Anomali Rasa
"Angga ... Besok aku ke Bandung. Kita meet up, yuk."
"Serius, Mba? Ngapain? Jangan-jangan elu pengen ketemu gue, ya. Wah, sweet banget sih pakai nyamperin gue jauh-jauh ke sini. Wahaha."
"Pede banget sih? Gue ada kerjaan di Bandung 4 bulanan gitu."
"Oh gitu. Sok atuh. Kabarin aja. Biar ntar gue jemput. Naik kereta atau bus?"
"Rencana sih mau naik kereta. Besok gue kabarin lagi, ya. Udah ah. Gue ngantuk. Mau tidur."
"Iya. Sana. Eh. Nggak mau gue kelonin lagi? Wahaha."
"Hm? Ngarep lu!"
"Kan nawarin doang. Kali aja kayak waktu itu, pengen gue peluk. Ya udah tidur gih. Besok kesiangan. Bye."
Angga adalah salah satu teman dunia maya yang sudah setahun ini kukenal. Kami bertemu di salah satu forum dunia maya dan berhasil masuk dalam satu grup whattsapps bersama. Tidak hanya dengan dia saja, tapi aku sudah mengenal hampir semua anggota di grup itu.
Aku seorang yang tertutup. Sedangkan dia orang yang supel dan super cerewet. Bahkan dia kerap menjahiliku diobrolan grup maupun chatting pribadi kami. Itulah sebabnya aku lebih mudah akrab dengannya. Dan esok, aku akan bertolak ke Bandung untuk sebuah pekerjaan.
"Nov, udah jalan belum? Aku udah di kereta."
"Wah, aku masih packing, Cha. Jadwal pesawatku juga baru nanti malam. Kayaknya bakal kamu duluan deh yang sampai."
"Yah... gimana dong."
"Langsung aja ke rumah mess kita. Nanti aku kasih nomor penanggung jawab yang di sana aja, ya."
"Ya udah deh."
Kereta sampai di stasiun Bandung. Kulirik jam di pergelangan tangan kiriku sembari menyapu pandang sekeliling. Angin Bandung terasa berbeda. Ah, mungkin itu hanya perasaanku saja.
Mana si Angga, sih?
Kuraih gawai dalam totebag rupanya ada 1 panggilan tak terjawab dari Angga. Kutekan tombol untuk menghubunginya.
"Ngga ...?"
"Iya, mba? Udah sampai, ya? Bentar, ya. Ban motor gue kempes. Gue lagi di bengkel ini. Deket kok."
"Oh ya udah nggak apa-apa. Gue tunggu di depan aja."
"Oke. Sip."
Aku tengak tengok mencari jalan keluar. Melihat papan bertulisan 'keluar' kutarik koper mencari tujuanku. Kulihat beberapa penumpang yang tadi bersamaku, juga berjalan ke arah yang sama. Kupikir aku tidak salah jalan. Sementara tangan kananku sibuk menscrool gawai, membalas beberapa pesan dari teman-teman. Sekaligus menghubungi pemilik rumah yang akan kami tinggali selama 4 bulan ke depan.
Lama di Bandung, Cha?
Yah, gue mau pinjem jaket elu. Malah elu udah pergi.
Cha, jangan lupa oleh-olehnya.
Chaaaa ... cowok Bandung cakep-cakep. Pepet dah!
Begitulah beberapa komentar mereka saat aku mengupload fotoku di kereta. Sedikit narsis. Yah, begitulah aku.
Kursi panjang berwarna cokelat di ujung sana adalah tujuanku kini. Karena kupikir Angga akan lama datang, kuputuskan membeli beberapa cemilan untuk menemaniku menunggu. Karena menunggu adalah hal yang membosankan.
Cha ... Aku minta maaf. Please. Jadi Ocha ku lagi, ya. Kasih aku kesempatan sekali lagi.
Sebuah pesan masuk. Dan seketika membuatku muak. Segera kublokir nomor itu dan memasukan gawai ke dalam totebag lagi.
"Dasar sinting!" umpatku, merobek kasar bungkus roti selai keju dan menggigit dengan potongan besar. Antara lapar dan kesal menjadi satu. Manusia satu itu memang selalu membuat moodku hancur.
Kini netraku menatap sekitar. Baru sekarang aku fokus melihat suasana di kota Bandung. Sedari tadi aku sibuk dengan kegiatanku sendiri. Gawai memang hal yang tidak bisa kuelakkan barang semenit saja. Tapi karena pesan barusan, rasanya aku enggan menyentuh benda pipih itu dulu. Memang aku sudah kecanduan gadget. Karena itulah salah satu caraku berkomunikasi dengan dunia luar.
Suasana kota Bandung cukup ramai saat ini. Ah, bukan. Hanya stasiunnya saja yang kulihat sekarang. Kupikir, kalimat Linda tidak sepenuhnya benar. Tidak semua pria Bandung tampan. Beberapa ada yang terlihat sangat berantakan. Dengan rambut gondrong, dan berkulit gelap karena paparan matahari. Dan sialnya, dia menatapku sekarang.
"Sial! Mana sih Angga!" Kupalingkan wajah ke arah lain. Aku ... mulai ketakutan. Rasanya sangat risih ditatap seperti itu.
Makin cemas. Kuambil gawaiku. Dan mengirim pesan ke Angga. Namun, belum sempat aku mengetik pesan, angin menerpa wajahku. Kurasakan seseorang sudah duduk di samping.
"Mau ke mana, teh?" Tanya seseorang dengan suara sedikit cempreng. Saat aku melirik, rupanya pria tadi. Ia benar-benar nekat. Aku menggeser duduk lebih jauh. Kusapu pandangan ke sekitar, berharap ada orang yang menolongku terlepas dari orang aneh ini. Hanya saja, beberapa orang yang mondar mandir di depanku sangat apatis.
"Lagi nunggu teman, Mas," sahutku acuh. Bahkan sama sekali tidak menatapnya. Aku terus tengak-tengok mencari sosok yang kukenal. Berharap ia segera datang dan aku punya alasan pergi dari sini
"Oh bukan orang Bandung, ya? Asalnya dari mana?" Ia kembali bergerak, menggeser tubuhnya mendekat padaku.
Saat itulah aku beranjak dan mengemasi barang-barang. Saat aku akan pergi, ia menghalangi jalanku. " Biar Aa antar saja. Aa ada kendaraan di depan. Hayuk!" Ajaknya sedikit memaksa, mencoba meraih tanganku namun kutepis kasar.
"Jangan kurang ajar, ya! Saya nggak mau!"
"Aa antar saja. Biar lebih aman, preman di sini ...." belum sempat ia meneruskan kalimatnya, tiba-tiba ia terhuyung ke belakang karena pukulan seseorang.
"Sia tong calutak nying! Ieu kabogoh urang!"
*Anda jangan kurang ajar ya! Ini pacar saya!
Pria tinggi di depanku ini langsung menarik tangan, dan membawa serta koperku pergi. Dia Angga.
"Sorry, Mba. Lama. Baru kelar soalnya. Elu nggak apa-apa, kan?" Tanya Angga, namun tak menghentikan langkahnya. Terus berjalan ke arah parkiran. Bahkan ia tidak menoleh ke arahku. Aku diam. Terus menatap ke bawah. Sadar dengan sikapku yang aneh, ia lantas berhenti. Lalu menatapku.
"Mba? Kenapa?"
Aku terus menunduk. Angga meraih ujung daguku dengan jari telunjuk dan ibu jarinya.
" Mba? Nggak apa-apa, kan?"
Perlahan aku memberanikan diri menatapnya. Dahiny berkerut, sorot matanya tajam terus mengikuti pergerakan mataku. Terlihat ia cemas melihatku yang terus diam.
"Ngga ... aku takut. Dia ... dia ...." entah sejak kapan tubuhku bergetar. Bayangan seseorang tiba-tiba muncul bersamaan saat ini. Bukan orang tadi yang membuatku ketakutan, hanya saja masa lalu itu kini kembali terlintas. Jelas. Sangat jelas.
Angga menarik tubuhku dalam dekapannya. "Udah nggak apa-apa, kan? Santai. Ada gue juga," katanya memeluk tubuhku erat, sambil membelai punggungku lembut.
______
"Ini alamatnya? Yakin lu, mba?" Tanya Angga. Menghentikan kuda besinya secara mendadak saat aku menunjukkan secarik kertas berisi alamat tempat mess ku selama di sini.
"Iya. Bener. Memangnya kenapa?"
"Kok kayak nggak asing, ya?" Ia bergumam dengan pertanyaan yang sepertinya ditujukan untuk dirinya sendiri.
Aku melongok dari samping kanan kepalanya. Terlihat Angga terus menatap kertas itu sambil terus mengingat sesuatu.
"****! Tunggu bentar deh! Elu kerja di mana, sih?" Tanyanya lalu menengok ke belakang dengan wajah kaget bercampur bingung.
"PT Makmur Sentosa Industrial. Kenapa?" Tanyaku dengan tampang polos.
"Hah?! Serius?"
"Ngapa dah?"
"Itu tempat gue kerja juga kali, mba!"
"Hah? Kok nggak bilang sih dari kemarin?"
"Lah elu kagak nanya!"
"Bener juga sih." Kugaruk kepala yang sudah pasti tidak gatal sambil menahan tawa dengan raut wajah kaget bercampur bingung.
Dunia ini memang sempit. Bahkan lebih sempit dari dugaanmu. Hanya saja, tangan tuhanlah yang mempersempit jarak dan waktu.
______
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Nani Surtini
"calutak"... udah lama ga denger kata2 itu
2020-10-07
0
Priska Anita
Like dari Rona Cinta mendarat disini 💜
2020-08-04
1
sa_
thor, biar ga bingung kalimat yang merupakan pesan singkat mending di miringkan
2020-07-08
1