Bab 6 | Mau Satu Kelompok Denganku?

“Jadi, mau pulang sekolah bersamaku?” tanya Ryan, saat kami berdua masih ada di kantor BK.

Ruangan kecil itu terasa semakin sempit, seolah menyerap emosi yang menggumpal di antara kami. Hawa pendingin ruangan tidak cukup untuk mendinginkan suasana yang memanas.

Aku hanya diam, menghela napas panjang. Rasanya sudah cukup. Kesabaran yang selama ini kutahan kini mendekati batasnya.

Setelah menyelesaikan tulisanku, aku meninggalkan kertas itu di meja tanpa berkata apa-apa dan segera berdiri, bersiap meninggalkan ruangan. Rasanya lega, seakan beban di punggungku berkurang sedikit.

“Aura, tunggu aku ...” suara Ryan memanggil, terdengar mengejarku.

Aku merasakan desiran langkah cepat di belakangku, namun aku mempercepat langkah, seolah kecepatan bisa membuatku kabur dari situasi ini. Begitu sampai di kelas, aku merasa lega karena belum ada guru. Hanya suara hiruk-pikuk teman-teman yang memanfaatkan jam kosong.

Aku duduk di dekat jendela, mencoba menenangkan pikiranku sambil memandang ke luar. Angin sepoi-sepoi dan pemandangan dedaunan bergoyang seolah membantuku melupakan drama tadi. Cahaya matahari sore yang masuk melalui celah jendela menyinari rambutku yang tergerai, menambah rasa hangat yang sedikit menenangkan.

Namun, tak butuh waktu lama sebelum ketenangan itu terganggu. Dari balik kerumunan teman-teman yang tengah sibuk dengan obrolan mereka, Ryan muncul di depan kelas. Aku hampir lupa, dia adalah ketua kelas X IPA 1. Pasti ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.

“Teman-teman, pelajaran fisika hari ini ditiadakan karena Pak Tono sakit. Kita disuruh membentuk kelompok beranggotakan tiga orang untuk mengerjakan tugas halaman 24. Presentasinya minggu depan,” suaranya menggema di ruangan, membuat teman-teman sekelas langsung riuh mencari kelompok.

Aku menggigit bibir, merasa canggung. Sudah sebulan aku di sini, tetapi belum terlalu dekat dengan siapa pun. Pikiran berkecamuk di kepalaku, siapa yang mau mengajakku bergabung? Aku menatap ke arah Ryan yang masih berdiri di depan kelas, berharap dia tak mengajakku, berharap dia tidak membuat semuanya semakin rumit.

Hiruk-pikuk langsung memenuhi ruangan. Suara kursi digeser, bisikan, hingga panggilan di seberang meja terdengar bersahutan. Aku menggigit bibir bawah, merasa tak nyaman. Hampir satu bulan aku di sekolah ini, tapi masih belum punya teman dekat. Hanya Ryan yang sesekali berinteraksi denganku, namun justru itulah yang membuatku merasa canggung.

Aku menundukkan kepala, pura-pura sibuk dengan bukuku. Dalam hati, aku berharap tidak ada yang menyadari keberadaanku, berharap bisa luput dari kehebohan pembentukan kelompok. Namun, doa itu tak terkabul. Tak lama, Ryan mendekat dengan langkah santai.

“Aura, mau nggak jadi satu kelompok sama aku?” tanyanya, suaranya terdengar tulus.

Di matanya ada sorot yang tak bisa kuterjemahkan, antara perhatian dan ketulusan.

Dadaku berdegup lebih cepat. Pikiranku berperang, aku ingin menolak, menjaga jarak, tetapi aku tahu tak punya pilihan lain. Tugas kelompok tak mungkin diselesaikan sendirian. Belum sempat aku menjawab, Edo, teman Ryan yang sering dianggap badut kelas, menyela.

“Bro, seriously? Satu kelompok sama cewek? Kenapa nggak ngajak Raka aja?” Dia terkekeh, diikuti beberapa teman lain yang mendengar.

Ryan tetap tenang, menatap Edo dengan senyum tipis.

“Iya, kenapa?” tanyanya. Kali ini suaranya sedikit lebih rendah, seolah memberi peringatan agar Edo tak terus meledek. “Please, Do. Kali ini aja aku sekelompok bareng kamu dan Aura.”

Aku menahan napas, menatap Ryan yang berdiri di sisiku. Beberapa detik yang sepi terasa begitu lama. Beberapa teman yang mendengar mulai tertarik memperhatikan, sebagian berbisik-bisik. Aku bisa merasakan panas di telinga dan pipiku, rasa malu bercampur kesal membakar.

“Udah, bro, cuma bercanda. Tapi nanti ngerjainnya yang serius, jangan kebanyakan micin ... eh, bucin,” kata Edo, mengangkat bahu lalu kembali ke bangkunya sambil terkekeh.

Kelas kembali sibuk dengan urusan masing-masing, suasana mereda. Ryan tersenyum kecil ke arahku, lalu menarik kursi dan duduk di dekatku.

“Jadi, gimana? Kamu oke?” tanyanya pelan, memastikan hanya aku yang mendengar.

“Entahlah ...” aku menjawab dengan jujur, menyunggingkan senyum kecil yang mungkin terlihat lebih seperti cengiran.

“Ayo lah, Ra …” Ryan semakin mendesakku.

Aku menggelengkan kepala, berusaha menormalkan napas.

“Aku ... masih memikirkannya,” jawabku, dengan suara pelan yang nyaris tak terdengar.

Perasaan ragu bercampur lega menguasai hatiku. Jika satu kelompok dengan Ryan, setidaknya aku tidak perlu berjuang sendirian. Rasanya aneh, seperti ada ribuan kupu-kupu yang terperangkap di perutku. Tapi, aku tidak mau jadi incaran Isabella seperti tadi pagi.

Seorang teman perempuan satu kelasku, Kaila, yang berdiri di dekatku, berbisik sambil menyikut lenganku. “Bersama Ryan, ya? Wah, berani juga kamu. Hati-hati nanti jadi target fans-fansnya.”

Ryan, seolah mendengar bisikan Kaila, hanya menggeleng dan tersenyum kecil.

“Apaan sih? Mau cari gara-gara lagi? lagian pasti kalian para cewek nggak ada yang mau satu kelompok sama Aura,” katanya sambil menatapku penuh arti.

“Well, semangat ya, Ra. Jangan jadi beban buat Ryan.” Kaila pergi meninggalkan kami berdua.

Saat suasana kelas mulai kembali tenang dan teman-teman sibuk membentuk kelompok, aku menyadari sesuatu. Mungkin, hari ini tidak seburuk yang kubayangkan.

...»»——⍟——««...

Kring …

Ketika bel pulang berbunyi, aku mengemasi barang-barangku dan keluar dari kelas dengan langkah pelan. Pikiranku masih terfokus pada tugas yang harus dikerjakan.

Langkahku menuju gerbang sekolah terasa lebih panjang, meski jalan setapak itu biasanya kulewati dengan cepat. Rumahku tak jauh, hanya sekitar sepuluh menit berjalan kaki. Namun, kali ini perasaanku lebih berat. Ada bayangan yang mengikuti di belakangku, aku tahu siapa itu tanpa harus menoleh.

“Ryan! Berhenti mengikutiku!” teriakku tanpa sadar, lama-lama aku curiga dia adalah stalker yang selalu mengikutiku ke mana saja.

“Hah?” Ryan tertawa kecil, menunjukkan sebuah rumah berpagar hitam.

“Aura, rumahku di sini. Aku tidak mengikutimu,” ujarnya, matanya berkilat-kilat dengan senyum geli.

Aku mematung, wajahku memerah karena malu. Baru kusadari bahwa rumah kami searah. Melihat ekspresiku yang salah tingkah, Ryan tersenyum lebar.

Di dekat pagar rumahnya, sebuah kotak kardus besar terlihat tergeletak. Di dalamnya, seekor induk kucing meringkuk, melindungi anak-anaknya yang masih kecil.

“Jangan-jangan itu …” aku menatapnya penuh tanya, kenangan samar mulai muncul di benakku.

Ryan mengangguk. “Iya, itu induk kucing yang kita selamatkan saat Masa Orientasi Siswa bulan lalu. Dia sudah punya lima anak sekarang.”

Melihat kucing-kucing itu, tawa kecil keluar dari bibirku. Semua perasaan canggung dan kesal seakan menguap begitu saja.

“Wah, lucu sekali! Aku harus melihatnya!”

Ryan mempersilakan aku untuk melihat kucing-kucing dalam kardus itu. Dadaku terasa hangat karena kucing-kucing kecil itu lahir dengan selamat dan induk kucingnya juga tampak sehat.

...»»——⍟——««...

Terpopuler

Comments

miilieaa

miilieaa

nyicil beberapa bab dulu yaa kak/Drool/

2024-12-06

0

lihat semua
Episodes
1 Bab 1 | Ayo Kita Pacaran!
2 Bab 2 | Dilabrak
3 Bab 3 | Kantin
4 Bab 4 | Pembalasan
5 Bab 5 | Kantor BK
6 Bab 6 | Mau Satu Kelompok Denganku?
7 Bab 7 | MOS (1)
8 Bab 8 | MOS (2)
9 Bab 9 | MOS (3)
10 Bab 10 | Godaan Ryan
11 Bab 11 | Terjebak di Toilet
12 Bab 12 | Menangis di Pelukan Ryan
13 Bab 13 | Kerja Kelompok
14 Bab 14 | Mampir ke Rumahmu, ya?
15 Bab 15 | Mau Jalan Bareng ke Kantin?
16 Bab 16 | Taman Belakang Sekolah
17 Bab 17 | Pameran Ekstrakurikuler
18 Bab 18 | Klub Memasak
19 Bab 19 | Aku Ingin Memperingatkan Kamu
20 Bab 20 | Uang Kas
21 Bab 21 | Penggeledahan
22 Bab 22 | Dituduh Mencuri
23 Bab 23 | Mau Jalan-jalan Bersamaku?
24 Bab 24 | Daun Berguguran
25 Bab 25 | Telepon dari Orang Tuaku
26 Bab 26 | Dasar Pencuri!
27 Bab 27 | Nara
28 Bab 28 | Mau Jadi Temanku?
29 Bab 29 | Ayo Kita Bolos!
30 Bab 30 | Sejak Kapan Kalian Pacaran?
31 Bab 31 | Darah
32 Bab 32 | Ryan Menggendongku
33 Bab 33 | Pemeriksaan
34 Bab 34 | Rujukan
35 Bab 35 | Ryan Terlihat Aneh
36 Bab 36 | Kita Harus Berhenti
37 Bab 37 | Klub Memasak (1)
38 Bab 38 | Klub Memasak (2)
39 Bab 39 | Pulang Diantar Edo
40 Bab 40 | Aura Tidak Masuk Sekolah
41 Bab 41 | Aura di Pikiran Ryan
42 Bab 42 | Pemeriksaan Kesehatan Aura
43 Bab 43 | Berapa Lama Lagi?
44 Bab 44 | Aura!
45 Bab 45 | Aku Suka Ryan?
46 Bab 46 | Cemburu
47 Bab 47 | Menghindar
48 Bab 48 | Dilema
49 Bab 49 | Aku Takut
50 Bab 50 | Cewek Hari Itu (1)
51 Bab 51 | Cewek Hari Itu (2)
52 Bab 52 | Aku Tidak Akan Memaksamu
53 Bab 53 | kukis (1)
54 Bab 54 | Kukis (2)
55 Bab 55 | Aku Butuh Bantuanmu
56 Bab 56 | Ayah
57 Bab 57 | Pemeriksaan
58 Bab 58 | Pesan
Episodes

Updated 58 Episodes

1
Bab 1 | Ayo Kita Pacaran!
2
Bab 2 | Dilabrak
3
Bab 3 | Kantin
4
Bab 4 | Pembalasan
5
Bab 5 | Kantor BK
6
Bab 6 | Mau Satu Kelompok Denganku?
7
Bab 7 | MOS (1)
8
Bab 8 | MOS (2)
9
Bab 9 | MOS (3)
10
Bab 10 | Godaan Ryan
11
Bab 11 | Terjebak di Toilet
12
Bab 12 | Menangis di Pelukan Ryan
13
Bab 13 | Kerja Kelompok
14
Bab 14 | Mampir ke Rumahmu, ya?
15
Bab 15 | Mau Jalan Bareng ke Kantin?
16
Bab 16 | Taman Belakang Sekolah
17
Bab 17 | Pameran Ekstrakurikuler
18
Bab 18 | Klub Memasak
19
Bab 19 | Aku Ingin Memperingatkan Kamu
20
Bab 20 | Uang Kas
21
Bab 21 | Penggeledahan
22
Bab 22 | Dituduh Mencuri
23
Bab 23 | Mau Jalan-jalan Bersamaku?
24
Bab 24 | Daun Berguguran
25
Bab 25 | Telepon dari Orang Tuaku
26
Bab 26 | Dasar Pencuri!
27
Bab 27 | Nara
28
Bab 28 | Mau Jadi Temanku?
29
Bab 29 | Ayo Kita Bolos!
30
Bab 30 | Sejak Kapan Kalian Pacaran?
31
Bab 31 | Darah
32
Bab 32 | Ryan Menggendongku
33
Bab 33 | Pemeriksaan
34
Bab 34 | Rujukan
35
Bab 35 | Ryan Terlihat Aneh
36
Bab 36 | Kita Harus Berhenti
37
Bab 37 | Klub Memasak (1)
38
Bab 38 | Klub Memasak (2)
39
Bab 39 | Pulang Diantar Edo
40
Bab 40 | Aura Tidak Masuk Sekolah
41
Bab 41 | Aura di Pikiran Ryan
42
Bab 42 | Pemeriksaan Kesehatan Aura
43
Bab 43 | Berapa Lama Lagi?
44
Bab 44 | Aura!
45
Bab 45 | Aku Suka Ryan?
46
Bab 46 | Cemburu
47
Bab 47 | Menghindar
48
Bab 48 | Dilema
49
Bab 49 | Aku Takut
50
Bab 50 | Cewek Hari Itu (1)
51
Bab 51 | Cewek Hari Itu (2)
52
Bab 52 | Aku Tidak Akan Memaksamu
53
Bab 53 | kukis (1)
54
Bab 54 | Kukis (2)
55
Bab 55 | Aku Butuh Bantuanmu
56
Bab 56 | Ayah
57
Bab 57 | Pemeriksaan
58
Bab 58 | Pesan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!