga yang mau ngajak lo makan."
"Terus?!"
"Gue mau nemuin calon istri gue!" jawabnya tanpa basa-basi.
"What?!. Jadi, nyokap lo masih ngejalanin praktek biro jodoh?" Aku menggeleng tidak percaya.
Kali ini Egi yang menjitak kepalaku. Hemm, lumayan sakit.
"Sembarangan, lo!"
Sebenarnya, tante Sinta tidak punya biro jodoh. Hanya saja, ibu Egi itu memang senang sekali merancang perjodohan untuk Egi. Entah sudah berapa kali Egi menemui calon-calon istri masa depannya itu yang semuanya ditolak mentah-mentah dengan segala macam alasan yang tidak masuk akal dari Egi.
Bahkan tante Sinta sempat menjodohkan Egi dengan anak seorang menteri yang cantik luar biasa. Kecantikan alami yang tak akan pernah luntur meski tujuh turunan, tujuh belokan dan tujuh tanjakan terlalui, tapi lagi-lagi perempuan cantik itu ditolak mentah-mentah sama si Egi sontoloyo ini. Memang sok kecakepan ini anak.
Karena semua kelakuannya itu, aku pun sempat ragu dan mencurigai Egi. Jangan-jangan Egi itu tidak suka perempuan. Ha..ha...ha. Aku memang selalu punya imajinasi liar di otakku.
"Nyokap gue minta gue buat cepetan nikah. Lo 'kan tau nyokap gue itu udah pengen banget nimang cucu."
"Ya, udah lo nikah aja. Gitu aja kok susah. Harusnya lo itu bersyukur, banyak yang mau sama lo. Nggak kayak gue!"
"Apaan, sih lo. Lo 'kan tau, gue itu maunya nikah sama cewek yang gue cinta."
"Siapa?. Luna?"
Egi menghentikan langkahnya. Aku melihat kesedihan di raut wajah sahabat karibku itu tepat setelah langkahnya terhenti. Mulutku ini memang sangat menyebalkan.
"Sorry!" Aku menggigit bibir bawahku gugup, meminta pengampunan dari Egi.
Egi meremas bahuku lumayan kuat. Mata teduhnya menatapku intens. Aku tahu dari sorot matanya, Egi ingin mengatakan sesuatu. Mungkin Egi mau memakiku kali ini.
"Udah, deh. Lupain aja!" jawabnya sambil tersenyum getir.
Egi kembali berjalan memasuki restoran, meninggalkanku yang masih mematung dengan rasa penyesalan yang menggunung tinggi.
Tak lama, Aku pun menyusul Egi dari belakang. Aku terperangah takjub saat kakiku memasuki sebuah restoran yang tampak lumayan mewah. Restoran yang terlihat "wow" dimataku.
Maklum saja, aku yang hanya seorang upik abu, tidak terbiasa hidup dengan hal-hal seperti ini.
Berbeda dengan sahabatku yang satu ini, yang notabene anak seorang sultan yang bisa dengan mudah menghasilkan uang dan mudah juga menghabiskannya. Egi memang beruntung.
Aku akui, Egi itu memang kaya, sangat kaya. Sampai-sampai aku pun mungkin akan kelelahan menghitung setiap keuntungan tahunan perusahaan miliknya.
Walaupun begitu, Egi yang ada disampingku ini bukanlah pria yang sombong dan arogan. Satu hal lagi yang membuatku suka berteman dengan Egi.
"Lo mau pesan apa, Re?" tanyanya.
"Biasa."
"Disini itu nggak ada jus jeruk. Lo pesen yang lain, deh. Apa gitu, kek."
"Terserah lo aja, deh."
Egi pun menyebutkan pesanan pada pelayan yang sedang berdiri disebelahnya. Egi melirik sekilas ke arahku, tampak dia ingin menanyakan sesuatu.
"Lo mau nanya apaan?"
Egi cengengesan, "Lo kenapa lagi sama Nathan?"
Aku terperanjat.
"Lo diapain sama dia?. Sampe bengkak gitu mata lo."
Ternyata Egi si sontoloyo ini memindai kondisi wajahku sedari tadi. Kalau sudah seperti ini, Egi pasti akan meledekku habis-habisan.
Aku pun meraba perlahan mataku yang bengkak dan sembab. "Emangnya kelihatan banget, ya?"
Egi mengangguk.
Aku pun mulai berbicara. "Gue putus sama Nathan!"
"What?!. Putus?. Kenapa?. Bukannya lo bilang dia cinta banget sama lo?"
"Gue yang minta putus."
Mata Egi membelalak tidak percaya. Wajar saja Egi tidak percaya, biasanya aku yang selalu dicampakkan dan kali ini sebaliknya. Ini rekor baru untukku. Aku cukup puas untuk hal ini.
"Serius lo?!" tanya Egi sambil menyeruput segelas cokelat hangat yang baru saja tersaji di atas meja.
Aku mengangguk.
"Kok bisa?!"
"Dia mau cium gue," jawabku lemah.
Ya, lagi-lagi aku menolak untuk dicium olehnya. Aku menolak sekuat tenaga sosoran Nathan di bibirku sewaktu di kafe. Hingga tanpa sadar aku pun melayangkan tamparan keras dipipinya.
"Hah?!. Nathan mau cium lo?. Dasar cowok brengsek. Syukur deh, kalo lo putus. Jadinya lo bisa bebas dari cowok mesum kayak dia."
Aku tersenyum tipis.
Entah seperti apa perasaanku saat ini. Aku bingung, aku sedih atau justru bahagia.
"Permisi."
Suara lembut seorang wanita menginterupsi obrolan kami. Aku dan Egi sama-sama menoleh. Mataku menatap takjub pada wujud wanita cantik yang ada didepanku.
"Kamu Rahagi Hadyan Prasaja, kan?. Anaknya tante Sinta?" tanyanya sambil menyebutkan nama lengkap Egi dan ibunya.
"Iya." Egi menjawab singkat.
"Aku Erin. Erinia Sherly Wijaya."
Egi berdiri dari duduknya menyambut uluran tangan makhluk cantik jelita yang berdiri didepannya.
Egi tersenyum tipis lalu mempersilakan wanita tersebut duduk di kursi yang berada tepat didepan Egi.
Aku menyikut lengan Egi lalu berbisik, "Gi, ini calon istri lo?"
Egi diam.
"Udah, lo sikat aja. Mumpung ada kesempatan," bisikku.
Aku berdiri. Biar begini aku juga sadar kalau dua orang yang ada di sebelahku ini butuh privasi. Aku pun berniat pergi dari meja Egi.
"Ehm, gue ke toilet dulu, ya. Kayaknya lama. Lo berdua ngobrol-ngobrol dulu aja."
Egi menahan kepergianku.
"Temenin gue!"
"Lo itu udah tua. Masa gini aja masih butuh gue temenin. Udah, ah. Gue udah kebelet. Bye."
Aku kembali beranjak setelah tersenyum sopan terlebih dulu pada calon istri masa depan sahabatku.
Aku tersenyum dan berdoa yang terbaik untuk perjodohan sahabatku kali ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!