Sore hari, sepulang sekolah. Langit terlihat jingga, memancarkan kehangatan yang cukup untuk mengusir rasa dingin di hati. Aku melangkah menuju belakang sekolah, tempat di mana Ryan menunggu.
Katanya ada yang ingin dia bicarakan, tapi aku tidak tahu apa itu. Hati ini berdebar-debar, beragam perasaan berkecamuk di dalam diri. Apa yang dia inginkan dariku? Rasa penasaran bercampur gugup menyelimuti langkahku.
Saat aku mendekatinya, terlihat sosoknya berdiri di bawah pohon rindang, wajahnya bersinar dengan sinar matahari sore. Desiran angin lembut menggoyangkan dedaunan, memberikan suasana dramatis pada pertemuan kami.
Ryan mengenakan kaus putih sederhana, namun tetap saja terlihat tampan, seperti pangeran dari kisah dongeng yang selalu kuimpikan.
“Apa yang mau kamu bicarakan?” tanyaku, wajahku tertunduk malu, mencoba menyembunyikan pipi yang mulai memerah.
Suaraku terdengar seperti bisikan di antara desir angin dan suara riuh lapangan yang mulai sepi.
Ryan tersenyum lembut. Senyumnya itu membuatku sedikit lebih tenang, namun masih tak bisa menghilangkan rasa maluku. Maklum, aku sering dipanggil seorang introvert yang jarang berbicara. Apalagi dengan laki-laki sepertinya.
Ryan adalah sosok yang disukai banyak orang. Murid-murid sering membicarakan ketampanannya, kehebatannya dalam bermain basket, daya tariknya,juga kecerdasannya.
“Ayo kita pacaran!” ucapnya tiba-tiba, seakan menghempaskan angin segar ke wajahku.
“A-apa?” Suaraku hampir tak terdengar, terperangkap di antara kaget dan tidak percaya.
Aku merasakan jantungku berdetak begitu cepat, seperti ingin melompat keluar dari dada.
“Pacaran,” ulangnya dengan santai, seolah itu adalah hal yang paling biasa di dunia ini.
Kepalaku berputar, rasanya seperti mimpi yang tidak mungkin menjadi nyata. Ryan, seorang yang populer di sekolah, mengajakku berpacaran?
Pikiran itu menggema di kepalaku, mengisi setiap sudut dengan rasa tidak percaya. Apa kata anak-anak lainnya nanti? Aku pasti semakin dirudung oleh mereka.
“Kita berdua?” tanyaku, memastikan apa yang baru saja kudengar, meskipun jawabannya sudah jelas.
Kata-kata itu keluar seperti bisikan, hampir tak terdengar.
Ryan mengangguk, senyumannya semakin lebar. Dalam sekejap, aku merasakan merinding yang aneh. Semua gadis di sekolah ini pasti akan iri, bahkan mungkin merasa sakit hati mendengarnya. Kenapa dia memilihku?
Satu bulan yang lalu, kami bertemu di masa orientasi sekolah. Di aula besar yang penuh sesak, aku tidak pernah menyangka bahwa pandanganku akan bertemu dengan Ryan. Saat itu, aku hanya seorang gadis biasa, tanpa niat untuk menyukai seseorang sepertinya. Semuanya terasa begitu cepat.
Kini, di detik itu, aku mendapati diriku berlari menjauh darinya, meninggalkannya sendirian di sana. Ada perasaan yang tak bisa kugambarkan, antara takut dan terkejut.
“Aura, tunggu …” teriak Ryan di belakangku.
Suaranya terdengar seperti rintihan penuh kebingungan. Tapi aku tak berhenti. Aku tahu dia tidak mengejarku. Jika dia benar-benar menyukaiku, dia pasti mengejarku, kan? Tapi dia tidak. Itu artinya, mungkin rasa cintanya padaku hanya sekadar rasa iba.
Aku terus berlari, angin sore menerpa wajahku, membawa rasa sejuk yang anehnya tak mampu meredakan debaran hatiku. Aku ingin menangis, ingin berteriak. Semua terasa terlalu mendadak, terlalu membingungkan.
Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar dan merebahkan diri di atas ranjang. Suasana kamar yang seharusnya nyaman kini terasa pengap. Poster bintang film favoritku, tirai putih yang melambai pelan, semuanya terasa menatapku dengan tatapan menyalahkan. Aku menutup mata, berharap bisa menyingkirkan segala pikiran itu. Tapi bayangan wajah Ryan terus saja muncul.
Aku meraih ponsel dan membuka aplikasi pesan, mencari nama Ryan di daftar kontak. Sudah berapa kali dia menghubungiku, tetapi saat ini, aku merasa seperti terjebak dalam dilema. Haruskah aku menghubunginya dan menjelaskan perasaanku yang sebenarnya? Atau biarkan saja semuanya berlalu seperti ini?
“Ryan! Dia cowok yang sangat tidak peka. Ada ratusan murid perempuan di sekolah itu, kenapa dia memilih aku?” gumamku pelan.
Mungkin hanya dinding yang bisa mendengar, tapi rasanya lega mengatakan itu meski hanya untuk diri sendiri.
Semua gadis di sekolah pasti memimpikan bisa bersama Ryan, yang terkenal dengan ketampanan dan pesonanya. Dan di sini aku, seorang gadis biasa yang tak pernah bercita-cita menjadi pacar murid terpopuler. Kenapa harus aku? Bukankah dia bisa mendapatkan siapa pun yang dia mau?
Malam itu terasa panjang. Bayangan Ryan, suaranya, dan tatapannya terus terputar di kepalaku. Aku berguling ke sisi lain ranjang, menarik selimut, berharap rasa tidak nyaman ini segera lenyap.
...»»——⍟——««...
Keesokan harinya, aku pergi ke sekolah seperti biasa, dengan langkah yang terasa berat. Pikiran tentang ucapan Ryan itu membuat hatiku semakin berat dan terus menghantuiku.
Saat aku memasuki ruang kelas, suasana yang biasanya ceria tiba-tiba terasa tegang. Banyak murid sudah berkumpul di dalam kelas, dan suara bisik-bisik mereka membuatku canggung memasuki ruangan. Aku tahu mereka membicarakanku.
Meski aku berusaha untuk tidak peduli, telingaku tetap menangkap setiap kata yang mereka ucapkan. Seakan-akan, semua mata terfokus padaku. Aku memilih duduk di mejaku, meja pojok paling belakang dekat jendela.
Angin sepoi-sepoi yang masuk terasa menyegarkan, tapi hatiku tetap berat rasanya. Sambil menatap ke luar jendela, pikiranku melayang jauh, melamun dengan tenang. Apakah mereka benar-benar tahu tentang percakapan kemarin? Atau hanya sekadar gosip?
Tiba-tiba, suara gaduh memecah keheningan pagi itu.
“Brak!” Suara keras itu membuatku terkejut.
Aku mengangkat kepala dan melihat seorang gadis berdiri di depanku, dengan tatapan marah yang membakar.
“Jadi kamu?” katanya dengan nada menantang.
Wajahnya memerah dan matanya menyipit, penuh emosi. “Kamu yang berani merebut Ryan dariku!”
Aku langsung merasakan jantungku berdegup kencang, darah seakan membeku di pembuluhku. Sebelum sempat menjawab, dia sudah menjambak rambutku. Rasa sakit menusuk kepalaku, membuat mataku perih.
Aku bisa merasakan tatapan teman-teman sekelas yang penasaran, sebagian dari mereka mencoba melerai kami. Tapi suasana ini terasa seperti mimpi buruk.
Tangan-tanganku gemetar saat mencoba melepaskan diri dari genggamannya. Aku terjatuh ke lantai, debu-debu mengotori seragamku. Dengan susah payah, rambutku lepas dari genggamannya.
“Berani sekali kamu diam-diam menemui Ryan!” katanya lagi, melotot dengan amarah yang tak terselubung.
Aku hanya bisa duduk tersungkur, memandangnya dengan mata lelah. Tidak ada yang berani menyela. Semua terlalu sibuk menonton drama yang tak pernah kuduga akan terjadi.
Aku berusaha berdiri dengan lutut yang masih gemetar. Pandanganku kabur sejenak, tapi aku bisa merasakan tatapan sinis dari beberapa teman sekelas yang berdiri di sekitar kami.
Beberapa murid terlihat terkejut, namun tak ada yang berani benar-benar turun tangan. Rasa malu dan amarah bercampur menjadi satu, membuat mataku panas.
“Dengar, aku tidak berbuat apa-apa!” suaraku serak, nyaris patah, mataku berkaca-kaca menahan tangis karena rasa sakit dari kepalaku.
Napasku tersengal-sengal, mencoba menahan gemetar di bibirku. Gadis itu, namanya Isabella, murid terkenal lainnya yang memiliki geng pertemanan yang selalu terlihat mencolok. Dia mendekatkan wajahnya ke arahku, jaraknya terlalu dekat hingga aku bisa mencium aroma parfum mawar yang menyengat.
“Jangan pura-pura polos, Aura,” katanya dengan suara rendah yang tajam. “Kamu pikir kamu bisa mendapatkan Ryan begitu saja?”
...»»——⍟——««...
“Jangan pura-pura polos, Aura,” katanya dengan suara rendah yang tajam. “Kamu pikir kamu bisa mendapatkan Ryan begitu saja?”
Teriakan Isabella semakin menggema di kupingku. Aku berusaha berpura-pura tidak mendengarnya. Aku malas meladeninya.
“Berani sekali kamu diam-diam menemui Ryan!” Bella berteriak, matanya melotot padaku dengan tatapan penuh amarah.
Aku tetap tidak peduli. Untuk apa juga berdebat dengan dia? Isabella, cewek yang selalu merasa paling berkuasa di sekolah ini.
Semua ini karena Ryan. Kenapa dia tidak bisa lebih peka? Kenapa dia malah memilih aku, cewek biasa ini, padahal Isabella lebih cantik dan lebih sempurna di mata semua orang? Seharusnya Isabella yang dia pilih, bukan aku.
Dia berdiri dengan angkuh di hadapanku, yang sedang duduk tersungkur di lantai. Semua orang di kelas menatap kami, suasananya seperti panggung drama yang tidak akan pernah aku mau ikuti. Rasanya seperti semua yang ada di sekitar kami menghilang, yang terdengar hanya suara keras Bella yang menusuk ke dalam hati.
“Apa kamu benar-benar ingin merebutnya dariku, hah?!”
Aku tidak bisa menjawab, seakan kehabisan kata-kata untuk berdebat. Apa yang bisa aku katakan?
Aku hanya diam, bingung dan merasa seperti dunia ini terlalu berat untuk dijalani. Aku bangkit, mencoba berjalan kembali ke mejaku, meskipun tubuhku terasa kaku dan langkahku goyah.
“Hei, cewek tuli! Aku lagi ngomong sama kamu!” Isabella menggeram, mendorong pundakku dengan kasar.
Aku tidak sempat berpikir lebih panjang karena tiba-tiba pundakku didorong lagi, kali ini lebih keras.
“Sini kamu!” Isabella berteriak, seolah tidak mau memberiku ruang sedikit pun untuk melarikan diri.
Aku terdorong, terhuyung mundur dan tanpa sengaja menabrak seorang cowok yang berdiri di belakangku. Ketika aku menoleh, mataku langsung bertemu dengan matanya.
“Kamu nggak apa-apa, Aura?” suaranya lembut, tangan besar itu langsung memegangi tubuhku agar tidak jatuh lebih jauh.
Dunia seakan berhenti sejenak. Ryan, wajah tampannya, senyumnya yang manis, rasanya seperti semua yang tadi menyakitkan itu hilang begitu saja. Tapi aku juga merasakan ada sesuatu yang tajam menusuk dari arah Bella, yang masih berdiri di sana, dengan mata yang terbelalak, menatap kami berdua dengan penuh amarah.
“Ry-Ryan?!” suara Isabella bergetar, hampir tidak percaya.
Ryan menatap Isabella dengan tegas.
“Kenapa? Apa kamu baru saja mendorong pacar baruku, Bella?” tanyanya, nada suaranya serius.
Semua murid di kelas mulai mendekat, menonton drama yang tak pernah aku inginkan. Setiap kata yang keluar dari mulut Ryan seperti menghantam Isabella, dan aku melihat wajahnya semakin memerah. Dia tampak terkejut, mungkin juga marah, tapi aku nggak bisa menduga apa yang sebenarnya dia rasakan.
Semua mata kini tertuju padanya, seolah menunggu dia untuk bereaksi. Tapi Isabella hanya bisa terdiam, wajahnya tegang, dengan bibir yang bergetar.
“Jadi benar kata-kataku kemarin, ya? Ryan dan Aura sudah berpacaran,” bisik salah satu cewek di belakang Isabella, cukup keras untuk terdengar oleh sebagian besar murid di kelas.
Aku bisa merasakan tatapan-tatapan yang terus mengarah ke kami, dan semakin cemas dengan perhatian yang tak aku minta. Isabella benar-benar nggak bisa lagi menyembunyikan emosinya.
“Jadi, kamu memilih dia?” suaranya serak, penuh emosi dan sakit hati. "Kenapa bukan aku? Aku lebih cantik, lebih baik, lebih segala-galanya dari dia!"
Aku merasa sempit, seperti ada sesuatu yang mengikat dadaku. Aku hanya bisa duduk di kursi, menatap jendela dengan pandangan kosong, mencoba mengabaikan semua yang terjadi.
Aku tidak ingin ikut campur dalam drama ini, tapi semakin aku berpikir, semakin aku sadar bahwa aku tidak bisa lari dari kenyataan bahwa Ryan memilih aku. Itu yang membuat semuanya semakin rumit.
Ryan tetap tenang, tapi aku bisa melihat ada sesuatu yang berbeda di matanya. Dia menatap Bella dengan sangat tajam.
“Seharusnya kamu sadar. Apa yang membuatku nggak suka sama kamu itu ya karena sifat jelekmu itu,” jawab Ryan tegas.
Setelah mengucapkan itu, dia berbalik dan melangkah menuju mejanya dengan langkah pasti, meninggalkan Isabella yang hanya bisa berdiri diam, wajahnya memerah seperti api.
Suasana kelas seketika terasa tegang dan canggung, murid-murid yang tadi menonton kami pun perlahan-lahan kembali ke tempat duduk mereka, seolah tidak ingin terlibat lebih jauh.
...»»——⍟——««...
Kring!
Suara bel berbunyi, seketika itu juga semua orang langsung kembali ke aktivitas mereka masing-masing. Tak ada yang peduli lagi dengan apa yang baru saja terjadi, seakan kejadian tadi cuma sebuah tontonan biasa yang bisa dilupakan begitu saja. Tapi aku tidak bisa begitu saja melupakan semua ini.
“Aura, kamu nggak apa-apa?” Ryan menanyakan hal yang sama lagi dengan penuh perhatian.
Dia duduk di sampingku, matanya menatapku penuh khawatir. Aku menatapnya sebentar, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Aku kembali mengalihkan pandanganku ke luar jendela.
Tunggu! Sejak kapan meja ini ditempati Ryan? Biasanya, dia duduk di barisan paling depan. Aku nggak bisa menahan rasa ingin tahu yang mendalam. Kenapa dia memilih duduk di sampingku? Apakah ini hanya kebetulan belaka?
“Aku baik-baik aja,” jawabku pelan.
Aku berusaha terdengar santai, tapi sejujurnya, aku merasa sangat canggung. Dunia seolah memutar terlalu cepat, aku hanya bisa mengikuti tanpa tahu apa yang harus aku lakukan.
Pelajaran dimulai, dan aku kembali berusaha fokus. Tapi semua itu terasa jauh dari pikiranku. Aku malah terjebak dalam kenangan kemarin, saat Ryan mengungkapkan perasaannya padaku. Saat itu aku berlari, takut dengan perasaan yang tiba-tiba datang begitu saja. Aku tidak tahu harus bagaimana.
Tiba-tiba suara guru memecah lamunanku.
“Aura! Coba jelaskan soal nomor 5 berdasarkan jawabanmu!” Teriakan guru itu membuatku terkejut. Jantungku langsung berdebar lebih cepat.
Aku membuka buku dan mulai mencari-cari jawabanku. Tapi, saat aku membuka halaman demi halaman, aku terkejut. Tugas yang aku kerjakan dengan susah payah malam tadi tidak ada di sana.
Aku panik. Mataku mulai berkeliaran, berharap menemukan tugas itu di halaman-halaman buku yang lain, tapi tetap tidak ada. Aku merasa dunia ini semakin sempit. Aku melihat Isabella, yang duduk di tempatnya, terkekeh seolah ada yang lucu. Entah kenapa, aku merasa dia terlibat dalam masalahku. Dia pasti tahu sesuatu.
Aku benci perasaan ini. Bingung, cemas, dan takut. Apa yang harus aku katakan kepada guru sekarang? Semua mata tertuju padaku, aku semakin merasa ingin menghilang.
...»»——⍟——««...
“Kenapa lama sekali? Kamu tidak mengerjakan tugas dari Ibu?” tanya Bu Guru dengan tatapan tajam yang menembus mataku.
Aku merasa seakan-akan jantungku berhenti berdetak.
“Bu-bukan, Bu. Itu …” Suaraku nyaris hilang, terjebak dalam kebingungan yang menguasai pikiranku.
Apa yang harus aku katakan? Tugas yang sudah aku selesaikan dengan susah payah tiba-tiba menghilang begitu saja. Jujur saja, aku bahkan lupa mengeceknya lagi pagi tadi, sebelum berangkat ke sekolah. Aku hanya bisa menundukkan kepala, merasa malu, tidak tahu harus berbuat apa.
Di sampingku, Ryan, mendekatkan wajahnya dan berbisik, “Aura! Bukumu jatuh.”
Dia menunjuk ke arah kakiku. Aku menunduk dengan cepat, melihat sebuah buku di bawah meja. Dengan cepat, aku meraihnya.
Aku tidak sadar bahwa buku itu bukan milikku, melainkan milik Ryan. Saat aku mengangkatnya, aku menangkap senyuman kecil darinya yang menatapku. Senyum itu terasa seperti sebuah kode, seolah dia ingin membantuku dengan situasi yang sedang aku hadapi sekarang.
“Jadi, menurut saya, jawaban nomor 5 adalah …” Aku mulai membaca jawaban di buku milik Ryan.
Aku tahu ini tidak benar, tapi aku merasa seolah tidak ada pilihan lain. Tugas ini harus segera selesai, dan aku tidak bisa menghadapinya tanpa bantuan.
Tak berapa lama, suara bel berbunyi keras, menandakan bahwa waktu istirahat telah tiba.
Kring …
Aku segera menghampiri meja Ryan. Dia sedang sibuk dengan sesuatu di mejanya, memejamkan mata, dan mengenakan earphone. Dia terlihat begitu fokus, seolah tidak menyadari kehadiranku di depannya.
“Ini bukumu … terima kasih,” kataku pelan, berusaha membuka mulutku yang terasa kaku dan tidak biasa berbicara pada orang lain.
Aku merasa gugup. Ryan tidak mengangkat pandangannya, tetap dengan earphone-nya, seolah aku tidak ada di sana. Aku pun langsung meletakkan buku itu di atas mejanya tanpa menunggu respon darinya, bergegas pergi menuju kantin.
Pikiranku terus berputar tentang Ryan. Kenapa dia selalu terlihat diam-diam baik padaku? Kenapa setiap kali aku dalam kesulitan, dia seolah muncul untuk memberikan bantuan?
Ah, mungkin dia hanya berniat membantu, tidak lebih. Aku tidak boleh terlalu terbawa perasaan. Aku tahu, Ryan adalah cowok yang paling populer di sekolah ini, dan aku hanyalah Aura, cewek biasa yang sering diabaikan. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku merasa dia berbeda. Apakah aku hanya berhalusinasi?
...»»——⍟——««...
Aku berjalan menuju kantin dengan membawa tas bekal yang aku bawa dari rumah. Suara langkah kakiku menggema di lorong-lorong yang sepi, tanpa ada teman di sampingku. Suasana ini sudah sangat biasa bagiku.
Setiap hari, aku memilih untuk duduk di meja makan yang paling pojok, jauh dari keramaian. Di situlah aku merasa nyaman, bisa menikmati makanan tanpa ada gangguan dari siapa pun.
Hari ini, aku membawa nasi goreng dan beberapa potong ayam krispi yang masih hangat. Aku memasaknya sendiri di rumah pagi tadi. Makanan itu adalah satu-satunya hal yang bisa membuatku merasa sedikit lebih baik, meskipun hatiku masih dipenuhi perasaan bingung.
Aku merasa sangat aneh dengan diriku sendiri. Sejak kapan aku menjadi begini? Sejak kapan aku mulai terlalu memperhatikan Ryan?
Baru saja aku membuka bekalku dan mencicipi suapan pertama, tiba-tiba suasana tenang itu buyar. Dari belakang, cewek bar-bar yang tadi pagi mengusikku muncul lagi. Dengan tangan yang dia sandarkan di pundakku, dia menatapku dengan tatapan tajam, seolah aku adalah mangsa yang harus dihancurkan.
“Hei, Aura jelek! Kamu nggak pantas berada di sisi Ryan!” teriaknya dengan nada mengejek yang membuat semua orang di sekitar menoleh.
Tanpa ampun, dia meraih kotak bekalku dan menumpahkannya tepat di wajahku.
Plak!
Nasi goreng dan ayam krispi itu berhamburan, mengenai wajah dan tubuhku. Aku hanya bisa terkejut, tidak tahu harus berkata apa.
“Aww!” rasanya bukan hanya sakit fisik karena makanan yang menimpa wajahku, tapi juga rasa malu yang begitu dalam.
Mereka tertawa terbahak-bahak, melihatku yang hanya bisa terdiam di tempat, dengan pipi penuh sisa nasi dan ayam.
Mereka berlalu begitu saja, meninggalkanku yang masih tertegun dan terperangah. Darahku mendidih, marah dengan perlakuan mereka, tapi aku tahu, aku tidak bisa melawan cewek bar-bar itu seorang diri. Mereka terlalu banyak, terlalu kuat. Aku merasa begitu hina, tetapi aku tahu, tidak ada yang bisa aku lakukan.
Aku berlari menuju toilet, ingin membersihkan wajahku yang penuh dengan sisa makanan itu. Setiap langkah yang aku ambil terasa berat, seperti beban yang tak kunjung hilang.
Di lorong yang aku lewati, tiba-tiba seseorang memanggil namaku, “Aura!”
Suara itu membuatku berhenti sejenak. Aku mengenali suara itu. Ryan. Aku melihatnya, dan dia melihatku dengan tatapan penuh kebingungan.
“Ada apa dengan wajahmu?” tanyanya dengan nada khawatir.
Oh tidak, kenapa dia muncul sekarang? Kenapa harus di saat seperti ini? Aku merasa sangat malu. Aku ingin segera pergi dari situasi yang memalukan ini, tapi Ryan mengeluarkan sebungkus tisu dari sakunya dan menyerahkannya padaku.
“Ini, bersihkan wajahmu,” katanya lembut, sambil memberiku sebungkus tisu.
Aku hanya mengangguk dan berlari menuju toilet, membasuh wajahku di wastafel. Air dingin yang mengalir itu seolah membersihkan bukan hanya wajahku, tapi juga sedikit rasa maluku.
Setelah aku membersihkan wajahku dengan tisu yang diberikan Ryan, aku menatap diriku di cermin. Betapa buruknya penampilanku. Cewek bar-bar itu tidak salah, wajahku memang tidak sempurna dan cenderung jelek. Aku merasa aneh, bagaimana mungkin seseorang seperti Ryan peduli padaku?
Saat aku keluar dari toilet, aku melihat Ryan berdiri di samping pintu kamar mandi cewek. Apa dia sedang menungguku di depan toilet perempuan? Perilakunya sangat aneh untuk dilakukan oleh seorang cowok populer seperti dia.
“Sudah selesai?” tanyanya dengan lembut, matanya masih menatapku dengan rasa penasaran yang jelas terlihat.
“Iya, terima kasih,” jawabku singkat, sambil menyerahkan kembali tisu yang diberikannya.
Dia menggeleng, senyumnya kembali muncul.
“Simpan saja itu untukmu,” katanya.
Kemudian, dia menyodorkan sekotak susu coklat yang dipegangnya dari tadi.Aku terkejut, bingung.
“Itu untukku?” tanyaku, menatap susu coklat itu dengan penuh kebingungan.
Rasanya lagi-lagi aneh, kenapa dia tiba-tiba memberiku sekotak susu coklat? Aku merasa tidak pantas menerimanya.
“Bukan. Ini untuk Isabella,” jawabnya, aku merasa seperti ada sesuatu yang mengganjal di dadaku.
“Kalau begitu, berikan saja sendiri padanya,” kataku dengan nada sedikit kesal.
Aku berusaha menahan perasaan yang mendalam, yang tiba-tiba muncul begitu saja. Memang tadi Isabella berbuat begitu gara-gara siapa? tentu saja Ryan.
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Aku tidak ingin terbawa perasaan. Tanpa berlama-lama, aku melangkah pergi dari tempat itu, mencoba melupakan apa yang baru saja terjadi.
Namun, tiba-tiba Ryan menarik lenganku, membuatku berhenti mendadak dan tidak membiarkanku pergi begitu saja.
“Aura, tunggu!”
...»»——⍟——««...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!