Ini hari keduaku di rumah ini, matahari belum lagi bersinar. Tadi malam aku tertidur dengan rasa penasaranku. Ah, ya sudah lah. Nanti kalau ada kesempatan, aku akan bertanya pada mbok Minten.
Hawa dingin masih menyelimuti, tapi aku harus bangkit untuk menunaikan kewajibanku. Masih sedikit mengantuk dan menguap, aku berjalan menuju ke kamar mandi untuk sekedar membersihkan diri dan berwudhu.
Lampu dapur masih menyala, aku melongok, dan sedikit menyender ke dinding memperhatikan, ternyata mbok Minten sudah sibuk sendiri di sana.
"Baru bangun to, Nduk? "
"Iya Mbok, hoaaammm ...." jawabku masih menguap.
"Nyenyak tidurnya?"
Aku mengangguk.
"Mau simbok bikinke kopi, apa teh Nduk? "
"Gampang Mbok, nanti aku bikin sendiri. Aku mau subuhan dulu. "
"Oh gitu ... iya Nduk, iya."
Aku berjalan ke kamar mandi dengan langkah gontai karena masih mengantuk. Mungkin juga tubuhku masih merasa lelah karena perjalanan kemarin.
Aku mengucurkan keran yang airnya menyejukkan. Kutuntaskan segala urusan bersih membersih dan kembali ke kamar. Mbok Minten sudah tidak ada di dapur lagi, ketika aku lewat tadi.
Setelah menunaikan kewajibanku, aku membuka jendela kamar. Warna langit mulai memerah bergradasi oranye. Udara segar dan sejuk menyeruak begitu ku buka jendela lebar-lebar. Jendela kamarku ini menghadap ke arah persawahan. Hijau di mana-mana, dan sudah terlihat aktifitas beberapa orang di petakan petakan hijau itu.
Aku kembali berjalan ke dapur untuk membuat kopi. Aku memang suka menikmati sesuatu ditemani secangkir kopi. Maka, setelah selesai menyeduh kopi, aku membuka pintu depan dan duduk di bangku yang ada di teras.
Orang-orang sudah mulai berlalu lalang di jalan depan rumah. Matahari sudah mulai memancarkan cahaya keemasannya. Beberapa dari mereka yang menyadari keberadaanku, menyapaku meskipun ada sebagian yang cuma menganggukan kepala dan tersenyum.
Agak lama aku duduk di sini, menikmati udara pagi dengan secangkir kopi. Dari kejauhan, aku melihat mbok Minten berjalan menenteng keranjang belanjaan yang penuh dengan beberapa sayur mayur. Pantesan tadi kulihat simbok sudah tidak ada di dapur. Aku bangkit ketika mbok Minten mulai mendekat. Aku mengulurkan tangan.
"Sini Mbok, aku yang bawain. "
"Ndak usah nduk, ndak berat kok ini."
"Ah Simbok ni, aku cuma mau bantu masa gak boleh?" kataku sambil mengerucutkan bibir dan bergelayut manja.
"Walah, Genduk yang satu ini, bukannya ndak boleh. Simbok ndak mau merepotkan saja kok, "
"Hmmm, ya sudah Mbok, masak apa hari ini? " tanyaku seraya melongok keranjang belanjaan simbok.
"Masak enak-enak pokoknya, " jawab mbok minten dengan senyuman khasnya.
Aku melepaskan tanganku dari simbok.
"Mbok, aku pengen jalan jalan, mumpung masih pagi, udaranya segeeeerrrr."
"Iya Nduk, nanti kalo sudah capek, buruan pulang dan sarapan ya."
"Ok bossss!"
"Walah, bos-bosan apa to, Nduk," simbok terkekeh dan berjalan masuk ke dalam rumah.
Aku mulai berjalan keluar dari halaman rumah ke jalan. Meskipun jalan desa, tapi jalanan sekarang, sudah mulus tidak terlalu berbatu seperti dulu. Aku berjalan melewati beberapa orang yang sedang beraktifitas di depan rumah masing-masing. Asa yang menyapu halaman, menjemur baju, ada pula yang cuma duduk-duduk sekedar menikmati udara pagi.
Aku mengangguk dan tersenyum, untuk sekedar menyapa mereka, dan mereka pun membalas sapaanku.
"Monggo ... Mbak! "
Kuperhatikan, sudah mulai banyak bangunan rumah modern di desa ini. Sepertinya hanya rumah simbah putri yang masih mempertahankan bentuk rumah berarsitektur Jawa kuno dengan segala keantikannya.
Aku mulai berjalan menyusuri parit, yang dulu waktu masa kecilku, kugunakan untuk bermain air bersama teman-teman di desa ini, yang entah di mana mereka sekarang. Airnya sudah tidak banyak dan tidak sejernih dulu.
Sawah simbah putri yang sekarang dikelola mbok Minten, juga sepertinya sudah mulai menguning. Aku teringat dulu pernah pulang ke rumah dengan wajah yang masih menangis, karena rasa gatal yang kualami, ketika simbah putri mengajakku melihat orang memanen padi di sawah. Aku tersenyum.
Aku mulai berjalan kembali ke rumah dan melihat seorang pemuda mengayuh sepeda onthelnya melewatiku, aku seperti mengenalinya. Tapi entah di mana.
Tak terasa aku sudah berada di depan pintu rumah, aku mencium wangi masakan mbok Minten yang membuatku merasa lapar. Aku menyerbu masuk lalu menuju ke dapur. Benar saja, semua sudah tertata rapi siap dipindahkan ke meja makan. Kulihat simbok sedang menyeduh teh di teko kecil.
"Mbok, makan yuk! Laper aku Mbok "
Simbok menoleh ke arahku lalu mengangguk.
"Ya Nduk. Genduk duduk saja di ruang makan, nanti simbok bawakan semua makanan ke sana."
"Ah Simbok, anggap aja aku cucu Simbok, bukan 'ndoronya' Simbok, gitu," kataku sambil mengangkat beberapa wadah berisi makanan ke ruang makan.
"Ah, ya sudah Nduk, nyerah simbok." Mbok Minten tersenyum pasrah.
Kami mulai makan bersama.
Kemudian, aku teringat kejadian tadi malam dan bermaksud bertanya pada simbok.
"Mbok, tadi malam sekitar tengah malam, apa Simbok bangun?"
"Kenapa Nduk? " simbok bertanya dengan ekspresi wajah yang kutafasir antara keheranan dan ingin tahu. Aku siap bertanya panjang lebar, tapi sepertinya waktu kurang tepat. Kuurungkan niatku.
"Gak apa-apa Mbok, cuma tanya aja."
Aku tersenyum dan melanjutkan makanku.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Kustri
Penasaran konflik'a
Apa ada kisah romantis'a
2022-06-04
0
ig : skavivi_selfish
kidungnya sunan Kalijaga.
2022-05-21
0
siti mustainah
panjang ceritanya ...jd ikut lapar...bayangin tumis kangkung sambel terasi😋
2022-02-17
1