Bab 19 | Aku Ingin Memperingatkan Kamu

"Iya," aku akhirnya mengaku, suaraku terdengar lebih pelan dari biasanya. "Aku ingin memperingatkan kamu. Sebaiknya ... jangan terlalu dekat denganku."

Aku bisa melihat Ryan terdiam sejenak, seolah kata-kataku itu benar-benar mengejutkannya. Aku memang jarang bicara serius seperti ini, apalagi soal perasaan atau batasan. Biasanya aku lebih suka menghindari hal-hal semacam itu. Kalau bisa, aku lebih memilih tetap berada di zona nyaman, jauh dari segala komplikasi.

"Kenapa?" tanya Ryan, nada suaranya kini terdengar lebih lembut, tapi aku bisa merasakan ada sedikit rasa penasaran yang muncul.

Aku bisa melihat raut wajahnya yang mencoba memahami, yang membuat hatiku sedikit tersentuh, meskipun aku berusaha keras untuk tidak menunjukkan apa-apa.

Aku mengalihkan pandanganku ke luar jendela lagi, menatap daun-daun yang terus berjatuhan satu per satu. Rasanya seperti kehidupan yang terus bergerak maju tanpa memberi ruang untuk berhenti, untuk meresapi.

Semua terasa begitu cepat, seperti waktu yang berlalu tanpa bisa diputar balik. Seperti daun-daun yang jatuh, ada saatnya kita harus melepaskan dan aku takut, jika aku terlalu dekat dengan Ryan, aku akan terlambat untuk melepaskan diri.

Aku ingin mengatakan lebih banyak, tapi kata-kata itu terasa sulit keluar. Kenapa rasanya aku selalu merasa canggung jika harus berbicara tentang hal-hal seperti ini? Tentang perasaan. Tentang hubungan. Tentang hal-hal yang melibatkan orang lain. Aku tidak terbiasa, dan itu membuatku merasa terjebak.

Aku ingin menjaga jarak, tapi di sisi lain, aku merasa ada sesuatu yang menarikku untuk lebih dekat dengan Ryan. Sesuatu yang sulit dijelaskan, tapi jelas ada di sini, mengikatku pada setiap tatapannya, pada setiap senyumannya. Aku tidak tahu apakah itu cinta, atau hanya perasaan yang datang karena kedekatan kami yang tak terhindarkan.

"Aura?" Ryan memanggilku lagi, kali ini lebih lembut.

Suaranya tak lagi menggoda seperti tadi, namun ada keseriusan yang baru.

"Kenapa kamu merasa begitu?"

Aku terdiam sejenak. Aku ingin menjelaskan, tapi rasanya kata-kata itu terlalu rumit untuk diungkapkan. Aku tahu Ryan tidak akan mengerti sepenuhnya, dan aku juga tidak ingin dia merasa bersalah. Aku hanya ingin menjaga segala sesuatunya tetap berjalan seperti biasa, tanpa perubahan yang besar. Tanpa risiko.

"Kadang ... kalau terlalu dekat dengan seseorang, aku merasa akan ada penyesalan ketika kita berpisah nanti," jawabku akhirnya, dengan suara yang pelan, hampir berbisik. "Aku hanya ingin tetap sendirian saja."

Aku berharap dengan itu, semuanya akan selesai. Bahwa Ryan akan mengerti dan pergi begitu saja, tanpa banyak pertanyaan. Tapi aku tahu, ini tidak akan semudah itu. Ryan bukan tipe orang yang mudah mundur, dia selalu berusaha mencari tahu lebih dalam, bahkan ketika aku berusaha menutup diri.

Ryan terdiam. Dia duduk diam, tampaknya merenung sejenak. Aku bisa melihat ekspresinya yang berubah, seolah berpikir keras tentang apa yang baru saja kukatakan. Aku tahu dia bukan tipe orang yang suka memaksakan sesuatu, tapi aku juga bisa merasakan bahwa dia mungkin merasa sedikit bingung dengan apa yang baru saja kukatakan.

"Aura," Ryan akhirnya membuka mulutnya lagi, dan kali ini suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya. "Apa kamu berencana untuk pindah sekolah?"

Aku menatapnya, sedikit terkejut dengan kalimatnya. Mungkin, hanya mungkin, dia benar-benar bisa mengerti. Tapi rasanya terlalu berat untuk mengungkapkan semuanya begitu saja. Terlalu banyak hal yang harus aku jelaskan, dan aku tidak yakin aku bisa mengungkapkannya dengan kata-kata yang tepat.

"Mungkin saja," aku berkata pelan, mencoba menguatkan diri.

Aku merasa seperti berada di ujung jurang, bingung apakah aku harus melangkah mundur atau maju, antara keinginan untuk menjaga jarak dan dorongan untuk lebih dekat dengan Ryan.

“Aura, aku mencintaimu. Hanya mencintaimu, apa berat bagimu untuk menerimaku?” tanyanya dengan sungguh-sungguh.

Aku merasa tubuhku kaku. Ada rasa hangat yang menyebar di dadaku, tapi aku berusaha menahannya. Aku tahu, kata-kata itu bukan sekadar angin lalu. Ada perasaan yang nyata di baliknya, perasaan yang selama ini tak bisa kuabaikan. Aku hanya tidak siap untuk itu. Tidak siap untuk menerima kenyataan bahwa mungkin aku juga merasa hal yang sama, tapi aku tidak ingin mengakuinya.

Aku berusaha untuk tidak mendengarkan, seolah dengan menutup telinga aku bisa mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh di dalam diriku. Tapi meskipun aku berusaha keras untuk menahan diri, pikiranku terus dipenuhi dengan kata-katanya yang terus terngiang-ngiang di telingaku.

“Aura, kenapa kamu nggak bisa menerima perasaanku?” Ryan bertanya lagi, suaranya kini terdengar penuh keputusasaan, seolah mencari jawaban yang tidak bisa aku beri.

Aku menggigit bibir, berusaha keras untuk tetap tenang. Ini bukan hal yang mudah bagiku. Aku sudah terbiasa menjaga jarak dari semua orang, sudah terbiasa sendiri. Kenapa harus sekarang, kenapa harus dengan Ryan? Dia terlalu baik untukku. Terlalu perhatian, terlalu hangat, dan aku takut, jika aku terlalu dekat dengannya, aku akan kehilangan diriku sendiri.

"Aura, kamu tidak perlu takut," kata Ryan pelan, lebih lembut daripada sebelumnya. "Aku tidak akan memaksamu untuk menjadi sesuatu yang bukan dirimu. Tapi aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku ada di sini. Kalau kamu butuh seseorang."

Aku menatapnya, merasa sedikit terharu dengan kata-katanya. Ryan mungkin tidak tahu seberapa berat perasaan ini bagiku. Tapi aku juga tahu, mungkin aku terlalu banyak menutup diri. Mungkin aku harus memberi kesempatan, walaupun aku takut.

"Aku ..." Aku mulai membuka mulut, tapi kata-kataku tersangkut di tenggorokanku.

Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, apa yang harus kulakukan. Akhirnya, aku hanya bisa diam, berharap ada jawaban yang datang dengan sendirinya.

Ryan duduk di sampingku, diam, hanya menatapku dengan penuh pengertian. Aku merasa seperti ada yang mengikat kami berdua, meskipun tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirku. Aku tahu, kami sedang berada di titik yang sulit, dan aku harus memilih.

Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa ragu, seakan tidak tahu apa yang benar-benar aku inginkan. Perasaan ini membingungkan. Di satu sisi, aku ingin menjauhkan diri, menjaga jarak. Namun, di sisi lain, ada bagian dari diriku yang ingin sekali berada lebih dekat dengan Ryan.

"Maafkan aku, Ryan. Hanya itu yang bisa aku katakan," gumamku, suara hampir tak terdengar, saat aku menatap dedaunan yang berguguran di luar jendela.

Aku merasa semakin takut dengan setiap kata yang terucap. Takut karena aku merasa seperti menyakiti Ryan, takut karena aku tidak tahu bagaimana melanjutkan semuanya.

Hingga pulang sekolah, Ryan hanya terdiam. Dia tidak berkata apa-apa, hanya berjalan di sampingku dengan ekspresi wajah yang sulit aku baca. Aku merasa lega karena tidak risih dengan perlakuannya padaku sebelumnya. Tidak ada tanya jawab yang menekan atau situasi canggung yang harus kutanggung. Namun, entah kenapa, hatiku terasa berat menerima perlakuan Ryan.

Apa benar perasaannya itu cinta? Mungkin itu hanya kata-kata candaan yang biasa diucapkan anak SMA yang baru saja puber, terlalu muda untuk benar-benar mengerti tentang cinta.

...»»——⍟——««...

Episodes
1 Bab 1 | Ayo Kita Pacaran!
2 Bab 2 | Dilabrak
3 Bab 3 | Kantin
4 Bab 4 | Pembalasan
5 Bab 5 | Kantor BK
6 Bab 6 | Mau Satu Kelompok Denganku?
7 Bab 7 | MOS (1)
8 Bab 8 | MOS (2)
9 Bab 9 | MOS (3)
10 Bab 10 | Godaan Ryan
11 Bab 11 | Terjebak di Toilet
12 Bab 12 | Menangis di Pelukan Ryan
13 Bab 13 | Kerja Kelompok
14 Bab 14 | Mampir ke Rumahmu, ya?
15 Bab 15 | Mau Jalan Bareng ke Kantin?
16 Bab 16 | Taman Belakang Sekolah
17 Bab 17 | Pameran Ekstrakurikuler
18 Bab 18 | Klub Memasak
19 Bab 19 | Aku Ingin Memperingatkan Kamu
20 Bab 20 | Uang Kas
21 Bab 21 | Penggeledahan
22 Bab 22 | Dituduh Mencuri
23 Bab 23 | Mau Jalan-jalan Bersamaku?
24 Bab 24 | Daun Berguguran
25 Bab 25 | Telepon dari Orang Tuaku
26 Bab 26 | Dasar Pencuri!
27 Bab 27 | Nara
28 Bab 28 | Mau Jadi Temanku?
29 Bab 29 | Ayo Kita Bolos!
30 Bab 30 | Sejak Kapan Kalian Pacaran?
31 Bab 31 | Darah
32 Bab 32 | Ryan Menggendongku
33 Bab 33 | Pemeriksaan
34 Bab 34 | Rujukan
35 Bab 35 | Ryan Terlihat Aneh
36 Bab 36 | Kita Harus Berhenti
37 Bab 37 | Klub Memasak (1)
38 Bab 38 | Klub Memasak (2)
39 Bab 39 | Pulang Diantar Edo
40 Bab 40 | Aura Tidak Masuk Sekolah
41 Bab 41 | Aura di Pikiran Ryan
42 Bab 42 | Pemeriksaan Kesehatan Aura
43 Bab 43 | Berapa Lama Lagi?
44 Bab 44 | Aura!
45 Bab 45 | Aku Suka Ryan?
46 Bab 46 | Cemburu
47 Bab 47 | Menghindar
48 Bab 48 | Dilema
49 Bab 49 | Aku Takut
50 Bab 50 | Cewek Hari Itu (1)
51 Bab 51 | Cewek Hari Itu (2)
52 Bab 52 | Aku Tidak Akan Memaksamu
53 Bab 53 | kukis (1)
54 Bab 54 | Kukis (2)
55 Bab 55 | Aku Butuh Bantuanmu
56 Bab 56 | Ayah
57 Bab 57 | Pemeriksaan
58 Bab 58 | Pesan
Episodes

Updated 58 Episodes

1
Bab 1 | Ayo Kita Pacaran!
2
Bab 2 | Dilabrak
3
Bab 3 | Kantin
4
Bab 4 | Pembalasan
5
Bab 5 | Kantor BK
6
Bab 6 | Mau Satu Kelompok Denganku?
7
Bab 7 | MOS (1)
8
Bab 8 | MOS (2)
9
Bab 9 | MOS (3)
10
Bab 10 | Godaan Ryan
11
Bab 11 | Terjebak di Toilet
12
Bab 12 | Menangis di Pelukan Ryan
13
Bab 13 | Kerja Kelompok
14
Bab 14 | Mampir ke Rumahmu, ya?
15
Bab 15 | Mau Jalan Bareng ke Kantin?
16
Bab 16 | Taman Belakang Sekolah
17
Bab 17 | Pameran Ekstrakurikuler
18
Bab 18 | Klub Memasak
19
Bab 19 | Aku Ingin Memperingatkan Kamu
20
Bab 20 | Uang Kas
21
Bab 21 | Penggeledahan
22
Bab 22 | Dituduh Mencuri
23
Bab 23 | Mau Jalan-jalan Bersamaku?
24
Bab 24 | Daun Berguguran
25
Bab 25 | Telepon dari Orang Tuaku
26
Bab 26 | Dasar Pencuri!
27
Bab 27 | Nara
28
Bab 28 | Mau Jadi Temanku?
29
Bab 29 | Ayo Kita Bolos!
30
Bab 30 | Sejak Kapan Kalian Pacaran?
31
Bab 31 | Darah
32
Bab 32 | Ryan Menggendongku
33
Bab 33 | Pemeriksaan
34
Bab 34 | Rujukan
35
Bab 35 | Ryan Terlihat Aneh
36
Bab 36 | Kita Harus Berhenti
37
Bab 37 | Klub Memasak (1)
38
Bab 38 | Klub Memasak (2)
39
Bab 39 | Pulang Diantar Edo
40
Bab 40 | Aura Tidak Masuk Sekolah
41
Bab 41 | Aura di Pikiran Ryan
42
Bab 42 | Pemeriksaan Kesehatan Aura
43
Bab 43 | Berapa Lama Lagi?
44
Bab 44 | Aura!
45
Bab 45 | Aku Suka Ryan?
46
Bab 46 | Cemburu
47
Bab 47 | Menghindar
48
Bab 48 | Dilema
49
Bab 49 | Aku Takut
50
Bab 50 | Cewek Hari Itu (1)
51
Bab 51 | Cewek Hari Itu (2)
52
Bab 52 | Aku Tidak Akan Memaksamu
53
Bab 53 | kukis (1)
54
Bab 54 | Kukis (2)
55
Bab 55 | Aku Butuh Bantuanmu
56
Bab 56 | Ayah
57
Bab 57 | Pemeriksaan
58
Bab 58 | Pesan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!