"Angga ... Besok aku ke Bandung. Kita meet up, yuk."
"Serius, Mba? Ngapain? Jangan-jangan elu pengen ketemu gue, ya. Wah, sweet banget sih pakai nyamperin gue jauh-jauh ke sini. Wahaha."
"Pede banget sih? Gue ada kerjaan di Bandung 4 bulanan gitu."
"Oh gitu. Sok atuh. Kabarin aja. Biar ntar gue jemput. Naik kereta atau bus?"
"Rencana sih mau naik kereta. Besok gue kabarin lagi, ya. Udah ah. Gue ngantuk. Mau tidur."
"Iya. Sana. Eh. Nggak mau gue kelonin lagi? Wahaha."
"Hm? Ngarep lu!"
"Kan nawarin doang. Kali aja kayak waktu itu, pengen gue peluk. Ya udah tidur gih. Besok kesiangan. Bye."
Angga adalah salah satu teman dunia maya yang sudah setahun ini kukenal. Kami bertemu di salah satu forum dunia maya dan berhasil masuk dalam satu grup whattsapps bersama. Tidak hanya dengan dia saja, tapi aku sudah mengenal hampir semua anggota di grup itu.
Aku seorang yang tertutup. Sedangkan dia orang yang supel dan super cerewet. Bahkan dia kerap menjahiliku diobrolan grup maupun chatting pribadi kami. Itulah sebabnya aku lebih mudah akrab dengannya. Dan esok, aku akan bertolak ke Bandung untuk sebuah pekerjaan.
"Nov, udah jalan belum? Aku udah di kereta."
"Wah, aku masih packing, Cha. Jadwal pesawatku juga baru nanti malam. Kayaknya bakal kamu duluan deh yang sampai."
"Yah... gimana dong."
"Langsung aja ke rumah mess kita. Nanti aku kasih nomor penanggung jawab yang di sana aja, ya."
"Ya udah deh."
Kereta sampai di stasiun Bandung. Kulirik jam di pergelangan tangan kiriku sembari menyapu pandang sekeliling. Angin Bandung terasa berbeda. Ah, mungkin itu hanya perasaanku saja.
Mana si Angga, sih?
Kuraih gawai dalam totebag rupanya ada 1 panggilan tak terjawab dari Angga. Kutekan tombol untuk menghubunginya.
"Ngga ...?"
"Iya, mba? Udah sampai, ya? Bentar, ya. Ban motor gue kempes. Gue lagi di bengkel ini. Deket kok."
"Oh ya udah nggak apa-apa. Gue tunggu di depan aja."
"Oke. Sip."
Aku tengak tengok mencari jalan keluar. Melihat papan bertulisan 'keluar' kutarik koper mencari tujuanku. Kulihat beberapa penumpang yang tadi bersamaku, juga berjalan ke arah yang sama. Kupikir aku tidak salah jalan. Sementara tangan kananku sibuk menscrool gawai, membalas beberapa pesan dari teman-teman. Sekaligus menghubungi pemilik rumah yang akan kami tinggali selama 4 bulan ke depan.
Lama di Bandung, Cha?
Yah, gue mau pinjem jaket elu. Malah elu udah pergi.
Cha, jangan lupa oleh-olehnya.
Chaaaa ... cowok Bandung cakep-cakep. Pepet dah!
Begitulah beberapa komentar mereka saat aku mengupload fotoku di kereta. Sedikit narsis. Yah, begitulah aku.
Kursi panjang berwarna cokelat di ujung sana adalah tujuanku kini. Karena kupikir Angga akan lama datang, kuputuskan membeli beberapa cemilan untuk menemaniku menunggu. Karena menunggu adalah hal yang membosankan.
Cha ... Aku minta maaf. Please. Jadi Ocha ku lagi, ya. Kasih aku kesempatan sekali lagi.
Sebuah pesan masuk. Dan seketika membuatku muak. Segera kublokir nomor itu dan memasukan gawai ke dalam totebag lagi.
"Dasar sinting!" umpatku, merobek kasar bungkus roti selai keju dan menggigit dengan potongan besar. Antara lapar dan kesal menjadi satu. Manusia satu itu memang selalu membuat moodku hancur.
Kini netraku menatap sekitar. Baru sekarang aku fokus melihat suasana di kota Bandung. Sedari tadi aku sibuk dengan kegiatanku sendiri. Gawai memang hal yang tidak bisa kuelakkan barang semenit saja. Tapi karena pesan barusan, rasanya aku enggan menyentuh benda pipih itu dulu. Memang aku sudah kecanduan gadget. Karena itulah salah satu caraku berkomunikasi dengan dunia luar.
Suasana kota Bandung cukup ramai saat ini. Ah, bukan. Hanya stasiunnya saja yang kulihat sekarang. Kupikir, kalimat Linda tidak sepenuhnya benar. Tidak semua pria Bandung tampan. Beberapa ada yang terlihat sangat berantakan. Dengan rambut gondrong, dan berkulit gelap karena paparan matahari. Dan sialnya, dia menatapku sekarang.
"Sial! Mana sih Angga!" Kupalingkan wajah ke arah lain. Aku ... mulai ketakutan. Rasanya sangat risih ditatap seperti itu.
Makin cemas. Kuambil gawaiku. Dan mengirim pesan ke Angga. Namun, belum sempat aku mengetik pesan, angin menerpa wajahku. Kurasakan seseorang sudah duduk di samping.
"Mau ke mana, teh?" Tanya seseorang dengan suara sedikit cempreng. Saat aku melirik, rupanya pria tadi. Ia benar-benar nekat. Aku menggeser duduk lebih jauh. Kusapu pandangan ke sekitar, berharap ada orang yang menolongku terlepas dari orang aneh ini. Hanya saja, beberapa orang yang mondar mandir di depanku sangat apatis.
"Lagi nunggu teman, Mas," sahutku acuh. Bahkan sama sekali tidak menatapnya. Aku terus tengak-tengok mencari sosok yang kukenal. Berharap ia segera datang dan aku punya alasan pergi dari sini
"Oh bukan orang Bandung, ya? Asalnya dari mana?" Ia kembali bergerak, menggeser tubuhnya mendekat padaku.
Saat itulah aku beranjak dan mengemasi barang-barang. Saat aku akan pergi, ia menghalangi jalanku. " Biar Aa antar saja. Aa ada kendaraan di depan. Hayuk!" Ajaknya sedikit memaksa, mencoba meraih tanganku namun kutepis kasar.
"Jangan kurang ajar, ya! Saya nggak mau!"
"Aa antar saja. Biar lebih aman, preman di sini ...." belum sempat ia meneruskan kalimatnya, tiba-tiba ia terhuyung ke belakang karena pukulan seseorang.
"Sia tong calutak nying! Ieu kabogoh urang!"
*Anda jangan kurang ajar ya! Ini pacar saya!
Pria tinggi di depanku ini langsung menarik tangan, dan membawa serta koperku pergi. Dia Angga.
"Sorry, Mba. Lama. Baru kelar soalnya. Elu nggak apa-apa, kan?" Tanya Angga, namun tak menghentikan langkahnya. Terus berjalan ke arah parkiran. Bahkan ia tidak menoleh ke arahku. Aku diam. Terus menatap ke bawah. Sadar dengan sikapku yang aneh, ia lantas berhenti. Lalu menatapku.
"Mba? Kenapa?"
Aku terus menunduk. Angga meraih ujung daguku dengan jari telunjuk dan ibu jarinya.
" Mba? Nggak apa-apa, kan?"
Perlahan aku memberanikan diri menatapnya. Dahiny berkerut, sorot matanya tajam terus mengikuti pergerakan mataku. Terlihat ia cemas melihatku yang terus diam.
"Ngga ... aku takut. Dia ... dia ...." entah sejak kapan tubuhku bergetar. Bayangan seseorang tiba-tiba muncul bersamaan saat ini. Bukan orang tadi yang membuatku ketakutan, hanya saja masa lalu itu kini kembali terlintas. Jelas. Sangat jelas.
Angga menarik tubuhku dalam dekapannya. "Udah nggak apa-apa, kan? Santai. Ada gue juga," katanya memeluk tubuhku erat, sambil membelai punggungku lembut.
______
"Ini alamatnya? Yakin lu, mba?" Tanya Angga. Menghentikan kuda besinya secara mendadak saat aku menunjukkan secarik kertas berisi alamat tempat mess ku selama di sini.
"Iya. Bener. Memangnya kenapa?"
"Kok kayak nggak asing, ya?" Ia bergumam dengan pertanyaan yang sepertinya ditujukan untuk dirinya sendiri.
Aku melongok dari samping kanan kepalanya. Terlihat Angga terus menatap kertas itu sambil terus mengingat sesuatu.
"****! Tunggu bentar deh! Elu kerja di mana, sih?" Tanyanya lalu menengok ke belakang dengan wajah kaget bercampur bingung.
"PT Makmur Sentosa Industrial. Kenapa?" Tanyaku dengan tampang polos.
"Hah?! Serius?"
"Ngapa dah?"
"Itu tempat gue kerja juga kali, mba!"
"Hah? Kok nggak bilang sih dari kemarin?"
"Lah elu kagak nanya!"
"Bener juga sih." Kugaruk kepala yang sudah pasti tidak gatal sambil menahan tawa dengan raut wajah kaget bercampur bingung.
Dunia ini memang sempit. Bahkan lebih sempit dari dugaanmu. Hanya saja, tangan tuhanlah yang mempersempit jarak dan waktu.
______
Perusahaan kami bergerak dalam bidang eksport dan import. Perusahaan kecil yang kini berkembang pesat dan telah membuka cabang di kota lain dalam 6 tahun setelah berdiri.
Sekitar sebulan lalu aku dan Nova mendapatkan pelatihan di Semarang. Dan itulah alasannya kenapa sekarang kami ada di sini. Bandung. Sebagai cabang baru dan belum lama ini di beli oleh perusahaan kami guna memperluas pemasaran.
"Ya sudah. Saya pamit dulu, Teh. Kalau ada apa-apa minta saja ke A Angga," celetuk Pak Sito, selaku pemilik rumah.
"Kok gue?!" Hardik Angga membulatkan mata. Tidak terima.
Kusikut dia sambil mengigit bibir, menahan tawa.
"Terima kasih, Pak," sahutku mencoba bersikap sopan.
Beliau pun pamit. Rumah ini sengaja dikontrakan. Dan perusahaan kami telah membayar uang sewa untuk 4 bulan ke depan. Semua perabotan sudah lengkap. Kursi di ruang tamu dengan beberapa hiasan guci besar. Pajangan. Sofa dan tv di ruang tengah. Lalu kasur serta meja rias sekaligus meja belajar di dua kamar. Perabotan dapur juga sudah lengkap. Jika kami akan memasak, akan lebih mudah. Cukup nyaman.
"Wah, kosong ...," dengusku saat membuka lemari es yang ada di dapur.
"Elu lah yang ngisi. Enak bener maunya udah komplit sampai makanan segala?!" Sinis Angga, meneguk air mineral yang kubeli tadi.
"Untung udah makan tadi. Tapi perlu juga deh beli makanan. Mie instant gitu, gula kopi, sabun cuci, cemilan."
"Di depan kan ada minimarket, Mba? Beli deh sana. Gue nitip rokok. Sebagai imbalan nemenin sampai temen situ sampai."
"Anterin napa. Sekalian yuk. Capek gue."
"Gue juga capek, mba. Dorong motor tadi."
"Angga ...," bujukku dengan menampilkan puppy eyes.
"Faaak!" Umpatnya lalu menutup botol dan segera berjalan keluar. Aku pun mengekorinya dengan kekehan kecil yang kutau dia pasti mendengarnya.
_____
Sudah penuh keranjang belanjaanku yang di dorong Angga. Tidak hanya barang kebutuhanku, tapi juga beberapa camilan yang dia pilih tadi. "Kan elu yang ngajak. Jadi elu yang bayarin," katanya dengan tampang tak berdosa. Akhirnya kuikhlaskan beberapa lembar uang seratus ribuan masuk ke kotak uang kasir minimarket. Cukup lama kami memilih barang. Dari satu rak ke rak lain. Bahkan sempat berdebat karena produk yang berbeda namun akhirnya kami membeli keduanya. Waktu berjalan terasa lebih cepat. Untung minimarket sedang sunyi. Hingga kami tidak perlu lagi mengantre.
"Itu apa?" Tanyaku, menunjuk ke sebuah tanah lapang yang terlihat asri.
"Taman," sahut Angga malas-malasan.
"Ke sana, yuk."
Kutarik lengan bajunya. Ia pun mendengus sebal. Namun tetap menenteng tas belanjaan yang cukup berat. Taman di sini cukup rindang dengan beberapa kursi kayu di tiap sudutnya. Ada beberapa pohon kersen yang rimbun buahnya. Mengingatkanku pada masa kecil dulu. Memanjat pohon kersen dan mengantongi satu plastik buah yang sudah merah.
Kini, senja mulai terlihat di ufuk barat. Langit yang dihiasi semburat merah membuatku takjub akan pesonanya. Inilah lukisan tuhan yang tidak ada bandingannya.
"Nih." Angga menyodorkan sepiring siomay. Kami kini berada di pinggir taman dengan segelas teh manis hangat. Sembari melihat beberapa anak kecil berlari-lari atau memberi makan ikan yang ada di kolam taman.
"Makasih."
Hening. Masih fokus pada piring masing-masing, sekaligus pikiran masing-masing.
"Habis ini kamu pulang aja. Aku nggak apa-apa kok. Nova mungkin sampai sini besok pagi," ujarku menyuap siomay potong demi potong, perlahan.
"Yakin?"
Aku mengangguk. Rasanya tidak enak jika aku terus merengek minta ditemani. Angga terlihat kelelahan.
______
Matahari sudah tenggelam beberapa jam lalu. Menyisakan kabut tipis yang membuat suasana lebih dingin dari sebelumnya. Yah, aku lupa kalau ini adalah Bandung. Kota yang cukup terkenal dengan udara dingin dan sejuk. Berbeda dengan kota asalku.
Pukul 21.00
"Ya udah sana. Tidur, gih. Bentar lagi juga gue balik kok ini," suruh Angga yang melihatku menguap beberapa kali.
"Gue mau tidur sini aja. Kalau elu mau balik, balik aja nggak apa-apa."
"Lah kenapa? Kan ada kamar segede gaban tuh!" Tunjuknya ke sebuah ruangan yang masih gelap. Beberapa barang milikku memang sudah kuletakan di sana. Hanya saja aku masih enggan memasukinya.
"Gue emang agak susah beradaptasi kalau di tempat baru. Apalagi sendirian. Udah ... di sini aja. Biarin TV nyala. Pasti nanti bisa tidur kok."
Ia menoleh, "Kenapa sih? Elu takut, mba?"
"Hm ... sedikit. Nggak cuma sekarang aja. Kalau di rumah sendiri juga gitu. Kalau ada orang lain di rumah sih, gue bisa langsung tidur. Tapi kalau sendirian ... ya gini. Tidurnya depan tv. Nanti tv yang liatin gue tidur. Soalnya gue nggak bisa yang terlalu sepi."
"Ini kode? Gue nggak boleh pulang?" Tanyanya dengan mata menyipit. Dan ekspresi sedikit menjijikan.
"Kagak ih! Udah sono pulang. Muka lu tuh!"
"Lah kenapa sama muka gue?"
"Mesum!"
"Hahaha. Canda kali, mba." Bantal sofa kulempar ke arahnya namun berhasil ia tangkap. "Ya udah sih. Gue tungguin sampai elu tidur deh. Pulang tengah malem nggak apa-apa deh gue."
"Beneran?"
"Iye, mba. Nggak percayaan banget sih. Udah sana masuk kamar," suruhnya, menyambar cangkir berisi kopi yang masih hangat di meja. Akhirnya aku pun menuruti perkataannya. Selain mataku sudah cukup berat, tubuhku juga sudah sangat lelah.
Suara tv terdengar sampai kamar. Pintu sengaja kubiarkan terbuka, agar aku tau, kalau Angga memang masih di sana. Kebiasaanku memang belum pernah berubah. Sedikit bermasalah dengan tidur. Alhasil mataku selalu dihiasi dengan lingkar hitam di sekitarnya. Aku tidak pernah bisa tidur nyenyak jika sendirian di rumah. Dan di mana pun juga.
Suara siaran tv membuatku lebih tenang. Terlebih Angga yang beberapa kali berteriak jika gol masuk ke gawang. Yah, bola. Ia sedang menonton pertandingan bola. Perlahan mataku mulai terpejam. Hingga tubuhku melemah, masuk ke alam mimpi.
Samar kulihat Angga masuk ke kamar dan menutupi sebagian tubuhku dengan selimut. Mungkin ini adalah awalan mimpi? Entahlah ... hanya saja semua terasa nyata.
____
Dering alarm pagi membuatku menggerakkan tangan. Kulirik sedikit gawai yang selalu kuletakan di samping. Jam menunjukan pukul 05.00. Rupanya sudah pagi. Masih dengan mata terpejam, aku turun dari ranjang. Membawa guling, berjalan keluar kamar. Bermaksud tiduran sebentar di sofa. Sambil menunggu aku sadar sepenuhnya. Keadaan masih sunyi dan gelap. Saat aku duduk di sofa, berniat berbaring kembali, aku terkejut karena ada sebuah tangan dingin, bergerak. Otomatis mataku membulat sempurna.
"Loh?! Ngapain ni anak masih di sini? Katanya pulang?" Kugoncang-goncangkan tubuhnya hingga ia menggeliat.
"Udah bangun?" tanya Angga, menguap lalu mengucek mata.
"Ngapain elu di sini? Kirain udah pulang?" tanyaku ikut duduk di sofa.
"Gimana gue bisa pulang, elu ngigo mulu semalem. Nangis pula."
Ia ikut duduk, menyilangkan kedua tangan di depan. Masih setengah terpejam sambil bersandar di punggung sofa. Sepertinya dia tidak tidur nyenyak semalam.
"Masa sih?" tanyaku yang lebih ke arah kaget. Kupikir tidurku nyenyak dan tanpa gangguan.
"Iya, mba. Elu ngigo. Nangis ampe sesenggukan. Apa perlu gue rekam besok? Bikin gue nggak bisa tidur aja!"
"Maaf ... aku nggak sadar," kataku sedikit tidak enak hati.
Angga menarik napas dalam. Ia mengacak-acak rambutku yang sudah berantakan.
"Iya nggak apa-apa. Ya udah gue balik. Telat nanti. Elu juga siap-siap. Nanti gue jemput," katanya, beranjak, merentangkan tubuhnya hingga menimbulkan bunyi gemerutukan.
"Pulang dulu, ya. Bye."
Angga pergi tanpa menoleh lagi. Meninggalkan aku seorang diri dalam keadaan setengah sadar sekaligus berusaha mengingat peristiwa semalam. Hanya saja dering alarm membuyarkan lamunan. Aku memang selalu menyetel alarm setiap 30 menit sekali sejak pagi. Karena kebiasanku yang akan kembali terpejam walau sudah keluar dari kamar. Begitulah aku, karena selama ini tinggal seorang diri. Tidak ada alarm dari ibu tiap pagi, atau sarapan saat aku siap mandi. Seperti orang lain.
____
Udara Bandung rupanya lebih dingin dari tempat asalku. Bahkan aku harus memakai air hangat untuk mandi. Selepas mandi aku membuat roti bakar. Rupanya ada mesin pemanggang roti juga di meja makan. Sarapan roti bakar dengan selai kacang serta susu hangat rasanya sudah lebih dari cukup. Karena aku memang tidak terbiasa sarapan pagi dengan makanan berat.
"Cha!" Seru seseorang dari arah pintu. Suara berisiknya membuatku bergegas keluar dengan cangkir berisi susu yang masih ada di tangan kanan.
"Ya ampun. Dari mana, Bu? Rempong banget," sindirku melihat Nova turun dari taksi dengan beberapa barang. Walau dia terlihat kerepotan tapi penampilannya sudah sempurna. Ia memang sangat pandai memadukan make up.
"Biasa emak gue ribet. Udah ih. Bantuin napa. Jam 8 harus on time di kantor. Si bos udah sampai. Telat, digorok elu!" Ia mengancam dengan hal yang paling mengerikan. Aku melotot mendengar kalimatnya. Segera saja aku masuk dan menyelesaikan sarapanku. Kubawa serta beberapa tas miliknya agat ia tidak mengoceh terus menerus.
Sementara Nova masih membereskan barangnya, suara klakson di halaman rumah membuat perhatian kami teralih.
"Tamu?" Tanya nova heran menatapku. Seakan tau siapa tamu kami di pagi hari ini, aku segera berlari kecil ke depan.
Saat sampai di teras, kudapati Angga sedang duduk di atas kuda besinya. Penampilannya lebih rapi dari sebelumnya. Bahkan tercium bau wangi dalam jarak sejauh ini. Aku yakin itu berasal darinya, karena parfumku atau Nova bukan seperti ini aromanya.
"Hayuk! Jam berapa ini?" Tanyanya sambil menunjuk jam di pergelangan tangan.
"Iya, bentar! Eh tapi ... Nova gimana, ya?"
"Loh udah sampai?" Tanya Angga menoleh ke arah rumah.
"Udah."
Angga terlihat diam beberapa saat lalu merogoh gawai di saku jaket. Ia mengetik sesuatu hingga akhirnya ia masukan lagi gawai itu ke saku.
"Beres. Bentar lagi temen gue ke sini. Udah buruan sana siap-siap."
_____
"Mengerti semua?!" tanya Pak Eko menatap mata kami satu persatu. Mirip elang yang akan menerkam mangsanya. Tatapan yang sejak awal bisa membuat tiap orang gentar. Ia terkenal tegas dan garang. Walau sebenarnya hatinya lembut.
"Mengerti, Pak."
Serempak kami menjawab bagai padauan suara. Karena jika jawaban itu kebalikannya, maka kami harus mendengar penjelasan itu selama 2 jam, lagi. Ini mirip amanat pembina upacara saat peringaran 17 agustus. Membosankan.
"Dan kalian berdua!" Tunjuk beliau padaku dan Nova yang duduk bersebelahan. "Tolong kerja samanya. Bantu yang lain. Besok ada 4 tenaga bantuan lagi. Mereka bakal pindah ke sini. Bukan seperti kalian, yang di sini cuma sementara."
Aku dan Nova saling melirik, memberikan kode satu sama lain dengan menaikkan sebelah alis, sementara yang satu mengerdikan bahu.
"Tari, Doni, Rahma, sama Hadi." Seolah tau kebingungan dari raut wajah kami. Pak Eko menyahutnya santai namun seperti penuh makna.
Kami berdua hanya membulatkan bibir membentuk kata Ooo. Tanpa suara.
"Dan Ocha! Lakukan apa yang menurutmu benar. Saya yakin kamu bisa. Walau hal itu membuat nyawamu terancam sekalipun."
Tajam, dalam dan bermakna. Aku masih mengira-ngira maksud perkataan Pak Eko. Dan akhirnya mengerti. "Siap, Pak."
Mereka beberapa karyawan yang memang ada di pusat, dan saat ini, cabang memang sedang membutuhkan banyak tenaga ahli yang lebih berpengalaman. Mereka adalah beberapa orang yang cukup mumpuni. Hanya saja, aku heran. Kenapa mereka bertiga harus datang ke sini bersamaan. Doni, Tari dan Rahma. Sepertinya Pak Eko memang sengaja melakukannya. Dan sisanya adalah tugasku.
Jam 12.00
Waktu makan siang. Di dekat kantor ada sebuah cafe yang katanya cukup murah dan masakannya enak. Karena perut sudah mulai berdemo, dan sebelum demonya menjadi anarkis, aku langsung mengajak Nova turun ke bawah. Nova adalah salah satu teman dekatku di kantor. Ia yang paling paham dan mengerti aku. Dan sering membantuku menyelesaikan pekerjaan yang begitu banyak.
Di tangga kami bertemu Uci, karyawan lama yang cukup aktif saat meeting tadi. Ia terlihat supel. Dan sedikit manja.
"Hai ... mba. Mau makan, ya?" tanyanya yang sepertinya sengaja menunggu kami.
"Hai, Ci. iya nih, mau bareng?" Tanya Nova basa basi. Uci mengangguk. Kupikir tidak ada salahnya mengajaknya. Kami bisa lebih akrab dan sharing seputar keadaan kantor.
Namun saat kami akan turun dari tangga, tiba-tiba Angga berlari kecil menyelinap di antara kami.
"Minggir... minggir," teriaknya tanpa menatap bahkan hanya fokus pada lantai yang ia pijak.
Otomatis kami menyingkir dan sedikit heran melihatnya.
"Napa tuh anak?" Celetuk Nova sedikit heran atau sekedar basa basi.
"Paling ada yang nungguin di bawah, mba. Biasanya dia di kirim makanan," bisik Uci yang membuatku sedikit penasaran.
Ternyata saat sampai ke bawah, benar apa yang dikatakan Uci. Angga sedang berbincang dengan seorang wanita dengan kantung plastik yang sepertinya kotak makan di tangannya. Mereka terlihat akrab satu sama lain.
"Iya ... hati-hati, ya," kata Angga pada wanita tadi. Ia sudah pergi dengan motor matic sesaat setelah kami sampai di bawah.
"Cie ... dianterin makan," canda Uci sambil menatap wajah Angga dan kantung plastik di tangannya bergantian.
"Bacot!" Ia segera masuk kembali ke dalam dan sedikit melirik padaku. Hanya saja aku hanya diam tanpa ekspresi. Hanya menyungging bibir agar tidak terlihat aneh.
Kami pun melanjutkan perjalanan ke cafe yang ternyata ada di depan kantor. Cukup dekat. Rasanya aku tidak perlu pergi lebih jauh lagi. Dan lagi aku tidak tau jalan. Bahkan aku lupa di mana letak rumah kontrakan kami. Astaga.
Suasana cafe cukup ramai. Dengan interior gedung yang kekinian, lampu dan beberapa stiker dinding membuat suasana lebih nyaman dipandang mata. Sudah hampir penuh meja di dalam, Karena ini memang jam makan siang. Dan lagi hampir semua karyawan makan di tempat ini. Kecuali mereka yang membawa bekal makan sendiri. Akhirnya kami bergabung dengan karyawan lain agar mendapat tempat. Mereka cukup ramah dan menyenangkan. Berbagai obrolan menghidupan suasana sekaligus mendekatkan kami.
Hingga saat makan, perhatianku tertuju pada seseorang yang terasa sangat familiar. Bayangannya walau sekilas, sangat kukenal. Kuperhatikan dia lekat-lekat. Hingga akhirnya aku sadar, dia orang yang sama.
"Idham?!" Gumamku berusaha meminimalisir suara. Antara yakin dan tidak yakin. Karena penampilan orang itu tidak begitu mirip dengan Idham yang dulu ku kenal. Hanya saja saat aku terus menatapnya, ia ikut menoleh, melotot melihatku, lalu tersenyum. Tidak hanya itu. Kini ia menyeringai dengan tatapan yang sama. Sama seperti beberapa tahun lalu. Sama seperti saat dia ... oh tuhan. Kenapa dia kembali muncul di depanku? Kenapa harus dia?
"Cha? Kenapa?" Tanya Nova, menggoncangkan tubuhku hingga aku kembali tersadar, lalu menatapnya. Ia menaikkan sebelah alisnya menunggu jawabanku. Kugigit bibirku agar ia tidak menyadari kegugupan yang mulai kuperlihatkan.
"Aku nggak apa-apa. Aku balik kantor duluan, ya. Lupa handphone ku ketinggalan di tas," elakku agar ia tidak curiga. Ia pun mengangguk, tidak yakin.
____
Berkali-kali aku menengok ke belakang. Dan mulai mempercepat langkahku. Aku berusaha sembunyi saat dia tidak melihatku. Berharap ia tidak menemukanku lagi. Hanya itu saja.
Saat sampai kantor aku masih cemas. Hingga tanpa sadar aku menabrak seseorang. Yang berdiri di depanku.
"Dih! Ngapain lu? Lari-lari. Kayak dikejar setan aja?" Tanya Angga sedikit kesal, yang ternyata baru keluar dari toilet.
"Hah? Apaaan? Siapa?" Aku masih bingung dan sesekali melihat ke arah datangnya aku tadi. Tidak ada orang lain. Hanya kami yang ada di lorong ini.
"Kenapa sih? Lagi main petak umpet sama Uci?" Angga bertanya sambil ikut melihat ke belakang kami. Ia bermaksud bercanda namun saat ini itu terdengar tidak lucu.
"Enggak kok."
Tak menunggu apa pun lagi, aku segera kembali berjalan dan masuk ke ruangan kami.
"Woii! Mba?" Teriakan Angga tak kuhiraukan lagi.
Bumi terasa bergoyang. Pandanganku sedikit tidak stabil. Bahkan saat aku masuk, aku terus berpegangan pada tembok dan apa pun yang memang ada di sekelilingku. Aku takut roboh seperti biasanya.
"Kenapa, Mba?" Tanya Hadi yang membuatku makin pusing. Ia berusaha meraih tanganku saat aku akan menunjuknya. Melotot padanya, dengan kerutan di dahi.
"Loh? Kok di sini?"
"Iya. Kan aku sekarang di sini to. Lupa, ya? Tuh sama yang lain juga," jawabnya sambil menunjuk tiga orang lainnya.
"Oh udah sampai?"
Aku mencoba berdiri tegak. Hadi mulai melepaskan tanganku. Hanya saja, ia terus menatapku aneh.
"Kamu nggak apa-apa? Sakit, kah?"
"Aku baik-baik aja kok. Capek aja. Jalan tadi. Hehe." Kutekan dadaku berusaha melebarkan senyum dengan mengontrol emosi dan napas yang hampir habis. Di saat itulah, Angga masuk.
"Elu kenapa sih, mba?" tanya Angga terlihat khawatir.
Aku tidak menjawab hanya menyatukan jari telunjuk dan ibu jariku membentuk huruf O. Kemudian duduk di kursi. Beberapa orang terlihat ikut menatapku. Tatapan mereka hampir sama, heran. Dan penasaran.
"Cha? Kamu pucet! Sakit?!" Rahma mendekat, meletakkan punggung tangan di dahiku. Memeriksa kedua bola mataku dalam jarak dekat. Dia memang mirip dokter. Sangat detil dalam memperhatikan sekitarnya. Bahkan ia tau jenis obat untuk beberapa penyakit. Kepada dialah aku sering menanyakan obat jika aku sulit tidur.
"Apa sih, Ma? Aku nggak apa-apa. Capek aja naik tangga," elakku menutup matanya dengan telapak tanganku.
Ia menyingkirkan tanganku dan tetap ngotot menatapku kembali.
"Bikinin teh anget aja gih sono. Nyeremin banget kamu deh! Ngeliatinnya. Sana ih," Pintaku menjauhkan tubuhku dari Rahma.
"Biar gue aja. Sekalian mau bikin kopi," Angga menyahut lalu segera keluar ruangan. Rahma dan aku hanya melongo diiringi tatapan menyelidik darinya.
_____
"Elu yakin, Cha, nggak mau ikut? Makan besar loh ini. Mumpung Pak Eko ultah. Kan ngirit duit makan, Cha," ujar Nova saat tau aku menolak ikut makan bersama, memperingati hari ulang tahun Pak Eko, Bos kami.
"Yakin. Aku ngantuk, mau tidur aja. Ini mata udah nggak tahan," kataku mendekatkan mataku ke wajah Nova agar dia percaya.
"Terus nanti makan apa?"
"Gampang! Udah sana nyusul yang lain tuh!" Usirku, mendorong Nova agar ikut masuk mobil karyawan lain yang hendak ikut makan bersama.
"Yakin?"
"Iye, bawel!"
Walau ragu akhirnya Nova pergi bersama yang lain. Tinggal aku seorang diri di pinggir jalan tak jauh dari kantor. Kucari kertas dari dalam tas. Berharap alamat rumah kemarin masih kusimpan di sini. Malam makin larut. Udara makin dingin. Bahkan bintang tidak terlihat sejauh ini.
" Ocha?" Panggil seseorang yang suaranya terdengar familiar. Suara yang tidak ingin aku dengar lagi. Karena saat mendengarnya, mimpi buruk seakan menjadi nyata.
Ia berdiri di depanku tanpa kusadari. "Idham?!"
"Kamu ngapain di sini? Wah lama kita nggak ketemu, ya. Katanya kamu pindah rumah? Pindah ke mana?" Tanya pria berpenampilan aneh, memakai pakaian dan benda mahal, namun tidak terlihat cocok untuknya
"Kamu mau apa?" Tanyaku dingin. Tidak peduli pada pertanyaan beruntun dari pria brengsek di depanku ini. Aku mulai mundur perlahan, hanya saja tubuhku terasa kaku. Berkali kali ia berusaha meraih wajahku, dan berkali kali juga kutepis kasar tangannya
"Hei... santai dong. Oh kamu kerja di sini? Baguslah. Jadi aku tau di mana harus mencari kamu," ia berhenti berbicara, mencondongkan tubuhnya padaku. "Aku kangen," lanjutnya lagi, berbisik di telingaku.
Sebuah tamparan melayang tepat di pipi kanannya. Aku menatapnya nyalang, dengan emosi yang sudah kubendung sejak tadi.
"Belum cukup? Hah?!"
Ia terus diam sambil memijat pipinya yang memerah bekas cap tanganku. "Kamu mulai liar, ya. Aku suka," ia kembali berbisik. Kali ini tatapan matanya tajam. Seolah tidak ingin melepasku, lagi. Ia berjalan, mendekat perlahan. Aku mundur otomatis. Lalu berteriak. Kututup kedua telinga dengan mata terpejam. Seiring dengan teriakanku yang makin kencang. Aku begitu ketakutan kini.
"Hei! Diem!" Bentak Idham dengan suara tertahan. Ancamannya masih sama. Ia tidak pernah berubah rupanya.
"Kenapa nih?" Samar terdengar suara orang lain di sekitarku. Aku masih dalam posisi yang sama. Berjongkok dan bersembunyi di balik kedua lututku sendiri. Kini teriakan berganti isakan. Bahkan tangisku lebih kencang dari suara lalu lintas jalanan. Hingga tak berapa lama, seseorang meletakkan jaket di atas punggungku. Spontan aku membuangnya dan beringsut mundur. Ketakutan.
"Hei, mba? Ini aku! Buka dulu matamu!" Teriak Angga yang kini menggenggam tanganku erat. Walau aku menolak tali ia terus memaksa.
Saat aku membuka mata, kusapu pandangan ke segala arah. Mencari sosok iblis yang membuat aku ketakutan tadi.
"Dia udah pergi! Ayok gue anter pulang ...," katanya, membantuku berdiri. Lalu memungut kembali jaketnya. "Pakai! Dingin!"
Tak berkata apa pun lagi, ia menggandengku menuju motornya. Bahkan sepanjang perjalanan, dia sama sekali tidak bertanya apa pun. Aku menyandarkan kepalaku di punggungnya. Sekaligus memegang perut, menahan lapar.
"Mba ... sampai," kata Angga menggoyangkan tubuh agar aku bangun. Aku sampai tidak sadar, kalau ternyata aku tertidur. Rasanya ini sangat nyaman.
"Bentar lagi. Masih ngantuk," gumamku mengeratkan pelukanku di pinggangnya.
"Ye tidur sini? Pindah kamar gih! Gue mau pulang ini! Capek tau! "
Mendengar hal itu aku segera turun dari motornya. Berjalan masuk tanpa menoleh lagi. Saat ingat sesuatu, aku kembali lagi ke depan motornya. "Nih!" Melepas jaket milik Angga dengan mengerucutkan bibir. Aku berbalik, tapu dengan cepat ia menahan tanganku. Membuatku terkejut.
"Apa lagi?!" Tanyaku sinis.
"Jutek amat? Gue laper. Minta makan," ujarnya diiringi senyum tanpa dosa.
"Dasar!"
Tidak menolak ataupun mengiyakan, aku segera masuk diikuti olehnya.
Perlahan getaran itu terasa, tanpa di sadari. Menumpuk sedikit demi sedikit. Membuahkan perhatian kecil yang sangat berharga bagi yang lainnya. Sekeras apa pun mereka menolak, jika tuhan sudah berkehendak? Tidak ada yang tidak mungkin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!