Hari semakin sore, aku sudah selesai merapihkan barang-barangku, meminum beberapa teguk teh yang sudah tak lagi hangat, untuk sekedar menyapu tenggorokan ku yang mulai terasa kering. Kemudian, aku beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Aku menengok ke arah dapur, mbok Minten masih sibuk memasak. Lalu, aku duduk di dipan bambu yang meskipun sudah tua, tapi masih kokoh.
"Mau dibantu gak, Mbok? "
"Eh Nduk, ndak usah, hampir selesai kok, sana kamu mandi saja, sudah bau kecut tuh, " mbok minten menggodaku sambil memencet hidungnya sendiri.
"Ah Simbok nih, mana ada kecut, emangnya aku ni jeruk sambel?" aku berpura-pura merajuk. Simbok tertawa terkekeh-kekeh.
Mbok Minten adalah orang yang dipercaya simbah putri untuk mengurus rumah dan keperluan simbah putri semasa hidup. Mbok Minten selalu memanggil simbah putri "Ndoro Putri". Seingatku, dulu simbah putri pernah bercerita, bahwa mbok Minten itu sudah sebatang kara waktu simbah menjadikannya rewang.
Mbok Minten meskipun bukan orang kekinian, tapi orangnya cerdas, tanggap, sangat cekatan. Rajin, ulet, jujur, tidak pernah aneh-aneh atau neko-neko. Tipikal orang tua yang njawani banget. Tidak heran kalo simbah itu sangat percaya pada mbok Minten, sampai menganggapnya seperti adik sendiri, meskipun umur mereka berdua terpaut jauh.
Mungkin juga, karena simbah putri adalah putri tunggal keluarga Mangkuwijoyo. Dan dari generasi ke generasi, trah Mangkuwijoyo pasti hanya punya putri tunggal. Tak heran kalo simbah bersikap seperti itu pada mbok Minten yang juga tidak punya sanak saudara.
Dulu waktu aku kecil, mbok Minten memanggilku "Ndoro Ayu", tetapi aku tidak suka dengan panggilan itu. Aku sering menolak dan protes, "Namaku Dyah, Mbok! Bukan Ndoro Ayu! " sambil memanyunkan bibirku.
Tadinya, tetap saja mbok Minten memanggilku seperti itu, tapi setelah aku mengajukan protes kepada simbah putri, mbah putri menghela nafas, dan berkata, "Ya sudah, panggil Nduk saja mbok, daripada itu bocah manyun terus, nanti bibirnya jadi dower, ndak ada joko yang mau nglamar, kan aku juga yang repot! "
Mereka berdua tertawa, dan aku masih tidak paham dengan obrolan mereka.
"Nduk cah ayu, ngelamun lagi to! "
Kata-kata mbok Minten membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum, mbok Minten masih menatapku, sepertinya acara masak memasak sudah selesai.
"Mbok, aku mau mandi dulu, sudah reget semua rasanya badanku. "
"Oh iya iya, Nduk. Jangan lama-lama, nanti kedinginan. "
Aku beranjak pergi ke kamar mandi, yang letaknya jauh di bagian belakang bangunan. Bilik kecil yang menyatu dengan kakus, di dalamnya terdapat sebuah gentong besar berisi air, dengan gayung yang terbuat dari batok kelapa.
Dulu belum ada keran air, tapi setelah adanya kemajuan di desa, sudah terpasang keran yang bisa dialirkan airnya kapanpun. Kalau orang lain mungkin saja akan merasa tidak nyaman. Tapi aku sudah terbiasa waktu kecil, bahkan dulu simbah sering menjewer telingaku kalau aku ketahuan mandi di parit. Aku tersenyum mengingat hal itu.
Aku menuntaskan mandiku dan mengambil air wudhu, untuk menunaikan salat asar. Aku dan keluargaku bukan termasuk orang-orang relijius, tapi kami tidak pernah mau meninggalkan ibadah-ibadah wajib sesuai ajaran agama kami.
Bahkan simbah Kakung maupun Putri, selalu mengingatkan kami "ojo nganti ninggal sholat!" ( jangan sampai meninggalkan sholat! )
Setelah menyelesaikan semua rutinitasku, aku berjalan keluar ke halaman rumah untuk sekedar duduk-duduk di bangku yang terbuat dari kayu jati. Aku melihat mbok minten sedang menyapu daun-daun kering di halaman.
Anak-anak berlarian berkejaran di jalan depan rumah. Ada yang bermain tali, bermain kelereng, ada pula yang baru pulang dari surau sehabis mengaji.
Pemandangan seperti ini lah yang membuatku nyaman.
"Eh, Mbak Dyah! Kapan datang ke desa Karang Kembang ini ?"
Aku terhenyak, dan melihat seorang ibu-ibu paruh baya. Sepertinya ini bu Yanti, buruh tani yang seingatku dulu sering disewa simbah, menyapaku dari kejauhan.
"Eh, Bu Yanti, iya ... baru tadi," aku tersenyum basa basi.
"Main ke rumah Mbak, kalau longgar."
Aku mengangguk sopan dan tersenyum. Bu Yanti berlalu dari hadapanku, kemudian berhenti menyapa mbok Minten juga, entah apa yang mereka obrolkan, tapi kulihat mereka senyum-senyum memandangku.
Aku tertegun, melihat sesosok wanita berkebaya itu lagi.
Bersambung ....
*****
Rewang : asisten rumah tangga.
Njawani : tingkah lakunya seperti orang jawa.
Reget : kotor.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Syakira Rara
ceritane apik jeng othor
2023-01-23
1
Styaningsih Danik
mlipir mbakthor...emang wes kondang nek wong jowo kui akeh budaya sing mistis lan mitos ...awit cilik wes wareg crito sing koyok ngene iki...salam tepang yo mbak 👍👍👍
2023-01-16
0
𝐋α 𝐒єησяιтα🇵🇸🇮🇩
setuju,ojo nganti ninggal sholat
2023-01-09
0