Sana duluan. Gue mau parkir motor dulu," ujar Angga sesaat setelah menurunkanku di dekat pintu masuk lobi kantor.
Aku turun. Sekelebat bayangan semalam mampu menggelitik hati. Aku bahkan tertawa sendiri dengan mulut tertutup rapat. Entah kenapa, sejak awal mengenalnya, aku selalu dibuat terkejut dengan reaksi Angga. Ia memang menyebalkan, terkesan sering menyeletuk dengan kalimat yang jika siapa saja yang mendengar, rasanya ingin menjitak kepalanya. Namun, ternyata ada sisi lain dalam dirinya yang benar-benar menarik perhatianku.
Sadar, Cha! Jangan sampai kamu jatuh cinta sama Angga! Inget prinsip, Cha! Inget!
"Ehem ...."
Suara orang berdeham di samping membuatku tersadar akan perseteruan ego barusan.
"Eh, kalian?! Udah datang?" tanyaku basa basi. Nova mengernyitkan kening, menaikkan sebelah bibir dengan tatapan menyelidik. Sedangkan Uci hanya menatap kami bergantian dengan pandangan bingung.
"Kenapa?"
"Kenapa apanya?"
"Kok senyum-senyum gitu? Hayo ...."
Belum sempat aku menjawabnya, Rahma, Doni, dan Tari datang.
"Duluan, ya!" Aku segera melenggang masuk tanpa menunggu yang lain. Bahkan saat Nova meneriakkan namaku, tak kuhiraukan. Rasanya aku muak melihat tingkah mereka bertiga. Rahma yang terlalu bodoh dan Doni serta Tari yang terlalu brengsek.
"Buru-buru amat sih!" omel Nova yang ikut masuk ke dalam lift. Diikuti Uci dan yang lain. Aku melirik tajam pada ketiga orang yang baru datang tadi.
Rahma ... Rahma ... Bego banget, sih, Jadi orang!
Pintu lift hampir separuh tertutup, jika sesosok tangan kekar tak menghalanginya. "Tungguin napa!" dengus Angga.
7 orang di dalam lift. Diam tanpa sepatah kata bahkan sekedar basa basi seperti biasa. Aku yang berdiri paling belakang bersama Nova dan Uci hanya diam seperti yang lain. Memperhatikan tombol lift yang akan membawa kami naik ke lantai atas.
"Sayang ... nanti ini dibawa, yah. Bekalnya. Kamu pasti belum sarapan, kan?" tanya Rahma ke Doni, kekasihnya.
"Makasih." Doni meraih kotak makan berwarna hijau muda itu diiringi senyum. "Aku makan nanti, ya." Hanya saja matanya tak mampu lepas dari Tari, wanita yang berdiri di samping Rahma.
"Beneran, ya. Nanti perut kamu sakit," sahut Rahma bergelayut manja di lengan Doni. Di sisi lain aku melihat sorot mata tajam dari seseorang yang tidak menyukai pemandangan romantis di dalam lift ini. Tari.
"Ck. Lama banget sih ini," dengusnya menatap sebal ke pintu lift.
"Halah ... bilang aja sirik!" cetusku, sinis, menatap langit-langit lift diiringi sikutan dari Nova.
Semua orang menoleh ke arahku. Begitu pula Tari. "Maksud lo apa, Cha?!" Nada bicaranya naik 1 oktaf. Rupanya aku berhasil memancing emosinya.
"Lah kenapa? Situ kesindir?"
Tari menggeser tubuh Angga yang memang tepat berada di antara kami berdua, Angga menghalangi pertemuan mata kami. "Jangan sembarangan, ya? Elo kali yang sirik! Kelamaan nge-jomblo. Belum bisa move on? Kasian," sindir Tari ketus.
"Gue? Emangnya ada tampang gue sirik ke Rahma sama Doni? Elu tuh!" tunjukku ke arah Tari. Kemudian tanganku diturunkan Angga."Ngapa sih? Malah berantem!"
Tepat saat pintu lift terbuka. Aku menerbos keluar lebih dulu dari yang lain. Menahan kesal yang sejak lama kupendam. Ada sesuatu persekongkolan di depan mata, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya karena menjaga perasaan Rahma.
"Cha?!"
"Apa, sih?!"
"Ya ampun sensi amat sih? Lagi PMS? Heran gue! Tadi senyum-senyum sendiri, eh sekarang malah ngomel mulu. Juteknya keluar!"
Aku menarik napas panjang, menoleh ke Nova dengan menyiapkan senyum semanis mungkin. "Iya, Nova sayang. Kenapa?"
"Nah gitu dong. Pertanyaan gue tadi belum elu jawab. Elu kenapa?"
Deg!
Entah kenapa, jantungku berdesir. Seolah teringat kebodohan yang pagi tadi kulakukan. Senyum-senyum di depan lobi, seorang diri.
"Gue kenapa? Nggak kenapa-kenapa. Emangnya kenapa?"
"Ya ampun! Pake nge-less lagi! Bohong banget kalau elu bilang nggak apa-apa. Pasti ada apa-apa!"
"Duh ... gue lupa nelpon Pak Eko! Laporan kemarin belum dia tanda tanganin! Bentar, ya, ini masalah hidup dan mati. Kuraih map cokelat di laci meja lalu berlari kecil keluar. Sengaja menghindari pertanyaan Nova.
"Woi! Ocha!" teriak Nova yang perlahan memudar seiring aku berjalan keluar ruangan.
Fyuuh ... Aman.
______
Saat menjelang pulang, Hadi memberikan pengumuman bahwa ia akan mentraktir kami makan di cafe depan kantor. Hari ini dia ulang tahun.
Rupanya tempat sudah ia booking kemarin. Meja panjang dengan sederet kursi yang saling berhadapan. Sudah tertata rapi di sudut ruangan. Tentunya sudah ada gelas berisi air putih dengan lap makan yang dibentuk cantik di sampingnya. Dan saat kami sampai, makanan pun turut disajikan oleh para waitres cafe.
Semua mengucapkan selamat dan terima kasih diiringi doa-doa aneh maupun doa yang memang tulus untuk Hadi.
"Semoga cepat nikah, ya."
Dan doa itulah yang paling banyak diucapkan kami. Selesai makan semua sibuk bernyanyi karaoke yang memang disediakan di cafe. Ada pula yang mengajak pasangannya berdansa ala ala western.
"Cha! Dansa, yuk!" ajak Nova mengulurkan tangan padaku.
"Males ah!"
Alhasil ia turun ke lantai dansa dengan yang lain. Kulihat Rahma duduk tak jauh dariku. Ia tengah memperhatikan Doni dan Tari yang terlihat mesra di sana. Di meja hanya ada aku dan Rahma. Beberapa teman pria kami ada yang ikut karaoke, menari, ke toilet atau bahkan keluar cafe mencari tempat untuk merokok. Itu adalah Angga.
"Ma?"
"Kenapa, Cha?"
"Kamu nggak apa-apa? Lihat pacarmu mesra gitu sama cewek lain?" tanyaku heran. Aku memang sangat heran melihat Rahma. Dan benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Rahma.
"Aku nggak apa-apa. Lagian mereka kan temen, Cha. Kayak kamu sama Doni. Nova sama Doni. Sama aja, kan?"
What? Dia bilang temen? Apa matanya nggak lihat? Sikap Doni dan Tari itu keterlaluan.
Aku beranjak, menempatkan diriku duduk di samping Rahma.
"Serius kamu mikir mereka cuma berteman? Nggak ada pikiran aneh lain?"
"Pikiran aneh? Memangnya apa, Cha?"
Aku mendengus sebal. Memutar bola mata karena jengah. Tak sampai habis pikir, kenapa aku memiliki teman yang sangat bodoh. Ia terlalu polos dan baik. Atau karena terlalu cinta pada Doni? Ah, cinta memang buta. Perselingkuhan di depan mata saja, sama sekali tidak ia rasakan.
"Lihat baik-baik!" Aku menunjuk Doni dan Tari yang kini mulai bergerak tak wajar. Tangan Doni mulai masuk ke baju Tari sambil membenamkan wajahnya ke leher wanita tinggi berrambut pirang itu.
Air muka Rahma berubah. Ia terlihat risih melihat hal di depannya.
"Kamu nggak sadar? Kalau mereka punya hubungan spesial di belakang kamu?"
Rahma terlihat diam beberapa saat. Pikirannya tidak bisa kutebak.
"Nggak mungkin, Cha."
"Nggak mungkin? Kamu tau nggak kalau Doni sering datang ke kos Tari?"
Pertanyaanku mampu menarik perhatian Rahma. Ia melotot dan terus menelusuri sorot mataku, mungkin ingin mencari kebenaran di sana.
"2 bulan lalu, aku sengaja datang pagi-pagi ke kos Tari. Karena ada barang yang kutitipkan ke dia. Sampai di parkiran kos dia, ku lihat mobil Doni. Dan pas aku ketuk pintunya, ada sepatu Doni di luar. Aku yakin itu sepatu Doni. Karena kamu beli itu bareng aku dulu. Tari kaget waktu tau aku datang. Dia nggak berani buka pintu kos lebar-lebar. Padahal biasanya dia cuek aja. Bahkan aku juga sering ikit sarapan di sana sebelumnya. Sekilas, aku lihat Doni masih tidur di kasur. Pas aku tanya, dia bilang itu pacarnya. Dan menyangkal itu Doni. Tapi aku yakin itu dia, Ma."
Rahma terlihat pucat. Matanya berkaca-kaca. Entah apa yang ia pikirkan, karena belum ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
"Kamu yakin?"
"Sangat yakin. Setelah kejadian itu, aku perhatikan mereka sangat dekat. Bahkan aku sering lihat Tari berangkat sama Doni. Dan mereka ... ciuman di dalam mobil."
Rupanya Rahma tidak bisa membendung air matanya lagi. Pipinya mulai basah. Menetes deras. Tubuhnya mulai bergetar. Menahan isak tangis.
Duh! Salah gue ini cerita. Kenapa ini mulut bocor banget, sih!
Rahma menyeka air matanya sambil menarik napas panjang. Menatap sepasang pria dan wanita di ujung sana.
"Sebenarnya aku udah curiga, Cha. Tapi ... aku takut. Aku takut itu bener-bener sesuai apa yang kamu bilang tadi. Aku ... masih sayang sama Doni. Dia baik. Dia sangat perhatian. Bahkan kamu tau sendiri kalau kami jarang bertengkar. Dia sangat sempurna."
"No! Dia brengsek!"
"Tapi dua bulan lagi kami mau nikah, Cha."
"Justru sebelum nikah. Kamu harus tegasin hubungan ini. Jangan sampai kebusukan mereka terbongkar saat kamu udah nikah sama Doni. It's stupid!"
Tak lama beberapa dari mereka kembali ke meja. Meneguk air karena kelelahan. Bahkan suara Nova sudah serak. Entah sudah berapa album dia nyanyikan tadi. Aku sampai tidak memperhatikannya.
Tari masih bergelayut di lengan Doni. Hingga saat sampai di meja, Rahma berdiri. Ia segera menyiram segelas jus jeruk ke wajah Tari. Sontak semua orang terkejut.
Aku bahkan melotot sambil garuk-garuk kepala melihat kemurkaan Rahma. Nova menaikan alisnya naik turun, seolah isyarat. Kenapa nih?
"Rahma! Kamu apa-apaan?!" bentak Doni, tersulut emosi.
"Kalian jahat!" Rahma mulai menangis tertahan. Namun kemarahannya yang lebih mendominasi.
"Kurang ajar!" gumam Tari. Ia melirik ke sampingnya, meraih gelas berisi jus alpukat milik Uci. Paham akan apa yang ada dipikiran Tari, aku langsung merebut gelas itu sebelum ia menyiramkan ke Rahma.
"Elo nggak usah ikut campur, Cha!" bentak Tari.
"Oh ... harus dong! Enak aja gue nggak boleh ikut campur! Dia temen gue!" sahutku tak kalah emosi. Mataku bahkan melotot dengan napas memburu.
"Dia duluan yang kurang ajar! Lihat nih! Gue basah!"
"Kalau gue jadi Rahma, gue bakal siram elo pakai air comberan!"
"Brengsek lo, Cha!" Tari naik ke meja hendak menjambak rambutku. Kutepis tangannya lalu mendorong Tari hingga ia jatuh ke belakang. Rahma masih menangis. Menutupi wajahnya. Sementara Doni kini mencengkeram tanganku. Kupukul wajahnya hingga meninggalkan bekas biru di pipinya.
"Brengsek!" umpat Doni yang memang ditujukan padaku. Aku turun dari meja lalu menghampirinya.
"Untung elu cewek. Kalau cowok udah gue hajar, Cha!"
"Emang kenapa kalau gue cewek?! Berantem juga ayok! Lu pikir gue takut?! Hah?!" tantangku. Mencengkram kerah kemeja Doni.
Ia spontan menjambak rambutku. Kuputar tangannya hingga tarikan di kepalaku mengendur. Seraya menendang bagian tengah yang ada diantara pahanya. Doni mengerang. Menutupi bagian yang sakit itu. Aku makin emosi. Dengan kepalan tangan kanan yang kini mulai melayang hampir mengenai wajah Doni, lagi, rupanya ia berhasil menghindar. Hingga akhirnya aku memukul tembok berbatu di belakangnya.
"Hei! Kalian gila?!" teriak Hadi dan beberapa orang lainnya. Mereka mulai melerai kami.
Doni dipegangi Hadi dan mulai pergi meninggalkan cafe. Sementara Tari berlari menyusul Doni dengan tatapan benci ke arahku. Sedangkan Rahma mulai ditenangkan Nova dan Uci. Aku ditarik Angga lalu duduk di kursi tempatku tadi.
"Ngapa sih! Pakai berantem! Sok jagoan banget!" omel Angga menatapku tajam.
Aku hanya diam. Meraih cangkir kopi yang kupesan tadi. Lalu duduk di meja lain, yang ada di dekat jendela. Aku lelah. Aku butuh waktu sendiri. Emosiku masih belum stabil.
"Cha? Are you oke?" tanya Nova yang masih memeluk Rahma. Aku yakin dia bingung. Antara menenangkan Rahma atau menemaniku.
"I'm Fine. Elu urus aja Rahma."
Hujan baru saja datang. Mengguyur kota dengan begitu derasnya. Pemandangan yang sangat aku sukai. Setidaknya dengan begini suasana hatiku bisa lebih baik nanti.
Kuletakan tangan kananku di meja. Hingga perlahan kepalaku ada di atas tangan kananku. Memandang hujan dari jarak sedekat ini. Nyaman. Aku merasakan nyeri di punggung tanganku. Hanya saja rasa malas kini menggerogoti. Posisiku saat ini adalah yang ternyaman hingga malas untuk bangkit lagi untuk sekedar menengok keadaan tanganku.
Suara kursi di tarik terdengar berisik. Seseorang kini duduk di depanku. Aku hanya melihatnya sekilas dari ujung ekor mata. Angga.
"Mau jadi jagoan tapi nggak bisa jaga diri!"
Aku meliriknya sebal. Terlihat sebuah kotak berwarna putih kini tengah ia buka. Kembali aku menatap jendela, tak lagi menghiraukannya.
"Aaww! Ssshh!" desisku saat merasakan sensasi dingin di beberapa ruas jari kananku.
"Udah diem! Luka tuh! Sampai nggak sadar tangannya berdarah gitu!" Kembali aku mendengar omelan dari mulut Angga. Tapi tangannya juga tidak berhenti mengobati punggung tanganku dengan hati-hati.
"Bawel!" gumamku dengan posisi yang masih sama.
"Wah ini sih diamputasi aja, ya. Biar nggak capek ngobatinnya."
"Ih! Jahat banget, sih! Nanti kalau mau makan gimana coba. Atau mau ngapain nggak bisa dong!" rajukku dengan mengerucutkan bibir.
"Ini kan ada," ujar Angga sambil merentangan kedua tangannya ke depan.
Sontak aku terdiam beberapa saat. Ia lantas membalut tanganku dengan perban.
"Nah ... gini kan cakep. Masa cantik-cantik tangannya berdarah-darah. Mirip zombie habis makan orang. Hii ... serem," tukas Angga dengan bergidik ngeri. Aku mengamati tanganku sambil menarik sudut bibir.
"Makasih ganteng. Sama-sama," kata Angga pada dirinya sendiri. Sontak tawaku lepas begitu saja.
"Makasih Angga jelek."
Kembali senyum berhasil tercipta karenanya. Ia selalu mengisi ruang hatiku dengan cara yang berbeda. Tapi tidak dapat aku pungkiri, kalau aku mulai menyukainya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
who.am.i???
angga...
2020-10-08
0